39. Sebatas Cuma
Malam itu hampir lewat dari jam dua belas ketika pada akhirnya keluarga Satria memutuskan untuk kembali pulang ke Jakarta. Setelah menyelesaikan diskusi singkat mengenai pernikahan Eriana dan Satria tentunya. Dan pada saat itulah, Eriana menyempatkan sedikit waktunya untuk bicara dengan Satria. Berdua saja di dapur. Mengingat hanya tempat itu yang terhindar dari keramaian keluarga mereka berdua.
Satria menarik napas dalam-dalam. Di kursi kayu yang ia duduki, pria itu mengangguk.
"Ya. Nggak apa-apa. Lagipula itu bisa aku anggap sebagai waktu untuk kamu mempersiapkan diri untuk pernikahan kita nanti."
Tak menatap pada pria itu, Eriana hanya mengembuskan napas leganya. Merasa lebih baik karena ternyata Satria bisa menerima permintaannya. Yaitu untuk libur dari pekerjaannya sebelum hari pernikahan mereka tiba.
"Tapi ..., gimana dengan pekerjaan kamu?"
Walau pada akhirnya tak urung juga Eriana menanyakan itu. Karena bagaimanapun juga, Satria tidak mempekerjakan sekretaris kedua. Praktis ketidakhadiran dirinya akan mengganggu kelancaran pekerjannya. Kali ini, ketika menanyakan hal itu Eriana justru spontan mengangkat wajahnya. Melihat Satria yang duduk di dekatnya itu.
Satria manggut-manggut. "Aku yakin bisa meminta bantuan asisten pribadi Papa untuk sementara waktu," katanya. "Dan hal itu membuat aku bertanya-tanya. Mungkin sudah sebaiknya aku mencari asisten pribadiku sendiri."
Tak terlalu memerhatikan keseluruhan perkataan Satria, Eriana hanya merasa lega mendengar akan ada orang yang menggantikan dirinya sementara dirinya tak bekerja. Lalu suasana kembali hening. Untuk beberapa saat tak ada lagi yang bersuara di antara mereka. Hingga kemudian, Satria mengambil kesempatannya.
"Eri ...."
Suara Satria terdengar pelan ketika memanggil nama wanita itu. Namun, terasa begitu kuat untuk mampu menarik perhatian Eriana. Gadis itu menatap Satria dengan sorot mata yang sendu. Seperti tak ada tenaga yang ia miliki. Seolah semua kekuatannya sudah menghilang tanpa sisa. Dan mungkin itu bukan hal yang aneh mengingat bagaimana kejadian yang benar-benar tidak terkira seharian itu sukses membuat dirinya melewatkan makan siangnya. Ditambah lagi tadi, ketika acara lamaran itu sudah selesai, ia pun merasa tak bernafsu untuk menikmati hidangan yang tersaji. Aneh. Mengingat ia bisa makan semangkok mie instan dua porsi dengan lahap sementara ia tak menyentuh gulai malbi. Manusia normal rasanya tidak akan menolak makanan selezat itu kan? Terutama sebenarnya Eriana jelas merasakan liurnye menetes melihat hidangan daging sapi khas Palembang itu. Hanya saja ... selera makannya benar-benar menghilang entah ke mana. Sekarang, bernapas pun terasa melelahkan untuk gadis itu.
Mata Satria bisa melihat sorot tak berdaya di sepasang bola mata Eriana. Sekilas dan sangat mampu membuat ia menjadi hilang akal. Hingga mengulurkan tangan dan meraih tangan gadis itu. Meremasnya pelan.
"Aku nggak bakal minta maaf untuk semua kejadian hari ini," katanya kemudian. "Karena jelas. Ini semua bukan salah aku sendiri. Jadi kalau aku minta maaf ke kamu, logisnya kamu juga minta maaf ke aku."
Eriana mengedipkan matanya sebanyak dua kali dengan gerakan pelan nan dramatis. Menatap pria itu, ia mengembuskan napas panjang.
"Lebih baik kamu nggak minta maaf, Sat. Itu lebih cocok dengan kepribadian kamu. Kalau kamu minta maaf, itu justru ngebuat aku tambah tertekan."
Satria tak mendebat hal itu, melainkan mengatakan hal lainnya.
"Sekarang kita nggak bisa ngelak. Mau nggak mau ya kita harus nikah Jum'at ini. Aku harap kamu nerima ini semua."
Eriana mengangguk. "Kalau-kalau kamu lupa, Sat. Kita baru aja udah lamaran. Nggak mungkin banget aku nggak nerima sementara orang tua kita juga udah sepakat gitu."
Eri benar.
"Hanya saja ...."
Lirihan pelan itu membuat Satria kembali menatap lekat-lekat pada Eriana yang justru memindahkan fokus matanya dari dirinya. Menatap lurus pada dinding yang berada di seberang ruangan.
