34. Bukan Pertimbangan
Kelas Eriana malam itu telah berakhir. Sementara ia tampak bersiap untuk pulang sebentar lagi, tanpa ia ketahui ada Mega yang masuk ke dalam ruangan itu.
Ibu kandung Satria tersebut tampak menarik napas dan tersenyum samar melihat Eriana. Bukan tanpa alasan. Tadi Mega sempat berbincang sebentar dengan ketiga guru Eriana. Menanyakan perkembangan Eriana –walaupun sebenarnya dari perilaku gadis itu sehari-hari Mega sudah bisa menebak sejauh mana kemajuannya. Dan seperti yang ia duga. Ketiga orang guru tersebut mengatakan hal yang sama. Yaitu Eriana sudah berkembang dengan sangat pesat. Melebihi ekspektasi mereka semua.
Tapi, Mega memang tidak meragukan itu. Di malam ia menemukan fakta bahwa putranya menjalin hubungan dengan Eriana, ia sudah menebak bahwa Eriana adalah seorang gadis yang hebat. Tak mungkin Satria akan memilih wanita asal-asalan. Dan sekarang terbukti. Semakin lama Mega mengenal Eriana, maka semakin kagum pula wanita paruh baya itu dengan calon menantunya tersebut.
"Bagaimana kelas hari ini?"
Mega melayangkan pertanyaan itu setelah Eriana mendapati kehadirannya dan menyambut kedatangannya. Sekarang mereka berdua tengah duduk di satu meja yang tersedia di dalam ruang belajar Eriana. Berbincang sejenak.
Eriana membawa kedua tangannya untuk beristirahat sejenak di atas pangkuannya. Memberikan tatapan sopan pada Mega dan memberikan satu jawaban yang didahului oleh anggukan kepalanya.
"Semuanya lancar, Tante. Nggak ada kesulitan sama sekali."
Eriana ingat. Hari itu ia baru saja mempelajari etika berpakaian –yang mana mengejutkan bagi Eriana melihat kenyataan bahwa ada aturan tertentu untuk dirinya berpakaian saat menghadiri setiap acara. Tapi, yang terpenting dari aturan itu adalah bahwa pakaian yang ia kenakan tidak boleh terlalu terbuka. Hal yang kemudian mengingatkan Eriana tentang kejadian malam itu. Di mana Mega memergoki dirinya dan Satria dalam keadaan yang tidak pantas.
Wajar aja waktu itu Tante sampe yang syok ngeliat aku.
Eriana merasa geli, tapi juga merasa malu. Tak pernah menduga bahwa orang-orang di kalangan seperti Satria juga memerhatikan kesopanan dalam berpakaian.
"Untunglah kalau begitu," respon Mega seraya mengangguk sekali. "Guru kamu juga udah ngomong ke Tante kalau perkembangan kamu juga pesat."
Eriana tersenyum.
Oh, kirain mereka bakal yang ngejelek-jelekin aku gitu di depan Tante.
Eh, ternyata nggak ya.
Hihihihi.
"Dan ..."
Suara Mega membuyarkan lamunan Eriana. Membuat fokus mata gadis itu kembali terarah pada sang calon ibu mertua.
"... karena sepertinya kamu sudah siap, apa kami bisa melamar kamu dalam waktu dekat ini, Ri?"
Eriana membeku seketika. Terutama karena tatapan lurus yang diberikan oleh Mega, seolah membuat dirinya seperti mati rasa saja.
Pertanyaan itu terlalu mendadak untuk Eriana.
"Me-me-melamar?"
Mega mengangguk. "Sebenarnya secara nggak resmi, kamu sudah menerima lamaran Tante untuk Satria kan?"
Eriana langsung ingat pada pesta malam itu. Tentu saja waktu itu ia dengan spontan menerima lamaran itu. Saat itu dirinya teramat senang. Tapi, sekarang membicarakan hal itu tak urung membuat ia gemetaran.
Dan mata awas Mega dengan tajam menangkap hal tersebut. Maka wanita paruh baya itu pun sedikit menggeser duduknya. Mendekati Eriana dan meraih satu tangan gadis itu.
