44. Jawaban Yang Tak Diharapkan
Satria melihat pada selembar kertas yang berada di tangannya. Membaca tulisan di sana yang tak lain dan tak bukan adalah nama lengkap Eriana dan juga Rozi tentunya. Walau dirinya dengan jelas menyadari bagaimana kuat ingatannya, tapi entah mengapa hal itu tetap saja tidak mampu membuat pria itu tenang.
Kalau aku sampe salah sebut nama, aku yakin itu pasti bakal menjadi hal yang memalukan banget.
Mata Satria terpejam dramatis.
Aku bahkan nggak mau ngebayanginnya.
Sedetik kemudian, maka Satria kembali membuka matanya. Membaca lagi.
"Eriana Dyah Pitaloka---"
"Kringgg!"
Satria nyaris terlonjak dari duduknya ketika mendengar dering itu. Ponselnya yang tergeletak di atas nakas tampak bergetar ketika menggemakan deringnya. Dan tentu saja hal itu membuat ia mengerutkan dahinya. Tepat ketika ia melihat pada jam dinding.
"Jam satu malam?" tanya Satria seraya bangkit dari duduknya. Berjalan menuju ke nakas. "Siapa yang nelepon aku semalam ini coba?"
Dan ketika ponsel itu telah berada di tangannya, Satria mengerutkan dahinya. Tapi, walau bagaimanapun juga, pada akhirnya ia tetap mengangkat panggilan itu.
"Eri ...."
Satria menyebut nama gadis itu tepat setelah ia mengangkat panggilan itu. Ketika ponsel telah berada di telinganya dan ia juga memutuskan untuk duduk di tepi tempat tidur. Kertas yang keadaannya sudah lusuh itu ia singkirkan di atas nakas.
Untuk beberapa saat, Satria menunggu. Namun, tak kunjung ada balasan suara Eriana di seberang sana. Hingga membuat ia bingung.
Dia nggak yang lagi ngigau gitu kan?
Tapi, kalaupun ngigau, ya kali ngigaunya nelepon aku.
Lalu ia pun memutuskan untuk kembali memanggil nama itu.
"Eri?"
Untuk kali ini, barulah terdengar suara sahutan Eriana. Terdengar lirih dan sedikit gagap.
"Oh ...."
Oh?
Ini cewek beneran ngigau atau gimana?
Dia nelepon aku cuma buat ngomong 'oh'?
Yang bener aja deh.
Mungkin Satria berpikir untuk langsung menutup telepon itu saja. Lagipula dirinya tidak pernah berencana untuk meladeni orang yang tengah mengigau. Tapi, sebelum ia sempat melakukan itu, telinganya justru mendengar suara Eriana yang menyebut namanya.
"Satria ...."
Nggak mungkin ada orang ngigau, tapi masih tau siapa yang dia telepon.
Mata Satria melirik ke satu sisi. Seperti berpikir.
Apa dia emang sengaja ngubungi aku?
Semalam ini?
Apa ada sesuatu?
Dan karena pemikiran itulah pada akhirnya Satria pun memutuskan untuk bertanya.
"Kamu ngubungi aku?" Ia menarik napas sekilas. "Ada apa?"
Satria menunggu beberapa detik lagi. Barulah kemudian ia mendengar Eriana menjawab pertanyaannya.
"Aku ...,"
Tanpa sadar pria itu mengerutkan dahinya. Ia tak bisa mencegah rasa penasaran itu menyeruak saat menunggu Eriana mengatakan maksud dan tujuannya menghubungi dirinya di jam satu malam.
"... nggak bisa tidur."
Satria melongo. Mata tak berkedip dengan mulut yang refleks menganga. Seperti tidak percaya bahwa gadis yang kerap kali membuat dirinya heboh itu mengatakan hal seperti itu pada dirinya. Terutama di tengah malam. Membuat ia meneguk ludahnya dan menyadari sesuatu. Tentu saja bukan hanya ia yang merasa gugup dengan pernikahan mendadak itu. Sudah barang tentu, Eriana yang notabenenya adalah seorang wanita, jelas merasakan hal yang lebih menakutkan lagi ketimbang dirinya. Lantas Satria bertanya.
