32. Tak Terduga

"Ayo, ditambah lagi lauknya. Nggak usah malu-malu. Masih banyak di belakang."

"Ah, iya, Bu, iya."

"Aa' suka pohpohan nggak?"

"Suka kok."

"Pake sambal, A'. Enak banget loh."

"Ah, iya iya."

"Ini deh biar pohpohannya untuk Aa'."

"Ah, makasih."

"Dihabisin, A'. Kalau kurang masih ada kok."

"Nggak usah. Ini udah banyak."

Aa'?

Sejak kapan Satria dipanggil Aa'?

Yhang ... behnar ... sahja ...!

Eriana merasakan tubuhnya merinding atas bawah. Melihat bagaimana seluruh anggota keluarganya menikmati makan siang itu dengan begitu santainya bersama dengan Satria membuat gadis itu malah tak mampu menikmati makanannya. Alih-alih menyuap nasi ke dalam mulutnya, ia justru tampak menganga mendapati bagaimana keakraban tak masuk akal itu tercipta dengan kesan begitu alami. Tanpa pemanis buatan!

Nanik terlihat menambahkan sesendok nasi putih di piring Satria. Di lain pihak ada Rozi –ayah Eriana- yang menunjuk piring lainnya.

"Itu, Bu. Ikan tongkolnya kasih ke Satria."

Satria tersenyum. Dan itu membuat Eriana tanpa sadar mencibirkan bibir bawahnya. Terutama ketika cowok itu berkata.

"Aduh, Pak, masa semuanya saya habisin?"

Rozi geleng-geleng kepala. "Kamu pasti makannya banyak. Tambah lagi."

"Makasih, Pak."

Iiih!

Sok-sok mau nolak, tapi piring diangkat juga.

Dasar cowok.

Omongannya emang nggak bisa dipercaya.

Dan walau sebanyak apa Eriana mengubah posisi duduknya di atas tikar anyaman itu –mengingat mereka menikmati makan siang dengan duduk di lantai, alih-alih di meja-, tetap saja Eriana merasa benar-benar resah melihat pemandangan itu. Rasanya tak nyaman hingga membuat kakinya merasa kesemutan bergantian. Hal yang kemudian membuat Nanik mendelik padanya.

"Itu pasti karena kamu nggak suka makan sayur. Padahal udah dibilangin, sayuran itu bagus untuk badan. Lihat kan? Masih muda udah keseringan kesemutan kan?"

"Ckckckck." Rozi geleng-geleng kepala. "Anak gadis nggak suka makan sayur, kamu sendiri yang susah nanti, Ri."

Eriana melongo sejenak mendengar omelan tentang sayuran yang ia dapatkan siang itu. Sebenarnya bukan hal yang aneh. Orang tua Eriana seringkali mengaitkan antara wanita, sayuran, dan produksi ASI yang akan datang. Tapi, masalahnya saat itu Eriana bukannya sedang bermasalah dengan sayuran, melainkan dengan Satria. Dan ketika ia baru saja akan membantah perkataan kedua orang tuanya, Eriana justru mendapati Satria yang lebih dulu mengambil tindakan.

"Nih, Ri. Pohpohan, kol, kemangi, dan kacang panjang." Satria tersenyum lebar seraya menaruh tiap sayuran mentah itu pada piring Eriana. "Semuanya e ... nak dicocol dengan sambal." Lalu, Satria menoleh pada keempat orang adik Eriana. "Benar kan?"

"Benar, A'!"

Belum lagi sayuran lalapan itu masuk ke dalam mulutnya, tapi Eriana mendadak sudah merasa mual-mual saja. Satu pertanyaan berputar-putar di benak Eriana.

Gimana bisa ini orang-orang rumah jadi yang kayak nganggap Satria anak kandung sementara aku anak pungut?

Hal itu tentu saja tidak berlebihan mengingat bagaimana sikap seluruh keluarganya yang sangat menyambut kehadiran Satria di tengah-tengah mereka. Terutama kedua orang tuanya yang Eriana pikir bahwa akan mempersulit Satria malah bersikap sebaliknya.

"Jadi belum lama kenal dengan Eri?"

Satu pertanyaan itu menjadi pembuka perbincangan Satria dan Rozi. Saat ini kedua orang pria dewasa itu tengah duduk bersantai di teras rumah. Berkipas-kipas demi menenangkan diri dari tingginya suhu di Bogor siang itu. Menyengat hingga nyaris membuat kemeja yang Satria kenakan basah karena keringat.

"Belum, Pak," jawab Satria meneguk ludahnya. Menarik napas dalam-dalam, pria itu tau bahwa sesi interogasinya telah tiba. Sekarang Satria pun menyiapkan segala kemungkinan yang akan terjadi padanya. Termasuk berbagai pertanyaan yang akan ia dapati dari ayah Eriana.

Rozi mengembuskan napas panjang. Masih berkipas-kipas seraya membawa tatapannya lurus ke depan.