"Kamu takut?"
Tak menjawab, Eriana hanya mengerjapkan matanya seraya menunduk. Tapi, bukan berarti Mega tidak tau jawaban apa yang akan diberikan oleh gadis itu seandainya ia benar-benar bersuara.
"Itu bukan masalah yang besar. Setiap wanita pasti merasa takut untuk menikah. Hal yang wajar," kata Mega. "Tapi, bayangkan ini. Dengan menikah, kamu bisa bersama dengan Satria seumur hidup kamu. Apa lagi yang lebih membahagiakan ketimbang bersama dengan pria yang kamu cintai?"
*
Seraya terus melajukan mobilnya dalam kecepatan yang stabil di jalanan, Satria melirik dengan cepat melalui sudut matanya. Melihat Eriana yang diam sepanjang perjalanan pulangnya. Tampak tatapan mata gadis itu tak fokus menatap pemandangan di sepanjang trotoar yang mereka lalui.
Dan berinteraksi dengan Eriana selama ini sudah memberikan satu pemahaman baru untuk Satria mengenai gadis itu. Eriana cenderung mengoceh bila sedang dalam situasi normal. Dia diam, itu artinya ada yang tidak biasa.
"Ada apa?" tanya Satria memecah keheningan itu. "Ada sesuatu yang Mama katakan ke kamu tadi?"
Mendehem pelan –nyaris tidak terdengar di telinga Satria-, Eriana beringsut sedikit. Berpaling ada cowok itu. Sedikit merasa heran karena tak mengira bahwa Satria tau kalau tadi Mega menemui dirinya.
"Tante tadi nanya kapan sekiranya aku siap buat dilamar."
"Oh ...." Satria manggut-manggut. "Terus kapan kamu jawab? Sabtu ini? Atau Minggu?"
Eriana tampak lesu. Mengedipkan matanya sekali. "Kamu benar-benar mau menikahi aku?"
"Kenapa suara kamu kedengaran kayak yang ragu gitu?"
Tak menjawab, Eriana justru mengembuskan napasnya. "Aku ...."
Dan Satria menunggu jawaban yang tak kunjung ia dapatkan. Maka pria itu tanpa sadar ikut-ikutan mengembuskan napas panjangnya. Bertanya seperti ini.
"Memangnya kamu mau kita kepergok remas-remasan lagi? Baru mau nikah beneran?"
Eriana sontak menoleh. Ekspresi wajahnya terlihat kesal dengan pertanyaan yang diberikan oleh Satria.
"Bukan masalah remas-remasnya."
"Terus?" tanya Satria. "Bukannya kemarena kamu yang ngebet mau nikah sama aku? Bahkan sampe mengkhayal kalau aku mau ngajak kamu check in? Loh sekarang? Udah yang mau dilamar beneran, eh ... kok malah ragu?"
Bibir Eriana mengerucut.
"Masalahnya karena kamu mendadak beneran mau nikahi aku. Kan awalnya kamu nggak mau nikahi aku. Mana alasan kamu mau nikahi aku buat aku ngeri coba." Mata Eriana melirik. "Mau buat aku jatuh cinta sama kamu."
Lampu merah menghentikan laju mobil Satria. Membuat pria itu dengan leluasa bisa melihat gadis itu.
"Nah kan! Kamu ini emang punya pemikiran aneh. Jadi kamu mau nikah dengan aku kalau akunya nggak mau? Gitu?" tanya Satria lagi. "Kalau aku beneran mau nikahi kamu, justru kamu yang nggak mau? Lagipula, apa salahnya kalau suami mau buat istrinya jatuh cinta ke dia coba?"
"Itu ...."
Eriana menggigit bibir bawahnya. Tak tau harus menjawab pertanyaan itu dengan jawaban seperti apa.
"Kamu ... benar-benar aneh untuk kategori seorang cewek dalam menentukan standar pernikahan."
Eriana tau itu, tapi ....
"Tapi, kamu awalnya nggak mau. Kenapa sekarang mendadak mau?"
