41. Tak Asing

Pagi itu Satria mengawali hari dengan tidak begitu baik sebenarnya. Kepalanya terasa pusing. Ia tak akan salah mendiagnosa bahwa itu adalah komplikasi dari syok terpergok ibu kandung sendiri, lamaran mendadak, dan tidur yang tidak nyenyak. Hal yang sukses membuat Herman bertanya pada pria itu.

"Perlu saya panggil dokter, Tuan?"

Satria menarik napas dalam-dalam. "Tak perlu. Siapkan saja vitamin seperti biasanya."

Herman mengangguk. Lantas keluar dari kamar pria itu. Bertepatan sekali dengan dering ponsel yang menarik perhatian pria itu. Satria tau, tak banyak orang yang menghubungi dirinya di pagi hari. Tapi, mungkin ada pengecualian untuk hari-hari tertentu. Terutama di hari setelah insiden yang menggemparkan baru saja terjadi.

Satria tidak heran sama sekali ketika melihat nama Andika yang muncul di layar ponselnya.

"Beneran?"

Tanpa tedeng aling-aling, Andika langsung melayangkan satu kalimat tanya itu tepat ketika Satria mengangkat panggilan tersebut dan meletakkan ponsel di telinga kirinya. Dan ia baru akan menjawab ketika Andika kembali bertanya.

"Kamu beneran bakal nikah besok? Besok ini? Tinggal semalam ini lagi status bujangan kamu bertahan?"

Mendadak saja Satria merasa kepalanya kembali berdenyut. Hingga membuat ia memejamkan mata sejenak dan memilih untuk duduk di tepi tempat tidur.

Mungkin seharusnya aku emang nyuruh Pak Herman buat manggil dokter ke rumah.

Tapi, sebelum melakukan itu, ia tau bahwa ada Andika yang sedang menunggu jawabannya di seberang sana. Dan temannya itu tak akan berhenti bertanya sebelum mendapatkan jawabannya.

"Iya. Berita yang kamu denger itu memang benar," kata Satria pada akhirnya. "Besok, aku bakal nikah."

Astaga!

Seumur hidup Satria tak pernah mengira bahwa ketika ia menikah nanti maka itu akan menjadi pernikahan super kilat yang bahkan bisa membuat Andika terkesiap tak percaya.

"Astaga, Sat. Ini mendadak banget."

Satria tersenyum muram. Sedikit menabur kebohongan di sana. "Sebenarnya nggak mendadak kok. Ehm ... kami kan memang udah merencanakan pernikahan ini."

"Merencanakan dengan merealisasikan itu jelas beda," bantah Andika. "Maksud aku, perasaan baru berapa hari, ehm ... minggu kemaren? Atau dua minggu yang lalu kamu ngomongi soal rencana pernikahan kalian dan kamu ngomong masih ragu gitu."

Satria tak membantah hal yang satu itu.

"Ragu aja bisa nikah mendadak gini? Gimana nggak ragunya? Kali kamu udah nikah di malam setelah kamu ngobrol dengan aku soal itu."

"Aaah ...." Satria memilih untuk tidak mendebat perkataan Andika yang semakin memojokkan dirinya. Lebih dari itu, ia penasaran akan satu hal. "Tapi, ngomong-ngomong kamu tau dari mana soal ini?"

Tentu saja sekarang Satria mempertanyakan hal itu. Karena mau bagaimanapun juga, kejadian itu berlangsung dalam waktu yang benar-benar singkat. Mustahil kabar burung tersiar dengan begitu cepat ketika keluarganya justru sibuk dengan mempersiapkan semuanya ketimbang berbagi kabar itu ke mana-mana.

"Tante Dewi."

Tentu saja.

Mata Satria memejam dramatis.

Harusnya aku ingat kalau di rumah aku ada penyebar gosip paling handal sedunia.

Tante Dewi nggak ada di tempat aja, tapi ia bisa dapat semua informasi dan menyebarkannya.

Lalu, suara Andika terdengar lagi.

"Tapi, Sat, kamu benar-benar yakin menikahi Eri? Saat ini juga?"