"Kamu mau tau sesuatu?"
Tak butuh waktu lama untuk Satria mendapatkan respon atas pertanyaannya. Walau ya berupa pertanyaan juga.
"Apa?"
Satria menarik napas dalam-dalam. "Kamu nggak sendirian," jawabnya seraya menarik napas dalam-dalam. Wajahnya lantas terangkat. Menatap pada langit-langit kamar. "Aku juga nggak bisa tidur."
"Ke-ke-kena ... pa kamu nggak bisa tidur?"
Satria bisa merasakan gemetar di suara Eriana hingga suaranya terdengar terbata berulang kali. Tapi, lantas ia justru mendengar pertanyaan yang nyaris menyulut emosinya.
"A-a-apa kamu lagi di pesta bujang?"
Satria mengembuskan napas panjangnya. Geleng-geleng kepala dan mengembuskan napas panjang.
"Aku senang banget tau kalau kamu masih bisa mikir aku kini ada di pesta bujang," tukas Satria lesu.
Pesta bujang?
Astaga.
Aku bahkan nggak kepikiran itu sama sekali coba.
"Bahkan sebenarnya beberapa hari ini aku udah berasa lupa kalau aku masih bujangan. Gimana bisa aku mikir soal pesta bujang di saat persiapan pernikahan kita harus diurus dalam waktu dua hari?"
"Ya kalau kamu ada pesta bujang, aku juga mau ada pesta gadis."
Mata Satria membesar. "Kamu ini ...."
Dibandingkan untuk meluapkan emosinya, Satria justru memutuskan untuk menahan lidahnya. Mengembuskan napas panjang terbukti cukup ampuh untuk menahan ledakannya.
"Tapi ...."
Di seberang sana terdengar pula embusan napas panjang Eriana.
"Kamu benar-benar serius buat nikahi aku, Sat?"
Kalau tadi pertanyaan Eriana membuat Satria seperti merasakan letupan emosi, maka sekarang hal berbedalah yang ia rasakan. Terutama ketika ia bisa merasakan nada lemah di pertanyaan itu. Aneh. Eriana yang biasanya penuh semangat justru menunjukkan sisi lain pada dirinya di malam menjelang pernikahan mereka.
"Kamu ragu?"
Satria tidak mendesak. Maka ketika ia menyadari Eriana diam sejenak, ia pun menunggu. Hingga jawaban itu datang.
"Aku tau sebenarnya ini nggak terlalu mengejutkan. Di awal kita memang mau menikah. Tapi, di saat itu aku pikir menikah tanpa perasaan justru adalah hal yang bagus."
Terbukti Eriana dengan begitu mudah bisa menaikturunkan emosi Satria. Baru semenit pria itu merasa tersentuh olehnya, sekarang ia justru merasa dorongan seperti ingin menjitak kepala gadis itu.
"Bukan sebaliknya?" tanya Satria dengan nada yang sedikit meninggi. Juga karena bingung. "Kamu cewek kan?"
Tentu saja.
Cewek normal ya pasti mau nikah karena ada perasaan.
Ini? Justru sebaliknya?
Dan Satria yakin ia akan mencerca gadis itu dengan beragam kosakata yang sudah tersusun di kepalanya andaikan helaan napas itu tidak terdengar di telinganya. Diikuti oleh perkataan Eriana yang selanjutnya. Hal yang membuat ia membeku dalam antisipasi.
"Aku dulu punya pacar, Sat."
Imajinasi buruk langsung tersusun di benak pria itu. Menampilkan dirinya yang memaksa menikahi seorang gadis sementara gadis itu masih mencintai pacarnya dulu. Perut Satria terasa mual. Tapi, ia berusaha untuk merespon pemberitahuan Eriana itu. Walau hanya bisa diwakili oleh satu kata.
"O."
