33. Dua Pikiran

"Nona ...."

"Nona ...."

"Nona ...."

Suara lembut itu terdengar berusaha menyentuh indra pendengaran Eriana. Diiringi oleh sentuhan perlahan di tubuhnya, sedikit mengguncang. Berupaya agar tindakan itu mampu menarik kesadaran gadis itu.

Hingga beberapa saat kemudian, usaha itu tampaknya berhasil. Pelan-pelan terdengar Eriana melenguh panjang. Tubuhnya bergerak. Menggeliat di balik bedcover yang menutupi dirinya sepanjang malam. Lantas, mata Eriana terbuka.

Untuk satu menit lamanya, tatapan mata Eriana terlihat masih kosong memandang langit-langit kamar. Berkedip sekali, lalu dahinya mengerut. Seperti baru menyadari sesuatu. Maka Eriana pun sedikit berpaling. Dan matanya bertemu dengan tatapan Lina.

Eh?

Ada Lina?

Dan ini bukan di unit?

Mata Eriana mengerjap-ngerjap berulang kali. Sontak bangkit dengan ekspresi syok menyadari di mana dirinya berada pagi itu.

"Ya Tuhan!" kesiapnya. "Kok aku bisa ada di sini lagi?" Eriana melihat pada Lina. "Kenapa aku ada di sini, Lin?"

Lina mengerutkan dahinya. "Ah .... Nona pasti nggak sadar. Nona kan tidur."

"Kalau orang tidur ya emang pasti nggak sadar," tukas Eriana. "Bukan itu maksud aku. Tapi, kok bisa aku tidur di sini?"

Suara Eriana terdengar memelan. Tepat ketika pertanyaan itu telah meluncur dari lidahnya, otaknya mulai berpikir dalam upaya mengingat. Berusaha meraba hal terakhir yang tertinggal di ingatannya.

Dari Bogor.

Jalanan macet.

Terus ....

Mendadak saja suara Satria terngiang di benaknya.

"Kamu mau tidur? Kalau ngantuk ya tidur aja. Ntar aku bangunin kalau udah sampe."

"Aaah ...."

Eriana angguk-angguk kepala. Menyadari bahwa ia pasti benar-benar menuruti perkataan Satria. Yaitu tidur. Dan masalahnya adalah ketika tidur, Eriana benar-benar bisa melupakan dunia beserta isi di dalamnya.

"Terus ...," lirih Eriana kemudian seraya melihat pada Lina yang masih berdiri di sisi tempat tidurnya. "Siapa yang bawa aku ke sini, Lin?"

Mata Lina menatap polos pada Eriana. "Ya tentu aja Tuan Muda yang ngegendong Nona sampai ke kamar."

"Eh?" Eriana melotot. "Dia?"

Lina mengangguk-angguk dengan penuh semangat. "Persis kayak di drama, Non. Romantis sekali."

Tapi, bagi Eriana itu tidak romantis sama sekali. Yang terjadi justru ia merasa ketakutan.

"Dia ... nggak ngapa-ngapain aku kan?"

Lina mengulum senyum.

Hal yang membuat Eriana justru semakin memelototkan matanya. "Dia nggak ... yang diam-diam cium aku kan?"

Bayangan ancaman Satria muncul di benaknya.

"Kamu jangan nantang aku, Ri. Apa kamu mau ngeliat gaun pengantin kamu nggak muat? Iya?"

Glek.

"Lebih dari itu," ujar Eriana dengan lidah yang terasa kelu. "Dia nggak ... nggak ... nggak ...."

Beruntung sekali Lina cepat tanggap sehingga ia memutuskan untuk segera menggeleng, alih-alih menunggu Eriana menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan maksud dari perkataannya.

"Tuan langsung keluar dari kamar setelah membaringkan Nona di atas tempat tidur."

Fyuh!

Kelegaan itu seketika menyeruak di dada Eriana. Membuat ia merasa lebih tenang. Tanpa sadar ia tersenyum lebar.