"Kok belum lama kenal Eri, tapi sudah mau menikahi dia?" tanya Rozi kemudian. "Kenapa?"

Karena kami kepergok dikira lagi remas-remasan, Pak.

Satria membayangkan ia menjawab pertanyaan Rozi seperti itu dan lalu mungkin ia akan meregang nyawa mendarat di puncak Tugu Kujang. Hal yang membuat pria itu memutar otaknya dengan cepat. Toh sejujurnya Satria memang sudah memperkirakan pertanyaan tersebut. Semalaman Satria pun sudah memikirkan jawaban yang terbaik yang bisa ia berikan pada orang tua Eriana.

"Karena aku pikir kami sudah sama-sama dewasa, Pak," jawab Satria pada akhirnya. "Berpacaran dan main-main, itu bukan masanya kami lagi, Pak."

Sementara itu, ketika Satria menjawab pertanyaan Rozi dengan nada serius, ada sepasang telinga yang mendengar di balik dinding. Di ruang tamu, Eriana menempelkan telinga tepat di bawah jendela. Berjongkok dan mencibirkan bibir bawahnya.

"Bukan masanya kami lagi, Pak."

Eriana menggeram tanpa suara.

"Dasar keturunan kompeni Belanda. Pinter banget bermulut manis." Mata Eriana mengerjap. Seperti menyadari bahwa ada sesuatu yang janggal. "Eh? Bermanis mulut maksudnya."

Dan di depan, Satria terdengar kembali berkata.

"Sampai saat ini kami sungguh-sungguh nggak pernah bertindak melewati batas, Pak."

Bola mata Eriana berputar-putar mengejek.

Nggak bertindak melewati batas bibirmu ndower, Sat?

Kamu nggak nyadar gimana kamu yang nyaris nggak tau batasan kalau Lina nggak masuk ke kamar waktu itu?

Kali aku beneran udah hamil sekarang.

Selang dua detik kemudian, Eriana mengerutkan dahinya. Satu fakta melintas di benaknya.

Yaaa ... aku juga pernah kebablasan ngeremas bokong dia juga sih sebenarnya.

Ehm ....

Bisa dibilang satu sama.

Iya.

Satu sama.

Rozi terdengar menghela napas panjang di antara suara kipasnya yang masih bergerak tanpa henti.

"Dulu Eri sebenarnya pernah ngomong ke Bapak dan Ibu, katanya dia nggak mau nikah. Makanya kami kaget waktu tau kamu ingin menikahi dia."

Satria terdiam beberapa saat. "Ng-nggak mau nikah?"

Apa cewek ini ada menyembunyikan sesuatu?

Satria menggeleng sekali.

Menyembunyikan sesuatu?

Yang ada justru dia menyembunyikan banyak hal kali, Sat.

Lantas mata pria itu sedikit menyipit. Otaknya bekerja.

Tapi, mustahil dia nggak mau nikah gara-gara nggak suka cowok.

Orang dia nafsuan banget ngeremas bokong aku.

Iiih!

"Tapi ...."

Suara Rozi membuyarkan berbagai pemikiran di benak Satria.

"Bapak sekarang mikir kalau itu cuma gerutuan anak gadis kalau terancam jadi perawan tua. Hahahaha."

Dooong!

Eriana melongo di balik dinding.

Yang benar aja ih, Bapak.

Anak gadis sendiri juga diomong-omongi kayak gitu.

"Hahahaha."

Suara tawa Satria juga terdengar menimpali tawa Rozi yang meledak membahana. Sahut menyahut tanpa tau bahwa ada Eriana yang mengerucutkan bibirnya dengan kesal.

"Tapi, kalau kamu memang serius ingin menikahi Eri ..."

Masih dengan bibir cemberut, Eriana menyadari bahwa tawa di teras telah berhenti. Tergantikan oleh suara Rozi yang kembali berbicara pada Satria.

"... ya Bapak pasti setuju. Bagaimanapun juga, dia anak pertama Bapak. Melihat dia bahagia adalah harapan Bapak."

Perkataan itu pelan-pelan membuat bibir Eriana yang cemberut pelan-pelan mengendur kaku.

"Kamu harus ingat, Eri itu anaknya tertutup. Yang paling ia pedulikan hanya keluarganya. Kamu tau alasan dia lanjut S2?"

Eriana tertegun sementara suara Satria terdengar.

"Nggak, Pak."

Rozi terdengar mengembuskan napas panjang sejenak sebelum lanjut berkata.

"Itu agar uang beasiswanya bisa bantu-bantu Bapak dan Ibu. Untuk modal warung nasi kami yang sekarang."

Dan sementara Eriana merosot di lantai, di depan sana ada Satria yang meneguk ludahnya dengan berat. Sekarang tatapan matanya jatuh pada kedua kakinya. Melihat pada lantai teras yang tampak berlubang di beberapa tempatnya itu.

