54. Desakan Gairah
Ada dua pasang sepatu, dua helai kemeja, sehelai jas, sehelai rok, sehelai dasi, dan tiga potong pakaian dalam yang berserakan tak tentu arah di sekitaran lantai kamar hotel itu. Sementara di atas tempat tidur yang empuk, ada sepasang suami istri yang sama-sama memejamkan mata dengan dada yang naik turun. Berusaha bernapas dengan menggebu demi oksigen yang mereka butuhkan. Suaranya terdengar dengan begitu jelas ketika keduanya terengah-engah dalam posisi yang masih menyatu di sana.
"Sat ...."
Pada akhirnya Eriana yang terlebih dahulu membuka mata dan bersuara. Tampak dengan susah payah ia menggerakkan tangannya. Mendarat di atas punggung Satria dan merasakan keringat yang mulai mendingin di kulit suaminya itu.
"Ehm ...?"
Hanya deheman yang Satria berikan sebagai respon atas panggilan Eriana tadi. Seolah ia benar-benar tak bertenaga lagi saat itu.
"Kayaknya ... kalau gini, aku nggak sanggup ke kantor lagi, Sat," lirih Eriana kemudian. "Yuda ..., itu kamu suruh seharian di kantor kan?"
Berusaha bergerak, kepala Satria mengangguk di lekuk leher Eriana.
"Tenang aja. Dia bakal ngurus kantor hari ini."
Eriana mengembuskan napas lega. Samar terlihat seulas senyum mengembang di wajahnya.
"Tapi, Sat .... Kamu bisa turun?" tanya Eriana kemudian. "Aku mau pesan makan. Kamu mau?"
"Ah. Boleh. Tapi, sepertinya aku mau tidur bentar."
Satria beringsut. Menarik dirinya dari dalam tubuh Eriana, membuat wanita itu meringis sejenak karenanya. Dan Satria langsung merebahkan tubuh di sebelahnya. Menutup mata hingga tak lama kemudian dengkuran halus pria itu pun terdengar.
Menahan bed cover sejadinya di depan dada, Eriana beranjak meraih telepon di nakas. Dengan cepat melakukan pemesanan makanannya dan memilih untuk mandi selagi menunggu makanan mereka tiba.
Eriana kemaras. Menikmati pijatan air hangat yang mengucur dan membasahi tubuh polosnya. Merasakan kesegaran yang kembali membuat ia menjadi bertenaga.
Satu jubah mandi menutupi tubuh Eriana. Pun dengan handuk yang berada di atas kepalanya untuk membalut rambutnya yang basah. Ia melangkah keluar dari kamar mandi. Mendapati bagaimana Satria masih terlelap tidur.
Sementara menunggu, Eriana lantas merapikan pakaian mereka berdua. Setidaknya ia tak ingin pelayan hotel harus salah tingkah melihat situasi di kamar mereka.
Dan kemudian bel di kamarnya terdengar bersuara. Membuat Eriana langsung membuka pintu.
Eriana mendorong troli berisi beberapa makanan dan minuman. Langsung membawanya ke satu set kursi yang tersedia di sana. Menyalakan televisi dan meraih segelas minuman dingin. Menikmatinya melalui pipetnya.
"Apa yang kamu pesan?"
Eriana nyaris terlonjak dari duduknya ketika mendengar suara Satria yang tiba-tiba bertanya pada dirinya. Dan ketika ia berpaling, ia justru tersedak melihat bagaimana pria itu yang menghampirinya hanya dengan mengenakan celana dalamnya.
"Huuukkk!"
Satria duduk di satu kursi. "Minum minum," katanya.
Minum?
Dia nggak tau aku justru tersedak minuman gara-gara dia?
Aaah!
Kalau gini, gimana bisa aku fokus dengan makanan-makanan ini coba?
Sementara Eriana sibuk dengan pikirannya sendiri, Satria justru membuka satu persatu tutup makanan yang sudah Eriana sajikan di atas meja –alih-alih tetap di atas trolinya. Melihat beragam makanan yang dipesan oleh istrinya dan mengangguk-angguk. Merasa puas dengan pilihan Eriana. Bahkan wanita itu tak lupa memesan makanan penutup dan camilan.
