45. Saya Nikahkan
"Ah. Seenggaknya kantung mata Nona nggak separah kemaren."
"Benarkah?"
"Iya. Ehm .... Nona pasti akhirnya bisa tidur nyenyak semalam."
"Sebenarnya ... nggak juga sih, Lin. Kayaknya aku baru tidur sekitar jam setengah dua gitu."
"Oh ya? Tapi, kantung mata Nona udah kempis sih."
Mendengar perkataan Lina, Eriana pun mencoba untuk memfokuskan retina matanya pada pantulan wajahnya di cermin itu. Sedikit menyipitkan mata dan beberapa detik kemudian menyadari kebenaran perkataan pelayan pribadinya tersebut. Kantung matanya tidak terlalu mengerikan seperti kemaren –nyaris membuat ia mengira bahwa kantung matanya itu akan meledak saking besarnya.
"Tapi ...."
Suara Lina kembali menarik perhatiannya. Membuat Eriana melayangkan tatapan pada Lina yang berdiri di belakang tubuhnya melalui cermin. Terlihat gadis itu masih dengan setia menyisir rambutnya dengan lembut.
"Saya penasaran. Semalam itu baru tidur, Nona ngapain aja?"
"Ehm ...." Eriana manggut-manggut. "Ya cuma mengkhayal nggak jelas aja sih, Lin."
Lantas napas panjang berembus dari hidung Eriana. Sekilas ia teringat bagaimana ia menghabiskan waktu untuk melalui insomnia dadakan yang ia alami belakangan ini. Ia seperti orang bodoh yang menjelajahi semua beranda akun sosial media yang ia miliki. Atau mungkin kalau ada yang sedikit berbobot, itu adalah ketika ia harus berbohong pada Intan. Mengatakan pada sahabatnya itu melalui pesan di aplikasi Whatsapp bahwa dirinya mendadak harus mendampingi Satria ke luar kota. Untuk menghadiri acara penting.
Eriana geleng-geleng kepala kalau mengingat alasan itu. Bukannya apa. Tentu saja itu karena pada kenyataannya ia tidak pergi keluar kota. Walau untuk bagian menghadiri acara penting itu adalah suatu kenyataan. Yaitu pernikahan mereka.
Lantas Eriana teringat hal lainnya. Tentang kegiatan yang ia lakukan malam tadi. Tepat sebelum ia tidur.
"Tapi, kalau malam tadi itu sebelum tidur aku sempat nelepon Satria bentar sih."
Sisir berhenti bergerak. Lina langsung balas melihat pada Eriana melalui cermin.
"Nelepon Tuan Muda?" tanyanya tak percaya. "Di tengah malam, Non?"
"Tepatnya sekitar jam satu malam." Eriana mengangguk. "Siapa yang ngira kalau dia juga belum tidur semalam itu. Aku aja nggak nyangka kalau telepon aku bakal diangkat."
"Oh ...."
"Jadi ya ... kami ngobrol sebentar gitu sih."
Dan Lina melihat bagaimana wajah Eriana tampak bersemu merah setelah mengatakan hal itu. Menebak di dalam benaknya, Lina yakin ada sesuatu yang manis yang terjadi di antara kedua majikannya tersebut. Walau sebenarnya entah Eriana menganggap itu manis atau tidak, yang pasti adalah bahwa pada akhirnya gadis itu memutuskan untuk menjawab pertanyaan yang Satria berikan.
Argh!
Seharusnya aku nggak ngomong gitu ke dia.
Lagian kalaupun nggak mau jawab, kan aku bisa aja langsung putusin itu telepon.
Tapi ....
Eriana juga tak yakin mengapa ia bisa mengatakan hal seperti itu. Hal yang sekarang justru membuat ia semakin merutuki dirinya sendiri. Hingga pada masanya, gadis itu pun mencoba untuk menenangkan diri. Mengatakan pada dirinya sendiri bahwa jawaban yang ia berikan tidak bisa dikatakan sebagai jawaban yang sebenarnya.
Itu jawaban terbuka.
