5. Fakta Terbalik

"AAAH!!!"

Satria melotot.

Seruan Eriana seolah menyadarkan dirinya dengan keadaan yang terjadi di saat itu. Seorang wanita meremas bokong seorang pria? Kira-kira apa yang akan dunia pikirkan bila hal memalukan seperti itu terlihat oleh mata manusia lainnya?

Sigap, Satria berbalik. Meraih kedua tangan Eriana dan dengan penuh emosi, ia mendorong Eriana yang masih terlihat syok kala itu.

"Aaah!!!"

Tertahan di dinding, bukannya menghentikan seruan Eriana, ternyata sebaliknya. Lagi-lagi ia berseru. Walau kali ini karena kaget.

Satria segera menutup mulut Eriana. Mendelik pada sepasang mata bening itu.

"Bisa-bisanya kamu yang ngeremas bokong saya, tapi malah kamu yang menjerit?" tanya Satria dengan penuh penekanan.

Glek.

Mata Eriana berkedip-kedip beberapa kali. Tak bisa mengatakan apa-apa dengan tangan Satria yang besar dan lebar di mulutnya itu.

Mampuslah aku!

Auto dilempar ke bawah aku sama Pak Bos.

"Kamu lupa kita sekarang ada di mana?" tanya Satria lagi. Dan tatapan pria itu tetap tidak berubah. Masih mendelik pada gadis yang ia tahan itu. "Bisa-bisanya kamu ...." Mata Satria memejam.

Lagi-lagi, Eriana meneguk ludahnya. Melihat pada Satria yang bahkan terlihat seperti tidak mampu untuk meneruskan perkataannya, Eriana tau. Bosnya itu sudah sangat emosi. Lihat saja dari wajahnya. Wajah tampan itu terlihat memerah dan basah. Seperti ada sesuatu yang mendidih di dalam sana.

Dan ketika mata Satria membuka, Eriana tercekat. Mata Satria pun terlihat memerah. Seperti mata itu sedang sakit. Bagaimana tidak? Bagian putih dari bola mata Satria sudah berubah warna menjadi merah semuanya. Ih! Jelas saja membuat gadis itu bergidik.

Ketakutan, dengan satu tangannya yang bebas, Eriana mencoba untuk menenangkan situasi berbahaya itu. Tangannya naik. Mendarat di dada Satria. Bermaksud untuk meredakan emosi pria itu dengan berusaha bicara, walau tak bisa.

"Hufff .... Hufff ...."

Tangan Satria di mulut Eriana lepas. Bukan karena Satria ingin mendengar suara Eriana, melainkan untuk mengambil tangan Eriana di dadanya.

"Aaah!"

Eriana berseru lagi. Kali ini gara-gara Satria yang lagi-lagi menggenggam pergelangan tangannya dan menekannya di dinding. Alhasil, Eriana terjebak antara dinding yang dingin dan dada Satria yang panas. Dengan kedua tangan yang terkunci di masing-masing sisi kepala.

"Paaak ...."

Dada Eriana naik turun di batas dada gaunnya yang rendah. Rasa takut mulai menjalari tubuhnya. Bahkan sekarang ia merasa tak mampu membalas tatapan penuh amarah Satria. Pria itu terlihat menakutkan. Terutama ketika dilihatnya bagaimana Satria yang dengan ekspresi mengancamnya itu mendekatkan wajahnya. Begitu kentara akan memarahi dirinya habis-habisan.

Takut, Eriana lebih memilih untuk memejamkan matanya dengan erat.

Lebih baik aku nggak tau gimana proses kematian aku.

Tapi ....

"Kan sudah aku bilang, Mbakyu. Aneh sekali ngeliat Satria milih sekretaris cewek. Ternyata ini alasannya."

Satu suara wanita terdengar dan membuat Eriana sontak membuka mata. Baik ia dan Satria sama-sama menoleh pada sumber suara tersebut. Pada dua orang wanita paruh baya yang menatap lurus pada keduanya.

Mata Eriana mengerjap sekali. Ia ingat wajah dari salah satu wanita itu. Yang tadi memberikan pidato pembukaan, Megantara Widyadiningrat. Wanita itu terlihat mengangkat tangan, bersedekap. Menatap lurus pada Satria.

"Apa kamu sadar apa yang sedang kamu lakukan, Satria?"

Eriana meneguk ludah. Menyadari perubahan wajah Satria. Kalau tadi wajah pria itu terlihat merah membara, sekarang justru sebaliknya. Pucat paci. Tapi, satu hal lainnya mendadak terbersit di benaknya. Membuat Eriana mengerutkan dahi.

