40. Bayangan Yang Serupa

Kalau ada yang mengira bahwa setiap orang itu berbeda, maka itu pasti sudah barang tentu benar. Bahkan untuk satu kejadian pun bisa menimbulkan respon yang tak sama satu dengan yang lainnya. Begitupun dengan yang dirasakan oleh Eriana.

Menikah ... tentu saja adalah hal yang semestinya memberikan kebahagiaan untuk setiap wanita di muka bumi ini. Tapi, menikah mendadak ... itu lain lagi ceritanya.

Mendapati bahwa beberapa hari terakhir masih ia habiskan dengan status yang lepas dan bebas, Eriana nyaris tak percaya bahwa ia akan menikah dalam hitungan hari. Ia hanya butuh dua jari tangannya untuk menghitung mundur hingga hari sakral itu tiba. Tentu saja, mau tak mau membuat ia menjadi gugup dan bingung dengan situasi yang tengah ia hadapi.

Ketika Eriana membuka matanya, ia mendapati bagaimana saat itu ia terbangun dengan ketiga orang adiknya yang tampak masih pulas di dunia mimpi masing-masing. Hal yang membuat ia merenung sejenak. Bahwa memang waktu berjalan dengan begitu cepat.

Dulu ketika Eriana nyaris menghabiskan waktu selama dua puluh empat tahunnya dengan berbagi kamar bersama ketiga orang adiknya itu, ia selalu berharap bisa memiliki kamarnya sendiri. Hal yang lantas ia dapatkan ketika memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di luar negeri. Ia begitu antusias merasakan kelapangan itu. Tak ada tidur yang saling menendang atau adegan saling menarik selimut. Pun ketika ia pulang ke tanah air, ia hanya beberapa bulan lagi merasakan keadaan seperti itu, karena pada akhirnya ia mendapat pekerjaan dan terpaksa harus tinggal di unit apartemen sederhana yang ia sewa bersama dengan Intan.

Lagi-lagi, ia bisa mendapatkan kasurnya sendiri. Sekarang, ketika Eriana memikirkan hal itu, ia merasa mungkin hanya sebatas kasur alasannya sehingga pada akhirnya ia lebih memilih untuk tetap tinggal di unit ketika akhir pekan. Walau memang, pulang pergi Bogor Jakarta tidak pernah menjadi perjalanan yang menyenangkan bagi siapa pun. Eriana sempat berpikir tidak ingin letih di jalan, tapi sekarang? Ia justru berpikir bahwa dua puluh empat tahun yang ia lalui dengan suasana sempit itu mungkin masih kurang dibandingkan dengan tiga tahun yang ia lalui dengan kelapangan. Mungkin seharusnya ia merelakan rasa letih di tiap akhir pekan itu seandainya ia tau bahwa ia akan menikah secepat itu.

Tapi, lantas ada satu suara yang mengiang di benaknya.

"Selama apa pun itu, kamu nggak bakal ngerasa cukup, Ri. Ketimbang kamu mikirin penyesalan kamu, lebih baik kamu ingat gimana senangnya kamu ngelewati hari-hari kamu dulu."

Mungkin karena itulah mengapa Eriana bisa menarik bibirnya untuk satu senyuman itu. Ia bersyukur karena memiliki dua puluh empat tahun yang berharga. Dan adik-adiknya, itu adalah bagian dari itu semua.

Ketika Eriana memutuskan untuk bangkit dari kasur yang tergeletak di atas lantai itu. Beralaskan satu tikar di bawahnya, kala itu jam masih menunjukkan pukul tiga dini hari. Nyaris bisa dikatakan bahwa gadis itu tertidur bahkan tidak sampai tiga jam lamanya. Tapi, entah mengapa matanya seperti enggan untuk memejam. Mungkin karena terlalu banyak pikiran yang berputar-putar mengisi kepalanya hingga membuat ia tak menikmati istirahat malamnya. Dan karena itulah pada akhirnya Eriana menyerah. Memilih untuk melakukan sesuatu ketimbang berusaha untuk tidur. Ia yakin ia tak akan bisa tidur.

