43. Kilas Ketakutan
Eriana bisa merasakan bagaimana insomnia yang ia derita menjadi lebih parah lagi ketika malam itu. Ketika di jam satu dini hari ia masih terjaga dan di benaknya ia tau bahwa ia harus bangun setidaknya pada jam lima pagi. Ada serangkaian kegiatan yang harus ia lakukan di pagi itu demi kelancaran prosesi pernikahan yang akan diselenggarakan pada malam harinya.
Tapi, setiap kali ia memikirkan tentang pernikahan, maka Eriana seperti mendadak mendapatkan serangan kecemasan yang berlebihan. Membuat ia tak nyenyak tidur dan tak kenyang makan. Entah berapa kali ia mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa pernikahan itu bukanlah hal yang menakutkan, ternyata itu tak berdampak terlalu banyak padanya.
Hingga pada satu titik, Eriana merasa terlalu letih menghadapi itu sendiri dan tangannya meraih ponselnya. Ia seperti tak menyadari dengan apa yang ia lakukan sampai pada akhirnya ia melihat bagaimana ponselnya sedang dalam mode menunggu panggilannya diangkat.
Mata Eriana membelalak. Melihat ada nama Satria yang terpampang di layar ponselnya.
Ngapain aku nelepon dia?
Berniat untuk segera memutuskan sambungan itu, Eriana justru tak bisa berbuat apa-apa saat menyadari bagaimana panggilannya sudah diangkat.
"Eri ...."
Itu benar suara Satria yang ia dengar dari seberang sana. Sejenak membuat ia tertegun hingga membuat ia justru membisu.
"Eri?"
Eriana mengerjapkan matanya. Seperti baru tersadar akan sesuatu yang menggelaplan mata.
"Oh ...," lirih Eriana tergagap.
Bingung dan salah tingkah. Menyadari kecerobohan dirinya yang menelepon Satria di jam satu malam. Tapi, sekarang ia bisa berbuat apa selain menyahut panggilan pria itu.
"Satria ...."
"Kamu ngubungi aku?" tanya Satria dengan nada tak yakin di suaranya. "Ada apa?"
Eriana menggigit bibir bawahnya. Tampak seperti petarung yang putus asa. Tak ubahnya layaknya seorang tersangka yang pasrah menghadapi vonis hukuman mati yang akan ia terima sebentar lagi.
"Aku ...," ujar Eriana dengan terbata mencoba untuk menjawab. "... nggak bisa tidur."
Setelah menyelesaikan kalimatnya, Eriana memejamkan matanya. Seperti merasa malu dan ingin menenggelamkan dirinya ke sumur terdekat.
Gimana bisa aku nelepon dia dan justru ngomong hal yang memalukan kayak gitu?
Eriana meringis. Merasa benar-benar tak berdaya menghadapi itu semua. Hingga kemudian terdengar suara hela napas Satria di seberang sana.
"Kamu mau tau sesuatu?" tanya Satria kemudian.
Mata Eriana terbuka seketika. "Apa?"
"Kamu nggak sendirian."
Eriana melongo. Berusaha untuk mencerna maksud dari perkataan Satria. Tapi, yang ada justru dahinya yang mengerut.
Aku nggak sendirian?
Itu pasti bukan kalimat bermakna konotasi kan?
Eriana refleks memutar pandangannya. Melihat ke tiap sudur kamarnya. Tak ada siapa pun di kamar itu selain dirinya.
Terus ....
"Aku juga nggak bisa tidur."
Pemikiran di benak Eriana menjadi buyar saat suara Satria kembali terdengar di telinganya. Dan lebih dari itu, ia terkesiap langsung. Matanya melotot dan mulutnya menganga. Lalu di detik selanjutnya ia justru mengerjap-ngerjapkan matanya berulang kali.
Tapi, berusaha mengenyahkan pemikiran yang ia rasa mustahil itu, Eriana justru bertanya dengan gugup.
"Ke-ke-kena ... pa kamu nggak bisa tidur?"
Bibir Eriana tampak mengerucut tak tentu bentuk dengan ekspresi yang terlihat polos.
"A-a-apa kamu lagi di pesta bujang?"
Adalah embusan napas Satria yang ia dapatkan pertama kali sebagai jawaban untuk dua pertanyaannya itu.
"Aku senang banget tau kalau kamu masih bisa mikir aku kini ada di pesta bujang," tukas Satria lesu. "Bahkan sebenarnya beberapa hari ini aku udah berasa lupa kalau aku masih bujangan. Gimana bisa aku mikir soal pesta bujang di saat persiapan pernikahan kita harus diurus dalam waktu dua hari?"
Eriana manyun. "Ya kalau kamu ada pesta bujang, aku juga mau ada pesta gadis."
