53. Prioritas Pengantin Baru
"Ehm .... Ehm .... Ehm ...."
Satria sedikit beringsut ketika mendengar alunan deheman yang menyiratkan rasa puas itu. Menggelikan sebenarnya. Tapi, Eriana persis seperti anak kucing yang kekenyangan setelah meminum semangkok susu terbaik.
Dan tak hanya soal deheman itu, geliat Eriana pun semakin memperjelas semuanya. Tanpa sadar, wanita itu semakin menyurukkan wajahnya pada dada Satria. Pun di bawah sana, kakinya naik. Mendarat di atas kaki Satria. Memperlakukan pria itu layaknya guling yang tercipta hanya untuk dirinya.
Satria sendiri tak bisa berbuat apa-apa untuk hal tersebut –kalau memang ingin berbuat sesuatu. Bagaimanapun juga, setiap kali ia beringsut, Eriana yang sebenarnya sudah tertidur tak lama setelah percintaan mereka tadi itu justru seperti memiliki sensor untuk mengetahui pergerakan Satria. Ketika ia beringsut sedikit saja maka Eriana akan beringsut lebih banyak demi menahannya. Pada akhirnya Satria memilih pasrah saja dipeluk sedemikian erat oleh sang istri.
"Sat ...."
Suara lirihan itu membuat Satria tergugah dari lamunannya. Matanya mengerjap sekali dan menundukkan kepalanya. Mencoba untuk melihat pada Eriana di atas dadanya. Tapi, wanita itu bergeming.
"Sat ...."
Dahi Satria berkerut. "Apa?"
"Ehm .... Ehm .... Ehm ...."
Satria ingin tergelak ketika menyadari kemungkinan yang satu itu. Apalagi selain fakta bahwa Eriana sedang mengigau?
"Ya ..., Ri. Entah apa lagi yang kamu mimpiin sekarang sampe manggil-manggil nama aku lagi."
"Ehm ...."
Eriana benar-benar membuat Satria tak habis pikir. Tapi, kalau mencermati itu maka Satria menyadari bahwa terlalu banyak hal pada Eriana yang membuat ia selalu geleng-geleng kepala. Hingga satu pemikiran itu melintas di benaknya.
"Untuk kategori orang yang nggak mau bergantung sama suami," lirihnya. "Ternyata kamu bisa menggoda aku kayak gitu ya?"
"Ehm ...."
Eriana kembali melenguh dalam pelukan Satria. Spontan membuat pria itu mengelus punggungnya yang mulus.
"Gimana jadinya kalau kamu justru mau bergantung coba?"
*
Eriana menarik napas dalam-dalam. Membiarkan Lina untuk merapikan rambutnya dalam sanggulan yang anggun. Sentuhan terakhir sebelum gadis itu berkata.
"Nyonya hari ini kelihatan cerah sekali. Wajah Nyonya berseri-seri."
Perkataan yang langsung menimbulkan senyum malu-malu di wajah Eriana. Melemparkan lirikan melalui cermin itu, Eriana mengerjapkan matanya. Berusaha untuk tidak terlalu kentara bahwa dirinya sedang bahagia. Tapi, tetap saja. Rasa bahagia itu tak bisa untuk ditahan.
"Ehm ... biasa aja. Wajah aku kan selalu berkilau gini," kata Eriana seraya mengerucutkan bibirnya. "Mungkin karena efek busa mawar merah."
Lina tersenyum lagi. Lebih lebar.
"Sudah selesai, Nyonya."
"Terima kasih."
Setelah memastikan bahwa penampilannya pagi itu rapi, Eriana lantas turun ke bawah. Menuju meja makan. Di mana Satria sudah menunggu dirinya untuk sarapan pagi itu.
Eriana melihat menu yang tersaji di hadapannya. Salad sayur dan sebutir telur ceplok setengah matang.
"Kamu harus jaga kesehatan. Kamu baru sembuh, Ri."
Eriana meneguk ludahnya. Ia bukannya anti makan sayuran. Hanya saja telur ceplok setengah matang itu lumayan membuat ia bergidik. Tapi, ucapan Satria tadi ....
"Tenang aja. Aku tau kok."
