37. Vonis Sang Hakim
Mega menunggu sejenak. Dengan telepon di telinganya, ia bisa mendengar nada tunggu di saat menantikan Satria mengangkat panggilannya itu. Hingga di detik selanjutnya, terdengar suara Satria.
"Halo, Ma."
Mega beringsut sedikit di kursi yang ia duduki. Menyisihkan sejenak secangkir teh yang tengah ia nikmati kala menjelang siang saat itu. Di jam sembilan pagi tepatnya.
"Satria," ujarnya menyebut nama putra tunggalnya itu. "Mama nggak nganggu kerjaan kamu kan?"
"Nggak kok, Ma. Ehm ..., ada apa, Ma?"
Seberkas senyum tipis timbul di bibir Mega. "Mama pikir siang ini ingin mengajak kamu dan Eri makan siang di luar. Ya ... hitung-hitung karena sepertinya Mama belum pernah makan siang bareng kalian di luar. Sekalian mungkin kita bisa ngobrol soal lamaran dan pernikahan kalian."
Di seberang sana, Satria belum bersuara lagi.
"Gimana?" tanya Mega kemudian. "Kalian ada waktu kan siang ini? Atau ada rapat? Janji temu?"
"Oh, nggak kok, Ma. Nggak ada jadwal siang ini," jawab Satria buru-buru. "Siang ini bisa."
Mega tersenyum puas seraya mengembuskan napas leganya. "Oke. Nanti Mama mampir ke kantor, biar kita bisa pergi bareng."
"Baik, Ma."
Lantas, panggilan itu pun berakhir. Mega meletakkan kembali ponselnya di atas meja sementara Herman tampak mengisi sedikit cangkir tehnya yang tampak mengosong. Mega melirik sekilas, berbicara dengan kepala pelayannya itu.
"Bagaimana persiapannya sejauh ini, Pak?"
Herman meletakkan teko berisi teh itu di meja. Barulah kemudian menjawab pertanyaan majikannya itu dengan sopan.
"Untuk gaun pengantin tinggal finishing. Sementara undangan, catering, hotel, dan lainnya sudah siap, Nyonya. Tinggal menunggu tanggal saja. Kapan pun mereka akan siap."
Mega mengangguk-anggukkan kepalanya. Teringat bahwa rencana pernikahan itu akan diselenggarakan bulan depan. Tak banyak waktu yang tersisa sebenarnya. Nyaris hanya menyisakan dua minggu lagi. Tapi, ia merasa beruntung memiliki Herman sebagai kepala pelayannya. Pria paruh baya itu sangat bisa untuk diandalkan. Terutama dalam hal menangani pernikahan yang tergolong mendadak seperti itu.
Hingga kemudian, setelah menikmati tehnya, Mega pun bangkit. Meminta Herman untuk memanggil seorang pelayan wanita untuk membantu dirinya bersiap.
Sekitar jam sebelas menjelang siang itu, Mega sudah tiba di pelataran kantor Aksa Bhumi. Masuk dan mendapati sapaan sopan para karyawan yang menyadari keberadaan dirinya.
Wanita paruh baya itu tersenyum pada mereka.
"Selamat siang."
Seorang resepsionis dengan cekatan langsung mendampingi Mega. Mengantarnya ke lift khusus dan langsung menekan tombolnya. Menunggu sejenak untuk pintu itu membuka dan mempersilakan Mega untuk masuk dengan segala kesopanan yang ia miliki.
Mega masuk. Mengucapkan terima kasihnya tepat sebelum pintu lift itu menutup dan perlahan bergerak ke atas. Membawa dirinya menuju ke lantai di mana ruangan putranya berada.
Sesampainya di atas, Mega berniat untuk mendatangi Eriana terlebih dahulu. Karena mau bagaimanapun juga, meja Eriana tepat sebelum ruangan Satria. Dan Mega mungkin akan berbincang sejenak sebelum benar-benar menemui putranya itu. Tapi, ketika Mega tiba di meja sekretaris itu, ia tak menemukan keberadaan Eriana.
