35. Dalam Perdebatan
"Dududududu."
"Let's kill this love!"
"Dududududu."
"Parampapam!"
"Parampapam!"
Eriana sudah mengira bahwa Intan tidak melakukan pengintaiannya malam itu ketika ia membuka pintu unit. Suara melengking Intan yang menyapa gendang telinganya merupakan bukti tak terbantahkan kalau temannya itu berada di unit saat itu. Terutama karena suara itu ternyata diselingi oleh bunyi panci yang dipukul-pukul dengan irus. Eriana melihatnya dengan jelas ketika ia berada di ambang pintu dapur.
"Eh! Calon Nyonya Ningrat kita udah pulang."
Dooong!
Eriana menghela napas panjang. Mencibirkan bibir bawahnya sekilas sebelum pada akhirnya memilih untuk duduk di meja makan. Tas kerja yang tadi masih ia sandang dengan lemas ia letakkan di atas meja itu. Tatapan matanya lurus mengarah pada Intan yang tampak memamerkan sebungkus mi instan.
"Mau?" tanya gadis itu. "Mumpung aku lagi baik hati."
Napas Eriana mengembus panjang. Tangannya terangkat dengan lesu seraya berkata seperti ini.
"Dua bungkus ditambah telur ceplok dua butir. Ah, jangan lupa sawi dan irisan cabe rawitnya yang banyak. Kalau nggak keberatan, kasih irisan sosis juga, Tan."
Hilang sudah lagu Blackpink yang sempat dinyanyikan oleh Intan tadi. Sekarang wajah gadis itu terlihat melongo dengan tangan yang masih memegang panci dan irus. Matanya tampak bengong melihat pada Eriana.
"Aku emang lagi baik hati, Ri," kata Intan. "Tapi, bukan berarti aku yang mendadak jadi Dewa atau semacam Bunda Teresa gitu."
"Huuuh ...." Eriana mengembuskan napas panjang lagi. Kali ini seraya mendaratkan wajahnya di atas meja, ia berusaha untuk tetap bicara. "Bunda Teresa itu idola aku, by the way. Jangan buat perumpaan beliau yang lagi masak mi sambil joged-joged."
Intan memutar bola matanya. "Oke. Apa pun itu, yang penting adalah ... jangan terlalu banyak request."
Eriana memilih untuk tidak berdebat lagi. Alih-alih, ia hanya menunggu dalam keheningan sementara Intan beranjak untuk mulai masak mi instan itu tepat ketika jam sudah menunjukkan jam setengah sebelas malam.
Di depan kompor, Intan tampak sesekali melirik ke meja makan. Melihat keadaan Eriana. Sekadar jaga-jaga karena perasaannya yang mendadak berubah menjadi tidak enak.
Dia masih hidup kan?
Apa dia yang mendadak kesambet penunggu pos satpam gedung ya?
Tumben banget ngeliat dia dalam mode lesu kayak gitu.
Persis kayak istri Bang Toyib yang ditinggal tiga kali puasa tiga kali lebaran.
Ckckckck.
Intan geleng-geleng kepala.
Menyedihkan sekali.
Hingga sekitar lima belas menit kemudian, mata Eriana yang menutup sontak membuka dengan perlahan ketika aroma yang lezat itu menyapa indra penciumannya. Retina matanya seketika langsung menangkap pemandangan Intan yang menyajikan semangkok mi kuah tepat di depan hadapannya. Dengan posisi wajahnya yang masih mendarat di atas meja, Eriana bisa melihat kepulan asap panas dari dalam mangkok tersebut. Sungguh menggiurkan.
Seolah mendapatkan kekuatan ajaib yang asalnya entah dari mana, Eriana langsung bangkit dengan punggung yang tegap. Seketika menarik mangkok itu ke hadapannya. Dan lantas ... matanya memejam lagi dengan kesan penuh kenikmatan saat menghirup dalam-dalam aroma itu.
"Ehm ...."
Gadis itu mendehem panjang. Perlahan membuka mata dan tersenyum lebar pada Intan yang telah mengambil tempat di depannya. Dengan mangkok mi miliknya sendiri.
Intan menyesap sesendok kuah panas itu sementara Eriana dengan segera menikmati suapan pertamanya. Membuat Intan geleng-geleng kepala ketika melihat bagaimana sendok yang penuh dengan mie, dua iris sosis, dan telur masuk sekaligus ke dalam mulut Eriana. Dan itu belum ditambah dengan sayuran yang ia tancapkan dengan menggunakan garpu. Menyusul masuk pula ke dalam mulut gadis itu.
"Ckckckck. Kamu nggak dikasih makan apa di rumah orang kaya itu?"