Terserah ke Satria mau menanggapinya kayak gimana.
Tapi, jelas itu percuma. Bahkan Eriana dalam versi paling bodoh sekalipun bisa melihat bahwa ada makna tersirat di balik jawaban terbukanya itu. Dan semua itu semakin diperparah dengan respon Satria setelahnya. Alih-alih mendebat atau mempertanyakan maksud perkataannya, pria itu hanya mengucapkan satu kata.
"Untunglah ...."
Dan sekarang, Eriana yang memutar otak berusaha untuk memaknai satu kata itu.
Untunglah?
Untunglah apa?
Alih-alih membuat Satria bingung dengan jawaban terbukanya, sekarang justru Eriana yang merasa frustrasi dengan satu kata itu. Dan itu tentu saja karena setelah mengatakan 'untunglah' itu, di saat Eriana ingin langsung bertanya maksudnya apa, eh Satria langsung berkata.
"Sepertinya ini sudah makin larut. Kita berdua harus segera tidur, Ri. Gimanapun juga, besok itu kita bakal nikah. Dan aku yakin seharian besok kamu bakal sangat sibuk."
Eriana mengabaikan perkataan itu. Ia sudah berniat untuk lanjut bicara, tapi yang terjadi selanjutnya justru pria itu yang memutuskan panggilannya secara sepihak.
Ck.
Dasar nggak punya etika.
Kalau mengingat hal itu, Eriana seketika menjadi kesal. Dan hal itu terpancar nyata di ekspresi wajahnya. Yang mana tentu saja itu tidak luput dari mata sang pelayan.
Meneruskan kegiatannya menyisir rambut Eriana, Lina hanya mengulum senyum. Tampak geli mengamati berbagai ekspresi yang tercetak di wajahnya. Lantas, di detik selanjutnya Eriana justru membahas hal lainnya. Lina mendengarkannya dengan saksama walau tak memberikan komentar yang berlebihan bila tidak diminta oleh majikan barunya tersebut.
Hingga pagi beranjak, persis seperti yang dikatakan oleh Satria di telepon malam tadi, ada banyak hal yang perlu dilakukan oleh Eriana. Beberapa orang menghampiri dirinya. Melakukan segala sesuatunya demi satu tujuan. Yaitu menyulap dirinya menjadi pengantin yang cantik malam itu.
*
Sementara itu, di tempat yang lain, keadaannya tidak sesibuk di kediaman Eriana. Tak banyak hal yang perlu dipersiapkan oleh mempelai pria. Walau sudah pasti, banyak atau sedikitnya hal itu tidak cukup ampuh untuk menghadirkan ketenangan di benak mereka. Karena pada kenyataannya itulah yang terjadi pada Satria. Yang diam-diam kerap kali melihat pada jam. Menghitung mundur waktu yang akan berlalu.
Pada akhirnya Satria menyadari bahwa pernikahan memang akan terjadi. Dan untuk itulah ia menenangkan dirinya sebisa mungkin. Terutama ketika mobil yang membawa dirinya telah berhenti bergerak. Pun dengan beberapa mobil lainnya yang turut mengikutinya menuju ke rumah itu. Tempat di mana Eriana dan keluarganya –termasuk keluarga terdekat mereka- tengah menunggu kedatangan mempelai pria.
Udara dingin khas malam hari yang tadi Satria rasakan mendadak saja berubah. Tepat ketika sepasang kakinya menapak turun dari mobil, maka di saat itu pula Satria merasakan suhu yang panas seketika menyelingkupi dirinya. Dalam waktu hitungan detik yang teramat cepat mampu menarik kehadiran bulir-bulir keringat di tubuhnya.
Satria mencoba menenangkan diri. Melangkah masuk dan langsung mengambil tempat yang telah disediakan untuk dirinya di ruangan itu. Di kala itu, Satria bisa melihat bagaimana beberapa pasang mata tertuju pada dirinya. Hal yang cukup menggelikan sebenarnya mengingat bahwa dirinya yang selalu menjadi pusat perhatian justru merasa gamang.