Sebagai permulaan, Satria mengambil satu roti. Menikmatinya dalam satu gigitan besar. Lantas baru menyadari ada rona merah di pipi Eriana.
Didorong oleh rasa penasaran, Satria dalam diam mengikuti arah pandang Eriana. Ia ingin mengetahui apa yang membuat wanita itu mendadak diam setelah batuk-batuknya. Terlebih lagi diam dalam keadaan tersipu merah. Lalu ....
"Kamu ngeliatin ini aku dari tadi?"
Satria bertanya dengan intonasi tinggi bernada tak percaya. Tanpa aba-aba langsung membawa rotinya yang masih tersisa ke depan bagian bawah tubuhnya itu. Menutupi organ intimnya di sana.
"Ckckckck. Kamu ini ...."
Decakan tak percaya Satria mendapatkan cibiran dari wanita itu. Menyisihkan gelas minumannya, Eriana mengambil satu piring berisi spaghetti. Mulai menikmatinya dengan posisi menyandari punggung kursi. Tampak nyaman.
"Kamu sih. Cuma koloran doang. Mana itam lagi," gerutu Eriana seraya sok-sok melihat ke arah lain. Padahal sebaliknya. Ketika Satria mengangkat roti itu dan menggigitnya lagi, mata Eriana kembali lagi ke sana. "Ya aku kan wanita normal kali, Sat."
Dan berbicara soal kenormalan manusia, ketika Satria beralih pada segelas minuman dan menyesap isinya, ia pun merasakan hal yang sama. Yaitu kenormalan seorang pria ketika melihat Eriana yang begitu menikmati makanannya.
Sehelai mi menggantung di sudut bibirnya. Membuat Eriana mengerucutkan mulutnya, menarik mi tersebut dengan satu hirupan yang berirama. Tak hanya itu. Ujung lidah Eriana kemudian mengintip sedikit. Mengelap kuah yang tertinggal di bibirnya. Dan semuanya ditutup oleh desahan karena rasa nikmat itu.
Satria meneguk ludahnya. Kembali menyesap minumnya. Dan ketika ia ingin mengambil piringnya, ia justru melihat bagaimana paha Eriana sedikit bergerak di bawah sana. Membuat jubah mandi yang ia kenakan tersingkap. Memperlihatkan kulit mulus di dalam sana. Dan Satria tau, di balik jubah itu tak ada pakaian apa pun yang dikenakan oleh Eriana.
Ehm ....
Sepertinya Satria lebih dari kata normal.
Sebisa mungkin pria itu mengusir pikiran nakal yang begitu cepat mengusai akal sehatnya. Setidaknya bertahan untuk beberapa saat. Bagaimanapun juga, sedikit kewarasan di kepalanya masih bisa mengingat bahwa mereka berdua butuh istirahat.
Selesai menikmati makanan itu, Eriana beranjak merapikan piring-piring kosong kembali ke atas troli. Menyisihkannya ke seberang ruangan. Lantas duduk kembali menikmati tayangan televisi.
Beberapa saat lamanya, Eriana masih bisa menonton tayangan di televisi itu dengan fokus. Terutama karena ia pun sedang menunggu jeda agar perutnya terasa lebih nyaman untuk rencana selanjutnya, yaitu tidur.
Tubuhnya terasa letih. Dan itu bukan hal yang berlebihan mengingat bagaimana pagi tadi Eriana memang sudah mengeluh capai. Namun, percikan gairah antara ia dan Satria tak bisa ditahan. Alhasil, sekarang ia merasa tubuhnya semakin meronta menginginkan istirahat. Tapi ....
"Ngapain kamu ngeliatin aku kayak gitu?"
Eriana menyadari bahwa untuk beberapa saat Satria bukannya melihat pada televisi, melainkan pada dirinya. Semula Eriana mengabaikan, tapi lama kelamaan ia merasa tak nyaman juga dipandangi selama itu.