Perasaan Satria seketika menjadi tak bisa digambarkan oleh kata-kata. Dari semua pemikiran semalaman yang ia duga akan ia alami saat menjalani perbincangan dengan Rozi, Satria sama sekali tidak menduga bahwa ada sesuatu yang benar-benar akan menyentak ulu hatinya.

"Mungkin menikah dengan kamu adalah jalannya Eri untuk bahagia."

Bum!

Satria tak pernah mengira sebelumnya bahwa ucapan seorang pria mampu membuat perasaannya sebagai seorang pria bergetar seketika. Seperti ada remasan yang terjadi pada jantungnya. Seolah ada desakan alamiah yang membuat ia menjadi susah untuk bernapas. Hingga ia pikir bahwa satu-satunya hal yang bisa ia katakan adalah.

"Aku akan membahagiakan Eri, Pak."

*

"Mudah-mudahan dalam waktu dekat aku dan keluarga akan datang lagi ke sini, Pak. Untuk melamar Eri."

Itu adalah hal yang dikatakan oleh Satria ketika menjelang malam itu ia dan Eriana berpamitan untuk pergi. Dan Rozi mengangguk lega mendengar hal tersebut. Matanya tampak berpindah pada Eriana. Gadis itu terlihat menundukkan wajahnya. Tak balas menatap pada ayahnya itu.

"Kalian berdua hati-hati di jalan."

Ucapan Rozi adalah hal terakhir yang pasangan itu dengar sebelum pada akhirnya setelah memberikan salam dan pelukan tanda pamit, Eriana dan Satria masuk ke dalam mobil. Dan beberapa menit kemudian, mobil itu pun bergerak dengan perlahan meninggalkan rumah Eriana di belakang.

Berbeda dengan perjalanan mereka pagi tadi yang diwarnai oleh adu mulut dan saling berbalas kata, kali ini perjalanan mereka nyaris benar-benar hening. Tak ada yang bersuara di antara mereka. Baik Eriana maupun Satria seolah sedang berada di dunia mereka yang berbeda. Dunia alam pikiran masing-masing.

Adalah Eriana yang jelas masih teringat dengan setiap kata yang Rozi katakan tadi. Jelas saja membuat ia merutuki dirinya sendiri bahwa seandainya ia tidak menguping, tentu saja ia tidak akan mendengar hal tersebut.

Argh!

Benar-benar deh.

Kenapa juga Bapak ngomong kayak gitu?

Sementara itu, tak berbeda jauh dengan Eriana ada Satria yang juga memiikirkan setiap perkataan Rozi. Tentang pengharapan pria itu dan lantas tentang janji yang terucap begitu saja dari bibirnya.

Argh!

Kamu ini bener-bener.

Harusnya kamu sadar kalau setiap anak perempuan itu adalah kebahagiaan bapaknya.

Dan begitulah yang terjadi. Keduanya tenggelam dalam pemikiran masing-masing. Keheningan dan perenungan menjajah benak mereka. Hanya terkadang terdengar helaan napas bergantian yang menjadi pertanda bahwa keduanya masih bernyawa. Dan ketika di momen yang pas, di saat Eriana menghela napas lagi untuk yang ke sekian kalinya, Satria spontan menoleh.

"Kamu mau tidur?" tanya Satria dengan suara rendah. "Kalau ngantuk ya tidur aja. Ntar aku bangunin kalau udah sampe."

Tidak ada ancaman akan melemparkan Eriana hingga tersangkut di Tugu Kujang ataupun pelemparan ke kali terdekat. Hal yang lantas membuat Eriana mengangguk. Ia sedikit beringsut. Memperbaiki duduknya dan mencari posisi yang nyaman. Kemudian pelan-pelan gadis itu menutup matanya.

Mendapati Eriana yang memilih untuk tidur, Satria lantas mengulurkan tangannya. Menurunkan sedikit volume musik yang tengah mengalun. Mengatur suhu di mobil itu agar tidak terlalu dingin mengingat langit sudah menggelap dari tadi. Lalu Satria menyetir dengan tenang.

Mengingat macet kembali menjadi ujian perjalanan pulang kala itu, maka tidak heran sama sekali kalau pada akhirnya mobil Satria memasuki gerbang pagar rumahnya ketika jam nyaris menunjukkan jam sebelas malam. Padahal kalau dipikir-pikir mereka tadi memutuskan untuk memulai perjalanan sebelum jam enam sore. Benar-benar macet yang begitu parah.

Satria memutuskan untuk membawa Eriana pulang ke rumahnya saja, alih-alih memperlama perjalanan menuju ke apartemen gadis itu. Lagipula menyetir nyaris sepuluh jam lamanya karena macet membuat tubuh pria itu sedikit letih.

Ketika mobil telah berhenti di pelataran rumahnya, Satria dengan segera melepaskan sabuk pengamannya. Menoleh dan mendapati bagaimana Eriana yang tampak begitu pulas tertidur. Mendadak saja ia seperti mendengar suaranya menggema di dalam mobil itu.

"Aku akan membahagiakan Eri, Pak."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top