49. Awal Berdua
Keesokan harinya, Eriana mendapati bagaimana pagi itu ia mendapati kunjungan orang tua dan juga mertuanya. Hal yang sejujurnya saja sempat ia lupakan keberadaannya lantaran insiden pingsan dan isi di balik handuk semalam. Di saat itulah Eriana tau bahwa mereka malam tadi sebenarnya menginap di rumahnya. Ehm. Tentu saja. Itu rumah Eriana dan Satria.
Ketika Mega, Nanik, Rozi, dan Sigit mendatanginya yang masih setia beristirahat di tempat tidur, pertanyaan itu datang dengan bertubi-tubi. Mempertanyakan bagaimana keadaannya. Apa perasaannya. Atau sekadar menanyakan apa dirinya menginginkan sesuatu.
"Ehm ... sebenarnya banyak yang aku inginkan. Tapi ...." Eriana melayangkan tatapan matanya pada Satria yang memilih untuk duduk di seberang kamar. "Ada seseorang yang memaksa aku untuk tetap makan bubur selama tiga hari ini."
Keempat orang tua itu saling bertukar pandang. Menyadari perbedaan di nada bicara Eriana. Terutama dengan sorot matanya. Maka Nanik dengan penuh pengertian berkata.
"Kamu tau apa diagnosa dokter? Magh, anemia, dan dehidrasi. Ibu yakin makan bubur lebih aman untuk perut kamu sekarang."
Eriana mengembuskan napas panjangnya.
Ini nggak enaknya nikah.
Anak mertua jadi berasa anak kandung.
Anak kandung dianggap anak pungut.
Sementara itu Mega lantas menimpali.
"Nanti Mama coba hubungi dokter Entang. Mungkin ada pilihan menu lainnya yang aman untuk kamu."
Senyum Eriana mengembang seketika.
Kayaknya hukum pernikahan juga berlaku untuk aku.
Hihihihi.
"Makasih, Ma."
Mereka berbincang-bincang beberapa lamanya. Membicarakan banyak hal, dengan topik yang ringan pastinya. Hingga menjelang sore itu, baik mertua maupun orang tuanya, memutuskan untuk pulang. Khusus untuk keluarga Eriana, mereka akan kembali diantar oleh mobil yang menjemput mereka kemaren.
Eriana melepas kepergian keluarganya dengan ekspresi yang lebih baik dari yang sempat ia bayangkan sebelumnya. Memang ia merasa ada sesuatu yang mengganjal, namun ia akan selalu ingat. Pernikahan tidak akan pernah mengubah ikatan kekeluargaan itu.
Kayak yang dibilang Satria, aku sekarang punya dua keluarga.
Dan aku bakal sering balik.
Ehm ....
Eriana melihat Satria yang kembali masuk ke kamar setelah mengantar kepergian orang tua mereka.
Itu pun kalau aku masih ingat hal lain sih.
Hiks.
Satria menghentikan langkah kakinya di tengah-tengah kamar. Kala itu hari sudah semakin sore. Cahaya lembut matahari tampak masuk melalui jendela becermin bening itu. Menghadirkan suasana yang lebih menenangkan.
"Kenapa?" tanya Satria kemudian. "Kamu mau ngomong sesuatu?"
Eriana mengerjapkan matanya. Baru menyadari bahwa dari tadi tanpa sadar ia terlalu fokus melihat pada pria. Hingga membuat Satria mengira-ngira dengan dahi yang sedikit berkerut. Tapi, Eriana menggelengkan kepalanya.
"Nggak."
Kaki Satria kembali bergerak. Tapi, ketika ia baru akan beranjak ia malah mendengar suara Eriana kembali bicara.
"Ehm ..., sebenarnya aku mau minta tolong, Sat."
Kaki Satria kembali berhenti. "Tolong apa?"
Eriana mengangkat tangannya. Menunjuk pada satu televisi layar datar yang menempel pada dinding.
"Aku bosan di atas kasur aja, Sat. Aku mau nonton."
Satria mengembuskan napas. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia beranjak menghampiri Eriana. Tangannya memegang tiang infus.
"Kamu bisa berdiri kan?"
Eriana mengangguk. Bangkit dan berjalan menuju satu sofa santai di sana. Duduk. Dan Satria memastikan bahwa tiang infus itu tidak mengganggu Eriana. Baru kemudian ia menyalakan televisi. Menyerahkan remotnya pada wanita itu.
"Jangan terlalu lama. Kamu harus istirahat."
Eriana angguk-angguk kepala dengan ekspresi sok patuh. "Oke oke, Sat. Aku nggak bakal lupa buat istirahat."
"Baiklah. Kalau gitu aku tinggal bentar."