"Ehm .... Apa dia lagi di pantry?" tanya Mega. "Atau sedang ada pekerjaan lainnya?"
Memutuskan bahwa ia tak mungkin menunggu hingga Eriana tiba, Mega pun beranjak. Menuju ke ruangan putranya.
Mega meraih daun pintu. Menekannya. Lalu mendorong pintu kayu itu tepat ketika telinganya mendengar suara erangan dan desahan yang saling sahut menyahut.
Dan kemudian, rasa heran Mega akan suara-suara erotis itu justru semakin diperparah dengan pemandangan yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Nyaris membuat ia seperti yang tak mampu bernapas lagi ketika melihat Satria dan Eriana berada dalam keadaan yang benar-benar tidak pantas untuk dilakukan.
Eriana duduk di atas meja. Menengadahkan kepalanya dengan kemeja yang telah berantakan keadaannya. Tampak tak keberatan sama sekali saat Satria mendaratkan bibirnya di kulit payudaranya. Dan tak hanya itu, dengan sepasang tangan Satria yang entah sudah bergerak meraba ke mana-mana itu, Eriana justru merengkuh pria itu dengan kedua kakinya yang mengalung di seputaran pinggangnya.
Tanyakan pada seluruh manusia di belahan bumi bagian manapun juga, ibu mana yang tidak syok melihat pemandangan seperti itu?
Maka bukan hal yang aneh sama sekali bila pada akhirnya dengan mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh, Mega lantas berteriak histeris.
"Ya Tuhan! Kalian berdua ngapain?!"
Dan bisa dibayangkan bagaimana respon Eriana dan Satria saat mendengar jeritan penuh emosi Mega saat itu. Mereka berdua sontak melihat ke ambang pintu dengan mata yang sama-sama melotot.
Eriana meneguk ludahnya. Pun dengan Satria. Keduanya seperti tidak percaya dengan keberadaan Mega saat itu.
"Mama ...?"
"Tante ....?"
Wajah Mega terlihat memerah hingga ke telinga. Tampak mengeras. Entah karena marah atau malu. Atau mungkin justru karena keduanya. Terlihat dada wanita paruh baya itu yang tampak naik turun dengan begitu kentara saat berusaha untuk tetap bernapas.
"Kalian pikir apa yang kalian lakukan?!"
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Satria menyadari bahwa saat itu Mega benar-benar marah pada dirinya. Dan seakan baru tersadar pula, ia pun buru-buru menarik tubuhnya. Menjauhi Eriana yang tampaknya juga baru sadar dengan kekacauan mereka.
"Ya Tuhan."
Satria mendesis. Melepaskan diri dari rengkuhan kaki Eriana yang sudah kehilangan kekuatannya. Dengan mata membesar, ia bergantian melihat pada Mega dan Eriana.
Gadis itu terlihat gemetaran ketika berusaha memperbaiki kemejanya yang sudah sangat berantakan. Mau tak mau membuat Satria dengan terburu membantu Eriana. Menurunkan tepian kemejanya yang tersingkap dan mempertontonkan perutnya yang ramping.
Mega meringis melihat pemandangan itu. Tak percaya bahwa kedatangannya kala itu untuk makan siang justru berubah menjadi insiden dengan hidangan yang lainnya. Pertunjukan putranya dengan calon istrinya.
"Aaah ...."
Mega merasa kepalanya berdenyut. Pusing. Lantai terasa bergoyang-goyang di bawah kakinya.
"Mama!"
"Tante!"
Dan secepat mungkin kedua anak manusia tersebut menghambur meraih tubuh Mega yang kehilangan kekuatannya.
Amat sangat syok!
*
Satria membaringkan tubuh Mega di atas sofa. Sementara itu, Eriana dengan terburu-buru menyeduh teh hangat dan menyiapkan sebotol minyak kayu putih.
