8. Hubungan?
"Selamat datang, Tuan Muda."
Satu sapaan menyapa telinga Satria ketika ia baru masuk ke dalam rumahnya. Tepat setelah pintu terbuka mempersilakan dirinya.
Satria melangkah. Mengabaikan sambutan sopan kepala pelayan malam itu, namun tak urung juga langkahnya diikuti.
"Apa Tuan menginginkan sesuatu?"
Satria menghentikan langkah kakinya. Ia menoleh ke belakang. Pada seorang pria yang terlihat sudah mulai memasuki dunia senjanya. Tampak beberapa helai rambut bewarna putih menghiasi kepalanya. Namun, tubuh dan wajahnya terlihat masih begitu bugar.
"Pak Herman bisa meminta siapa saja menyiapkan aku teh hangat?" tanya Satria kemudian. "Aku membutuhkannya."
Pak Herman tersenyum. "Diet Tuan bulan ini melarang teh di malam hari. Tapi, saya bisa menggantinya dengan teh chamomile saja, Tuan. Bagaimana?"
Satria buru-buru mengangguk. "Terima kasih," kata pria itu seraya berencana untuk kembali melanjutkan langkah kakinya. Namun, suara Pak Herman menghentikan langkah kakinya.
"Tuan Muda, Nyonya menunggu di atas."
Satria membeku. Menarik napas dalam-dalam dan lalu merutuk di dalam hati.
Bagaimana bisa aku ngira urusan aku dan Mama selesai begitu saja?
Napas Satria mengembus dengan pelan. "Antarkan teh itu ke kamar aku saja, Pak. Aku akan menemui Mama dulu."
Pak Herman mengangguk. Berdiri di tempatnya dengan sikap yang sopan layaknya seorang kepala pelayan. Menunggu hingga majikan mudanya itu menghilang dari pandangan matanya di lantai atas, baru ia beranjak. Menuju ke dapur. Memanggil salah seorang pelayan untuk menyediakan teh kamomil untuk Satria.
Sementara itu, di atas Satria langsung menuju ke satu ruangan yang pintunya setengah terbuka. Seberkas cahaya yang keluar dari sana cukup menjadi bukti bahwa ada orang di dalamnya. Yang tak lain dan tak bukan adalah kedua orang tuanya.
Satria mengetuk pintu dua kali. Lalu masuk. Menyapa sopan pada kedua orangnya baru duduk.
Seorang pria yang terlihat sedikit letih tampak melepaskan kacamata yang bertengger di atas hidungnya. Di sebelahnya Mega terlihat menawarkan segelas air putih.
"Minum dulu, Pa."
Pria itu bernama Sigit. Seorang pria yang nyaris berusia enam puluh empat tahun. Tampak sudah tua dengan istri yang masih terlihat muda. Bagaimanapun juga itu lantaran usianya yang terpaut sepuluh tahun dengan Mega.
Sigit menerima gelas itu. Meminum isinya seteguk dan menyerahkan kembali gelasnya pada Mega. Sementara wanita itu meletakkan gelas ke atas meja, Sigit pun berkata.
"Papa sudah melihat video kamu, Sat."
Satria meneguk ludahnya.
Sebenarnya berapa sih kecepatan orang-orang ngirim video itu?
Lebih dari itu, Satria bingung harus menanggapi perkataan ayahnya seperti apa. Kalimat itu tidak terasa seperti kalimat pertanyaan.
"Iya, Pa."
Akhirnya hanya kalimat itu yang mampu Satria katakan. Ia menguatkan hatinya.
"Namanya Eriana."
Sigit angguk-angguk kepala. "Mama sudah cerita banyak hal tentang wanita itu," kata Sigit. "Dia sekretaris kamu?"
Satria mengangguk. "Dia baru bekerja dua minggu."
Terdengar suara helaan Sigit. Ia tampak berdiam diri sejenak. "Papa sudah melihat profilnya tadi."
Mata Satria memejam dengan dramatis.
"Berusia dua puluh delapan tahun, tinggi seratus lima puluh delapan sentimeter, berat badan empat puluh empat kilogram, anak pertama dari lima bersaudara, alamat asal di Bogor, dan menamatkan program master di College London dengan beasiswa penuh dari LPDP. Kembali ke Indonesia tahun lalu dan melamar pekerjaan untuk pertama kalinya ke Aksa Bhumi." Sigit menarik napas setelah menguraikan semua hal yang telah ia ketahui. Tadi, setelah Mega memberitahukan semua yang terjadi, mereka pun dengan segera menyelidiki identitas Eriana. Tak sulit untuk mereka. "Ada yang keliru?"
Satria membuka mata. Menyadari bahwa tak ada yang keliru sedikit pun dari yang Sigit katakan barusan. Semuanya benar. Malah sedikit aneh karena Sigit tidak sampai menjelaskan ukuran sepatu gadis itu.
"Nggak ada, Pa."
Sigit mengangguk. "Sekilas, Papa nggak ada keraguan sedikitpun dengan pilihan kamu."
