42. Efek Pernikahan

"Oke. Sampai ketemu besok di depan penghulu."

Eriana benar-benar melongo ketika mendengar kalimat itu. Dan di saat ia akan membalas perkataan itu, ia justru mendapat kenyataan bahwa panggilan itu sudah diputuskan secara sepihak. Alhasil, dengan memelototkan matanya, Eriana melihat pada layar ponselnya.

"Wah!" katanya dengan nada tak percaya. "Lihat gimana dia ngomong sama calon istrinya? Ckckckck. Benar-benar sesuatu."

Eriana dengan kesal membanting ponsel itu di atas kasur. Beranjak bangkit dan memutuskan untuk kembali bercengkerama dengan adik-adiknya saja ketimbang memikirkan Satria. Namun, ketika ia tepat di ambang pintu, ia mendapati ponselnya kembali berdering. Sontak saja membuat ia menghentikan langkah kakinya. Menoleh dan menatap tajam pada benda itu. Tampak bergetar di sana.

"Ehm .... Apa lagi sekarang?" tanya Eriana geram. "Dia mau ngomong apa lagi?"

Geram, Eriana dengan langkah berat kembali menghampiri kasurnya. Membungkuk dan mengambil ponsel itu dalam sekali raihan tangan. Tapi, ketika ia melihat pada layar ponselnya, ia justru mengerutkan dahinya.

"Tante ...."

Eriana meneguk ludahnya.

Baru abis ditelepon anaknya, eh malah sekarang ibunya yang nelepon.

Mata Eriana menyipit sedikit.

Ini bukan yang tadi dia nelepon aku pas lagi ada Tante kan ya?

Tapi, Eriana menyingkirkan pemikiran itu dan langsung mengangkat panggilan tersebut. Tak ingin Mega menunggu lebih lama lagi.

"Halo, Tante ...."

Eriana dengan segera menyapa sesaat panggilan itu ia angkat. Di telinganya, ia bisa mendengar helaan napas Mega di seberang sana. Seperti merasa lega karena mendengar suara Eriana.

"Eri ..., Mama nganggu?"

Mata Eriana mengerjap. Sebanyak dua kali. Kepalanya meneleng ke satu sisi. Dahinya tampak berkerut. Seperti merasa ada yang berbeda di sana.

"Ehm ... nggak."

Karena ragu, pada akhirnya Eriana memilih memberikan jawaban yang aman. Lagipula ia pikir telinganya sedikit berdenging gara-gara tukasan Satria tadi.

"Begini," kata Mega kemudian. "Sesuai dengan rencana kemaren malam, hari ini kalian akan dijemput. Mungkin sebentar lagi jemputan kalian akan datang. Jadi, kalian siap-siap ya?"

Eriana ingat hal itu. Memang begitulah hasil perbincangan kedua keluarga mereka. Pernikahan mereka nantinya akan dilangsungkan di kediaman Satria. Memang lebih lumrah dilakukan di rumah mempelai wanita, tapi kala itu mengingat waktu yang sangat mendesak, maka mereka memutuskan hal tersebut. Lagipula akan lebih mudah bagi keluarga Satria mempersiapkan semua keperluan di sana ketimbang di rumah Eriana.

Tapi, ketika Mega mengingatkan hal itu pada dirinya, entah mengapa Eriana merasakan dunia seperti sedikit berputar-putar.

Aduh!

Tangan Eriana langsung mendekap dada kirinya sendiri. Merasakan gemuruh di sana. Membuat ia sesak napas.

"Itu ...."

"Karena Mama tau mungkin kamu nggak nyaman kalau ketemu sama Satria sebelum pernikahan kalian," lanjut Mega kemudian. "Nanti kalian nggak tinggal di sini kok. Tenang aja."

Sebelumnya hal itu tidak terpikirkan oleh Eriana, tapi ketika Mega mengatakannya, barulah ia menyadarinya. Ia pasti akan gemetaran atas bawah kalau sampai bertemu dengan Satria sebelum pernikahan mereka. Lagi-lagi Eriana menghela napas lega karena kebijaksanaan Mega. Seolah sudah bisa mengira kesulitan yang akan dihadapi gadis itu.

"Ehm ... dan Eri, tadi apa Satria ada nelepon kamu?"

Eriana menarik napas dalam-dalam sekali. "Ada. Barusan aja. Sebelum Tante nelepon aku."

"Oh gitu," ujar Mega. "Baguslah kalau dia udah nelepon kamu. Tapi, Eri ...."

"Ya?"

"Apa menurut kamu, kamu bakal tetap manggil Tante padahal bentar lagi kamu bakal nikah dengan Satria?"

Ah!

Ternyata yang tadi itu bukan efek telinga yang berdenging.