"Ya Tuhan, Ma," lirih Satria cemas seraya meraih satu majalah yang tidak terlalu tebal. Mengipas-ngipasi ibunya itu di saat Eriana memberikan dua titik minyak tersebut di puncak hidung Mega.
Eriana meneguk ludah. "Tante ...," ujarnya dengan suara rendah.
Mereka berdua panik. Kalau tadi mereka panik karena Mega memergoki mereka berdua dalam keadaan yang tidak pantas. Maka sekarang mereka panik dengan keadaan Mega.
Tapi, sejurus kemudian, ketika Satria sudah bersiap akan membawa Mega ke rumah sakit, ia justru mendengar erangan Mega. Hal yang segera membuat ia untuk duduk kembali di dekat ibunya itu.
"Aaargh ...."
Eriana menyisihkan minyak kayu putih itu. Meraih tangan Mega. Berbisik dengan lembut.
"Tante ...."
Begitupun dengan Satria yang memanggil ibunya. "Mama ...."
Untuk beberapa saat, Mega seperti berusaha untuk menarik kesadarannya terlebih dahulu. Satu tangannya naik, mendarat di dahinya. Lalu bergerak memberikan pijatan-pijatan kecil di sana. Kemudian, matanya pun terbuka.
Pertama Mega menatap pada Satria. Lalu berpindah pada Eriana. Selanjutnya mata wanita paruh baya itu menutup kembali.
"Aku pasti salah lihat, Tuhan."
Glek.
Seketika saja tubuh Eriana dan Satria menegang. Mereka berdua kompak terdiam. Rasa dingin pelan-pelan merayapi tubuh keduanya. Seperti mereka yang sekarang mendadak berganti status dari anak dan calon menantu menjadi tersangka kejahatan yang siap untuk diadili.
"Kalian ...."
Mega yang buru-buru bangkit duduk dengan segera menuding pada Eriana dan Satria. Matanya benar-benar melotot memerah.
"Kalian pikir apa yang kalian lakukan?" tanya Mega mendelik. "Kalian sudah gila?!"
Glek.
Baik Eriana maupun Satria sama sekali tidak salah mengira bahwa Mega marah pada mereka. Tapi, tetap saja. Kemarahan wanita itu membuat mereka menjadi merasa bersalah.
Adalah Satria kemudian yang pertama bersuara. Berusaha untuk menenangkan ibunya itu.
"Ma," lirihnya pelan. "Mama jangan salah paham. Ini ..." Satria meneguk ludahnya lagi. "... nggak seperti yang Mama pikirkan."
Semakin melototlah mata Mega. "Nggak seperti yang Mama pikirkan?" tanya Mega lagi dengan suara yang penuh penekanan.
Seketika saja Satria menjadi ciut. Ingin berdalih pun percuma. Memangnya ia bisa mengelak seperti apa lagi? Ketika Mega benar-benar menangkap basah mereka berdua dalam keadaan yang tak pantas seperti itu?
Mega beralih pada Eriana. Melihat bagaimana gadis itu tampak menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ingin memarahi gadis itu, entah mengapa hatinya tak tega juga. Ia menyadari bahwa sudah barang tentu Eriana benar-benar malu saat itu.
Mega lantas memejamkan matanya sejenak. Menghirup napas dalam-dalam. Berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Tapi, sungguh! Ketika ia memejamkan mata, justru muncul bayangan pertunjukan Satria dan Eriana tadi. Sekarang, bukannya ia bisa menenangkan diri, yang ada justru Mega merasa perutnya mual-mual.
"Tante ...."
Eriana terkesiap khawatir. Dengan buru-buru menyodorkan secangkir teh hangat yang sudah ia persiapkan tadi.
Tak menolak, Mega meneguk air itu sebanyak tiga kali. Setidaknya rasa hangat teh itu mampu menenangkan perutnya yang bergejolak.
Melihat anak sendiri sedang bermesraan dengan calon istrinya?
Aku beruntung nggak yang langsung kena serangan jantung mendadak saat ini.