"Aku ...."
Kali ini Eriana yang mengerutkan dahi dan melihat ke mana arah mata Satria memandang. Dan ia menunduk. Menemukan objek tatapan Satria. Yaitu jubah mandinya yang menekuk membuka tepat di dada.
"Kamu ngeliatin tumpeng aku ya?!" tanya Eriana dengan melotot. Buru-buru menutup jubahnya dengan benar.
Wajah Satria memerah. "Dan tadi kamu berapa kali nyuri pandang ke sosis aku kan? Kamu pikir aku nggak tau heh?"
Eriana mencibir. Tak menjawab pertanyaan itu dan memilih untuk bangkit. Menuju ke satu meja dengan cermin yang tersedia di sana. Melepaskan handuk di atas kepalanya. Dan menyisir rambutnya yang kusut.
"Ngomong-ngomong," kata Eriana ketika melihat Satria melintas di belakang tubuhnya. "Kita mau balik jam berapa?"
Langkah kaki Satria berhenti. "Kenapa?"
"Ya nanya aja sih."
Eriana meletakkan sisir. Beranjak dari sana. Menuju ke tempat tidur pula. Tapi, di tengah jalan ia justru menghentikan langkah kakinya di dekat Satria.
"Aku cuma nggak tau gimana kita harus balik ke rumah sekarang ini. Maksud aku ... ya kayaknya waktu yang nggak tepat."
Satria menahan tangan Eriana. "Kamu nggak kepikiran buat beneran nginap di sini kan?"
"Ehm ...." Eriana mengangkat wajahnya. "Kenapa nggak?" tanyanya dengan sorot mata yang terlihat polos. "Lagian sekarang kita berdua udah di sini dan---"
"Kita balik ntar sore," potong Satria. "Ketimbang dengan nginap di sini ..."
Mata Eriana mengerjap ketika mendapati Satria yang pelan-pelan mengikis jarak di antara mereka. Tak hanya itu, tangan Satria bergerak perlahan. Meraih simpul jubah Eriana. Menariknya perlahan. Membuat wanita itu meneguk ludahnya dalam antisipasi.
"... aku kepikiran buat ngajak kamu pergi."
Eriana bisa merasakan bagaimana udara di sekitar dirinya berubah memanas. "Pergi?" Napasnya mulai terengah. "Ke ...?"
Tangan Satria menarik simpul jubah Eriana. Membuat tali itu jatuh lemas di kedua sisi tubuhnya. Lepas.
Mata Satria berkedip sekali. Lalu beralih menatap pada mata Eriana. Tampak sorot waspada di sana. Persis seperti buruan yang tau bahwa dirinya sedang diintai pemburu.
"Kita melewatkan bagian yang penting dari pernikahan ini."
Eriana menahan napasnya. Tanpa melihat ke bawah, ia bisa merasakan bagaimana tangan Satria pelan-pelan menyingkap jubahnya. Dan ketika tangan besar itu menyentuh kulit perutnya, Eriana meremang. Bayangan istirahat pun dengan segera lenyap dari benaknya.
"Aku pikir ...," lanjut Satria kemudian. "... kita bisa mengambil cuti. Dua minggu atau tiga minggu ...."
Ah ....
Eriana ingat betul satu hal penting di kontrak yang ia tandatangani dulu ketika diterima bekerja di perusahaan suaminya itu. Dilarang mengajukan cuti dalam enam bulan pertamanya bekerja di sana. Tapi, siapa yang bisa mengusik hal tersebut kalau bosnya sendiri yang meminta hal tersebut?
Tangan Satria lantas merengkuh pinggang Eriana. Menariknya hingga wanita itu bisa merasakan bagaimana Satria yang sudah menegang di bawah sana.
"Aku akan nyuruh Pak Masdar buat ngurus semuanya ntar malam. Gimana?"
Menggerakkan sedikit tangannya, hingga membuat jubah itu terjatuh dari tubuhnya, Eriana lantas balas merengkuh leher Satria.