Eriana mencoba untuk tidak menjadi semakin gugup. Hingga di detik itu, ia merasa pernikahan benar-benar berbahaya untuk kesehatan jantungnya.

"Biasakan. Setelah menikah, akan ada banyak hal yang perlu kamu biasakan."

Glek.

Eriana sudah tau hal itu dari awal insiden di pesta beberapa bulan yang lalu. Di balik kata-kata Mega yang terasa lembut dan santun, selalu ada hal yang mampu membuat orang-orang seperti dirinya meneguk ludah.

Hingga kemudian panggilan itu berakhir, Eriana pada akhirnya benar-benar keluar dari kamar. Dengan menyeret langkah kakinya. Menuju ke dapur untuk melegakan tenggorokannya yang terasa mengering dengan segelas air dingin.

"Kamu nggak sarapan, Ri?"

Membalikkan badannya, Eriana mendapati Nanik yang menghampirinya. Lalu ia menggeleng.

"Belum lapar, Bu."

Nanik geleng-geleng kepala. "Tadi kamu masak mendoan dan perkedel jagung juga nggak dimakan. Emangnya kamu mau makan apa coba?"

"Aku emang lagi nggak selera makan. Paling ntar siang deh, Bu," balas Eriana lesu seraya berlalu dari sana.

Dan ditinggal seperti itu, Nanik hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Di dalam pikirannya ia hanya bisa menduga seperti ini.

Mungkin dia emang gugup bakal nikah besok.

Sementara itu, kembali bercengkerama dengan adik-adiknya seraya menyaksikan televisi yang menyala nyatanya tidak benar-benar menyita perhatian gadis itu. Walau ia tampak berbaur dan menimpali guyonan yang ada, di benaknya masih tersita oleh Satria dan pernikahan.

Ya ....

Kalau dirahasiakan juga nggak jadi masalah.

Malah itu kayaknya lebih bagus untuk aku.

Aku nggak kebayang aja kalau harus menghadapi Ratna-Ratna yang lainnya gara-gara dia.

Lagipula ... entah pernikahan ini bakal berlangsung lama atau nggak, aku juga nggak tau.

Pernikahan ini dimulai tanpa ada perasaan sama sekali.

Jadi, jangan terlalu banyak berharap, Ri.

*

Seperti apa yang telah dikatakan oleh Mega melalui telepon pagi itu, tak berapa lama kemudian –nyaris hanya sejam selanjutnya- ada tiga buah mobil yang datang ke rumahnya. Yang mana menurut Eriana itu benar-benar berlebihan sebenarnya. Tapi, Eriana yakin itu dilakukan Mega agar mereka sekeluarga bisa nyaman selama perjalanan nanti.

Selama dalam perjalanan itu, Eriana berusaha untuk memejamkan matanya. Lebih memilih untuk memaksa dirinya tidur ketimbang semakin merasakan kegugupan yang melanda dirinya.

Tinggal ngitung jam lagi ini mah.

Bentar lagi aku beneran bakal nikah dengan dia.

Dan kalaupun Eriana berusaha untuk menenangkan dirinya, maka bisa dipastikan ketika mereka sampai di tujuan hal itu seketika menjadi buyar. Adalah Mega yang ternyata telah menunggu kedatangan mereka sekeluarga. Di satu rumah yang terlihat asing di mata Eriana. Dan tentu saja, rumah yang megah.

"Gimana perjalanannya, Teh?" tanya Mega seraya menyambut Nanik yang baru turun dari mobil itu.

Masih sedikit pusing karena perjalanan dan tentu saja takjub dengan rumah yang ia datangi itu, membuat Nanik sedikit gelagapan ketika harus menjawab.

"Oh ... baik-baik saja, Mbak."

Mega tersenyum. Bersalaman dengan singkat pada Rozi serta memberikan pelukan hangat pada adik-adik Eriana. Lantas ia mengangkat tangannya.

"Mari. Kita masuk dan ngobrol di dalam."

Dan ketika mereka masuk ke dalam rumah itu, Mega dengan segera mengajak mereka untuk beristirahat di ruang tamu. Ada hidangan yang tersaji.

"Silakan dinikmati dulu. Setelah itu nanti kita coba fitting baju."

Eriana yang semula tampak tergoda dengan sepotong kue di sana, mendadak menjadi urung mengulurkan tangannya. Namun, sepertinya hanya dirinya yang merasakan hal itu. Karena ketika ia melihat ke sekeliling, ia bisa mendapati bagaimana kedua orang tuanya justru bercakap-cakap dengan begitu santainya bersama dengan Mega.

"Papa Satria sedang ada urusan penting, jadi nggak bisa ikut nyambut."