Mata Satria membuka lagi. "Sepertinya memang begitu," jawabnya kemudian. "Memangnya kenapa?"

"Ehm ...," dehem Andika. "Aku nggak tau sih gimana pertimbangan kamu. Tapi, apa masuk akal menikahi sekretaris sendiri yang baru bekerja selama ... berapa bulan? Dua bulan? Atau tiga bulan?"

Satria diam.

"Ya ... bukan berarti ada larangan menikahi sekretaris sendiri sih. Tapi ...."

Tapi, sepertinya ada yang terlewatkan oleh Satria di sana. Hal yang kemudian justru membuat suara Andika terdengar mengabur di telinganya sementara Satria merenungkan hal tersebut.

Menikahi sekretaris sendiri?

Memang nggak ada peraturan yang melarang.

Tapi, bukan berarti itu hal yang terasa tepat.

Terutama ketika baru beberapa bulan perkenalan.

Panggilan Andika lantas berakhir tepat ketika Satria merasa sudah lelah meladeni percakapan pria itu. Ia bangkit dan langsung beranjak menuju ke meja makan. Tempat di mana kedua orang tuanya sudah menunggu kehadirannya.

"Pa," kata Satria kemudian. "Apa hari ini aku bisa meminjam seorang asisten Papa? Ada rapat dan Eri nggak ada."

Sigit meneguk segelas air putihnya terlebih dahulu sebelum mengangguk. "Silakan saja. Siapa yang kamu mau?"

Satria merenung sejenak, berpikir dengan cepat sebelum menjawab.

"Aku pikir Yuda saja. Nanti aku akan menghubunginya."

Sigit mengangguk. "Mungkin nanti kamu bisa mempertimbangkan untuk mencari asistenmu, Sat. Untuk situasi mendadak kalau sekretarismu nggak ada, itu sangat berguna."

"Baik, Pa. Nanti setelah semuanya lebih santai, aku pasti akan melakukannya."

Dan ketika sarapan pagi itu berlangsung, dalam keheningan, Satria terus memikirkan perkataan Andika tadi. Hingga membuat ia pada akhirnya menyuarakan hal tersebut pada kedua orang tuanya. Dimulai dengan satu kalimat.

"Apa memungkinkan untuk merahasiakan pernikahan ini selama beberapa waktu?"

Hal yang tentu saja membuat Sigit dan Mega seketika mengangkat wajah dan menghentikan sarapannya dengan kompak. Mereka tampak mengerutkan dahi dengan ekspresi bingung.

"Merahasiakan?"

Satria melihat pada Mega. Sang ibu yang tampak syok ketika menanyakan itu.

"Bagaimana bisa pernikahan kamu dirahasiakan?" lanjutnya lagi. "Kamu tau? Mama sudah menghubungi pers untuk pernikahan kalian."

"Kalau begitu," kata Satria kemudian. "Batalkan, Ma."

Mata Mega membesar. Tapi, ketika ia ingin bicara lagi, Sigit sudah mendahuluinya.

"Pertimbangan kamu?"

Satria menarik napas dalam-dalam. Menyadari bahwa saat itu Mega masih dikendalikan oleh sifat emosionalnya.

"Eri baru tiga bulan jadi sekretaris aku. Bukan berarti aku harus mendengarkan perkataan orang," kata Satria. "Hanya saja ..."

"Nggak mungkin kamu cinta dia, Sat .... Nggak mungkin .... Dia cuma ingin mengincar harta kamu aja."

"Aku tau dia ngebela aku cuma karena Mama dia. Aku tau. Tapi, nggak apa-apa. Asal menikah dengan dia bisa ngebuat kehidupan keluarga aku lebih layak, aku rela dianggap nggak waras. Aku sudah biasa hidup berpura-pura."

"Mungkin menikah dengan kamu adalah jalannya Eri untuk bahagia."

Ada beberapa suara yang terasa mengiang di benak pria itu, tapi setidaknya tiga hal itulah yang terdengar begitu jelas di benak Satria. Suara Ratna yang menganggap Eriana hanya mengincar hartanya, keluhan Eriana, dan harapan Rozi.