Satria khwatir. Mungkin kalau ia memaksa diri untuk bicara lebih banyak lagi ia bisa mendadak muntah. Dan Satria justru nyaris mengerang ketika ia mendengar Eriana kembali bicara. Waspada kalau perkataan Eriana selanjutnya akan benar-benar membuat ia mengeluarkan isi perutnya saat itu juga.
"Ketika aku sedang terpuruk, aku memiliki kecenderungan untuk terlalu bergantung. Ada masanya menjadi tumpuan itu melelahkan. Dan aku cuma cewek biasa loh, Sat."
Rasa mual itu lenyap seketika. Tergantikan oleh kerutan tak percaya di dahinya. Dengan cepat menangkap situasi.
Ini dia lagi curhat?
"Dan ketika masalah datang bertubi-tubi, sementara aku udah nggak kuat lagi, aku selalu menjadi cewek yang merepotkan. Aku terkesan melimpahkan semuanya ke dia. Meminta perhatian lebih. Bermanja. Dan bahkan menjadi begitu posesif."
Curhat yang bawa-bawa pacar dia dulu?
Rasa mual itu datang lagi.
Tapi, ketika Satria berusaha untuk membelokkan topik percakapan mereka, Eriana justru melakukan hal sebaliknya. Terus saja berbicara layaknya gadis itu mengira ia akan mendengarkan semua katanya.
Hanya saja, lalu tanpa sadar ia benar-benar menyimak setiap hal yang diceritakan oleh Eriana. Tertegun dan tanpa sadar menyandarkan punggungnya di kepala tempat tidur. Beberapa kali ia bisa merasakan tarikan napas panjang gadis itu.
"Aku meminta dia menunggu setahun. Lagipula aku pintar. Siapa yang bakal meragukan aku kalau aku bisa tamat dalam setahun?"
Tenang, Sat.
Seenggaknya dari nada bicara yang bernuansa sok ini, dia tentu saja masih baik-baik aja.
"Terus?"
Maka di detik selanjutnya mengalirlah cerita itu dengan teramat lengkap. Bahkan semula Satria tak pernah mengira bahwa Eriana benar-benar akan memberitahu dirinya tentang semua yang pernah ia alami. Namun, dari seluruh fakta itu, Satria hanya butuh satu kenyataan yang paling penting. Dan hal itulah yang ia tanyakan kemudian.
"Apa kamu masih cinta dia?"
Karena Satria masih bisa menerima bila Eriana tidak menaruh perasaan apa pun pada dirinya. Tapi, bila Eriana masih menyimpan rasa untuk pria lain ..., maka itu lain lagi ceritanya. Setidaknya Satria pikir masih sempat untuk dirinya membatalkan pernikahan mereka. Hanya saja jawaban yang ia dengar kemudian membuat kemungkinan itu buyar dari benaknya.
"Cinta dengkulku."
Tanpa sadar, jawaban bernada tukasan itu membuat Satria mengembuskan napas leganya. Rasa mual dan segala macam ekspresi tak enak lainnya lenyap seketika.
"Untuk apa aku mencintai cowok yang bahkan nggak bisa percaya aku? Lagipula ... ketika kami belum menikah, aku justru mendapati bahwa kami nggak bisa berkompromi. Hal yang membuat aku sadar bahwa mungkin nanti ketika kami menikah akan ada hal lainnya yang nggak bisa kami kompromikan."
Ada jeda beberapa detik sebelum Eriana melanjutkan perkataannya.
"Walau jujur saja, Sat. Hal itu emang sempat buat aku sakit hati. Aku harus berjuang sendirian di negeri orang dan orang yang aku pikir bisa menguatkan aku justru memilih untuk nggak nunggu aku."
Otak Satria dengan cepat menarik kesimpulannya. Yang mana hal itu pun berujung pada satu pertanyaan.
"Karena itu kamu nggak mau jatuh cinta ke aku?"
Satria menunggu jawaban Eriana dengan jantung yang berdebar.
"Kamu itu teramat sempurna, Sat. Apalagi bokong kamu."