Mulut Eriana penuh. Jadi ia berusaha mengunyah dengan cepat dan menelannya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan itu.
"Percayalah, Tan. Semua makanan enak di sana sampe nggak bisa aku habiskan lagi. Saking banyaknya."
Intan mulai menikmati mi instan itu. "Terus kenapa kamu yang kayak kelaparan gini balik-balik dari rumah orang kaya itu?"
"Huh." Eriana membuang napas panjang. "Banyak hal yang aku pikirkan dan yah ... itu jelas membuat tenaga aku terasa terkuras habis."
Suapan lainnya masuk ke dalam mulut Intan. "Karena pernikahan itu?"
"Karena pernikahan itu," jawab Eriana dengan menggunakan kata-kata yang sama persis. "Mau mundur sekarang rasanya juga yang agak udah terlambat gitu."
"Hueeek!!!"
Intan tersedak potongan cabe rawit. Terbatuk-batuk dengan ekspresi mengenaskan dan bertambah murka karena Eriana sama sekali tidak berinisiatif untuk memberikan minum pada dirinya. Hingga dengan penuh perjuangan pada akhirnya gadis itu berhasil meredakan siksaan yang ia alami setelah meneguk tiga gelas air dingin tanpa henti.
Ketika Intan kembali duduk di meja makan itu, tanpa aba-aba ia langsung menjitak dahi Eriana. Sontak saja membuat gadis itu melepaskan sendok dan garpunya. Spontan mengaduh seraya mengusap rasa sakit yang tertinggal di sana.
"Aduh! Kamu apaan sih, Tan?"
Intan mendelik. "Harusnya aku yang nanya gitu," katanya. "Kamu apaan sih?" Matanya makin membesar. "Mundur dari pernikahan? Wah!" Intan geleng-geleng kepala. "Dikira ini semacam acara apa gitu yang bisa mundur? Babak audisi ajang pencarian bakat?" Intan tak pertanya. "Lagian ... kamu nggak ada otak atau gimana? Mau mundur dari pernikahan dengan Satria?"
Eriana mengembuskan napas panjang. Tangannya bergerak memotong setengah telur dadar yang masih utuh itu dengan menggunakan sendok. Menyuapkannya ke dalam mulut dan menikmati rasanya sebelum telur itu meluncur mulus di tenggorokannya.
"Terutama ya ... aku masih ingat banget deh," lanjut Intan. "Kemaren kan kamu semangat banget waktu cerita ke aku kalau kamu bakal nikah sama dia."
"Ehm ...." Bola mata Eriana berputar sekilas. Lalu tangan kirinya terangkat mengacungkan garpu pada temannya itu. "Masalahnya mengapa dulu aku semangat banget adalah karena dulu Satria itu antara mau dan nggak mau nikah dengan aku. Sekarang? Iiih!" Eriana bergidik. "Mana dia pinter banget lagi ngambil hati keluarga aku."
Intan melongo. "Kamu tau, Ri? Di luar sana nggak banyak orang yang ngerasa beruntung untuk mendapatkan pasangan yang bisa klop sama keluarganya. Dan kamu justru mengharapkan sebaliknya?"
"Ck." Eriana berdecak. "Sebenarnya bukan itu yang bener-bener jadi masalahnya."
Tampak wajah Intan terlihat makin lelah. "Terus?"
"Masalahnya ..." Eriana membawa matanya untuk menatap Intan. "Itu cowok jelas-jelas pernah ngomong ke aku kalau dia mau buat aku jatuh cinta ke dia setelah kami menikah ntar."
Intan diam untuk beberapa saat. Hanya kelopak matanya sajalah yang berkedip-kedip sebagai tanda bahwa gadis itu masih bernyawa. Hingga beberapa saat kemudian, Intan terlihat menarik napas sejenak. Memasang ekspresi pemakluman yang sebenarnya adalah bentuk sarkas untuk Eriana.
"Ya ... emang. Cewek emang harus ngeri kalau calon suaminya ngomong dia bakal buat calon istrinya jatuh cinta ke dia." Intan manggut-manggut berulang kali. "Kamu normal, Ri. Cewek-cewek lain yang nggak normal karena pada berharap hal kayak gitu dari suaminya."
Mata Eriana mengerjap sekali. "Kamu nyindir aku?"
Tanpa tedeng aling-aling, Intan langsung menjawab. "Emang! Untung kamu nyadar."
"Ha ha ha ha."
"Lagian ya, Ri, salahnya di mana kalau kamu sampe jatuh cinta ke Satria?" Lalu sesuatu melintas di benak Intan. Matanya melotot. "Apa itu artinya kemaren kamu mau nikah sama Satria itu tanpa ada perasaan gitu?"