"Aku setuju," jawab Eriana. "Tapi, selagi nunggu malam nanti ... kita punya beberapa jam di sini."
Hal yang sangat disadari oleh Satria. Maka dari itu ia mengeratkan rengkuhannya pada Eriana. Merasakan kedua payudara istrinya itu yang menempel erat pada dadanya. Lantas menundukkan Eriana dalam satu ciuman tanpa aba-aba.
Satria mengangkat tubuh Eriana. Membawanya untuk kembali menyapa kasur empuk yang sudah menanti mereka berdua.
Desahan pertama Eriana lolos. Itu adalah ketika Satria menikmati puting payudaranya dalam satu kuluman yang memabukkan. Memberikan sensasi hangat, basah, dan sensual. Hal yang tak akan pernah gagal untuk menerbitkan kelembaban feminin di kewanitaannya.
Tangan Satria meremas satu payudara Eriana yang bebas. Menikmati sensasi puting kecil yang menegang itu di jari tangannya. Lantas melabuhkan cumbuan bibirnya di sepanjang kulit selangka Eriana.
"Sat ...."
Desahan demi desahan Eriana semakin mengalun. Lebih dari itu, di bawah tubuh Satria yang menindihnya, Eriana bergerak dengan gelisah. Dorongan hasrat yang meminta lebih dari sekadar godaan.
Eriana menggerakkan pinggangnya. Menggesekkannya pada kejantanan Satria yang masih tertutupi oleh pakaian berpotongan segitiga itu. Memberikan godaannya. Hingga ketika ia merasa tak sabar lagi, tangan Eriana pun bergerak. Mendarat di bokong suaminya. Meremasnya. Lalu dengan tak terburu-buru justru meraih karet pinggang celana dalam itu.
"Sat, please ...."
Satria paham keinginan Eriana, karena ia pun merasakan hal yang sama. Maka dari itu ia buru-buru melepaskan celana dalamnya. Langsung mengambil posisi di antara kedua kaki Eriana yang langsung membuka untuknya.
Eriana menggapai Satria untuk kembali menindih dirinya. Meraih kedua pipinya. Berbisik di depan bibir pria itu sebelum melabuhkan ciumannya.
"Aku udah nggak tahan lagi, Sat."
Satria menikmati ciuman Eriana seraya tangannya bergerak ke bawah. Mengangkat satu lutut Eriana. Membawanya ke atas tubuhnya. Lalu ... ia masuk.
Untuk beberapa saat, ciuman mereka pun berhenti seketika. Mereka sama-sama diam mendadak. Seolah sedang menikmati sensasi itu.
Hingga kemudian, tanpa dikomando, baik Eriana maupun Satria sama-sama membuka mata. Menatap satu sama lain. Tapi, masih tanpa suara.
Satria membawa satu tangannya. Membelai sisi wajah Eriana. Mendorong wanita itu untuk memutar bola matanya sekilas, lantas memejamkannya kembali. Menikmati sentuhan itu. Ekspresinya menampilkan kesan yang tampak begitu meresapi detik demi detik yang berlalu di antara mereka.
Satria menghirup udara dalam-dalam. Lalu dengan penuh irama, ia memulai hunjaman selanjutnya. Masuk dengan pelan, namun justru terasa amat menghanyutkan.
Eriana meloloskan desahannya lagi. Pun dengan refleks, tubuhnya meliuk mengikuti pergerakan tubuh Satria di atasnya.
Kalau tadi mereka menikmati percintaan yang menggebu, maka kali ini sebaliknya. Mereka tampak pelan-pelan, berlama-lama, terasa ingin bermain-main. Namun, dalam gerakan yang perlahan itu, keduanya bisa saling menatap. Meresapi embusan napas masing-masing. Dan mengingat setiap rasa ketika kulit mereka saling bergesekan.
Bahkan kata-kata pun tak akan ada yang mampu menggambarkan perasaan itu dengan tepat. Tak ada. Hanya bisa dirasakan oleh mereka berdua.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top