Mata Satria seketika melotot mendengar jawaban itu. Syok dan tak percaya bahwa bisa-bisanya gadis itu justru membahas bokongnya di saat serius seperti itu.
"Ya Tuhan, Ri."
Tapi, belum sempat Satria mencerca gadis itu, Eriana dengan cepat kembali bicara.
"Seumur hidup, aku baru megang bokong kamu, Sat. Dari bokong dan terus kehidupan kamu, cewek normal mana yang nggak bakal jatuh cinta?"
Kesiap Satria hilang seketika.
Tu-tu-tunggu dulu.
Ini maksud omongan dia apa?
Kalau tadi mata Satria melotot karena syok, maka sekarang matanya melotot karena hal lainnya. Itu adalah karena satu kalimat tanya yang Eriana lontarkan pada dirinya justru terasa seperti menyiratkan satu maksud tersembunyi.
Cewek normal mana yang nggak bakal jatuh cinta?
Satria mengusir kemungkinan itu.
Dia kan nggak normal!
"Tapi, kalau aku jatuh cinta ke kamu ..."
Lirihan Eriana membuat Satria mengenyahkan rasa tak enak yang mencoba untuk menjalari dadanya. Ia kembali fokus mendengarkan perkataan Eriana.
"... dan suatu saat aku menjadi benar-benar bergantung ke kamu, gimana dong? Bangkit setelah terpuruk itu nggak mudah loh ya. Apalagi karena kita bakal menikah."
Pemikiran Eriana yang tidak normal tadi benar-benar lenyap ke dasar samudra ketika Satria kembali mencermati kalimat itu.
"Bukankah kalau begitu ... seharusnya ini bisa membuat kamu lebih tenang lagi?"
"Maksud kamu?"
Satria menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk menenangkan dirinya ketika hal logis itu ia suarakan.
"Menurut hemat aku ... seorang istri emang harus bergantung ke suaminya kan?"
Emangnya kalau bukan dengan suaminya, istri mau bergantung di jemuran?
Jangan ngomong kalau dia malah mau bergantung sama suami orang.
Bakal aku rajam juga ini cewek.
Sedetik Satria kembali berusaha menarik napas dalam-dalam. Lagi-lagi berupaya untuk menenangkan gejolak emosinya yang mulai menggelegak.
Ketimbang ingin menyuarakan emosinya, Satria justru ingin memaparkan fakta tak terbantahkan di mata Eriana. Sesuatu yang logis.
"Selama beberapa tahun ini aku sudah membuktikan bahwa banyak yang bergantung ke aku. Ketambahan kamu seorang nggak bakal ngasih efek yang drastis."
"Satria .... Kamu?"
Dan lebih dari itu, karena sudah kepalang tanggung, maka Satria pun memutuskan untuk menanyakan satu kesimpulan samar yang ia peroleh selama perbincangan mereka berlangsung.
"Coba aku tanya ke kamu sekarang. Apa benar kamu cuma suka bokong aku?"
Hening.
Dan Satria memutuskan untuk tidak akan mundur. Ia akan mendesak Eriana hingga gadis itu benar-benar menjawab pertanyaannya dengan kata-kata yang jelas.
"Bahkan ketika kita berdekatan ..., di saat aku memeluk kamu ..., pun ketika aku mencium kamu ..." Satria mengembuskan napasnya. Mendadak saja ia merasakan jantungnya seperti diremas-remas saat itu. "..., apa kamu nggak ngerasa apa pun?"
Dan Satria menuntaskannya dengan satu pertanyaan.
"Sedikit pun nggak ngerasa apa pun?
Walau Satria menginginkan jawabannya, setidaknya sedikit akal sehat pria itu bisa menebak. Eriana tidak akan menjawab pertanyaannya. Lebih parah dari itu, mungkin saja ia akan memutuskan sambungan telepon itu secara sepihak.
Tapi, ia mendadak saja mendengar sesuatu yang lirih di telinganya.
"Aku bohong kalau ngomong nggak ngerasa apa pun."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top