Mata Eriana kembali mengerjap-ngerjap.
"Kok bisa?"
Memutuskan untuk menunda sejenak menghabiskan isi mangkoknya, Eriana memutuskan untuk benar-benar serius menjawab pertanyaan Intan yang satu itu.
"Karena ya gimana ngomongnya, Ri. Menurut aku jatuh cinta itu cuma buat capek."
Dan ketika ia selesai mengucapkan itu, mendadak saja seperti ada suara Satria yang mengiang-ngiang di benaknya.
"Ya ... kalau untuk soal itu sih ... kita bisa buat jadwal."
Tubuh Eriana merinding seperti baru saja memakan mi instan yang terlalu banyak bumbunya. Membuat Intan melongo sejenak sebelum pada akhirnya geleng-geleng kepala seolah ingin menarik keseriusannya kembali lagi.
"Gara-gara Jefri?"
Pertanyaan yang langsung saja membuat Eriana membeku untuk beberapa saat. Hingga kemudian ia menggeleng.
"Bukan karena dia sih."
Intan berdecak. "Ck. Harusnya sih emang bukan," tukasnya. "Jadi?"
Eriana menyerah. Kedua tangannya terangkat ke atas dengan ekspresi kesal.
"Oke oke oke. Dikit banyak ya emang karena dia."
"Ckckckck."
"Aku cuma belajar dari pengalaman sih, Tan," kata Eriana kemudian. "Jatuh cinta dan mencintai seseorang itu ngebuat kita terlalu bergantung. Dan yah ... malah kadang buat semuanya jadi runyam."
"Tapi, kan mereka beda. Ya lagian sih ... emang kodratnya kalau cewek udah nikah ya bergantung sama suaminya dong. Ya kali bergantung sama suami orang? Bisa-bisa leher kamu yang digantung ntar."
Eriana meringis. "Kamu tau kan gimana aku?" tanyanya kemudian. "Kalau aku sampe beneran jatuh cinta ke Satria ... jangan-jangan kami nggak jadi nikah lagi."
Pelan-pelan bola mata Intan bergerak dengan dramatis untuk menatap langit-langit. Gadis itu diam dengan ekspresi wajah yang tampak tengah berpikir. Membayangkan Eriana yang benar-benar dalam mode jatuh cinta pada Satria. Kali ini, ia yang merinding. Hal yang tertangkap oleh retina mata Eriana.
"Kan ... udah aku bilangin," kata Eriana lesu. "Kalau aku sampe beneran jatuh cinta sama dia ..., dijamin. Dia bakal melarikan diri dan akhirnya kami nggak jadi nikah."
*
Eriana membuka laci meja kerjanya. Menarik satu map keluar dari sana. Mengeceknya sekali sebelum yakin bahwa map itulah yang Satria minta pada dirinya beberapa waktu yang lalu. Ketika bos dan juga calon suaminya itu menghubunginya melalui saluran telepon tadi.
Eriana mengetuk pelan pintu ruangan Satria, lalu mendorong pintu itu untuk membuka. Setelah menutupnya, gadis itu pun menghampiri Satria yang duduk di mejanya. Kepala pria itu terangkat. Menyambut map yang diberikan oleh Eriana pada dirinya.
"Ah, Mama tadi ngomong kalau siang ini mau ngajak kita makan siang bareng di luar."
Eriana yang semula ingin langsung beranjak dari sana, sontak menunda niatannya. Alih-alih meninggalkan meja Satria, ia tanpa sadar justru mendekati pria itu.
"Makan bareng?" tanyanya. "Kita bertiga?"
Menyisihkan sejenak map itu, Satria membawa kedua tangannya untuk bertahan di atas meja. Ia mengangguk.
"Tadi Mama nelepon aku. Tumben sih sebenarnya, tapi ya itu yang Mama bilang. Mau ngajak kita makan siang bareng di luar."
"Oh ...."
Satria mengembuskan napas panjang. "Mungkin sekalian mau ngomongi soal pernikahan kita."
Glek.
"Kenapa?" tanya Satria menangkap perubahan raut wajah pada Eriana. "Manusiawi kan kalau kita bakal makin sering ngebahas soal pernikahan kita?"
Eriana lagi-lagi meneguk ludahnya. "Itu ...."
"Ckckckck."
Satria bangkit dari duduknya. Menghampiri Eriana yang seperti membeku berdiri di sisi mejanya.
"Biasanya ya ... cewek-cewek itu makin senang saat menjelang hari pernikahannya. Kenapa kamu sebaliknya coba?" tanya Satria. "Emangnya menakutkan banget ya ancaman aku?"
"Itu ...."
"Emangnya kenapa coba kamu nggak mau jatuh cinta ke aku?" desak Satria kembali bertanya. "Coba bilang ke aku. Kurang aku di mana?"