"Aku khawatir kalau berita pernikahan kami tersebar seperti ini justru akan memberatkan Eri," kata Satria. Lalu ia menatap kedua orang tuanya. "Berikan aku waktu. Setidaknya beberapa bulan lagi. Setelah beberapa proyek penting selesai, aku akan mencari sekretaris baru. Dan kemudian ... kita bisa mempublikasikannya. Bahkan pernikahan ulang kalau perlu."

Sigit dan Mega lantas saling pandang. Diam untuk beberapa saat dan menyadari bahwa apa yang dikatakan oleh putranya memang ada benarnya. Kalaupun ada gosip, maka itu jelas akan memberatkan Eriana. Sepanjang manusia hidup di dunia, jarang sekali gosip memojokkan pria. Pada akhirnya Satria hanya berpikir bahwa mungkin Eriana tidak akan menyukai kemungkinan buruk tersebut.

"Tapi, ingat," kata Mega membuyarkan lamunan Satria. "Secepatnya, Sat. Dan kamu harus ngomong soal ini ke Eri. Mama nggak mau dia justru mikir bahwa ada sedikit saja penolakan dari kamu."

Dan pelototan mata Mega membuat Satria mengangguk. Setidaknya ia tau, bahwa berkat kebijaksanaan Megalah hingga apa yang terjadi di ruang kerjanya kemaren tidak sampai tersiar ke luar.

*

Pagi itu di kantor, Satria melangkah memasuki gedung kantornya seorang diri. Tanpa ada kehadiran Eriana yang biasanya selalu menunggu kehadiran dirinya. Tapi, setidaknya ketika ia sudah tiba di lantai ruangannya, ia sudah mendapati keberadaan Yuda di sana.

"Selamat pagi, Pak," sapa Yuda kemudian.

Satria mengangguk. Membiarkan Yuda membukakan pintu untuk dirinya sementara ia masuk menuju ke mejanya.

"Hari ini Bapak ada jadwal rapat jam sepuluh," ujar Yuda mengingatkan. "Untuk semua bahan presentasi dan proposal sudah siap."

Satria duduk. "Oh, terima kasih," balasnya kemudian. "Saya harap nggak ada yang terlewatkan."

"Semuanya sudah disiapkan oleh sekretaris Bapak."

Mata Satria melirik. "Oh, sudah disiapkan Eri." Ia manggut-manggut. "Baiklah."

Menunggu hingga Yuda beranjak keluar dari ruangannya dan menutup pintu itu, Satria kemudian mengeluarkan ponselnya. Menekan kontak Eriana dan menunggu beberapa detik sebelum pada akhirnya suara Eriana terdengar di telinganya.

"Sat ...?"

Mata Satria mengerjap sekali. "Eri ...."

Pria itu merasakan bagaimana mendadak saja tenggorokannya seperti tercekat ketika berusaha menyebut nama wanita itu. Dan entah karena pernikahan yang membayang, atau mungkin karena mendadak saja matanya melihat pada sisi meja –tempat di mana ia dan Eriana kemaren melakukan cumbu rayu mereka-, atau mungkin karena keduanya, nyatanya Satria merasa jantungnya seperti berdetak lebih kencang kala itu.

Nikahnya masih besok, Sat.

Jangan gugup dulu sekarang.

Menghirup udara dalam-dalam, Satria kemudian berusaha menenangkan dirinya sejenak. Di saat ia merasa sudah mulai terkendali, ia pun bertanya.

"Kamu di rumah?"

Pertanyaan itu dengan cepat mendapatkan jawabannya.

"Iya. Ini tadi aku lagi ngumpul bareng adek-adek, tapi karena kamu nelepon ya ... jadinya aku ke kamar bentar."

"Oh ...," lirihnya.

"Kenapa?" tanya Eriana kemudian.

Dan belum lagi Satria akan menjawab, Eriana justru terkesiap.

"Kamu ada rapat jam sepuluh ini kan?" tanyanya lagi. "Apa ada yang kamu butuhkan? Semua bahan sudah siap. Di meja kedua aku. Sudah dipisah dan diberi la---"

"Aku tau," potong Satria kemudian. "Semua bahannya sudah siap. Tadi Yuda ngomong juga sudah siap kok."

