58. Sekantor Tapi Menikah

"Permisi, Pak. Seluruh kepala direksi sudah siap di ruang rapat."

Satria memberikan satu anggukan kepalanya. Bangkit dan tampak akan meraih jasnya yang tergantung. Tapi, baru selangkah ia beranjak, ia mendapati bagaimana jas itu justru sudah berpindah tempat.

"Mari saya bantu, Pak."

Mendehem sekali, Satria sedikit mengangkat kedua tangannya. Membiarkan satu persatu lengannya memasuki lengan jas tersebut.

Dua usapan terasa membelai dada Satria dalam upaya merapikan pakaian pria itu. Pun dengan letak dasinya.

"Ah, Bapak sudah rapi."

Satria menunduk. Menyipitkan mata dan mengerutkan dahi. "Ini baru hari ketujuh, Ri. Jangan mancing-mancing."

"Maaf, Pak. Saya nggak tau kalau Bapak beneran menghitung siklus saya."

Wajah cantik itu terangkat dengan lirikan menggoda. Pun ditambah oleh senyuman nakal di bibirnya.

"Eri ...."

Eriana mengerjapkan mata. "Iya, Pak?"

"Rapat."

"Oh." Eriana terkekeh sekilas. "Mari, Pak. Silakan."

Geleng-geleng kepala, Satria tetap saja tidak mampu menahan rasa geli saat ia melangkahkan kakinya. Dan sementara Eriana mengikuti dirinya di belakang, tanpa sadar Satria bergumam lirih.

"Karena ini kenapa cinta di kantor itu nggak pernah bagus. Apalagi cinta pengantin baru di kantor."

Tapi, selama tujuh hari berpuasa –tentu saja bukan puasa makan minum- Satria telah menghabiskan waktunya untuk memikirkan hal tersebut. Ia memutar otak mencari cara agar bisa dengan segera mengeluarkan Eriana dari kantor.

Satria tau. Betapa pun menyenangkannya bersama-sama dengan wanita itu sepanjang waktu, tapi tetap saja. Satria perlu untuk mempublikasikan pernikahan mereka. Dan pernikahan dengan sekretaris sendiri sedikit banyak akan menimbulkan desas-desus yang tak sedap. Tapi, membuka lowongan pekerjaan lagi padahal posisi baru terisi untuk beberapa bulan? Itu juga bukan solusi yang bijak.

Ck. Pilihan yang sulit.

Yah ... setidaknya Satria berjanji pada dirinya sendiri untuk benar-benar mencari jalan keluar dari permasalahannya. Ada orang tua dan mertuanya yang perlu untuk ditenangkan. Tapi, selagi mendapatkan solusinya, Satria dan Eriana sama-sama tidak keberatan untuk menikmati waktu mereka bersama di kantor. Lagipula sepertinya memang mereka yang saat ini tidak ingin berjauhan. Bahkan kalau dipikir-pikir sedikit aneh mengingat Satria tidak menyuruh Eriana untuk memindahkan meja sekretarisnya ke ruang kerjanya.

"Jadi ...."

Satria mendehem sejenak. Mengedarkan pandangannya ke seluruh peserta rapat yang hadir dengan keseriusan yang selalu berhasil membuat orang waspada terhadapnya.

"Minggu depan saya dan Eriana tidak akan ada di tempat. Mungkin sekitar tiga minggu."

Wajah pria itu tampak begitu serius ketika berkata. Bahkan untuk efek dramatis, ia terlihat mengembuskan napas panjang. Seolah sedang membayangkan banyaknya agenda bisnis yang harus ia kerjakan.

"Banyak hal yang harus kami lakukan. Dan untuk itu nanti urusan kantor akan dipegang oleh Yuda."

Satria melihat pada seorang pria yang mengenakan jas bewarna abu di satu kursi. Asisten pribadi Sigit yang memang pernah membantu ayahnya dalam mengelola Aksa Bhumi sebelum berpindah tangan pada Satria.