"Kamu ini ...."
"Tapi ...." Eriana ikut-ikutan mengembuskan napas panjangnya. "Kamu benar-benar serius buat nikahi aku, Sat?"
Hening sejenak. Dan Eriana seperti memang sedang memberikan waktu bagi pria itu untuk mengambil waktunya sendiri. Berpikir sejenak. Lalu di detik yang tepat, Satria justru balik bertanya.
"Kamu ragu?"
Eriana meneguk ludahnya. "Aku tau sebenarnya ini nggak terlalu mengejutkan. Di awal kita memang mau menikah. Tapi, di saat itu aku pikir menikah tanpa perasaan justru adalah hal yang bagus."
"Bukan sebaliknya?" tanya Satria dengan nada yang sedikit meninggi. "Kamu cewek kan?"
Eriana tau bahwa perkataannya pasti akan membingungkan Satria. Lebih dari itu, pasti akan membingungkan semua orang di muka bumi ini. Maka gadis itu beranjak. Mengambil posisi yang nyaman dan bersandar pada kepala tempat tidur.
"Aku dulu punya pacar, Sat."
Hening dua detik. Lalu respon Satria.
"O."
Eriana melongo sekejap mata. Lanjut bicara.
"Ketika aku sedang terpuruk, aku memiliki kecenderungan untuk terlalu bergantung. Ada masanya menjadi tumpuan itu melelahkan. Dan aku cuma cewek biasa loh, Sat," lanjutnya dengan nada datar. "Dan ketika masalah datang bertubi-tubi, sementara aku udah nggak kuat lagi, aku selalu menjadi cewek yang merepotkan. Aku terkesan melimpahkan semuanya ke dia. Meminta perhatian lebih. Bermanja. Dan bahkan menjadi begitu posesif."
Eriana ingat dengan jelas masa itu. Ketika keadaan keluarganya sedang tidak dalam keadaan yang stabil sementara dirinya belum mampu mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan walau lulus dari salah satu universitas ternama di Indonesia. Ada tekanan psikis yang melibatkan hujatan 'percuma kuliah di universitas bergengsi kalau masih pengangguran'. Hal yang membuat ia tanpa sadar membebaskan dirinya dalam mode yang menyebalkan sebagai pasangan.
Eriana kerap menghubungi Jefri. Menumpahkan kegelisahan hatinya. Bahkan tanpa sadar hal itu menjelma menjadi sikap posesif yang berlebihan setiap kali Jefri terlambat mengangkat teleponnya. Tapi, di saat itu situasi masih terkendali.
Hingga pada masanya Jefri mengajak dirinya untuk menikah karena mulai merasa mungkin pernikahan akan menenangkan setiap rasa curiga gadis itu. Tanpa disadari Eriana, Jefri mulai merasa lelah dengan semua pertanyaan bernada tak percaya dan keluhan yang tiap saat harus ia dengarkan.
Merasa bahwa ia bisa membawa Eriana lepas dari masalah itu dengan pernikahan, maka itulah yang Jefri lakukan. Hal yang justru membuat Eriana membuka matanya sendiri akan satu kenyataan.
Apa aku harus menikah? Untuk hidup yang lebih damai?
Nggak ada curhatan Ibu tentang beras yang menipis.
Nggak ada keluhan Bapak tentang sewa warung yang meningkat.
Nggak ada kegalauan Dinda untuk kelanjutan pendidikannya.
Dan nggak ada hal-hal lainnya.
Jefri saat itu berjanji akan membahagiakannya. Dan mungkin saja ia memang bisa bahagia. Tapi, di saat itu ia justru bertanya.
Bagaimana dengan kebahagiaan mereka?
Di satu sisi, Eriana tau bahwa ia akan kembali dihujat ketika menolak lamaran itu dengan alasan.
Bisa berikan aku waktu sebentar?
Seenggaknya aku harus yakin bahwa nggak ada seng yang bocor di rumah.
Menggelikan sekali alasannya waktu itu, tapi bukan itu yang Eriana harapkan. Bukan pernikahan yang bisa mengeluarkan dirinya dari masalah. Tapi, justru sebaliknya.
Eriana tau ia bisa melakukan itu. Hanya butuh waktu enam bulan untuk dirinya mendapatkan beasiswa dan semua orang tau betapa besarnya beasiswa yang ia terima. Ia membuktikan bahwa dirinya sanggup melalui itu semua. Tapi, pada kenyataannya ia justru mendapati Jefri sendiri yang tidak percaya pada dirinya.
""Aku meminta dia menunggu setahun," kata Eriana kemudian. "Lagipula aku pintar. Siapa yang bakal meragukan aku kalau aku bisa tamat dalam setahun?"
Satria tak berkomentar apa pun. Tapi, justru bertanya.