"Ini benar-benar cepat dan mendadak, Sat. Mungkin terdengar lucu, tapi ... aku nggak nyangka harus nikah secepat ini."
Satria diam.
"Memang sih usia dua puluh delapan tahun adalah usia yang sudah matang untuk cewek nikah. Bahkan sebelum usia segitu udah banyak cewek yang nikah. Tapi ...."
Satria mendapati wajah Eriana lantas bergerak. Berpaling pada dirinya. Menampilkan raut sedih di sana. Matanya tampak berkabut dan bibirnya bergetar pelan.
"Tetap saja. Menikah itu artinya aku akan pisah dari keluarga aku. Dari orang tua aku. Dari adek-adek aku. Dari segalanya yang udah jadi bagian hidup aku selama ini."
Satria tidak tau bagaimana perasaan seorang wanita ketika menghadapi pernikahan yang membayang di depan matanya. Terutama untuk bagian pisah dari saudara. Ia bahkan tidak pernah merasakan rasanya memiliki saudara.
"Aku tau aku masih bisa sering ke rumah, tapi ... tetap saja," sambungnya dengan sorot lelah. "Semuanya pasti akan berbeda."
"Aku yakin kalau itu kamu ... artinya nggak bakal banyak yang berbeda," ujar Satria pada akhirnya.
Mata Eriana mengerjap sekali. Diam.
"Apa pernikahan ini bakal ngebuat kamu menjauhi keluarga kamu sendiri?"
Eriana melotot dengan pertanyaan itu. "Ya nggak mungkin dong."
Embusan napas panjang Satria menghasilkan sedikit suara, tepat sebelum pria itu lanjut berkata dengan setitik senyum di wajahnya.
"Kalau begitu ... nggak ada yang perlu kamu khawatirkan," pungkasnya. "Kamu hanya mengubah status. Bukan mengubah kenyataan bahwa kamu masih bagian dari keluarga kamu. Lebih dari itu, sekarang kamu bahkan memiliki dua keluarga."
Mungkin di lain waktu, keduanya akan sama mempertanyakan mengapa mereka berdua bisa sangat bertolak belakang pada malam itu. Eriana yang selalu positif dengan segala macam pemikiran penuh semangatnya, mendadak menjadi orang yang penuh dengan bayangan ketakutan di benaknya. Di lain pihak, Satria yang kerap dingin dan tak peduli justru menjelma menjadi sosok yang pengertian dan menenangkan. Sepertinya, pada malam itu semua memang terjadi dengan alur yang membelok dari kebiasaan takdir sebelumnya.
"Sat ...."
Lebih dari membelok mungkin ketika Eriana tampak tak lagi segan-segan untuk meringis. Wajahnya terlihat menyiratkan kesedihan yang benar-benar memilukan. Air mata yang sedari tadi menggenangpun pada akhirnya mulai menetes membasahi kedua pipinya.
"Ya Tuhan."
Satria terkesiap melihat bagaimana di detik selanjutnya Eriana benar-benar menumpahkan tangisnya. Hingga tanpa sadar, membuat pria itu spontan saja menarik tangan Eriana yang sedari tadi memang tidak ia lepas. Membawa tubuh gadis itu untuk tenggelam dalam pelukannya.
"Apa cewek yang bakal nikah selalu kayak gini?" tanya Satria refleks. "Kenapa kamu yang mendadak nangis?"
Eriana tersedu-sedu di dada Satria. Mengeratkan tangannya di sekeliling pinggang pria itu. Lantas merasakan bagaimana tangan Satria yang besar bergerak pelan dengan iramanya sendiri ketika mengusap punggungnya. Berusaha untuk menenangkan dirinya walau jelas sekali saat itu Eriana sangat susah mengendalikan dirinya. Ia mendadak menjelma menjadi wanita paling emosional di muka bumi.
"Aku nggak tau kenapa," kata Eriana di sela-sela isaknya. "Tapi, aku ngerasa sedih."
Satria menelan gumpalan pahit di pangkal tenggorokannya. "Karena pernikahannya?"
"Karena ... karena ... karena ...." Eriana tampak susah ketika berusaha terus bicara di saat tangisnya justru semakin menjadi-jadi. "Karena ... aku pikir aku menyia-nyiakan waktu aku selama ini. Harusnya aku lebih sering berkumpul dengan keluarga aku. Tidur bersama adek-adek aku ketimbang begadang karena belajar."
Satria menghirup udara dalam-dalam. Menarik aroma wangi rambut Eriana untuk turut dinikmati oleh saraf penciumannya.
