55. Di Luar Kuasa
Yanto menjemput Eriana dan Satria mungkin sekitar jam setengah tujuh malam. Dengan penampilan yang cenderung tidak rapi, kedua majikannya itu masuk ke mobil dengan wajah yang tampak berusaha santai. Berdoa di dalam hati bahwa sopir paruh baya itu tidak curiga dengan mereka berdua. Walau sebenarnya adalah hal yang wajar untuk mereka berdua melakukan hal tersebut, tapi tetap saja. Mereka merasa sedikit malu. Mereka berdua persis sepasang kelinci yang dimabuk cinta saat musim kawin.
Sampai di rumah, keduanya mendapati bahwa sajian makan malam telah tersedia. Melalui tatapan mata yang singkat, Eriana dan Satria memutuskan untuk langsung makan malam. Alih-alih mandi terlebih dahulu.
Membiarkan Lina untuk membawa tas mereka berdua, sepasang suami istri itu pun lantas duduk di meja makan. Menikmati makan malam tersebut. Sambil sesekali melemparkan lirikan-lirikan tentunya. Ck. Atmosfer yang menggebu-gebu di antara mereka benar-benar terlalu kuat untuk mampu dipadamkan dalam waktu dekat.
Sekitar dua puluh menit kemudian, Eriana dan Satria menyelesaikan makan malamnya. Bersamaan beranjak menuju ke kamar. Mendapati bahwa hanya ada mereka berdua saja di dalam sana, Eriana menarik napas dalam-dalam.
"Aku ... mau mandi," kata Eriana. "Kamu?"
Satria melepaskan jas kusut yang melekat di tubuhnya itu. Melemparnya ke atas tempat tidur.
"Mandi?"
Satria menyesap satu kata itu. Bayangan erotis pun dengan serta merta muncul di benaknya. Itu ... kegiatan yang pasti akan menjelma menjadi aktivitas yang menyenangkan untuk pengantin baru seperti mereka.
Melangkah, Satria mendekati Eriana seraya melepaskan dua buah kancing di pergelangan kemeja yang ia kenakan. Dan Eriana langsung menyambutnya. Membawa kedua tangannya ke dada Satria. Bergerak menarik dasi yang melingkari leher pria itu agar terlepas. Lalu beralih pada satu kancing teratasnya. Ia mengangkat wajah ketika mengeluarkan kancing itu, menjawab.
"Iya, mandi."
Tangan Eriana kemudian berhenti bergerak di anak kancing yang kedua. Alih-alih lanjut pada anak kancing selanjutnya, Eriana justru menarik kemeja itu. Hingga mau tak mau Satria menunduk. Menyambut tawaran yang diberikan oleh bibir Eriana.
Oh, astaga.
Jelas mereka berdua memiliki pemikiran yang sama untuk kata mandi.
Eriana kembali menggerakkan jari tangannya. Dengan terburu-buru mengeluarkan sisa anak kancing di sana. Tapi, tetap tidak melepaskan ciuman mereka.
Dan sementara itu, Satria pun tidak tinggal diam. Membalas ciuman Eriana dengan sama bergairahnya. Membuka mulutnya dan membiarkan Eriana menyulut dirinya dengan lumatan yang ia rasakan di lidahnya.
Ah ....
Eriana benar-benar tak pernah gagal mengejutkan dirinya.
Bahkan dari hari pertama pertemuan mereka dulu.
Satria lantas merengkuh pinggang itu. Menarik dan mendaratkan tubuh Eriana di dadanya. Semakin menikmati ciuman mereka saat satu tangannya berpindah ke payudara Eriana. Mulai meremas bagian itu dan semakin memercik gairah istrinya. Akibatnya, bahkan tanpa sadar, satu kaki Eriana lantas bergerak naik. Berusaha untuk balas merengkuh Satria. Dan tentu saja, seraya menggoda di bawah sana.
"Eri ...."
Dengan susah payah, Satria kemudian menahan Eriana. Termasuk mengurai ciuman panas di antara mereka.
Eriana membuka matanya. Berkabut melihat pada pria itu. Tampak Satria meneguk ludahnya.
"Kamu tunggu aku di kamar mandi," kata Satria dengan napas terengah. "Ntar aku nyusul."
Kerutan muncul di dahi Eriana. "Kamu mau ke mana, Sat?"