"Ha ha ha ha. Aku jadi parnoan gini."

Eriana tertawa kaku untuk beberapa saat. Hingga kemudian ia dengan ekspresi salah tingkah menghentikan tawanya dan justru tersenyum payah pada Lina yang sebenarnya menatap dirinya dengan senyuman tulus. Lalu gadis asisten itu pun berkata.

"Mari, Non. Saya bantu siap-siap ke kantor."

Seperti Eriana yang melupakan bahwa pagi itu adalah hari Senin saja. Gadis itu menepuk dahi dan angguk-angguk kepala.

"Ah! Kamu bener!"

Eriana bangkit. Membiarkan Lina untuk mengikuti dan membantu dirinya untuk bersiap.

Sejujurnya saja, di awal mula Lina membantu dirinya untuk bersiap ketika ia pertama kali menginap di rumah itu, Eriana merasa tidak nyaman. Seumur hidup, Eriana tidak pernah mengalami kejadian di mana ia diekori bahkan saat akan mandi.

Ketika Eriana pergi ke kamar mandi, Lina ikut. Mengatur suhu air pancurannya atau bahkan menanyakan dirinya ingin menggunakan sabun beraroma apa pagi itu. Sekarang, walau Eriana masih merasa tidak nyaman, tapi setidaknya gadis itu sudah mulai mencoba menerima. Lina hanya berusaha menjalankan pekerjaannya saja.

"Jadi, Nona ...," kata Lina seraya membantu Eriana untuk berpakaian. "... kemaren perjalanan ke Bogornya menyenangkan?"

Eriana membiarkan Lina mengancing kemejanya sementara ia sibuk memainkan bibirnya hingga menyerupai aneka bentuk abstrak.

"Menyenangkan?"

Bayangan perjalanan kemaren seketika muncul di benak Eriana. Dari ancaman Tugu Kujang, pelemparan di kali bawah jembatan, hingga toge goreng dan air kelapa muda.

"Ha ha ha ha. Menyenangkan sekali."

Lina tersenyum. Menuntun Eriana untuk duduk di depan meja rias sementara dirinya beranjak mengambil sisir.

"Ah. Saya bisa membayangkan pasti rumah Nona jadi rame gara-gara Tuan Muda."

"Ehm ...." Eriana mendehem dengan penuh irama. "Ya bisa dibilang rame sih. Sampe-sampe aku ngerasa yang anak kandung orang tua aku itu ya Satria, sementara aku cuma anak pungut."

Perkataan bernada gerutuan itu membuat Lina mau tak mau tersenyum geli. Terutama ketika melalui pantulan cermin di meja rias itu memperlihatkan padanya ekspresi wajah Eriana yang cemberut.

"Apalagi pas dia makan segala macam sayur lalapan mentah itu. Iiih!" Eriana bergidik. "Dia yang makan, aku yang kena omel. Berasa kayak balik kecil lagi aku, Lin. Dibanding-bandingkan sama Satria cuma gara-gara perkara dia yang lahap makan pohpohan."

Menahan geli semakin sulit dilakukan oleh Lina seiring dengan semakin banyaknya gerutuan Eriana. Walau pada menit berikutnya cemberutan Eriana perlahan-lahan memudar. Tergantikan oleh raut yang menampilkan rasa heran.

"Yah ... walau sebenarnya aku nggak nyangka juga sih."

Lina beranjak. Meletakkan sisir dan merapikan sanggulan rambut Eriana. Mengambil satu jepit pemanis untuk disematkan di sisi kepalanya.

"Nggak nyangka apa, Non?"

Mata Eriana mengerjap sekali. "Melihat dari kepribadian Satria," kata Eriana seraya mengusap-usap ujung dagunya. "Aku sama sekali nggak nyangka kalau dia makan pohpohan. Ehm ...."

Lina terkekeh. Memerhatikan bahwa pulasan make up yang telah ia berikan pada wajah Eriana sebelum berpakaian tadi masih dalam tampilan sempurna.