Satria meneguk ludah.
Pilihan aku?
"Tapi, tetap saja. Bukan dengan cara seperti ini kamu seharusnya mempertemukan dia dengan Mama kamu, Sat. Dengan sebuah tragedi yang bisa mencoreng nama kita semua."
"Papa ...." Mega meraih tangan suaminya itu. Memberikan belaian lembut.
Satria menarik napas dalam-dalam. Menyadari bahwa beberapa tahun setelah dewasa, dirinya nyaris tidak pernah berada di situasi seperti ini lagi. Dipanggil untuk diinterogasi, oh. Itu bukan Satria sama sekali. Terutama ketika dari tujuh tahun yang lalu, di saat ia diberi wewenang untuk memimpin anak cabang perusahaan untuk pertama kalinya, ia benar-benar tidak pernah ditanyai untuk setiap keputusan yang ia ambil. Dan hal itu sebenarnya bukan hal yang aneh. Keputusan dan tindakan yang ia ambil memang memenuhi harapan orang tuanya. Tepat dan tidak gegabah.
Selagi Satria meniti karir, berusaha bertahan dari intrik-intrik dunia kerja dan keluarga, ia pun sebisa mungkin menjaga dirinya untuk tidak terlibat skandal ataupun pemberitaan yang mampu memberikan noda setitik pun dalam dirinya. Ia tidak ingin lawannya mampu menemukan kekurangan dirinya. Namun, sekarang?
Satria berpikir di benaknya.
Pilihan apa yang harus aku ambil sekarang?
Ngomong kalau aku dan Eriana nggak ada hubungan apa-apa justru akan semakin menyudutkan aku.
Aku akan dicap sebagai calon pewaris yang bahkan nggak bisa menjaga nafsu di depan umum. Bisa melakukan hal seperti itu dengan wanita mana pun.
"Tapi, Mama tadi sudah mengatakan ke Papa."
Satria melirik ibunya sekilas. Baru kembali pada Sigit. "Ya, Pa?"
"Bahwa Mama sudah melamar gadis itu untuk kamu. Dan walau belum resmi, tapi Eriana menyambut lamaran itu."
Satria tak bisa mengelak, melainkan hanya mengangguk pasrah. "Ya, Pa. Aku akan bertanggungjawab untuk perbuatan yang sudah aku lakukan."
"Bagus." Sigit mengangguk-anggukkan kepalanya. "Begitulah seorang pria hidup, Sat. Lakukan dan bertanggungjawab. Setidaknya kamu memperbaiki kesalahan yang sudah kamu lakukan."
Satria diam. Sekarang untuk merutuk pun percuma. Semuanya telah terjadi. Dan kali ini Satria baru meyakini kebenaran satu pepatah lama.
Nasi sudah menjadi bubur.
Seharusnya aku memang nggak mempekerjakan cewek sialan itu.
Gara-gara dia semua berantakan.
Mendengar perkataan Sigit, Mega di sebelahnya tersenyum dan berkata. "Eriana gadis yang baik, Pa. Terpelajar dan tidak pernah terlibat skandal. Catatannya bersih. Pasti dia bisa menjadi menantu yang baik."
Sigit mengembuskan napas panjang. Terasa sedikit santai ketika mendengar kata-kata menenangkan dari istrinya itu. Ia mengangguk dengan tersenyum.
"Dan Mama juga sudah menyiapkan kelas untuknya. Papa nggak perlu khawatir," lanjutnya. "Satria pasti nggak bakal salah milih wanita."
Satria meneguk ludah.
Entah mengapa, tapi ia merasa jantungnya seperti tak berdetak lagi mendengar perkataan ibunya itu. Bukannya apa. Tapi, ungkapan kepercayaan Mega selalu membuat ia tidak berdaya. Mengecewakan ibunya adalah hal terakhir yang ingin ia lakukan.
Lantas, suara Mega terdengar menghapus lamunan singkat Satria.
"Besok pagi, jemput Eriana. Ajak dia sarapan dengan kita."
Dan Satria tak bisa melakukan apa-apa selain mengangguk sekali. "Ya, Ma."
*
Intan melongo. Dengan mulut yang terbuka lebar. Dengan tatapan mata yang mengambang. Dengan ekspresi yang ... seperti sedang menahan desakan buang air besar.
"Aduh, Tan. Tapi, gimana coba ya aku ngomongnya. Jangankan kamu. Aku aja syok setengah mampus coba. Aku mana ngira gitu kan kalau ternyata Pak Bos udah naksir aku."
Eriana mengulum senyum malu-malu. Mengusap kapas yang basah karena cairan toner wajah ke pipinya. Menyegarkan kembali wajahnya setelah mengenakan make up yang berat malam itu.