Geram, Mega melihat Satria dengan wajah yang mengeras. Membuat putranya itu dengan segera memasang sikap waspadanya.
"Ma ...," ujar Satria dengan gugup. "Aku tau aku salah. Aku minta maaf."
Napas Mega terdengar menderu. Matanya tajam melihat pada mata Satria. Tak berkedip saat bertanya.
"Minta maaf?"
Glek.
Di tempatnya, Eriana merasakan tubuhnya sudah seperti yang mati rasa. Ia benar-benar merasa takut saat mendapati bagaimana kemarahan benar-benar terlihat nyata di wajah Mega yang biasanya terlihat anggun setiap saat. Tak diragukan lagi, wanita paruh baya itu memang sangat marah akan kelakuan mereka berdua. Lagipula, itu hal yang wajar kan?
Maka sangat manusiawi sekali bila pada akhirnya Eriana memilih untuk diam saja saat terlihat tanda-tanda bahwa calon mertuanya itu akan menumpahkan amarahnya pada Satria. Dan memang itulah yang terjadi selanjutnya.
"Kamu minta maaf karena Mama mergoki kalian sedang bemesraan?" delik Mega bertanya. "Iya?"
Eriana berdoa di dalam hati. Berharap agar hari itu ia tidak mendadak mati. Bagaimanapun juga, dilihat dari ekspresi wajah Mega, gadis itu bisa menduga bahwa saat itu Mega benar-benar sudah melampaui batas kesabarannya. Hal yang sepertinya juga disadari oleh Satria. Terlihat dari wajahnya yang tampak memucat.
"Ma ..., itu ...." Satria berusaha untuk bicara dengan terbata. "Kami cuma---"
"Cuma?!" pekik Mega frustrasi. "Cuma?! Yang tadi itu cuma?!"
Ya salam.
Baik Satria maupun Eriana sama-sama merasa jantung mereka seperti yang berhenti berdetak lagi dengan ekspresi histeris Mega.
"Kalian beruntung cuma Mama yang ngeliat kelakuan kalian tadi," ujar Mega dengan penuh emosi. "Kalau sampai Tante Dewi ikut dan juga ngeliat apa yang kalian lakukan ..."
Satria dan Eriana tidak ingin membayangkan hal itu.
"... saat ini Mama yakin ponsel Mama nggak bakal berenti bunyi dari tadi."
Hal yang memang pasti akan terjadi. Dan setidaknya mereka bisa bersyukur untuk yang satu itu.
Mengangkat wajahnya, Satria terlihat begitu menyesal dan berusaha menenangkan emosi ibunya itu.
"Ma, aku janji. Ini nggak bakal terjadi lagi."
Mata Mega menyipit melihat pada Satria. "Bagus kalau begitu, Sat. Karena mau bagaimanapun juga, kalau kamu emang udah kebelet mau nikah, harusnya kamu itu ngomong! Kamu bukannya angsa yang bisanya cuma nyosor-nyosor aja!"
"Mama ...."
Satria terkesiap. Kaget karena untuk pertama kalinya ia melihat ibunya yang biasa anggun dan selalu berhasil menjaga wibawa di mana pun berada, justru terlihat begitu berbeda dengan biasanya.
Tapi, bukan hanya itu yang membuat ia terkesiap. Pun dengan Eriana. Ada hal rancu lainnya yang membuat tubuh keduanya terasa menegang.
"Tante ...."
Mega menatap Eriana dan Satria. Melotot tanpa kedip. Bersuara dengan lantang ketika mengeluarkan titahnya.
"Jum'at ini kalian nikah!"
Sedetik, pasangan itu tampak melongo. Seperti butuh waktu untuk memaknai perkataan itu. Dan ketika mereka meresapi kalimat perintah itu, maka keduanya merasa seperti tidak bernyawa lagi. Kali ini, Eriana dan Satria yang mendadak merasa lantai di bawah mereka bergoyang-goyang.
"Apa?!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top