Sementara itu, di tempatnya duduk, Eriana berusaha untuk menahan senyumnya. Kata-kata Satria tadi mengiang di benaknya.

"Banyak hal yang harus kami lakukan."

Ehm ....

Apa dia udah buat daftar?

Ah, Satria gitu mah!

Ngebuat aku jadi mikir yang iya-iya.

Membayangkan beberapa hal di benaknya, sontak saja membuat Eriana menjadi berdebar-debar. Dan tak luput juga untuk sedikit memberikan gerutuannya.

Ah!

Seandainya aku nggak dapat sekarang.

Pasti aku dan dia saat ini udah ada di---

"Eri."

Suara Satria membuyarkan lamunannya. Membuat langkah kakinya terhenti seketika. Tepat di depan pintu ruangan Satria.

"Ya, Pak?"

Satria membalikkan tubuhnya. Menunduk dan tersenyum dengan penuh arti.

"Kamu nggak kepikiran buat masuk ke ruangan saya kan?" tanyanya. "Meja kita berada di tempat yang berbeda loh."

Mata Eriana membesar.

"Oh ... ah ... itu ...."

Seperti dirinya yang mendadak idiot, Eriana baru menyadari maksud perkataan Satria beberapa detik kemudian. Hingga membuat ia merasa salah tingkah.

"Ah ... iya, Pak. Meja kita di tempat yang berbeda."

"Itulah yang saya bilang tadi," kata Satria seraya angguk-angguk kepala. "Jadi ..." Tangan Satria terangkat dan menunjuk ke balik punggung Eriana. "... silakan kamu duduk di meja kamu."

Eriana tersenyum dan angguk-angguk kepala. "Oh iya, Pak. Istirahat siang ini ... Bapak mau makan apa? Mungkin bisa saya pesankan."

"Ehm." Satria memberikan satu sentakan di pergelangan tangannya. Melihat jam di sana. "Saya pikir saya akan makan di luar. Dan sekalian kamu ikut. Mungkin kita bisa membicarakan soal perjalanan kita nanti."

Senyum malu-malu terbit di bibir Eriana. "Tentu saja, Pak. Kalau begitu ... kita pergi sekarang?"

Satria benar-benar ingin melenyapkan senyum malu-malu itu dengan bibirnya. Tapi, mencium Eriana di kantor sepertinya bukan hal aman yang bisa ia lakukan. Maka ia mendehem.

"Boleh."

Beberapa menit kemudian, keduanya sudah berada di dalam mobil. Membiarkan Yanto mengemudi dengan tenang sementara sekat kembali membatasi mereka. Dan yah ... tak perlu dijelaskan lagi apa yang terjadi di baliknya.

"Sat ...."

"Ehm?"

"Ngomong-ngomong soal jatuh cinta," kata Eriana menarik diri dari ciuman pria itu. "Kamu beneran nggak mau ngasih tau kapan kamu jatuh cinta ke aku?"

Satria yang masih terengah-engah karena ciuman mereka, spontan terkekeh. Memilih untuk beringsut sedikit menjauhi Eriana ketimbang menjawab pertanyaan itu. Hal yang menimbulkan decakan kesal Eriana.

"Ck. Dasar cowok."

Eriana menggerutu seraya melemparkan tatapan matanya ke jendela. Mengamati jalanan. Tanpa menyadari bagaimana saat itu Satria justru tengah menatap dirinya dengan sorot yang begitu beda. Karena jelas, di benaknya Satria teringat sesuatu.

Astaga, ini kenapa jantung aku kayak gini?

Apa karena parfum dia?

"Mundur sedikit, Eri. Parfum kamu terlalu menyengat."

Atau tentang lain kesempatan. Contohnya ketika di rapat kala itu. Di saat Satria harus memerhatikan presentasi kepala direksinya, matanya justru tertuju pada Eriana. Oleh karena itu setelah rapat usai, ia berkata.