Eriana beranjak ke dapur. Melihat pada meja makan bahwa ada banyak makanan yang tersisa lantaran sebenarnya tidak terlalu banyak orang yang datang saat lamarannya tadi. Hal yang wajar mengingat lamaran itu dilakukan dengan waktu yang begitu mendadak.

Menutup kembali tudung saji itu, Eriana lantas membuka kulkas satu pintu yang terletak di seberang ruangan. Melihat isinya dan mendapati ada dua papan tempe dan juga satu tongkol jagung manis. Maka ia pun meraih kedua bahan itu. Termasuk selanjutnya adalah bawang daun dan daun saledri, serta rempah-rempah yang akan ia gunakan nantinya.

Eriana membawa bahan-bahan itu ke meja. Mengambil pisau dan talenan, serta mangkok yang akan ia butuhkan nantinya. Dan ketika Eriana akan mengiris tipis tempe itu, mendadak saja tatapan mata Eriana jatuh pada benda asing yang melingkar di jarinya.

Cincin.

Memandangi cincin itu untuk berulang kali membuat Eriana tertegun. Menyadari bahwa sudah bisa dipastikan ia memang akan menikah. Lagipula, itu bukan berarti Eriana akan melarikan diri dari pernikahan tersebut.

Yaaah ....

Menikah dengan Satria juga nggak buruk-buruk banget, Ri.

Pikirkan hal positifnya di sini.

Siapa yang nggak mau nikah dengan cowok kayak dia coba?

Mata Eriana lantas memejam. Berusaha menghadirkan sosok Satria dalam benaknya. Lantas pria itu pun muncul. Dengan pakaiannya yang rapi dan lantas berseru.

"Kamu mau aku lempar ke Monas?!"

Eriana sontak membuka matanya dan merinding seketika. Melepaskan pisau di tangannya, ia lantas mengusap tekuknya yang mendadak basah.

"Bukan bayangan yang kayak gitu," lirih Eriana kesal pada dirinya sendiri.

Dan lalu ia memejamkan kembali matanya. Menarik napas dalam-dalam dan pelan-pelan senyumnya mengembang. Hingga pada akhirnya lengkungan bibirnya justru berubah menjadi seringai.

Wah ....

Celana jeans memang paling cocok untuk dia.

Sem ... pur ... na ....

Eriana mengembuskan napasnya dengan penuh irama. Tampak puas dengan bayangan yang selanjutnya muncul di benaknya. Itu adalah bayangan Satria yang tengah berjalan di depannya dengan mengenakan celana jeans yang membalut kakinya.

Tanpa sadar membuat Eriana meneguk ludahnya.

Ya, Ri ....

Kayak gitu.

Kalau kamu nggak bisa menghindari pernikahan, artinya ya kamu harus menikmati pernikahan itu.

Menikah ... itu artinya kamu punya akses bebas untuk bokong Satria.

Mata Eriana membuka seketika. Entah sadar atau tidak, lalu ia tertawa.

"Hwahahahaha."

Dan ketika ia tertawa puas seperti itu, mendadak saja Eriana merasakan tongkol jagung melayang dan mendarat di dahinya dalam bentuk pukulan kecil. Tidak menyakitkan, hanya saja membuat ia kaget ketika mendapati bahwa ternyata Naniklah yang memukul dirinya.

"Ibu?" Eriana mengerjapkan matanya. "Kok bangun?"

Nanik menarik kursi dan duduk di dekat Eriana. "Ibu pikir ada Kuntilanak yang keliaran. Ternyata malah anak Ibu sendiri Kuntilanaknya."

Masih mengusap dahinya sekilas, Eriana lantas terkekeh pelan. Kembali meraih pisaunya.

"Aku nggak bisa tidur, Bu," terang Eriana kemudian tanpa diminta. "Jadi, daripada nggak ngapa-ngapain, aku mau masak mendoan dan perkedel jagung aja. Buat sarapan nanti."