"Tuan Muda ya pasti makan pohpohan dong, Non. Lagipula Tuan Muda memang cenderung suka makanan seperti itu."

Melalui cermin, Eriana melirik Lina. "Iya?" tanyanya tak percaya. "Aku pikir Satria itu nggak suka makan makanan rakyat menengah ke bawah gitu. Kalaupun suka makan sayur mentah ya ... aku pikir itu semacam selada atau kol ungu."

"Hehehehe. Nona ini," kekeh Lina. "Tentu saja Tuan Muda nggak kayak gitu."

Eriana melirik lagi. "Oh ya?"

Lina mengangguk. "Lagipula ... kalau Tuan Muda nggak suka makan makanan kayak gitu, sekarang Tuan Muda pasti udah nggak ada di dunia lagi, Non."

"Eh?" Eriana mengerutkan dahi. "Kenapa emangnya?"

"Ah .... Nona nggak tau ya?" tanya Lina dengan mengerutkan dahinya pula.

Kali ini Eriana tidak lagi melihat Lina melalui cermin, melainkan memutar posisi tubuhnya. Berbalik dan menengadahkan wajahnya pada gadis itu.

"Tau apa?"

"Selama berapa tahun kan makanan Tuan Muda ya kayak gitu," kata Lina seraya turun untuk sedikit berjongkok agar Eriana tak perlu mengangkat wajahnya. "Waktu Tuan Muda tinggal di desa."

"Tinggal di desa?" tanya Eriana. "Apa dia semacam anak yang hilang dan baru ditemukan? Gitu?"

"Hehehehe. Bukan, Non. Tapi, di keluarga ini ada tradisi," jawab Lina dengan tersenyum. "Ketika berusia tujuh tahun, setiap anak harus tinggal di satu desa. Jauh dari orang tua dan nggak boleh pulang selama tiga tahun. Kami nggak ada yang tau persis tempatnya di mata. Ada yang ngomong di Jogja. Ada yang ngomong di Solo."

Mata Eriana melotot. "Yang benar saja?"

"Memang benar, Non. Ada keluarga yang udah turun temurun jadi pengasuh anak keluarga ini. Jadi, kalau nanti Nona dan Tuan Muda punya anak, mereka juga harus tinggal di sana."

"Eh???"

Kali ini mata Eriana benar-benar melotot besar.

"Gimana bisa seorang ibu pisah sama anaknya tiga tahun nggak pake ketemu?"

Lina geleng-geleng kepala. "Masih ketemu sih, Non. Tapi, paling cuma dijenguk pas hari raya gitu. Lagipula kan ... itu untuk pendidikan anak Nona nanti. Biar tau gimana rasanya hidup dengan keterbatasan."

Eriana tidak membalas perkataan Lina. Alih-alih mengatakan hal lainnya, benak gadis itu justru berpikir hal lainnya.

Apa keluarga ningrat emang kayak gini?

Atau jangan-jangan keluarga ini sebenarnya titisan terakhir Raden Wijaya?

Eriana geleng-geleng kepala.

Kalau dia titisan terakhir Raden Wijaya, aku pasti keturunan Putri Gayatri.

Hanya saja, perkataan Lina tetap membekas di benak Eriana. Membayangkan bagaimana ia harus berpisah selama tiga tahun dengan anak kandungnya sendiri, membuat Eriana takut. Benar-benar tak habis pikir kalau dia memang harus mengalami itu semua.

Tujuh tahun?

Gimana bisa pisah di usia semuda itu?

Tapi, ketika beragam pertanyaan berputar-putar di benak Eriana, satu hal lainnya membuat ia meneguk ludahnya sendiri.

Kamu udah kepikiran untuk buat anak sama Satria, Ri?

Glek.

Kayaknya kamu kebanyakan makan pohpohan deh!