"Yuda? Siapa Yuda?"

Satria mengembuskan napas panjang. "Itu asisten pribadi Papa yang aku minta buat nolongin aku hari ini."

"Aaah ...." Eriana melirih panjang. "Begitu. Ehm .... Hari ini kamu kerja sampe sore?"

"Rencananya sih nggak," jawab Satria. "Mungkin abis rapat aku bakal pulang. Bagaimanapun juga ..." Pria itu mendesah panjang. "... besok itu hari pernikahan kita."

Tak ada suara Eriana di seberang sana. Dan untuk beberapa saat, mereka terdiam kompak.

"Eri ...."

Suara Satria kemudian terdengar lagi setelah jeda beberapa saat itu.

"Ya?"

Satria menarik napas dalam-dalam. Menyandarkan sedikit punggungnya di kursi kerjanya.

"Untuk pernikahan kita," lanjutnya kemudian. "Menurut aku, untuk beberapa saat lebih baik kita dirahasiakan dulu."

Hening lagi sejenak. Lalu barulah Satria mendapatkan pertanyaan itu.

"Dirahasiakan?"

Bodoh, tapi Satria mengangguk spontan walau jelas Eriana tak akan melihat anggukannya itu.

"Ya. Menurut aku ini keputusan yang tepat untuk kamu," jawab Satria. "Bagaimanapun juga, kamu baru bentar jadi sekretaris aku. Menikahi kamu sekarang pasti bakal jadi hal yang nggak bagus untuk kamu. Aku sih nggak jadi masalah, tapi aku pikir itu bakal memberatkan kamu. Walau sebenarnya aku yakin kamu nggak bakal merasa berat sama sekali."

Satria mengerutkan dahinya.

Merasakan bagaimana anehnya kata demi kata yang ia ucapkan. Terutama dengan perubahan intonasi suaranya yang makin lama makin naik dan cepat.

Dan ia kemudian menunggu respon Eriana untuk perkataannya. Mungkin gadis itu akan membantah atau---

"Kamu ini. Aku pikir apaan coba," kata Eriana kemudian. "Ck. Ternyata cuma masalah itu."

Sikap tubuh Satria yang semula mulai menyantai, mendadak menjadi tegang seketika. Punggungnya berdiri tegap lagi.

"Cuma?" tanya Satria tak percaya. "Masalah ini kamu bilang cuma?"

Tunggu!

Sesuatu terasa tak asing di telinga Satria. Hal yang lantas membuat kerutan di dahi pria itu bertambah. Belum lagi dengan ekspresi herannya.

Cuma?

Kenapa berasa de javu ya?

Tapi, suara Eriana membuyarkan lamunan Satria.

"Kan memang gitu. Mau dirahasiakan atau nggak, kita ya tetap nikah," kata Eriana lagi. "Ya cuma ... dirahasiakan sih."

Satria melongo untuk beberapa detik lamanya. Seperti ia yang membutuhkan lebih banyak waktu demi memaknai perkataan itu.

Beneran deh!

Ini kenapa berasa nggak asing sama sekali?

Tapi ....

Bentar deh bentar.

Satria meneguk ludahnya sekilas.

"Kamu nggak keberatan sama sekali kalau pernikahan kita dirahasiakan untuk sementara waktu?" tanya Satria dengan napas menggebu. Sekarang Satria merasa ada bara panas yang tersulut di dadanya. Membuat ia melonggarkan ikatan dasi di lehernya.

Eriana terdengar mendehem sejenak.

"Ehm ... biasa aja sih sebenarnya."

Mata Satria melotot besar.

Mampus percuma aja aku mikirin perasaan dia kayak gimana.

Emang ini dasar cewek nggak berperasaan.

Ini cewek cuma nafsuan sama bokong aku aja.

Geram.

Membiarkan napasnya menderu untuk beberapa kali hingga Satria yakin Eriana bisa mendengar napasnya di seberang sana, ia pun lantas berkata. Tepat sebelum pada akhirnya ia memutuskan panggilan itu secara sepihak.

"Oke. Sampai ketemu besok di depan penghulu."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top