Nanik melihat Eriana yang mulai mengiris tipis sepapan tempe. Menarik napas dalam-dalam dan lantas bertanya.

"Kamu pasti gugup ya karena akan menikah sebentar lagi?"

Mengerjap-ngerjapkan matanya, Eriana sama sekali tidak ingin berbohong untuk keadaannya saat itu.

"Tiap aku mikirkan soal pernikahan kami, aku pikir jantung aku mau meledak, Bu," jawabnya. "Rasanya mungkin lebih dari gugup."

Nanik mengerti dengan pasti rasa itu. Maka ia pun memasang sorot lembutnya.

"Gugup sebelum pernikahan itu adalah hal yang wajar. Setiap orang pasti mengalaminya."

Tangan Eriana berhenti bergerak. "Apa Ibu dulu juga gitu?"

Ekspresi salah tingkah langsung tercetak di wajahnya. "Ehm ... yang Ibu ingat ... memang saat itu Ibu jadi susah tidur bermalam-malam. Rasanya seperti tidak sabaran, tapi juga ... takut."

"Ah," lirih Eriana pelan. "Takut ...."

"Tapi, itu hanya pikiran kita saja. Yang terjadi justru sebaliknya kan? Kamu lihat kan gimana pernikahan Ibu bukan hal yang menakutkan?" Nanik mencoba untuk tersenyum. "Ya memang kehidupan kita tidak mewah ...."

Eriana melepaskan pisaunya. Ganti beralih untuk meraih tangan ibunya.

"Tapi, kita bahagia," pungkas Nanik. "Banyak orang yang nggak seberuntung Ibu. Memiliki suami yang bertanggungjawab walau hidup kita terkadang memiliki keterbatasan. Dan tentu saja memiliki anak-anak yang pengertian. Terutama kamu."

Eriana menarik napas dalam-dalam.

Entah mengapa topik pernikahan sepertinya lebih emosional ketimbang yang sempat ia duga sebelumnya. Hal yang selama ini ia hindari seperti muncul ke permukaan karena satu kata itu.

"Ibu tau kamu bisa menikah dari dulu kalau kamu memang mau. Tapi, dengan keadaan kita dulu, kamu justru memilih untuk menolak lamaran Jefri. Ibu merasa berdosa untuk itu, Ri."

Eriana meremas tangan Nanik. Bibirnya tampak mengerucut. "Untuk apa Ibu ngerasa berdosa?" tanya Eriana dengan manyun. "Itu namanya aku dan Jefri nggak jodoh, Bu. Lagipula coba lihat? Kalau aku nerima Jefri dulu, aku belum tentu berada di posisi aku sekarang." Matanya mengerjap. "Sekarang ... aku justru ketemu dengan Satria. Dia lebih segala-galanya."

"Ibu tau, Ibu tau," angguk Nanik. "Satria pasti akan membahagiakan kamu. Dan tentu saja ia harus membahagiakan kamu, Ri."

Eriana mengerjapkan matanya. "Tentu, Bu. Satria pasti bakal membahagiakan aku. Lihat aja. Kami baru kenal sebentar dan dia langsung melamar aku. Ibu nggak bakal dapat menantu yang lebih gentle dari dia."

Nanik mencoba untuk tersenyum. Tapi, ketika ia melihat bagaimana mata Eriana yang tampak berkaca-kaca, wanita paruh baya itu tak kuasa untuk menuntaskan apa yang ada di dalam hatinya selama ini.

"Ibu bahagia karena kamu adalah anak Ibu, Ri. Kamu sudah rela mengorbankan kepentingan kamu untuk orang tua dan adik-adik kamu. Dan itu---"

"Dan itulah yang membuat Tuhan jadi baik sama aku, Bu," potong Eriana cepat seraya memeluk Nanik. "Ibu tau bukan nggak semua orang bisa menginjakkan kakinya di luar negeri, Bu? Dan nggak semua orang bisa langsung mendapatkan kerja saat tamat. Juga nggak semua orang bisa mendapatkan calon suami seperti Satria."

Pelukan Eriana mendapatkan balasannya. Ditambah oleh usapan lembut Nanik di punggungnya.