Rozi mengangguk sekali. "Nggak apa-apa. Kami maklum, Mbak."

Dan ketika pada akhirnya Mega merasa cukup memberikan waktu bagi mereka untuk sekadar melepas lelah sejenak, wanita paruh baya itu pun memanggil seseorang.

"Pak Masdar ...."

Seorang pria dengan pakaian rapi yang mengingatkan Eriana pada Herman muncul ke ruangan itu. Dengan sikap hormat dan sopan memberikan satu anggukannya.

"Semuanya sudah siap?"

"Sudah, Nyonya," jawabnya.

Maka setelah itu Mega beralih pada Nanik dan Rozi. "Mari, Mbak. Kita coba dulu pakaian untuk besok." Pada adik-adik Eriana ia pun tersenyum. "Nanti kalau kalian ngerasa ada yang nggak cocok, langsung dibilang ya. Biar cepat diurus sama Pak Masdar."

Eriana bisa melihat bagaimana wajah kedua orang tua dan adik-adiknya terlihat begitu semringah. Terutama ketika mereka beranjak memasuki satu ruangan besar yang ternyata di sana sudah tersedia beberapa patung dengan gaun yang membalutnya. Di lain sisi, Eriana justru mendapati ada beberapa pakaian yang tergantung dengan rapi.

Kedatangan mereka ke ruangan itu langsung disambut oleh beberapa orang pelayan. Dengan sopan langsung mengantarkan mereka pada pakaian masing-masing. Dan Eriana, dengan langkah gemetar menuju pada satu kebaya putih. Yang tentu saja, ia tak akan salah mengira bahwa pakaian indah itu pasti ditujukan untuk dirinya.

Mega menghampirinya seraya melihat kebaya tersebut.

"Gaun kamu belum siap dikenakan dalam waktu dua hari," jelasnya kemudian. "Tapi, tenang saja. Nanti ketika resepsi pernikahan kalian, kamu bisa mengenakannya. Dan untuk itu, Mama pikir kebaya adalah pilihan paling tepat untuk akad nikah."

Eriana menahan sejenak napas di dadanya. Entah sadar atau tidak, tangannya terulur. Meraih kebaya itu.

"Cantik ...."

Mega tersenyum. "Tentu saja cantik," ujarnya senang karena pilihannya sesuai dengan keinginan gadis itu. "Kamu mau nyobanya sekarang?"

Eriana berpaling. Melihat pada Mega dan lantas ia mengangguk.

Maka Eriana selanjutnya mendapati bahwa Lina menghampiri dirinya. Hal yang sebenarnya membuat ia menjadi bingung karena keberadaan gadis itu.

"Kamu ada di sini, Lin?"

Lina tersenyum. Membawa Eriana ke ruangan lainnya. "Ya saya memang harus di sini, Non. Di mana Nona itu artinya saya juga harus ada di sana."

Eriana menelengkan wajahnya ke satu sisi. Tapi, belum lagi ia bicara, Lina sudah kembali berkata.

"Mari, Nona. Dicoba dulu kebayanya. Kalau nggak pas, nanti akan saya lihat pilihannya yang lain."

"Ah ... kebaya."

Eriana mengangguk dan langsung mengganti pakaian yang melekat di tubuhnya dengan kebaya itu. Dan tak hanya itu, setelahnya beberapa penata rias tampak langsung mendandani Eriana. Menata rambut sepunggungnya. Memberikan polesan make up di wajahnya. Sebagai pelengkap, sepasang sepatu pun membungkus kedua kaki Eriana.

Setelah Lina merasa penampilan Eriana cukup, maka ia pun menuntun gadis itu untuk keluar dari ruangan itu. Ketika Lina menekan daun pintu, ia bisa mendengar gelak tawa dan suara-suara renyah di sana. Suara Nanik, Rozi, dan Mega, serta adik-adik Eriana pula. Tapi, ketika calon pengantin itu keluar, maka semuanya mendadak hening. Hanya bisa terpana melihat penampilan Eriana kala itu. Hal yang justru membuat Eriana merasa perutnya seperti bergejolak.

"Ya Tuhan, Eri."

Nanik terkesiap sementara Eriana berusaha tersenyum, walau kaku. Ia meremas kedua tangannya. Tampak salah tingkah dengan semua tatapan mata yang menyorotkan ketakjuban itu.

"Ini ... nggak norak kan?"

Pada akhirnya Eriana berhasil untuk bicara juga. Tapi, tentu saja pertanyaan itu langsung mengundang gelak tawa.

"Norak?"

"Astaga. Teteh cantik."

"Ya Tuhan. Anak Ibu cantik."

Eriana tak mengatakan apa-apa selain membiarkan kedua orang tuanya memandang dirinya lekat-lekat. Bergantian. Seolah mereka telah lama berpisah. Padahal yang terjadi justru sebaliknya.