Suara itu terdengar sedikit aneh di telinga Satria. Terasa seperti setengah merengek. Terdengar tak terima.
Satria tersenyum. "Aku harus ngomong dulu ke Pak Masdar soal bulan madu kita. Lebih cepat lebih baik. Biar dia bisa nyiapkan semuanya."
Kelegaan terpancar di wajah Eriana. "Oh ...."
Pelan-pelan kemudian Eriana menurunkan kakinya dari tubuh Satria. Pun merapikan kemeja Satria sebisa dirinya. Lihatlah. Pakaian keduanya benar-benar tidak bisa dideskripikan dengan kata kusut lagi.
"Kalau gitu ...," lanjut Eriana. "... aku tunggu di kamar mandi."
Perlu pertahanan yang besar bagi seorang Satria untuk tidak menuruti desakan gairahnya. Rasa-rasanya ia ingin langsung membopong wanita itu ke bak mandi ketimbang harus keluar dan justru menemui Masdar. Tapi, ia tau bahwa itu hanya akan menjadi penantian yang sebentar. Bagaimanapun juga, mereka nantinya akan memiliki waktu yang tak terbatas.
Eriana melabuhkan satu kecupan terakhir di pipi Satria. Tepat sebelum ia beranjak. Meninggalkan Satria dan menghilang di balik pintu kamar mandi.
Satria mengembuskan napas panjang. Berusaha untuk menenangkan dirinya sejenak sebelum memutuskan untuk keluar dari sana. Memanggil Masdar untuk menemui dirinya di ruang kerjanya.
"Ada yang bisa saya lakukan, Tuan?"
Satria duduk dengan tenang di kursinya. Berpura-pura tengah melihat sesuatu di laptopnya yang membuka.
"Aku ingin Bapak menyiapkan perjalanan untuk aku dan Eri."
Masdar mengerjap sekali. "Berapa lama dan tujuan ke mana?"
"Ehm ...." Satria mendehem sejenak. Seolah sedang berpikir. "Ti-tiga minggu. Mungkin bisa keliling Eropa ... atau ke Korea juga boleh kalau Bapak bisa membuat jadwal konsultasi Eri dengan dokter Kim. Atau mungkin tempat lain. Ah!" Satria ingat sesuatu. "Yang pasti jangan ke Inggris. Aku yakin Eri sudah puas di sana selama setahun." Lalu dahinya berkerut. "Atau jangan-jangan dia sudah mengelilingi Eropa? Ah .... Itu masuk akal."
Sial!
Aku belum sempat nanya itu ke dia.
Selama setahun di Inggris, mustahil banget kalau dia nggak memanfaatkan waktu dia buat keliling semua negara di sana.
Itu paling cuma ngabisin waktu beberapa minggu.
Gampang banget buat keluar masuk antar negara di sana.
Satria tampak ingin bangkit. Mungkin ia harus menanyakan itu terlebih dahulu dengan Eriana. Tak mungkin ia ingin mengajak istrinya bulan madu ke tempat yang sudah ia datangi.
"Maaf, Tuan."
Suara Masdar membuyarkan pikiran rumit di benak Satria. Pria paruh baya itu tampak sopan tersenyum.
"Saya yakin ada beberapa pilihan lain, kecuali Eropa," katanya. "Jepang, Korea, atau China sedang menikmati musim dingin."
Satria yakin Eriana sudah pernah menyentuh salju. Tapi, itu ide yang lumayan menarik.
"Menikmati keindahan dua budaya juga pilihan yang bagus."
Ah!
Satria hampir melupakan itu.
"Sepertinya Turki bagus," katanya. "Tapi, apa tiga minggu tidak terlalu lama kalau dihabiskan untuk satu tempat saja?"
"Saya akan mengecek pilihan lainnya, Tuan."
Satria mengangguk. "Pagi besok aku tunggu, Pak. Kalau bisa besok siang kami sudah terbang. Katakan pada Felix untuk mengecek jadwal terbang dan landasan yang kosong."
"Baik, Tu---"
"Kreeekkk!"
Suara pintu yang terbuka dengan tiba-tiba memutus perkataan Masdar. Mendorong pria itu dan juga Satria menoleh ke ambang pintu. Pada seorang wanita yang langsung berseru dengan isakan.