"Itu karena Tuhan tau ... apa yang aku lakukan adalah untuk membuat Ibu bahagia." Memejamkan matanya, Eriana berkata dalam senyuman. "Aku dan Satria akan hidup bahagia, Bu."

Dan lantas, tanpa terucap oleh bibirnya, ada satu permintaan yang mungkin akan sangat sulit ditolak oleh Tuhan. Itu adalah ketika sang ibu berkata.

Kamu akan bahagia, Ri.

Selamanya dengan Satria.

*

Sementara itu, terpisah beberapa kilometer jauhnya, ternyata ada seseorang yang juga mendadak seperti mengidap insomnia kala itu. Dan tentu saja orang itu adalah Satria.

Tadi sekembalinya mereka dari rumah Eriana, Satria mungkin bisa menikmati istrihatnya di dalam mobil sepanjang perjalanan. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya.

Mengingat kejadian di dapur tadi bersama Eriana, Satria memang terlihat bisa berkata sok tenang pada gadis itu. Namun, yang terjadi sebenarnya adalah hal yang sebaliknya. Pria itu jelas memiliki ketakutannya sendiri.

Bukan seperti ini harusnya aku menikah.

Bukan dengan cara terpergok memalukan oleh ibu kandung aku sendiri.

Ada satu hal yang menyentil ego Satria saat itu, bahkan pernikahannya benar-benar dimulai oleh tindakan yang tidak semestinya. Tapi, Satria mencoba menerima itu.

Setiap perbuatan memiliki risikonya masing-masing, Sat.

Dan untuk yang kamu lakukan dengan Eri, tentu saja pernikahan menjadi risikonya.

Terlepas dari bagaimana pernikahan itu terjadi, sekarang Satria berusaha untuk bisa menjalani sisa waktunya dengan mengultimatum dirinya sendiri bahwa menikah dengan Eriana mungkin memang adalah hal yang tidak bisa ia hindari. Kalau sudah menjadi suratan takdir, apa lagi yang bisa ia lakukan?

Di saat seperti itu, maka Satria pun berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Membayangkan bagaimana Lina yang kerap melaporkan perkembangan Eriana pada dirinya dan selalu memuji gadis itu. Mengatakan betapa pintar dan cantiknya ia. Dan belum lagi ketika ia meminta informasi yang serupa dari ketiga guru pribadi Eriana. Walau Eriana jelas sering membuat gurunya terpaksa menaikkan intonasi suaranya, tapi mereka bertiga kompak akan satu hal.

"Nona Muda adalah gadis yang penuh semangat dan pantang menyerah. Dia memang sedikit meledak-ledak, tapi justru itu yang membuat ia cepat belajar."

Dan bukan hanya itu, Satria bahkan ingat bagaimana tadi adik-adik Eriana –walau tersenyum bahagia-, tapi tak urung juga menitikkan air matanya. Hubungan yang membuat perasaannya menghangat. Karena jelas, Satria tidak pernah mengalami hal seperti itu.

Eriana adalah wanita yang disayangi oleh keluarganya. Lebih dari itu, sekarang pun jelas sekali bahwa orang tuanya pun merasakan hal yang sama pada gadis itu.

Lantas ... mengapa ada yang mengganjal di dada pria itu?

Maka Satria menganggap itu adalah rasa gugup karena pernikahan yang mendadak. Berat untuk mengakuinya, tapi mungkin sepertinya itu adalah satu-satunya alasan yang masuk akal hingga ia merasa resah.

Hal yang lantas mendorong ia untuk kembali mencoba berbaring di atas kasur yang empuk itu. Memejamkan mata seraya mengucapkan nama Eriana berulang kali. Hingga sosok gadis itu menjelma dalam bentuk bayangan di pelupuk matanya.

Setidaknya ... membayangkan wajah Eriana terbukti bisa membuat pria itu kehilangan kesadarannya untuk beberapa saat.

Wajah Eriana tatkala memejamkan mata dengan bibir yang terbuka.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top