7. Dugaan Yang Berbeda
"Ma, ini sepertinya sedikit keterlaluan. Bagaimana bisa Mama memutuskan hal seperti itu hanya dalam hitungan menit?"
Mega tidak heran bila keputusan dirinya itu mendapat penolakan dari Satria. Tapi, wajah lembut wanita paruh baya itu menunjukkan tekad kerasnya yang tak terbantahkan.
"Harusnya kamu memikirkan hal tersebut sebelum memutuskan untuk melakukan tindakan seperti itu di depan umum, Sat."
Tangan Satria mengepal erat hingga buku-buku jarinya terlihat memutih. Wajahnya mengeras sementara otaknya berpikir dengan tak kalah kerasnya.
"Lagipula, Ma," kata Satria pada akhirnya. "Pernikahan itu adalah kesepakatan dua belah pihak. Kalaupun Mama menyuruh aku untuk bertanggungjawab ..."
Sial!
Aku sebenarnya bertanggungjawab untuk apa?
"... tetap saja pernikahan ini melibatkan Eri. Bagaimana bisa ia menerima pernikahan mendadak seperti ini." Satria berpaling. Mengeluarkan tatapan tajamnya pada Eriana. "Benar kan?"
Mendapat tatapan setajam itu, sontak saja Eriana menjadi panas dingin. Bahkan orang buta sekalipun bisa merasakan keseriusan di sorot mata gelap itu. Hingga membuat Eriana tidak ingin mengambil risiko.
Dia nggak perlu mengeluarkan tatapan mengancam kayak gitu kali.
Aku tau dia ngasih peringatan ke aku.
Eriana mencoba menenangkan dirinya.
Pak Bos pasti takut aku menolak lamaran ibunya kan ya?
Takut aku nggak mau menikah dengannya kan ya?
Mega berpaling pada Eriana. Mempertimbangkan sejenak pendapat Satria hingga ia bertanya pada gadis itu.
"Apa kamu keberatan dengan pernikahan ini, Eriana?"
Eriana seketika tergugu. "I-ini memang sangat mendadak, Bu."
Secercah harapan merekah di wajah Satria, namun Mega mencoba untuk menunggu hingga Eriana benar-benar menuntaskan perkataannya.
"Sejujurnya ... saya juga nggak pernah menduga kalau Pak Satria akan dijodohkan dengan wanita lain." Eriana menarik napas dalam-dalam. "Tapi, saya lebih nggak menduga lagi kalau ternyata Pak Satria menolak perjodohan itu lantaran telah menyimpan rasa pada saya selama ini ...."
What?!
Satria melotot.
"Kalau sudah begini, saya bisa apa selain menyambut niat baik ibu?"
Mega mengembuskan napas panjang. Merasa lega. Sementara Satria justru merasakan hal yang sebaliknya. Pria itu seperti kelonjotan tersedak biji kedondong. Tak bisa bicara, tak bisa bernapas.
Ta-tadi dia ngomong apa?
Aku ... aku nyimpan rasa ke dia selama ini?
Mata Satria liar mencari, namun tak menemukan minum lain. Kecuali, teh Eriana tadi. Tanpa basa-basi ia meraih minuman itu dan meneguk habis isinya.
"Eri .... Kamu---"
"Kalau begitu semua permasalahan ini selesai," potong Mega kemudian. "Kamu bisa tenang sekarang, Satria. Nggak akan ada desakan untuk segera bertunangan dengan Ratna. Selain itu, kamu justru bisa secepat mungkin menikahi Eriana. Hal yang bagus bukan?"
Satria tak mampu bicara. Lebih dari itu, melihat senyum malu-malu Eriana justru membuat perutnya seperti sedang diobok-obok. Kepalanya terasa pusing.
Mega kemudian melihat jam tangannya. "Sudah hampir jam sepuluh malam," katanya. "Kamu segera antar pulang Eriana ke rumahnya."
Mata Satria membesar.
"Calon menantu keluarga kita tidak boleh sampai tertangkap basah pulang larut malam."
"Ma---"
"Dan Eriana." Mega berpaling lagi pada gadis itu. "Apa kamu pernah mengikuti kelas etiket? Tata krama? Seni budaya?"
"Ya?" Eriana mengerjap-ngerjapkan matanya.
Satu respon spontan itu langsung dipahami oleh Mega. "Nggak apa-apa. Besok kita bicara lagi. Sekarang lebih baik kamu pulang bersama Satria."