Satria menarik napas dalam-dalam sejenak sebelum menjawab. "Karena menurut aku nikah dengan kamu juga nggak merugikan. Nggak buruk-buruk amat."
"Jawaban apa pula itu?"
Eriana syok.
"Kamu bener-bener tipe cowok yang nggak bisa romantis, Sat."
Satria tertawa, entah sadar atau tidak. "Lagipula ... dengan semua yang sudah terjadi, gimana kita bisa mundur lagi? Lagian ...."
Bayangan janji yang ia buat dengan Rozi muncul lagi di benaknya. Hal yang benar-benar membuat ia semakin yakin bahwa ia tidak memiliki pilihan lainnya. Melirik sejenak pada Eriana, Satria berpikir.
Toh aku memang harus menikah.
Dan ketimbang menikah dengan cewek lain yang lebih merepotkan lagi, Eriana adalah pilihan yang baik.
Setidaknya ia pintar dan kepribadiannya jelas bagus.
"Lagian?"
Suara Eriana menarik kembali kesadaran Satria yang beberapa detik sempat terombang-ambing dalam pemikirannya sendiri.
"Lagian ...," ulang Satria kemudian. "Ah! Udah lampu hijau."
Ucapan Satria membuat Eriana melihat ke depan dan menyadari bahwa lampu lalu lintas memang sudah berganti warna menjadi hijau kala itu. Dan Satria pun kembali melajukan mobilnya. Di sisa perjalanan itu, Satria berkata.
"Sekarang udah telat buat kita mundur. Aku udah nemui orang tua kamu. Lebih dari itu, sepertinya keluarga kamu udah nerima aku."
"Aaah ...."
Eriana tau pasti soal itu. Tanpa perlu diberi tau, Eriana pun bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri. Keluarganya memang terlihat menerima keberadaan Satria. Terutama karena pria itu pintar sekali mengambil hati kedua orang tuanya.
Ck.
"Jadi, ketimbang kita memikirkan cara untuk lepas dari ini semua ...," lanjut Satria. "Lebih baik kita jalani saja. Toh ketimbang video kita tersebar ke mana-mana."
"Ha ha ha ha."
Entah mengapa Eriana merasa seperti tengah diancam oleh Satria.
"Kalau video itu tersebar, bukannya kamu yang bakal malu?" tanya Eriana kemudian. "Dilihat banyak orang saat bokong kamu diremas sama cewek?"
"Ehm ... apa menurut kamu bukan sebaliknya?" balas Satria. "Kamu nggak malu dianggap jadi cewek predator bokong?"
Eriana terdiam.
"Lagipula kamu jangan sampe lupa, Ri. Aku nggak mau kamu sampe kepikiran buat membatalkan pernikahan ini," ingat Satria. "Kamu nggak lupa kan apa yang bakal kamu dapatkan kalau kamu sampe membatalkan pernikahan ini?"
Bibir Eriana mengerucut sebal. "Iya iya iya. Aku masih ingat." Dan karena itu, Eriana kemudian terpikir hal lainnya. "Ancaman kamu kemaren bener-bener serius ya, Sat?"
Satria menoleh dengan ekspresi horor. "Mana ada ceritanya aku ngasih ancaman main-main? Kenapa? Kamu mau bukti sekarang?" Mata Satria melotot. "Beneran mau aku pecat tanpa pesangon?"
Buru-buru Eriana menggelengkan kepalanya. "Bukan. Bukan itu maksud aku."
"Terus? Ancaman mana yang kamu maksud?"
Merasakan ada yang tak nyaman di dadanya, Eriana berusaha sekuat tenaga untuk tetap melihat pada Satria. Walau jelas sekali, pria itu tak membalas tatapannya. Ia tampak memerhatikan jalanan di depannya.
"Ancaman yang mau buat aku jatuh cinta ke kamu."
Tuh kan!
Untung saja Satria memerhatikan jalan di depannya. Ucapan Eriana barusan nyaris membuat ia gugup menyalip motor di depannya.
"E ... eh?"