"Selama apa pun itu, kamu nggak bakal ngerasa cukup, Ri," kata Satria kemudian. "Ketimbang kamu mikirin penyesalan kamu, lebih baik kamu ingat gimana senangnya kamu ngelewati hari-hari kamu dulu." Satria berbisik dengan lembut di telinga gadis itu. "Kamu bakal bersyukur kalau kamu beruntung. Memiliki keluarga yang sayang kamu dan menikah nggak bakal ngebuat kamu kehilangan itu semua."
Ucapan menenangkan Satria bukannya berhasil meredam tangis Eriana, yang ada justru sebaliknya. Tangis gadis itu semakin menjadi-jadi. Hal yang membuat Satria semakin salah tingkah karenanya.
"Ri .... Eri ...," panggil Satria panik. "Kenapa kamu malah tambah nangis?"
Tangan Eriana bergerak. Semakin mengerat pada tubuh Satria. "Kalau ntar aku mau balik ke rumah, nggak bakal dimarah kan ya?"
"Kamu pikir aku bakal marah?"
Eriana mengangguk. "Kamu kan suka marah-marah, Sat."
Mata Satria terpejam dramatis.
Benar.
Aku emang suka marah-marah.
Eri nggak salah sama sekali.
Tapi, memikirkan hal itu justru membuat Satria benar-benar ingin marah saat itu juga.
"Emang aku suka marah, tapi bukan berarti aku suka memisahkan anak dan keluarganya," tukas Satria berang. "Kamu mau balik kapanpun ya itu suka-suka hati kamu."
Mendapati perubahan dalam nada suara pria itu membuat Eriana melonggarkan pelukannya. Sedikit menarik diri tanpa benar-benar melepaskan tubuh Satria, Eriana lantas menengadahkan wajahnya. Memamerkan wajah basah air mata dengan bibir yang mengerucut.
"Tuh kan! Kamu marah-marah lagi."
Mata Satria membesar. "Yang mancing aku buat marah-marah siapa?" tanya pria itu mendelik. "Kamu kan?"
Pundak Eriana berguncang ketika ia berusaha untuk menahan isakannya di saat ia memilih untuk menghadapi calon bakal kemarahan Satria.
"Aku bukannya mancing-mancing kamu marah," tampik Eriana. "Kan aku cuma ngomong kenyataannya. Kamu kan emang suka mara-marah."
"Nah!" delik Satria lagi. "Aku cuma ingin memberi bukti kalau omongan kamu itu nggak salah sama sekali. Yang ada justru sangat benar."
Eriana diam. Cemberut.
"Kamu ini emang nggak berperasaan, Sat. Setelah semua yang kamu lakukan hari ini ... kamu justru marah-marah ke aku sekarang."
Satria terlihat menganga seperti kesulitan menarik udara melalui hidungnya. Sedetik kemudian wajah itu terlihat menampilkan ekspresi tak percaya.
"Semua yang aku lakukan hari ini?" Satria membeo perkataan Eriana. "Misi? Kamu lupa ingatan ya?" tanya Satria dengan nada meledek. "Yang hari ini, Ri, semua terjadi karena kita. Oke?" Ia pun mengucapkan satu kata itu dengan penuh penekanan. "Kita." Mata Satria tak berkedip. "Tau kan artinya?" tanyanya lagi. "Kamu dan aku."
Eriana semakin cemberut.
"Ya, aku tau."
"Bagus deh kalau kamu tau," kata Satria kemudian. "Jadi ... sekarang lebih baik kamu tenangkan diri kamu. Nggak usah memikirkan segalanya terlalu berlebihan. Kita cuma nikah. Bukannya pindah ke negara konflik perang."
"Cuma?" tanya Eriana mencibir. "Pernikahan kamu bilang cuma?"
Satria menatap polos pada Eriana. "Kan memang gitu. Mau kita nikah atau nggak, kamu tetap anak orang tua kamu. Kamu tetap bagian keluarga ini. Nyaris nggak ada yang berubah selain ..." Satria meneguk ludahnya yang terasa menggumpal. "... kita berdua yang ... harus bersama."
Eriana menarik napas dalam-dalam. Lantas mengangguk. "Iya .... Ini cuma pernikahan."
Maka begitulah percakapan itu berakhir. Ketika mobil-mobil mewah itu meninggalkan lingkungan rumahnya, Eriana mendadak saja menyadari sesuatu. Terkadang ia dan Satria benar-benar berada pada level yang berbeda.
Benak Eriana teringat dengan jelas bagaimana perdebatan mereka hari itu berakhir pada cumbu rayu yang memanaskan aliran darahnya. Dan untuk itu, Satria hanya mengungkapkannya dengan satu kata. Yaitu, cuma.
Sekarang?
Eriana justru bertanya-tanya. Sebatas mana cuma yang dimaksudkan oleh Satria?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top