Sempat merasa bingung, tapi Eriana mengangguk. Ia berdiri dan meraih clutch-nya. Tapi, sebelum ia akan beranjak, ia melihat bagaimana Satria yang tampak berdiri yang menghampiri ibunya. Mencium tangan wanita itu dan memeluknya. Serta memberikan ciuman tipis di kedua pipinya. Setelahnya berkata.
"Sampai ketemu di rumah, Ma."
Mega mengangguk. "Hati-hati di jalan."
Pada Dewi, Satria pun berpamitan walau hanya bersalaman saja. Dan melihat itu Eriana jadi bimbang. Terutama ketika dilihatnya Mega melayangkan tatapan menunggu pada dirinya.
Eriana melihat pada Satria. Dan cowok itu terlihat memberikan isyarat melalui lirikan mata tajamnya. Membuat gadis itu refleks meneguk ludah. Dengan tubuh bergetar dan takut-takut, Eriana pun beranjak. Menghampiri Mega dan melakukan hal yang persis sama dengan yang Satria lakukan tadi.
"Hati-hati di jalan."
Eriana mengangguk. Ketika ia berpindah menghampiri Dewi, wanita yang terlihat seperti baru berusia empat puluhan itu melayangkan tatapan geli.
"Sampai ketemu besok."
Eriana mengerutkan dahinya. Ingin bertanya, namun Satria keburu berkata.
"Ayo. Aku antar kamu pulang."
Gadis itu mengangguk dan segera mengikuti langkah kaki Satria yang keluar dari ruangan itu. Menyisakan Mega dan Dewi berdua saja.
Selang beberapa detik kemudian, Mega tampak mengeluarkan ponselnya. Mencari nomor seseorang dan menghubunginya.
"Selamat malam, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?"
Mega menarik napas sejenak. "Pak Herman, aku minta Bapak untuk menyiapkan kelas etiket, tata krama, dan seni budaya. Aku harap siang besok semuanya sudah siap."
"Hanya tiga kelas, Nyonya? Pengetahun umum? Memasak? Keterampilan?"
Mega menimbang sejenak. "Dia lulusan S2 di Inggris. Aku rasa dia nggak ada masalah dengan pengetahuan umum. Dan untuk kelas lainnya, akan aku pikirkan nanti. Yang penting kelas yang paling mendesak terlebih dahulu." Wanita itu setengah merenung di benaknya. Setidaknya ia harus memperlihatkan keanggunan yang pantas di depan keluarga besar. "Bagaimana?"
"Baik, Nyonya. Akan segera saya laksanakan."
Panggilan kemudian berakhir dengan diiringi oleh napas panjang Mega. Membuat Dewi beranjak mendekatinya.
"Mbakyu, nggak usah terlalu dipikirkan. Namanya juga anak muda. Untuk di Indonesia, berita Satria terpergok dengan wanita singel itu jauh lebih terhormat ketimbang berita dia yang dituduh berduaan dengan om-om bersuami tiga."
"Dewi." Mata Mega melotot besar.
"Ups!" Dewi menutup mulutnya rapat-rapat. Tapi, hanya sebentar. Karena di menit selanjutnya ia kembali berkata. "Lagipula kelihatannya Eriana itu gadis yang yah ... lumayan."
Mega mengangguk. "Aku nggak pernah meragukan pilihan Satria. Walau anak itu terkesan dingin dan tanpa emosi, tapi ia adalah pria yang penuh pertimbangan. Ia tentu saja memilih gadis ini setelah melihat kualitasnya." Pelan-pelan senyum terkembang di wajahnya, terlihat lebih santai. "Dia sekretaris. Bukankah itu menandakan bahwa dia adalah wanita yang bisa diandalkan dari segi otak, kepribadian, dan penampilan?"
Dewi angguk-angguk kepala.
"Dan lihat tadi bagaimana dia dengan terang-terangan menolak Satria yang ingin mengajak check in? Sudah cukup menandakan kalau dia gadis yang bisa menjaga dirinya. Dia pasti bisa menjaga nama baik keluarga dan semua tanggungjawab yang menyertainya."
Dewi kembali angguk-angguk kepala. "Aku juga nggak nyangka sebenarnya, Mbakyu. Pertama kali ini aku ngeliat Satria senafsu---"
Mega melotot.
"Er--- maksudnya seantusias," ralat Dewi cepat. "Seantusias itu dengan seorang wanita. Kalau tadi kita datang terlambat semenit aja. Wah! Mungkin kita bakal melihat pertunjukan gratis." Dewi terkekeh pelan teringat gundukan payudara Eriana yang terlihat seperti siap akan keluar dari gaunnya. "Hehehehe."