Ibu ini manggil nama Bos tanpa embel-embel Bapak?

Jangan-jangan ....

"Ini bukan seperti yang Mama kira."

What?!

"Kamu nggak seharusnya mencium wanita di tempat umum seperti ini, Sat," ujar wanita lainnya.

Mencium?

Mata Eriana melotot.

Siapa mencium siapa?

"Tante Dewi ini ...."

Wanita yang dipanggil Tante Dewi oleh Satria terlihat berpaling pada Mega. "Mbak, kalau sekarang kita lagi di Amrik, kita biarkan mereka ngapa-ngapain di tempat umum juga nggak masalah. Tapi, ini?"

Eriana mengerjap-ngerjap. Bingung akan situasi tersebut. Tapi, sedikit bersyukur karena hal tersebut justru membuat Satria melepaskan kedua tangannya.

"Ma ...," kata Satria kemudian mendekati kedua orang wanita paruh baya tersebut. "Kami nggak melakukan apa-apa. Aku hanya---"

"Ini apa?" potong Dewi bertanya.

Wanita yang tampil dengan pakaian bewarna kuning muda itu mengangkat ponsel di satu tangannya. Menunjukkan satu foto yang membuat Satria dan Eriana sama-sama tercekat.

"Bisa-bisanya kalian remas-remasan bokong di tempat seperti ini, Satria?" tanya Dewi dengan suara histeris. "Kamu nggak mikir kalau ini bisa muncul di berita besok pagi? Bisa-bisanya kamu melakukan hal yang bisa mencoreng nama baik keluarga?"

"Ya Tuhan ...."

Kedua tangan Satria naik dan mendarat lemas di kepalanya. Terlihat ekspresi perpaduan antara rasa kesal dan frustrasi. Terlebih lagi karena ia menyadari sesuatu. Dari tadi ibunya itu diam saja. Dan kalau mau diperhatikan, ternyata Mega sedang menatap lurus pada Eriana.

"Siapa nama kamu?"

Glek.

Eriana merasakan tubuhnya gemetar atas bawah mendapati Mega yang bertanya pada dirinya. Takut-takut, ia berusaha untuk menjawab.

"Eriana, Bu."

Mega menarik napas dalam-dalam. "Eriana ...," lirihnya kemudian. "Perbaiki gaun kamu. Bahkan dari sini saya bisa melihat puting kamu yang akan keluar."

Mata Eriana melotot. Dan Satria pun spontan melihat. Menyadari bahwa yang dikatakan oleh Mega adalah suatu kebenaran.

"Satria."

Suara Mega membuat Satria tersadar. Memalingkan wajahnya sementara Eriana dengan terburu-buru membalikkan badan. Merutuk tanpa suara seraya memperbaiki gaunnya.

Ini pasti gara-gara Pak Bos ngangkat tangan aku tadi.

Jadi keluar dari tempatnya kan ini aset negara.

Kamu juga sih. Kok bisa segede ini padahal badan aku kurus?

Eriana melihat ke dadanya. Memastikan bahwa payudaranya kembali ke tempatnya semula dengan aman. Yang mana sebenarnya bukan karena payudara gadis itu besar meluber sehingga putingnya terlihat seakan ingin melompat keluar, melainkan memang karena garis dada gaunnya yang rendah dan ditambah Satria mengangkat kedua tangannya. Otomatis membuat bagian tubuhnya yang satu itu terangkat dari cup-nya.

Setelah yakin bahwa gaunnya kembali rapi, Eriana memutar tubuhnya lagi dengan perlahan. Menundukkan wajahnya sementara kedua tangannya saling meremas satu sama lain.

Mega menarik napas dalam-dalam. Di sebelahnya, Dewi terlihat sedikit geleng-geleng kepala dengan ekspresi yang setengah mencemooh.

"Bisa-bisanya kalian berdua ya melakukan hal kayak gitu di sini. Ckckckck," kata Dewi. "Kalau kami datang terlambat, pasti kalian udah yang benar-benar lupa dunia."

Mata Satria membesar. "Tante, please. Ini nggak seperti yang terlihat."

"Memangnya kami percaya gitu kalau kalian di sini sedang main koki yang latihan meras santan gitu?"

"Dewi."

Suara Mega membuat Dewi mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Tapi, tak urung juga terlihat sedikit cibirannya pada Satria. Sementara pada Eriana, wanita itu hanya melemparkan tatapan menyelidik.