"Mau ke?"
"Aku mau ngecek ruang kerja bentar," jawab Satria. "Mau ngeliat apa semua barang aku udah dipindahin atau belum."
"Oooh ...."
Tapi, sebelum benar-benar keluar dari kamar, Satria menyempatkan diri untuk berpesan.
"Kalau ada apa-apa, langsung hubungi Lina."
Eriana mengangguk lagi. Membiarkan Satria yang kemudian beranjak meninggalkan dirinya seorang diri di kamar yang berukuran luas tersebut.
Remot di tangan Eriana bekerja. Menjembatani keinginan Eriana demi mencari tayangan yang pas untuk dirinya di sore hari itu. Ia mengerucutkan bibir seraya melihat beberapa saluran televisi yang menayangkan acaranya masing-masing.
"Ck. Pengantin baru malah disuruh nangis pake lagu Teh Rossa. Kayak yang jadi cewek itu pasti takdirnya buat menderita aja sih. Ini pencucian otak secara nggak langsung."
Ibu jari Eriana menekan tombol remot lagi.
"Yah ... ini acara reality show apaan coba? Ehm ... reality siapa coba yang begini? Aku nggak tau mereka ngetawain apa coba."
Saluran televisi kembali berpindah.
"Kenapa sih drama Korea harus di-dubbing? Kalaupun di-dubbing, kenapa coba nggak nyari dubber yang bener-bener cocok? Ini aku berasa kayak liat Lee Min Ho versi Nobita."
Acara lagi-lagi bertukar ketika Eriana memutuskan untuk berganti saluran televisi. Berkali-kali. Entah mengapa setiap ia berpindah saluran, ia selalu merasakan hal yang membuat ia geleng-geleng kepala.
"Ckckckck. Akhirnya aku nonton singa betina lagi nerkam rusa coba."
Putus asa karena tidak mampu menemukan tayangan yang sesuai dengan keinginan dirinya, Eriana memutuskan bahwa dirinya lebih baik menonton acara planet hewan tersebut.
"Ketimbang aku kena doktrin bahwa ibu mertua itu semuanya jahat ye kan?" tanya Eriana layaknya di sana ada yang menemani dirinya. "Mending aku ngeliat betapa akurnya keluarga singa di hutan belantara. Ckckckck."
Napas Eriana berembus panjang. Merebahkan tubuhnya pada sofa berukuran panjang itu. Memposisikan kepalanya dengan nyaman di atas bantalnya. Dan ia dengan semangat melihat tayangan itu.
Hingga kemudian, kepala Eriana tampak bangkit sedikit saat mendapati adegan yang memacu adrenalinnya. Matanya tampak membesar dan terkesiap.
"Wah! Begini ternyata kalau singa lagi kawin."
Lima menit Eriana serius, semenit kemudian ia ketawa-ketawa.
"Hahahaha. Lagi hewan aja tau pentingnya kawin untuk meneruskan keturunan. Hahahaha."
Masih tertawa-tawa, Eriana berusaha untuk fokus lagi dengan tontonannya. Yaitu pada saat induk singa tampak menjaga anak-anaknya yang masih kecil. Agar aman dari pengintai predator lainnya.
Tanpa sadar hal itu membuat Eriana menjadi tersenyum. Matanya berkedip dengan pelan. Merasakan kedamaian karena hal tersebut.
*
Satria mengecek barang-barangnya. Meneliti buku-buku di raknya. Dan tentu saja memeriksa berkas-berkas penting yang biasa ia simpan di laci meja kerjanya. Semua tak ada yang mengecewakan pria itu. Persis seperti harapannya. Segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaannya telah dirapikan tanpa ada cela sedikit pun.
Tangan Satria bergerak. Menekan mouse di tangannya dengan lembut. Lalu mengamati sejenak bagaimana komputer itu padam. Barulah ia kemudian bangkit. Menutup pintu ruangannya dan berpikir untuk berkeliling melihat-lihat secara keseluruhan rumah yang baru ia tempati itu, namun urung. Sesuatu melintas di benaknya ketika dari lantai atas ia mendapati Lina melintas di bawah sana.
Ehm ....
Dia nggak ke kamar?
Kepala Satria kemudian berpaling. Melihat pada arah kamarnya.
Eri nggak minta diantar donat dan sosis kemaren?
Seharian ini dia belum ada ngebahas soal cemilan itu.
Perasaan tak enak langsung membayang di benak Satria. Mendorong dirinya untuk kembali ke kamar, alih-alih mengikuti niatan hatinya tadi.
Pintu kamar terbuka. Satria masuk dan langsung menutupnya kembali. Ketika ia melangkah semakin ke dalam, maka rasa penasaran pria itu pun terbayarkan. Eriana tampak memejamkan mata sementara televisi masih menyala.