Terdengar embusan napas Eriana. "Kalau kita nikah, bisa nggak ya kita nggak saling cinta? Tapi, kata orang ... pasangan yang menikah nggak pake cinta bisa banget bakal saling jatuh cinta karena terbiasa hidup bersama. Nanti kalau aku beneran jatuh cinta sama kamu gimana, Sat?"
Lampu merah lagi. Waktu yang tepat untuk Satria menoleh dengan rahang yang mengeras.
"IQ kamu berapa sih, Ri? Udah pernah tes IQ belum?" tanya Satria. "Aku khawatir sebenarnya IQ kamu itu jongkok, cuma kamu maksa buat belajar selama ini. Makanya hasilnya kayak gini. Kadang eror kamu itu beneran nggak ketulungan deh."
Mata Eriana mengerjap.
"Emangnya aneh gitu kalau kita nikah dan nanti kamu beneran jatuh cinta ke aku?" tanya Satria melotot. "Suami kamu sendiri?" Tangan Satria bergerak melepas satu kancing kemeja teratasnya. "Wah! Kamu bener-bener mau aku lempar ke ujung Monas ya?"
Eriana menciut. Seketika menarik diri hingga mentok di pintu mobil.
"Kemaren Tugu Kujang, sekarang malah Monas."
Pelototan Satria semakin membesar. "Kamu itu! Benar-benar ...." Satria mengatupkan mulutnya. "Argh!"
Geraman Satria membuat Eriana diam.
"Coba bilang ke aku, pemikiran dari mana ceritanya yang mempersoalkan kemungkinan seorang istri jatuh cinta ke suaminya sendiri?" desak Satria. "Suaminya sendiri loh. Bukan suami orang?!"
Wajah Eriana terlihat susah. "Sebenarnya bukan itu maksud aku, Sat."
"Explain me, please," kata Satria geram. "Dengan bahasa manusia yang sama dengan yang aku ketahui selama ini ya?"
Satria memulas satu senyuman mengerikan di wajahnya. Membuat Eriana bergidik.
"Maksud kamu apa?"
Eriana geleng-geleng kepala. "Aku cuma ngerasa takut aja kalau sampe beneran jatuh cinta sama kamu."
"Karena ...?"
Tampak putus asa, Eriana menatap mata Satria. "Karena jatuh cinta itu ngebuat capek, Sat."
....
Satria terdiam. Tak mengatakan apa pun setelah mendengar pengakuan Eriana. Yang mana pada saat itu, Eriana juga memutuskan untuk tidak bersuara lagi. Mengembuskan napas panjangnya sekali. Hingga kemudian matanya melihat bagaimana wajah Satria yang pelan-pelan tampak memerah. Lalu suara pria itu terdengar lirih berkata.
"Ya ... kalau untuk soal itu sih ..." Bola mata Satria berputar sekali dengan ekspresi salah tingkah. "... kita bisa buat jadwal."
Eriana melongo. "Jadwal?" tanyanya bingung.
"Aku tipe cowok yang dewasa. Tenang aja."
Eriana semakin melongo melihat Satria yang lanjut bicara dengan berusaha menghindari tatapan matanya.
"Maksudnya?"
Tangan Satria terangkat. Menggaruk tekuknya seraya melirik Eriana.
"Kita bisa buat jadwal kok untuk urusan itu," katanya pelan. "Tenang aja. Kamu nggak bakal kecapekan. Kalau perlu ntar kita konsul ke dokter untuk konsumsi vitamin."
Eriana diam. Mencoba mencerna perkataan Satria.
"Lagipula ... toh tiap bulan kan kamu pasti dapat siklus kamu. Jadi kamu bisa istirahat."
Siklus?
Dan satu kata itu membuat Eriana tau ke mana arah pemikiran Satria. Hal yang lantas membuat ia menjerit.
"Dasar psikopat berdasi! Kamu beneran mau aku remas-remas ya?!"
Di tempatnya duduk, Satria kaget. Ekspresi wajahnya terlihat syok.
"Ri, ini di tengah jalan dan kamu mau ngeremas-remas bokong aku?!" balas Satria. "Dasar predator bokong!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top