"Sat!"
Satria sontak bangkit dengan panik. Belum lagi ia akan beranjak menghampiri, ia justru mendapati wanita yang tak lain adalah Eriana itu berlari ke arahnya. Menumpahkan air matanya.
"Eri ...."
Satria tertegun. Bingung. Dan juga panik.
"Nyonya, apa ada sesuatu?"
Suara Masdar menyadarkan Satria bahwa ada orang lain di ruangan itu. Apa pun yang terjadi pada Eriana, setidaknya Satria tidak ingin ada penonton yang menyaksikan istrinya menangis seperti itu.
"Nanti aku akan memanggil Bapak kalau kami perlu sesuatu."
Untuk perkataan itu, Masdar dengan sopan permisi keluar. Menutup pintu ruangan itu. Memberikan privasi bagi kedua majikannya.
Sepeninggal Masdar, Satria dengan serta merta membawa wanita itu untuk duduk di sofa yang tersedia di sana. Mengamati sekilas penampilan Eriana yang masih mengenakan pakaian tadi, Satria tau bahwa pasti ada sesuatu yang mendesak wanita itu.
"Kamu kenapa?" tanya Satria khawatir. "Apa ada sesuatu? Kamu sakit atau apa?"
Terisak, berusaha untuk menahan tangisnya, Eriana merasakan kedua tangan Satria menahan lengan atasnya. Ia menatap Satria dengan mata yang berlinang air mata.
"Sat .... Sat ...."
Lirihan Eriana justru membuat Satria makin panik. "Apa, Ri? Kamu kenapa?"
"Sat ...." Bahu Eriana berguncang karena desakan air mata itu. "Sepertinya bulan madu kita harus ditunda."
"Eh?" Satria melongo. "Aku baru aja nyuruh Pak Masdar buat nyiapin bulan madu kita ... dan kamu justru nyuruh kita nunda?" Matanya melotot. "Kamu ini ke---"
"Aku halangan!" jerit Eriana. "Aku baru aja dapat barusan ini. Pas mau mandi. Hwaaaaa!"
"Eh?"
Butuh waktu beberapa detik untuk Satria bisa memaknai perkataan Eriana. Bagaimanapun juga, ia tak akrab dengan istilah itu.
Halangan?
Dapat?
Perlu meyakinkan pemikirannya, Satria bertanya dengan terbata.
"Ha-ha-halangan? Da-dapat?"
Eriana mengangguk. Dengan wajah nelangsa. "Aku menstruasi. Hwaaaaa!"
Entah bagaimana Satria harus merespon penjelasan Eriana. Beragam emosi mendadak saja memenuhi benaknya. Bingung iya, kaget iya, kecewa iya, dan ... lucu iya.
"Hahahahaha."
Tanpa sadar Satria tertawa. Dengan lepas. Dan terbahak-bahak. Sama persis ketika ia tergelak dengan tukasan princess dulu.
"Sat?"
Berkat tawa itu, Eriana lantas justru menghentikan tangisnya. Melongo melihat pada Satria.
"Kamu ketawa?"
"Hahahahaha. Ya Tuhan, Ri. Aku pikir tadi kamu kenapa. Taunya kamu menstruasi," kata Satria susah payah di antara tawanya. "Kalaupun kamu menstruasi, bukan berarti bulan madu kita ditunda. Kamu ini ada-ada aja."
Eriana melotot. "Kalau aku halangan ... terus buat apa kita bulan madu? Percuma."
"Itu benar sih," kata Satria. "Tapi, kamu menstruasi juga paling berapa hari, Ri. Tiga atau empat hari. Kita bisa jalan-jalan aja selama beberapa hari itu."
Wajah Eriana tampak syok. "Beberapa hari?"
"Iya."
"Memangnya kamu pikir berapa lama jadwal aku menstruasi?" tanya Eriana kemudian dengan ekspresi yang mengeras.
Enteng, Satria justru balik bertanya. "Berapa lama?"
"Delapan sampai sepuluh hari!"
"Apa?!!!"
Kali ini Satria yang syok. Hingga ia tanpa sadar berseru di depan wajah istrinya itu. Juga refleks meremas kedua lengan atas Eriana.
"Sepuluh hari?!" tanyanya tak percaya. "Itu kamu menstruasi atau nifas?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top