"Eri, warna merah pakaian kamu benar-benar menyala. Mata saya rasanya silau melihat kamu."

Lalu ketika mereka berdiskusi, Satria sulit sekali untuk fokus dengan apa yang dikatakan oleh Eriana. Maka ia pun mengeluh.

"Eri, lipstik kamu terlalu norak. Terkesan murahan."

Sementara di lain waktu, ketika Eriana meletakkan secangkir kopi di meja kerjanya, maka tatapan Satria melihat pada jari-jari tangan itu. Tampak cantik, panjang, dan lentik. Tapi, itu membuat Satria gelisah.

"Eri, apa kamu bisa mengetik dengan kuku jari sepanjang itu? Segera potong."

Dan hal yang paling penting adalah ketika Satria sedang bercakap-cakap dengan rekan bisnisnya dalam pertemuan nasional, telinganya mendengar sesuatu. Terasa amat tidak asing di indra pendengarannya. Suara yang terkesan seperti ketukan suatu benda, namun seperti memiliki melodinya sendiri. Lalu, Eriana menghampiri dirinya.

"Eri, ganti model hak sepatu kamu. Haknya membuat suara menggema di sepanjang jalan."

Hingga beberapa saat kemudian, Eriana yang pada akhirnya menyadari bahwa ada sepasang mata Satria yang memandangi dirinya dari tadi, menoleh. Matanya menyipit hingga membuyarkan lamunan sang suami.

"Kamu mikirin apa?"

Satria tersenyum lebar. Tapi, matanya tampak berbinar-binar. Walau pada akhirnya ia justru menggeleng.

"Nggak mikir apa-apa."

"Ehm ...." Eriana mendehem dengan penuh irama. "Kamu pasti mikir bulan madu kita kan?"

Alis mata Satria naik satu. "Bukannya kamu yang mikir itu?"

"Hahahahaha."

Eriana tertawa. Lantas tanpa dikomando, mereka berdua saling mendekati satu sama lain. Tampak sama-sama merengkuh.

"Mungkin karena ini ya kenapa beberapa kantor nggak nyuruh karyawannya nikah sesama karyawan?"

"Hahahahaha. Apalagi kalau bosnya sendiri yang menikahi sekretarisnya."

"Tapi, mau gimana lagi?" tanya Eriana menggoda. "Kalau takdirnya gitu, ya kita pasrah aja."

"Takdir?"

Eriana mengangguk. "Kita pasti udah ditakdirkan bersama dengan cara yang seperti ini. Ketemu di tempat kerja dan akhirnya berjodoh."

Satria hanya geleng-geleng kepala. Untuk pemikiran Eriana yang beda dari yang lain, pria itu hanya bisa memaklumi. Karena memang begitulah sifat wanita yang menjadi istrinya itu. Lagipula yang dikatakan oleh Eriana memang benar adanya.

"Kita sekantor, tapi kita juga menikah."

Satria menundukkan tatapannya. Melihat pada sepasang bola mata Eriana. Lalu memberikan satu anggukan kepalanya.

"Dan nggak di rumah, di tempat kerja pun kita sama-sama."

Lantas bagi mereka berdua, sepertinya tidak ada kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan seperti yang mereka rasakan saat itu. Karena bagaimanapun juga, mereka sedang dimabuk cinta. Hal yang sebenarnya justru membuat mereka kerap kali harus waspada. Berusaha untuk menjaga sikap di hadapan karyawan lainnya. Karena nyatanya hubungan yang masih dirahasiakan itu justru menjelma menjadi tantangan sendiri untuk keduanya.

Argh!

Benar-benar.

Itu terasa mendebarkan.

Tapi, juga ... menyenangkan.

*Tamat*

Cuuus! Jangan lupa baca Season 2 nya ya :* Judulnya: [Masih] Sekantor Tapi Menikah 🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top