"Tadi aku beneran ngira aku yang bakal jantungan gitu, Tan. Ya kali kan? Masa Pak Bos ngajak check in abis pesta. Awalnya aku marah gitu kan ya? Eh, ternyata dia gitu gara-gara nyimpan perasaan sama aku. Ehm ... caranya emang salah sih. Tapi, ya siapa yang bisa nebak ya? Aku pikir Pak Bos pasti udah sengsara banget karena tergoda sama kecantikan aku selama ini."
Intan masih melongo.
"Terus kan ya?" Eriana memainkan anak rambutnya sekilas. "Tadi ibu Pak Bos ya langsung ngelamar aku gitu. Ehm ... aku ya udah nggak bisa mikir lagi kan ya? Ya aku terima dong. Lagipula, aku kan masih waras. Masa nolak lamaran Pak Bos yang cakep gitu. Kan cocok tuh sama aku yang cantik."
Intan mengulurkan tangannya. Mendarat di dahi Eriana. Lalu geleng-geleng kepala seraya bangkit berdiri.
"Bentar ya, Ri. Aku ambil paracetamol dulu. Kayaknya kamu agak demam malam ini."
"Iiiih." Eriana cemberut seketika. "Kamu ini tega ya. Aku tuh cerita hal yang sebenarnya." Tangan Eriana menahan Intan. "Aku berani sumpah deh. Orang aku balik tadi aja itu diantar sama Pak Bos. Ehm ...." Eriana mengerjapkan matanya. "Apa aku manggilnya Mas Satria ya? Hihihihi."
Intan merasa benar-benar sedih melihat wajah Eriana yang tak berhenti merona dari tadi. Hingga tanpa sadar ia berkata.
"Ini nih kata orang. Kalau belajar itu lihat dulu kapasitas otak. Kalau otaknya nggak kuat, ya jadi error deh orangnya."
Eriana mencibir. "Kamu i---"
Me e e,ooh ooh ooh ooh.
I'm the only one of me.
Baby, that's the fun of me.
Eeh eeh eeh, ooh ooh ooh.
You're the only one of you
Baby, that's the fun of you.
And I promise that nobody's gonna love you like me ... e ... e.
Ucapan Eriana terhenti di udara karena dering dari ponselnya. Membuat gadis itu segera beranjak dan meraih ponselnya di atas meja rias. Dan ketika melihat siapa yang menghubunginya, sontak saja Eriana melotot.
"Lihat nih lihat," kata Eriana menunjukkan layar ponselnya pada Intan. "Lihat siapa yang nelepon aku di jam setengah dua belas malam?"
Intan membaca nama kontak di sana.
Pak Bos ... an.
"Pak Bosan?" tanya Intan.
Eriana mengerjap-ngerjapkan matanya. "Ini nomor Pak Bos. Satria ArdimanDjokoaminoto."
"Terus?"
"Dia ngubungi aku semalam ini coba."
"Biasa aja keles bos ngubungi sekretarisnya."
Eriana menyipitkan mata dan tak membalas perkataan Intan. Alih-alih ia segera mengangkat panggilan itu sebelum diputus.
"Halo."
"Eri."
Aaah!
Senyum Eriana langsung terkembang. Mendengar suara berat dan serak milik Satria menyebut namanya membuat perasaan Eriana melayang.
Aku nggak pernah ngira kalau nama aku bakal terdengar begitu indah kalau dia yang manggil.
"Ya?" tanya Eriana, tanpa sadar melirihkan suara dengan kesan mendayu-dayu. Sampai-sampai membuat Intan melotot ngeri.
Ini anak bukan demam lagi mah. Tapi, sakit otak.
"Besok pagi saya jemput kamu."
Eriana mengerjapkan mata. "Jemput?"
"Ya. Besok pagi kamu ikut sarapan bareng keluarga saya."
Kali ini, bukan hanya Eriana yang melotot tak percaya. Melainkan Intan juga. Sama-sama kaget dengan perkataan Satria.
"Jangan sampai terlambat. Saya jemput jam setengah enam pagi."
"Eh?" Eriana meneguk ludah. "Setengah enam pagi? Itu mau sarapan atau bangunin orang sahur?"
"Jangan terlambat."
Lalu, panggilan berakhir. Dan selagi ia terbengong-bengong dengan panggilan singkat itu, Eriana mendapati jari telunjuk Intan mendorong dahinya.
"Mana ada orang sahur jam setengah enam heh?"
Tangan Eriana melambai-lambai di depan wajahnya. "Bukan itu yang jadi masalahnya. Ya kali aku dijemput jam setengah enam."
Kemudian, Intan yang justru geleng-geleng kepala. "Bukan itu yang jadi masalah. Tapi, kenapa dia ngajak kamu sarapan bareng keluarga dia?"
Pertanyaan Intan mengembalikan ingatan Eriana tentang percakapan beberapa saat yang lalu. Ketika ada seorang teman yang meragukan berita yang ia katakan.
Maka layaknya seorang Lady Inggris di abad pertengahan, Eriana mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Menegapkan punggung. Memulas satu senyum mencemooh.
"Sepertinya ada yang sudah percaya ya kalau aku dan dia punya hubungan spesial?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top