Aku cuma fitting kebaya coba.

Tapi ....

Tapi, mungkin itu adalah hal yang wajar. Karena ketika Eriana menatap pantulan dirinya sendiri di cermin besar itu, ia pun nyaris tak percaya dengan yang matanya lihat saat itu. Ia terlihat begitu ... cantik.

Dan penata rias memastikan bahwa Eriana akan tampil lebih cantik lagi di saat malam pernikahannya nanti. Yang mana itu pun tak mampu dibayangkan lagi oleh Eriana. Bahkan bisa melihat dirinya seperti itu pun layaknya sebuah mimpi.

Hingga kemudian, setelah pengepasan pakaian itu berakhir, Mega mempersilakan keluarga Eriana untuk beristirahat. Sementara itu, di kamar Eriana, Mega menghampiri gadis itu. Alarm di benak Eriana berbunyi. Ia tau, pasti ada sesuatu yang akan dikatakan oleh Mega.

Duduk berdua di tepi tempat tidur, Mega meraih tangan Eriana. Menimangnya pelan.

"Kamu sudah akrab dengan Lina kan?" tanya Mega kemudian.

Mata Eriana mengerjap sekali. Lantas mengangguk. "Lina baik kok, Tante. Dia---"

Mega membolakan matanya dan Eriana dengan cepat meralat perkataannya.

"Lina baik, Ma," ujar Eriana kemudian dengan cepat. "Dia juga enak diajak ngobrol. Ehm ... kenapa, Ma?"

Mega mengembuskan napas panjang. "Nggak apa-apa. Kalau menurut kamu Lina baik dan kamu sudah merasa akrab dengan dia, berarti Mama sudah cukup tenang," jelasnya. "Lina nanti akan selalu membantu kamu. Kalau kamu perlu sesuatu, kamu harus mengatakannya pada Lina."

Eriana mengangguk.

"Dan bagaimana dengan Pak Masdar? Memang sih kamu belum lama mengenal dia, tapi sejauh yang Mama tau Pak Masdar adalah kepala pelayan yang bertanggungjawab."

"Ehm ... dia sepertinya ramah."

Senyum membentuk di wajah Mega. "Kalau begitu ...," lanjutnya. "Apa rumah ini nyaman?"

"Rumah?" Mata Eriana mengerjap-ngerjap. "Rumah ini maksud Mama?"

"Iya. Rumah ini. Apa menurut kamu nyaman?"

"Ehm ...," dehem Eriana. "Nyaman, Ma. Suasananya juga ...."

Lalu Eriana menghentikan ucapannya. Seketika saja matanya membesar menatap pada Mega.

"Ma ..., ini ...."

Bahkan Eriana tak mampu meneruskan kata-katanya. Dan di saat itulah Mega bertanya.

"Kamu ingat dengan apa yang kamu katakan di malam pertama kali kita bertemu?"

Masih syok dengan dugaan yang muncul di benaknya, Eriana berusaha mengingat malam pertama di mana mereka berdua bertemu. Tentu saja di pesta amal itu. Ketika dirinya terpergok sedang meremas bokong Satria.

Eriana langsung berusaha mengenyahkan pemikiran itu.

Jangan mikir bokong Satria dulu, Ri.

Ehm ....

Apa sih yang aku bilang di malam itu?

Berusaha mengingat, pada akhirnya Eriana merasakan tubuhnya mendingin. Dan di saat itulah suara Mega kembali terdengar.

"Saya itu kodratnya untuk jadi Nyonya Rumah."

Eriana mengap-mengap. Berusaha untuk tetap bernapas.

"Itu kan yang kamu bilang malam itu?"

Sebenarnya itu hanya semacam gertakan.

Tapi ....

Eriana berusaha menarik napas dalam-dalam.

Ini nih kenapa orang tua ngasih pesan, kalau ngomong itu yang baik-baik.

Nggak tau aja kapan malaikat lewat dan mencatatnya.

Di hadapannya, Mega tersenyum. "Sebentar lagi, kamu jadi Nyonya di rumah ini."

Berusaha keras untuk tidak mendadak pingsan dengan fakta yang satu itu, Eriana menyadari sesuatu berkelebat di benaknya.

Untung aku keukeuh ngomong mau jadi Nyonya Rumah.

Kebayang kalau aku ngomong mau jadi wanita simpanan malam itu?

Tapi ....

Tapi, rumah segede ini?

Dan di saat Mega tersenyum lebar padanya, Eriana justru menganga tak percaya.

Ya Tuhan.

Gara-gara bokong aku jadi dapat rumah kayak gini?

Menakjubkan!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top