*

Satria mengembuskan napas panjang. Sekilas menggulung lengan kemejanya dengan asal hingga melipat kusut di kedua siku tangannya. Lebih dari itu, ia pun seperti refleks menarik lilitan dasi di lehernya untuk melonggar. Dan sebagai tambahan, kancing teratas kemeja itu pun keluar dari lobangnya.

"Kopi aku mana, Ri?"

Terpisah oleh satu meja di antara mereka, Eriana mengangkat wajahnya. Sejenak menyisihkan konsentrasinya pada denah bangunan yang sedang ia amati. Tangannya kemudian terulur. Meraih cangkir kopi Satria dan memberikannya pada pria itu.

"Ini."

Satria menyambutnya tanpa melihat pada gadis itu. Menyesap kopinya tanpa menaruh tatakannya terlebih dahulu. Sejurus kemudian, cangkir kopi itu mendarat kembali di atas meja setelah Satria menyesapnya berulang kali. Selanjutnya ia pun kembali fokus pada pekerjaannya lagi.

Menarik napas dalam-dalam, Eriana mengerjapkan matanya sekali. Sekilas melihat pada meja yang biasa digunakan untuk menerima tamu di ruang kerja pria itu berubah menjadi meja kerja dadakan. Beberapa dokumen berantakan. Proposal pembangunan membuka. Beberapa desain bangunan pun tampak di beberapa tempat.

Ehm ....

Kalau ngeliat dia sehari-hari kayak gini, mana mungkin aku bisa ngira kalau dia pernah pisah tiga tahun dari Tante.

Apa itu yang ngebuat kepribadiannya jadi gini?

Eriana geleng-geleng kepala.

Tapi, ya walau dia akhir-akhir ini sering ngebuat aku ngeri nggak ketulungan gara-gara ciumannya itu ... ehm sebenarnya aku harus dewasa buat ngakuin kalau dia punya kepribadian yang cukup hangat.

Terlepas dari sikapnya yang kadang ketus dan nggak berperasaan, ya ... kemaren pas di rumah dia emang cukup enak diajak ngobrol sih.

Adek-adek juga suka sama dia.

Bahkan Ibu dan Bapak juga.

Ehm ....

Ternyata dia nggak semenyebalkan seperti yang pernah aku bayangkan.

Eriana mengembuskan napas panjangnya. Dan sebagai akibatnya, embusan napasnya itu menimbulkan sedikit suara yang menarik perhatian Satria. Mendorong pria itu untuk mengangkat wajah dan menatap Eriana dengan ekspresi tak percaya.

"Kamu mau istirahat, Ri, sementara aku masih kerja?"

Buyar semua lamunan Eriana karena pertanyaan bernada sindiran itu. Membuat Eriana buru-buru geleng-geleng kepala dan berkata.

"Nggak. Ini aku juga lagi kerja."

Gantian Satria yang mengembuskan napas panjang. Melepaskan pena di tangannya dan justru bersedekap. Melihat bagaimana Eriana yang segera mengambil sehelai gambar desain bangunan dan menelitinya dengan saksama. Hal yang membuat Satria berpikir.

Ehm ....

Kalau ngeliat dia sehari-hari kayak gini, mana mungkin aku bisa ngira kalau dia pernah menjalani hidup yang nggak mudah.

Apa itu yang ngebuat kepribadiannya jadi gini?

Mata Satria berkedip pelan sekali.

Tapi, ya walau dia akhir-akhir ini sering ngebuat aku ngeri nggak ketulungan gara-gara kesukaan anehnya dengan bokong aku ... ehm sebenarnya aku harus dewasa buat ngakuin kalau dia punya kepribadian yang cukup mengesankan.

Terlepas dari sikapnya yang kadang kacau dan suka bertindak semaunya dia, ya ... selama ini dia juga selalu bisa diandalkan sih.

Pekerjaan dia bagus.

Mama dan Papa juga suka dia.

Ehm ....

Ternyata dia nggak semenyebalkan seperti yang pernah aku bayangkan.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top