"Yang dikatakan oleh tante kamu benar, Sat."

Entah mengapa, setiap Mega bicara, Eriana merasakan lututnya melemas seketika. Eriana ingat. Tadi ia memuji suara Mega yang terdengar lembut seperti penyanyi. Tapi, sekarang? Rasa-rasanya Eriana ingin mati saja.

"Pada akhirnya ini bisa menjawab pertanyaan Mama tadi. Alasan mengapa untuk malam ini kamu lebih memilih pergi sendiri ketimbang pergi dengan Mama dan Tante Dewi."

"Astaga."

"Apa setelah acara ini berakhir kamu akan membawa wanita itu ke salah satu kamar di hotel ini?"

Mata Satria membesar. Tak percaya dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh ibu kandungnya sendiri.

Di lain pihak, Eriana pun syok. Namun, berbeda dengan Satria, gadis itu lantas berpaling. Spontan saja ia bertanya pada pria itu.

"Bapak mau ngajak saya check in malam ini?"

Belum hilang rasa kaget Satria karena pertanyaan Mega, pria itu langsung melotot dengan pertanyaan Eriana.

"Hah?!"

Eriana mengerjap. Kedua tangannya naik dan menutup mulutnya dengan wajah yang terlihat begitu kaget.

"Karena itu Bapak mewanti-wanti saya untuk berpenampilan bagus malam ini?" Mata Eriana membesar maksimal. "Bapak ... Bapak ... ingin kita---"

"Kamu jangan sembarangan kalau ngomong!" sentak Satria memotong. "Saya nggak bakal mungkin mau---"

"Saya yang nggak bakal mungkin mau, Pak!" balas Eriana memotong. "Memangnya mentang-mentang Bapak itu bos saya, mentang-mentang Bapak orang kaya, Bapak pikir saya mau saja diajak check in?"

Mulut Satria membuka. Terlihat ingin bicara, namun ia mendadak berubah seperti balita yang belum bisa bicara.

"Saya akui Bapak memang ganteng, tapi bukan berarti saya sama seperti wanita lainnya. Bapak nggak tau kan gimana susahnya saya menjaga selaput tipis saya ini seumur hidup? Bahkan sewaktu saya digoda kembarannya Chris Evans pas S2 di Inggris dulu, saya tetap nggak kepincut."

"Wah! Sekarang kamu berani ya sama saya?"

"Saya berani pada siapa pun yang berpikir bahwa wanita cantik seperti saya itu mudah digoda."

"Wa-wa-wanita cantik?"

"Bahkan sekarang saya nggak peduli, Pak, kalau Bapak ingin memecat saya. Bagi saya cowok otak mesum kayak Bapak lebih menakutkan ketimbang nggak punya duit."

Mata Eriana mengerjap.

Er--- kayaknya lebih menakutkan nggak punya duit deh.

Tapi, Eriana sama sekali tidak berminat untuk mengoreksi perkataannya. Alih-alih, ia justru semakin mengeraskan wajahnya.

"Oh. Jadi kamu nantangin saya?" tanya Satria. "Kamu pikir saya nggak berani mecat kamu?"

"Tuh kan! Ternyata benar. Ternyata alasan Bapak nerima saya kerja cuma karena pikiran untuk check in. Begitu saya tolak terang-terangan, Bapak justru ingin memecat saya."

Satria mendadak kehilangan kosakatanya. Terlalu syok dengan balasan kata-kata Eriana.

Bagaimana bisa ia memutar kata-kata sedemikian rupa?

Wah!

"Oh! Terserah. Apa menurut kamu seharusnya saya tetap memperkerjakan kamu?"

"Dengan harapan suatu saat Bapak beruntung dan berhasil menggoda saya?" balas Eriana. "Maaf, Pak. Saya nggak sebodoh itu. Saya yakin kalau saya bekerja, Bapak pasti akan menyiapkan rencana untuk kembali menggoda saya."

Memecat salah, tidak memecat juga salah.

"Akhirnya saya paham mengapa saya diterima bekerja. Itu pasti dari awal Bapak sudah menargetkan saya untuk menjadi wanita simpanan Bapak. Tapi, maaf, Pak. Saya kelewat mewah untuk dijadikan wanita simpanan. Saya itu kodratnya untuk jadi Nyonya Rumah."

"Wa-wanita simpanan?" Satria mendengkus. "Kamu pikir---"

"Saya pikir, lebih baik saya pulang sekarang. Maaf karena sudah menyia-nyiakan uang kamar Bapak malam ini," ujar Eriana.