Mata Eriana mengerjap.
"Kamu nggak ngerasa ya kamu itu mencoreng harga diri aku?" Lagi-lagi Satria bertanya seraya mengikis jarak di antara mereka. "Semua cewek bisa dengan mudah jatuh cinta ke aku, sedangkan kamu? Kamu justru mau nikah di awal lantaran karena aku yang nggak mau. Pas aku mau justru kamu yang ketakutan."
"Itu ...."
"Logisnya di mana sih?"
"Itu ...."
Eriana berusaha menjaga jarak dengan Satria. Perlahan-lahan mundur ketika Satria semakin mendekati dirinya. Hal yang membuat jantungnya seketika berdebar. Mungkin takut lantaran tatapan mata Satria yang menajam.
"Itu itu itu," keluh Satria. "Nggak ada kosakata lainnya?"
"Itu ...."
Eriana mengerjap. Menggelengkan kepalanya sekali. Tepat ketika bokongnya mentok tertahan tepian meja kerja Satria yang besar itu. Ia berusaha untuk berpindah tempat, tapi Satria justru mengulurkan dua tangannya sekaligus dengan cepat. Mengurung Eriana di sana. Lantas wajahnya menunduk.
"Mau melarikan diri?"
Mata Eriana mengerjap dengan gelisah. Berusaha untuk menghindari tatapan mata Satria, tapi pria itu justru kembali bersuara.
"Toh semua ini kan akibat dari perbuatan kamu sendiri. Kalau saja malam itu kamu nggak meremas-remas bokong aku di depan Mama, kita nggak bakal terjebak dalam situasi kayak gini."
Bokong lagi.
Eriana mendengkus kesal seraya mengangkat wajahnya.
"Aaah." Satria manggut-manggut dengan ekspresi mencemooh. "Kalau aku bawa-bawa bokong aku, baru kamu mau ngeliat mata aku ya? Segitu sukanya kamu sama bokong aku? Iya?"
Tidak terkira lagi semerah apa warna wajah Eriana. Ia merasa malu hingga ke titik terendah. Tapi, sejurus kemudian Eriana justru melotot.
"Iya! Aku emang suka bokong kamu," katanya. "Puas?"
Satria balas melotot. "Harusnya aku yang nanya," ujarnya kesal. "Puas kamu ngeremas bokong aku kemaren itu sampe kepergok Mama?"
"Ya nggak dong. Orang bentaran doang."
Ups!
Eriana buru-buru menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Matanya mengerjap-ngerjap dengan sorot sok polos yang membuat Satria antara ingin mengumpat atau justru tertawa terbahak-bahak saking depresinya.
Hingga kemudian Eriana pelan-pelan menurunkan tangannya. Tampak cemberut sekilas.
"Lagian ... kalau kamu nggak terima aku ngeremas-remas bokong kamu," kata Eriana terbata. "Aku juga nggak terima pas kamu cium aku."
Sekarang bukan hanya mata Satria yang melotot. Mulut pria itu tampak perlahan menganga saat mendengar perkataan Eriana.
"Jadi ... kita bisa anggap impas aja semuanya." Bola mata Eriana berputar dengan salah tingkah. "Aku ngeremas bokong kamu dan kamu cium bibir aku."
"Aaah .... Jadi kamu nggak terima pas aku cium kamu?"
Eriana memilih untuk tidak menatap Satria ketika menjawab. "Nggak."
Satria menyipitkan matanya sementara satu tangannya bergerak dengan cepat meraih dagu Eriana. Mau tak mau membuat gadis itu membolakan matanya saat menatap mata Satria.
"Kamu mau ngapain?" tanya Eriana gemetaran.
Satria menatap Eriana lekat-lekat, belum menjawab pertanyaan itu untuk beberapa detik lamanya. Hingga kemudian, di menit selanjutnya, setelah ia berhasil membuat tubuh Eriana makin meremang dengan keheningan beberapa saat yang ia ciptakan, tepat ketika aura terasa berubah di sekeliling mereka, Satria berkata dengan suara rendah yang terasa penuh nada pengancaman di telinga Eriana.
"Mau ngecek kamu beneran nggak terima pas aku cium atau sebaliknya."
Seluruh sensor di tubuh Eriana bangkit. Mengirimkan sinyal waspada yang mendorong gadis itu untuk melarikan diri. Tapi, Satria bertahan.
Dan kemudian, Eriana baru saja akan menjeritkan nama Satria di saat tanpa peringatan ia justru meredam suara gadis itu di dalam rongga mulutnya. Langsung membungkam Eriana dalam ciuman dalam yang tak mampu ia elak.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top