"Ckckckck. Emang pesan aku tadi kamu harus istirahat, tapi bukan berarti istirahat di sini. Badan kamu bisa sakit."
Pelan-pelan Satria mengambil alih remot yang berada di tangan Eriana. Memadamkan benda layar datar itu dan kemudian menghubungi Lina melalui sambungan telepon.
"Ke kamar sekarang, Lin."
Satria menunggu sejenak hingga mendengar pintu kamarnya terbuka. Ketika ia mempersilakan, maka Lina masuk.
"Ya, Tuan?"
Satria melirik pada Eriana. "Aku mau mindahin Nyonya ke kasur. Jadi, kamu bantu bawa infusnya."
"Baik."
"Hati-hati," kata Satria mengingatkan. "Jangan sampai membuat jarumnya tertarik."
Lina menganggukkan kepalanya. Tentu saja ia tak ingin membuat tangan majikannya kembali berdarah.
Pelan-pelan dan dengan penuh kehati-hatian, Satria membawa kedua tangannya pada posisi yang tepat di tubuh Eriana. Meraih tubuh wanita itu dalam gendongannya.
Sejenak, Satria diam. Melihat pada Lina.
"Pelan-pelan dan hati-hati."
Lina kembali mengangguk. Melakukan perintah Satria dengan sebaik mungkin ketika kaki Satria mulai melangkah. Sebisa mungkin ia menjaga pergerakan kakinya untuk tidak terlalu lama ataupun terlalu cepat. Walaupun jelas, selang infus itu lumayan panjang untuk mengantisipasi perbedaan jarak mereka. Tapi, Lina tidak ingin mengambil risiko.
Tubuh Eriana mendarat di atas kasur yang empuk itu. Tampak melenguh sekilas dan bergerak secara spontan. Termasuk tangan kirinya. Hal yang lantas membuat selang infus sedikit tertarik.
"Lina!"
Lina mengerjap. Buru-buru mendorong tiang infus lebih mendekat pada tempat tidur. Tangannya terlihat bergetar sekilas.
"Ma-maaf, Tuan."
Satria meraih tangan Eriana. Memeriksa keadaan jarum itu dan tak mendapati ada sesuatu yang salah di sana.
"Donat dan sosis yang Nyonya mau kemaren sudah kamu siapkan?"
Lina mengembuskan napasnya sejenak, lalu mengangguk. "Sudah, Tuan."
"Jam lima nanti kamu bangunkan dia. Bantu dia untuk membersihkan diri dan bawakan camilannya," kata Satria kemudian. "Sekarang kamu boleh pergi."
"Saya permisi," izin Lina dengan sedikit terbata. Dengan segera memutar tubuh dan meninggalkan kamar itu dengan jantung yang berdegup kencang.
Membiarkan Lina keluar, Satria kemudian memilih untuk mengamati Eriana sejenak. Duduk di tepi tempat tidur dan merapikan selimut wanita itu.
"Tadi ngomong mau nonton, akhir-akhirnya malah tidur."
Tangan Satria terulur. Merapikan rambut Eriana yang tampak berantakan. Merasa bahwa itu mungkin akan menganggu kenyamanan tidurnya. Hingga kemudian telinganya mendengar lirihan pelan Eriana.
"Do ... nat .... Ehm ... ehm .... Sos ... is ...."
Satu senyum kecil terbit di wajah Satria mendengar igauan lirih Eriana. Terutama karena mendengar suara cecapan lidah wanita itu. Hal yang kemudian membuat Satria menduga bahwa Eriana benar-benar sedang menginginkan donat dan sosis.
Maka Satria sedikit beringsut. Meraih kembali telepon di nakas. Lagi-lagi menghubungi Lina.
"Siapkan donatnya lebih banyak, Lin. Semua rasa. Aaah .... Sosisnya juga. Jangan lupa dengan saosnya. Tapi, perhatikan pantangan dia."
Setelah telepon itu berakhir, Satria menelengkan wajahnya ke satu sisi. Tampak merenungi sesuatu.
"Aku nggak tau kalau dia sesuka itu dengan donat dan sosis." Satria manggut-manggut. "Ya ... mungkin gula dan protein makanan itu yang ngebuat dia selalu hiperaktif kayak gini."
Untuk beberapa saat, Satria hanya memandangi Eriana. Tapi, sejurus kemudian ia bangkit. Ia hampir melupakan niatnya untuk berkeliling dan menyapa semua pelayan di rumah itu. Tapi, ketika ia baru dua langkah berjalan, telinganya kembali mendengar igauan.
"Sat ...."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top