Mengabaikan Satria yang tampak basah wajahnya karena keringat, dengan beberapa urat yang terlihat bertonjolan di dahinya, Eriana beranjak. Mengambil clutch miliknya yang tadi terjatuh di saat ia hampir terjerembab.

Menghentikan sejenak langkah kakinya di hadapan Mega dan Dewi, gadis itu berkata pelan.

"Makasih karena sudah menyelamatkan saya, Bu. Saya permisi."

Menyelamatkan?

Dia yang meremas bokong aku dan dia mikir aku yang mau ngapa-ngapain dia?

Kaki Satria melangkah. Berniat menyusul Eriana yang telah berlalu dari sana. Namun, Mega menghadangnya.

"Segitunya kamu sampai ingin menyusul dia, Sat?"

Satria meringis. "Ma. Ini benar-benar nggak seperti yang Mama pikirkan. Aku berani bersumpah."

"Dengan foto dan keadaan kamu yang seperti ingin mengeluarkan payudara Eriana dari gaunnya itu?" tanya Mega mendelik. "Kamu nggak mikir di sini ada CCTV? Kamu tau apa yang bisa orang lakukan dengan rekaman memalukan itu?"

Satria ingin mengucapkan pembelaannya, namun otaknya terasa kosong melompong. Hingga kemudian tampak Mega mengeluarkan ponselnya. Menghubungi seseorang.

"Ada seorang wanita cantik. Mengenakan gaun dengan pundak terbuka bewarna ungu pastel dan clutch bewarna hitam."

Dahi Satria berkerut. Bertanya-tanya apa yang akan dilakukan oleh ibunya itu.

"Cegat dia. Jangan biarkan ia keluar dari hotel. Dan kalau ia menanyakan alasan ia ditahan, bilang saja seperti ini." Mega tampak menarik napas dalam-dalam sebelum lanjut berkata. "Ada satu rumah yang perlu nyonya baru."

Mendengar itu, Satria melongo.

"Mama ...."

Memutuskan panggilan tersebut, Mega berkata dengan penuh wibawa. "Mama nggak mau mengambil risiko. Kamu tau apa yang dipertaruhkan oleh gosip yang beredar. Dan mustahil hanya Dewi yang berhasil memotret aksi kalian tadi. Kamu mau menunggu beritanya menjadi heboh dulu baru mau mengambil tindakan?"

Mata Satria terpejam dengan dramatis.

"Kamu tau bukan tanggungjawab apa yang kamu pikul? Kamu ingin merusak semuanya dengan gosip murahan seperti ini?"

Satria tidak bisa membalas perkataan ibunya. Terutama ketika ibunya lanjut berkata.

"Sekilas Mama lihat, Eriana juga cukup memenuhi kualifikasi untuk menjadi menantu. Dia cantik dan pintar. Dia S2 di Inggris? Universitas apa? Oxford? Cambridge? College London?"

Satria hanya bisa mengembuskan napas panjang. Mendadak merasa kepalanya pusing. Rasa-rasanya seperti lantai tempat kakinya berpijak menjadi berputar-putar. Namun, seakan itu belum cukup membuat dirinya pusing, kesiap Dewi datang di detik selanjutnya.

"Mbakyu, lihat grup Whatsapp keluarga."

Mega dengan segera melihat ponselnya sendiri. Lalu, dengan wajah yang mengeras, wanita itu menunjukkan isi percakapan di sana.

Ternyata begini ya perilaku pewaris Aksa Nusantara?

Ada satu video. Memperlihatkan Eriana yang meremas bokong Satria hingga Satria yang kemudian menahan Eriana di dinding dengan satu tangannya yang menutup mulut Eriana.

Satria paham.

Orang-orang akan mengira dirinya meminta Eriana meremas bokongnya. Lalu Eriana takut menolak dan justru ingin menjerit minta tolong. Yang mana hal itu mendorong dirinya untuk menahan Eriana di dinding seraya membekap mulut gadis itu. Lalu, pelan-pelan ia mendekatkan wajah ke wajah Eriana. Berniat untuk mencium gadis itu sementara payudaranya hampir keluar dari gaunnya.

Begitulah yang orang lihat.

Video tanpa suara yang memutarbalikkan fakta.

Yang terjadi sebenarnya, Eriana penjahat dan aku korbannya.

Yang orang lihat, Eriana korban dan aku penjahatnya.

Mata Satria memejam. Kedua tangannya mengepal dengan erat di sisi wajah. Berusaha menahan emosinya yang mengancam ingin meledak.

Sialan!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top