"Terus?"
Eriana mengembuskan napas panjangnya. "Ketika aku baru mendarat di Inggris sono, aku ngeliat postingan dia dengan cewek lain. Dan di saat itu aku rasa-rasanya mau menghunjamkan diri aku sendiri ke puncak Patung Liberty. Tapi, aku sadar." Senyum geli terbit di wajah Eriana. "Patung Liberty bukan di Inggris sih. Hehehehe."
Tapi, di seberang sana tak ada tawa Satria untuk lelucon Eriana yang satu itu. Yang ada justru helaan napas panjangnya.
"Apa kamu masih cinta dia?"
Eriana mendengkus. "Cinta dengkulku," tukas Eriana. "Untuk apa aku mencintai cowok yang bahkan nggak bisa percaya aku?" Bibir bawah gadis itu mencibir sekilas. "Lagipula ... ketika kami belum menikah, aku justru mendapati bahwa kami nggak bisa berkompromi. Hal yang membuat aku sadar bahwa mungkin nanti ketika kami menikah akan ada hal lainnya yang nggak bisa kami kompromikan."
Tapi, mengatakan hal itu tidak segampang ketika Eriana menjalaninya beberapa tahun yang lalu. Dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk Eriana bisa menarik kesimpulan yang berharga itu. Hubungan itu membutuhkan kompromi.
"Walau jujur saja, Sat. Hal itu emang sempat buat aku sakit hati. Aku harus berjuang sendirian di negeri orang dan orang yang aku pikir bisa menguatkan aku justru memilih untuk nggak nunggu aku."
Eriana lantas melihat jari tangannya. Bukan karena ada sesuatu, namun karena ia merasa tak ada hal lain yang bisa ia lihat. Ironis. Ketika matanya terarah lurus ke depan, ia seperti melihat kilasan masa lalu itu.
"Karena itu kamu nggak mau jatuh cinta ke aku?"
Eriana mengembuskan napasnya dengan berat.
"Kamu itu teramat sempurna, Sat. Apalagi bokong kamu."
Bahkan suara Satria yang terkesiap terdengar jelas di telinga Eriana.
"Ya Tuhan, Ri."
"Seumur hidup, aku baru megang bokong kamu, Sat," lanjut Eriana tak memedulikan kesiap pria itu. "Dari bokong dan terus kehidupan kamu, cewek normal mana yang nggak bakal jatuh cinta?"
Kesiap Satria hilang seketika.
"Tapi, kalau aku jatuh cinta ke kamu ...," lirih Eriana lemah. "... dan suatu saat aku menjadi benar-benar bergantung ke kamu, gimana dong?" Wajah Eriana tertunduk. "Bangkit setelah terpuruk itu nggak mudah loh ya. Apalagi karena kita bakal menikah."
"Bukankah kalau begitu ... seharusnya ini bisa membuat kamu lebih tenang lagi?"
Mata Eriana berkedip pelan. Mengerutkan dahinya. "Maksud kamu?"
Ada jeda sejenak. Seperti Satria sedang menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Eriana.
"Menurut hemat aku ...," jawab Satria. "... seorang istri emang harus bergantung ke suaminya kan?"
Kalau tadi mata Eriana hanya bergerak dalam satu kedipan, maka kali ini mata itu justru bergerak dalam kerjapan-kerjapan beberapa kali.
"Selama beberapa tahun ini aku sudah membuktikan bahwa banyak yang bergantung ke aku. Ketambahan kamu seorang nggak bakal ngasih efek yang drastis."
"Satria .... Kamu?"
"Coba aku tanya ke kamu sekarang," kata Satria kemudian. "Apa benar kamu cuma suka bokong aku?"
Glek.
Membeku adalah kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan Eriana kala itu. Beberapa saat yang lalu, ia bisa begitu santai ketika menyebutkan bokong Satria. Tapi, entah kenapa sekarang ia seperti ingin menghempaskan satu kata itu ke dasar Antartika.
Kenapa harus dibandingkan dengan bokong coba?
Eriana menggigit bibirnya.
"Bahkan ketika kita berdekatan ..."
Suara itu terdengar berat.
"..., di saat aku memeluk kamu ..."
Juga terasa dalam.
"..., pun ketika aku mencium kamu ..."
Seperti menyiratkan banyak emosi di sana.
"..., apa kamu nggak ngerasa apa pun?"
Satu tangan Eriana mencengkeram tepian selimut yang menutupi tubuhnya. Matanya memejam oleh satu desakan pertanyaan yang terasa amat berbeda dengan yang sudah-sudah.
Ini pasti efek grogi karena pernikahan.
Dan seakan ingin menambah kesan dramatis. Satria kembali bersuara.
"Sedikit pun nggak ngerasa apa pun?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top