Penuh dengan beberapa undangan yang terbatas, Satria tau bahwa masa itu akan tiba sebentar lagi. Hanya dalam hitungan menit. Menyadari hal itu, maka dalam diam –seraya kembali mengingat nama Eriana dan Rozi tentunya-, Satria bahkan bisa merasakan debar jantungnya menjadi kian tidak tertahankan lagi. Semakin lama bukannya debar itu semakin berkurang, malah sebaliknya. Makin bertambah dengan seiring waktu yang kian berjalan.
Hingga kemudian, pada saat yang tepat, mendadak saja sedikit keriuhan di sekeliling dirinya kompak berhenti. Layaknya ada komando tanpa suara yang memerintahkan mereka semua untuk menutup mulut masing-masing. Dan pada saat itu, ia pun seperti mendengar perintah tak kasat mata yang mendorong dirinya untuk mengangkat wajahnya. Membawa tatapan matanya mengarah pada satu titik yang membuat ia terpana. Tepat ketika ia seolah menangkap bisikan lirih di telinganya.
"Aku bohong kalau ngomong nggak ngerasa apa pun."
Sosok itu berjalan pelan ke arah dirinya. Mengambil tempat di sebelahnya. Terlihat menundukkan wajahnya. Dan Satria paham itu. Jelas mengetahui bahwa gadis itu sama gugupnya dengan dirinya. Tapi, ia tak punya waktu lama untuk tenggelam dalam kegugupan itu. Pada akhirnya, mau tak mau ia menyambut uluran tangan Rozi di hadapannya.
Tangan pria paruh baya itu terasa kokoh, namun juga gemetar. Lantas mata Rozi menatap lurus. Membidik pada manik Satria. Menghantarkan sesuatu yang tak pernah Satria lihat sebelumnya. Tak ada seorang pun yang pernah memberikan dirinya sorot seperti yang diberikan Rozi pada dirinya. Tatapan itu penuh dengan emosi yang tidak ia mengerti.
Itu adalah emosi yang memperlihatkan betapa kuatnya jiwa seorang ayah. Emosi yang sebenarnya tak ingin ia tampakkan pada dunia. Karena ia tau bahwa pada akhirnya, anak yang telah ia besarkan dengan penuh kasih sayang selama ini akan bersama dengan pria lain. Dan itu layaknya tugas terakhir yang harus ia jalankan. Menyerahkan semua tanggungjawab pada seorang pria yang menurutnya adalah pria yang paling tepat. Tentu saja, itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan oleh seorang ayah. Jauh di lubuk hatinya, setiap wanita akan selalu menjadi gadis kecil di ingatan mereka.
Rozi mengingatnya. Ketika putri pertamanya itu lahir. Dan ia pun menyadari bahwa membesarkan anak pertama selalu menjadi hal yang tak pernah mudah bagi pasangan mana pun. Semua hal terasa berbeda, tapi mungkin itulah yang menjadikannya istimewa. Dengan keterbatasan pengetahuan tentang 'bagaimana menjadi orang tua yang baik', mereka melewati itu semua. Sekarang, ia pun menyadari bahwa waktu baginya untuk menjaga sang putri telah berakhir.
Ada seorang pria yang akan mengambil alih tanggungjawab itu. Tak hanya untuk menjaganya, namun Rozi yakin. Termasuk di dalamnya adalah kebahagiaan untuk putrinya. Karena ... tak akan ada orang tua yang rela bila melihat putri yang telah mereka jaga sepenuh hati justru tersakiti oleh orang lain. Sekalipun itu suaminya.
Maka Rozi meletakkan semua pengharapan itu pada doanya yang terdalam. Menyerahkan semuanya pada takdir yang ia yakini akan selalu memberikan yang terbaik untuk dirinya. Sama halnya dengan takdir yang telah memberikan Eriana padanya. Begitulah. Takdir yang akan membahagiakan gadis itu.
Hingga semua ketakutan dan kecemasan Rozi pun lantas lenyap. Tergantikan oleh harapan dan kepercayaan. Tepat ketika ia berkata.
"Saya nikahkan ...."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top