Tak ada perdebatan. Membuat Satria mengerutkan dahi dan dengan heran melihat pada istrinya itu. Mendapati Eriana yang langsung menyantap sarapannya tanpa ada keluhan sama sekali. Walau jelas kernyitan di wajahnya sontak muncul saat ia menyeruput kuning telur yang cair itu.
"Kita pergi ntar bareng," kata Satria kemudian.
Eriana mengelap setitik noda kuning telur di bibir bawahnya. "Pergi bareng?" tanyanya bingung. "Apa nggak apa-apa? Kalau dilihat orang-orang kantor gimana?"
"Kita lewat pintu parkir khusus aja. Lagian aku juga udah bosan lewat lobi. Rame banget."
"Oh .... Oke. Kalau kamu udah ada pertimbangan, ya aku ikut aja."
Lagi-lagi Satria mengerutkan dahinya. Melayangkan tatapan heran pada Eriana yang tampak mengambil potongan sayur di mangkok saladnya. Menikmatinya berulang kali. Dan itu semakin membuat Satria berpikir.
Apa gara-gara malam tadi makanya dia jadi penurut gini?
Nggak ada complain atau apa gitu?
Nggak ada perdebatan?
Ehm ....
Kalau tau dia bakal jadi penurut gara-gara itu, udah dari dulu juga aku nikahi dia.
Sekilas terdengar bunyi kecil ketika Eriana menutup sendok dan garpunya di pinggir piring. Sarapannya telah habis tanpa sisa. Pun termasuk dengan telur ceplok yang di mata Eriana tampak sedikit menjijikkan itu. Benar-benar bersih.
Lantas Eriana mengangkat wajahnya. Sedikit membesarkan bola matanya ketika melihat ekspresi Satria yang kaget lantaran tepergok sedang memandangi wanita itu.
"Aku udah selesai."
Satria buru-buru menyesap kopinya untuk yang terakhir kali. "Oh ah .... Ayo."
Kalau di meja makan tadi Satria sudah cukup heran dengan perilaku Eriana, maka ketika mereka berdua berada di dalam mobil saat perjalanan menuju ke kantor pun hal yang serupa terjadi.
Di balik kemudi, Yanto mengemudi dengan tenang. Tak terusik sedikit pun. Bahkan ketika sekat di baliknya pelan-pelan naik. Memisahkan dirinya dengan dua anak manusia di belakang dirinya.
"Ri ...."
Eriana yang semula melayangkan tatapannya ke jendela, mengamati jalanan pagi, tampak menoleh. Mendapati Satria yang mendekatinya. Mata wanita itu mengerjap sekali.
"Ya?"
Beberapa detik Satria belum bersuara. Yang ia lakukan hanya mengamati wajah wanita itu lamat-lamat. Hingga pada akhirnya satu pertanyaan itu dia lontarkan pula.
"Kamu baik-baik aja?"
Mata Eriana membesar. "Eh?" kesiapnya spontan. "Aku? Ehm ... aku ya baik-baik aja. Kenapa?"
"Oh ...."
Mata Satria semakin fokus mengamati Eriana. Kembali berpikir.
Berarti emang pengaruh yang malam tadi ini.
Dia---
"Aku cuma ngerasa agak capek aja sih sebenarnya, Sat."
Suara Eriana memutus lamunan Satria. Membuat pria itu lagi-lagi mengerutkan dahinya.
"Capek?" tanyanya bodoh. Lalu sesuatu melintas di benaknya. "Oh ...."
Jadi bukan karena yang dia semacam takluk gitu sama aku?
Makanya jadi pendiam?
Taunya gara-gara capek.
Ck. Dasar!
Wajah Satria terlihat berubah seketika karena pemikiran tersebut. Tapi, setidaknya ia mencoba tenang. Menarik napas dalam-dalam.
"Tapi ...."
Suara Eriana kembali terdengar. Memancing lirikan mata Satria untuk kembali berpindah padanya.
"Tapi, yang malam tadi itu ... benar-benar ...."
Eriana tak meneruskan perkataannya. Melainkan menggigit bibir bawahnya dalam upaya menahan senyum malu-malu itu untuk mengembang.