Namun, berbeda dengan Dewi yang menganggap lucu hal tersebut, Mega justru memikirkan hal lain di benaknya. Membuat dahinya yang mulai keriput dimakan usia justru berkerut.
Sebaiknya secepat apa pernikahan mereka harus segera dilaksanakan? Satria kelihatannya benar-benar jatuh cinta pada gadis ini. Dan tentu saja. Melihat ia dekat dengan wanita, aku pun jadi berharap.
Apa aku bisa menimang cucu dalam waktu dekat?
*
"Hatciiih!!!"
Satria kembali bersin-bersin. Meremas hidungnya dengan geram hingga bewarna kemerahan. Dan ketika ia ingin fokus lagi dalam menyetir mobilnya, eh ia bersin lagi. Menyebalkan bagi pria itu. Tapi, entah mengapa semenjak mobilnya meninggalkan pelataran hotel, ia jadi bersin-bersin.
"Hatciiih!!!"
"Astaga!"
Di sebelahnya, Eriana nyaris terlonjak mendengar suara bersin Satria. Hingga ia mendekap dada kirinya dan menoleh pada Satria dengan wajah horor. Di benaknya ia berkata.
Gila ya?
Tampang cakep, tapi suara bersinnya udah kayak bapak-bapak anak lima.
"Bapak bu---"
"Diam," sentak Satria dengan nada tajam. Menggertakkan rahangnya, Satria mencengkeram kemudi dengan begitu kuat. "Kalau saya nggak nyuruh kamu ngomong, maka kamu jangan bersuara."
Eriana menutup kembali mulutnya.
Padahal kan ya aku niatnya mau nawarin dia tisu gitu.
Gadis itu menghela napas panjang.
Tadi aja mau ngajak aku check in, sekarang malah ganas kayak gini.
Mata Eriana membesar.
Omo omo omo.
Kalau di sini aja Pak Bos ganas, gimana kalau udah di kamar?
Glek.
Wah!
Eriana mendehem berulang kali. Berusaha menyingkirkan pikiran itu dari benaknya. Ia mencoba untuk mengalihkan pikirannya dengan melihat ke jalanan. Tak memedulikan Satria yang tengah mengemudi dengan penuh emosi.
Lalu, mata Eriana membesar. Melihat pada gedung apartemen kelas menengah ke bawah yang dilewati oleh mobil Satria. Membuat gadis itu toleh kanan toleh kiri, antara Satria dan gedung apartemen yang telah berlalu. Ia mengembuskan napas panjang.
Sekitar setengah jam berlalu, terdengar suara Satria.
"Di mana tempat tinggal kamu?"
Eriana menoleh dan menyebutkan alamatnya dengan suara lirih. "Tadi kita sudah melewatinya, Pak."
"Hah?!" Satria terkesiap. Tanpa sadar ia refleks menginjak rem hingga mobil itu berhenti mendadak.
"Ciiit!!!"
"Auuu!"
Tubuh Eriana terbanting ke depan. Nyaris membentur dashboard mobil, namun tak urung juga membuat gadis itu kaget.
"Aduh, Bapak. Ngerem kok mendadak sih?" keluh Eriana seraya memperbaiki duduknya. "Kalau bawa mobil ya coba pelan-pelan sedikit, Pak."
Satria tidak memedulikan itu, melainkan lanjut bertanya. "Tadi kamu ngomong apa? Kita udah melewati tempat tinggal kamu?"
Menoleh, Eriana mengangguk. "Udah lewat sekitar tiga puluh menit yang lalu, Pak."
Mata Satria melotot. Satu urat menampakkan diri di dahinya. Sebulir keringat sebesar biji jagung melintas di rahangnya.
"Kalau kita sudah melewati tempat tinggal kamu, kenapa kamu nggak ngomong dari tadi?!" tanya Satria histeris. Seketika pria itu merasakan bahwa emosi yang sudah dengan susah payah ia redam dari tadi, mendadak bergejolak lagi. Ia sungguh siap meledak kapan saja. "Kamu mau nyuruh saya bawa ini mobil sampe ke mana? Pelabuhan Merak?"
Bibir Eriana mengerucut. Mendapati dirinya yang lagi-lagi dimarahi oleh Satria juga turut membuat ia kesal.
"Kan saya cuma menuruti omongan Bapak," balas Eriana tak kalah histerisnya. Ia mendengkus kesal. "Tadi kan Bapak ngomong kalau saya nggak boleh bicara kalau nggak Bapak suruh."
Satria melongo melihat ekspresi kesal Eriana terhadapnya. Terlebih lagi ketika gadis itu justru semakin menyulut dirinya dengan satu pertanyaan.
"Gimana siiih?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top