"Terasa---"
Di saat Eriana akan meneruskan perkataannya, di saat itu pula ternyata Satria sudah mengangkat satu tangannya. Mengurung Eriana di sudut mobil tersebut. Dan tanpa aba-aba justru mendaratkan ciuman yang begitu tiba-tiba.
Mata Eriana melotot. Tapi, tak menolak sama sekali.
"Kalau kamu capek ... harusnya kamu di rumah aja."
Satria berbisik. Di atas bibir Eriana. Membuat embusan napas hangat pria itu membelai-belai kulit wajahnya.
Eriana meneguk ludahnya. Tampak ekspresi putus asa di wajahnya.
"Aku emang maunya di rumah aja, Sat. Tapi ...."
"Tapi?"
Bibir Eriana tampak memberikan satu cemberut. "Tapi, aku mau deket-deket kamu. Kalau aku di rumah, aku nggak bisa ngeliat kamu. Coba pikir. Kalau aku di rumah sekarang, aku pasti nggak dapat ciuman barusan ini."
"Aaah ...." Satria manggut-manggut. Paham.
"Sat ...."
Ketika Eriana melirihkan nama suaminya itu, tangannya naik. Mengusap dada Satria dengan pergerakan yang seketika meremangkan bulu kuduk pria itu. Terutama ketika Eriana membawa matanya untuk menatap mata sang suami. Seketika saja hal itu membuat Satria tau mengapa pengantin baru selalu memprioritaskan bulan madu di agenda pertama setelah pernikahan. Hal yang sayangnya terlambat untuk ia ketahui. Menyedihkan sekali.
Bukan bermaksud berlebihan. Tapi, bahkan hanya dengan sentuhan seperti itu saja, sesuatu di tubuhnya terasa nyeri seketika.
Satria buru-buru memegang pergelangan tangan Eriana. Menahannya agar jari jemari istrinya itu tidak melakukan penjelajahan yang lebih jauh lagi.
"Ri ...."
Suara pria itu terdengar serak sekarang.
"Apa hari ini ada agenda yang penting?"
Mata Eriana membesar. "Itu ... kamu ...."
Tanpa melepaskan tatapan matanya dari Eriana, Satria merogoh satu saku celananya. Mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Yuda, ke kantor sekarang. Pegang dulu urusan hari ini. Sepertinya nggak ada yang penting."
Setelah itu, panggilan berakhir.
"Satria .... Kamu?"
Mengabaikan Eriana yang syok, Satria berpikir dengan cepat di benaknya.
Kalau pulang, ini pasti jadi hal yang memalukan.
Kalau begitu ....
Satria beranjak. Berbicara dengan Yanto melalui interkom.
"Pak, pagi ini kami ada pertemuan di hotel Fullman Batavia Park. Langsung ke sana saja."
"Baik."
Eriana menarik tangan Satria. Membawa tatapan mereka untuk beradu.
"Satria, kamu?"
Tangan Satria meraih tekuk Eriana. Langsung melumat bibir wanita itu dengan begitu kuat dan dalam. Hingga membuat lipstik yang ia kenakan berantakan. Hal yang akan menjadi catatan untuk Eriana nanti. Ia harus mengganti tipe lipstiknya.
"Apa?" tanya Satria dengan mata yang tampak mulai berkabut. "Kamu mau berdebat untuk hal yang ini?"
Diam sejenak, Eriana lantas justru menyunggingkan senyumnya.
"Nggak sama sekali."
Dan ketika mereka pada akhirnya tiba di hotel itu, Satria dengan segera menyuruh Yanto pulang ketimbang menunggu mereka berdua di sana.
Ia melakukan pemesanan kamar seraya berusaha untuk tetap tenang. Pun berusaha untuk tidak berlari ketika mereka berdua menuju ke kamar itu. Tapi, ketika keduanya sudah berada di kamar, mereka justru berusaha untuk memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin. Layaknya tak ada hari lain untuk mereka memadu kasih.
"Aaah ...."
Desahan Eriana mengalun. Tepat ketika kejantanan Satria merangsek masuk. Mendesak tubuh wanita itu di atas kasur yang empuk. Menindihnya. Dan menghunjam kewanitaan sang istri berulang kali. Lantas geramannya pun sahut menyahut mengiringi desahan sensual itu.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top