30. Hasil Pertimbangan
"Membuat kamu jatuh cinta ke aku."
"Membuat kamu jatuh cinta ke aku."
"Membuat kamu jatuh cinta ke aku."
"Membuat kamu jatuh cinta ke aku."
"Membuat kamu jatuh cinta ke aku."
Kalimat yang sama terdengar terngiang-ngiang di benak Eriana. Berulang kali. Sepanjang hari. Dan berlanjut di hari-hari selanjutnya. Sesuatu yang ingin Eriana singkirkan dari benaknya, namun lagi-lagi ia mengutuk mengapa Tuhan memberikan dirinya ingatan yang begitu kuat untuk hal-hal yang tak tepat.
"Emang dasar psikopat berdasi itu cowok. Gimana bisa ia dengan entengnya ngomong aku sebagai obsesi dia tepat di depan muka aku? Nggak kepikiran buat bohong dikit apa gitu?"
Dan selagi mengumpatkan hal itu, Lina yang baru saja menyerahkan tas kerjanya menjadi terheran-heran mendapati raut kesal yang tercetak di wajah Eriana. Penasaran, namun tidak ingin berlaku lancang untuk bertanya. Lagipula kalau Lina pikir-pikir memang sudah beberapa hari terakhir ini Eriana seringkali tertangkap basah sedang mengumpat. Yang mana Lina sendiri pun menebak bahwa Satrialah yang menjadi objek umpatan Eriana. Hal yang didasarkan pada kemarahan Eriana saat Satria menciumnya tempo hari. Dan tentu saja itu membuat Lina menjadi senyum-senyum sendiri. Terutama ketika ia sering mendengar bisik-bisik teman sesama pelayannya berkata.
"Tuan dan Nona Muda buat gemes. Kayak yang di drama itu loh. Gemes-gemes buat geregetan."
Dan setelah membantu Eriana bersiap, Lina mendapati kedatangan majikan mudanya itu. Satria masuk ke dalam ruangan yang menjadi tempat berlangsungnya kelas-kelas pribadi Eriana selama ini. Lina memberikan anggukan sopan sebelum beranjak dari sana. Meninggalkan majikannya berdua saja dengan Eriana.
Eriana bangkit. Menyandang tas kerjanya di bahu kanan dengan wajah cemberut. Kentara sekali bahwa hal itu ia lakukan untuk Satria. Namun, Satria justru menanggapi hal itu dengan santai.
"Jadi, gimana, Ri?" tanya Satria. "Kamu udah ngabarin keluarga kamu kan? Dua minggu lagi kita mau lamaran loh."
Meremas tali tasnya, Eriana mengerucutkan bibir bawahnya. "Iya. Ntar balik dari sini aku bakal nelepon Ibu kok. Kamu nggak perlu khawatir."
"Aaah," lirih Satria dengan irama menggoda. "Berarti kita beneran jadi mau nikah?"
Mata Eriana melirik tajam. Pertanyaan itu tanpa bisa ia cegah justru membuat ingatannya akan hal lain menjadi terbuka. Itu adalah ketika ia mendengar beberapa orang pelayan –yang membantu dirinya sebelum dan selesai kelas pribadinya- berbisik-bisik. Dan ketika ditanya alasannya, jawaban mereka membuat Eriana merinding.
"Sabtu kemaren Nona Ratna datang buat minta maaf, Non. Tapi, sama Tuan Muda langsung disuruh pulang."
"Nggak cuma itu, bahkan satpam udah dipanggil buat siap-siap kalau Nona Ratna nggak mau pulang baik-baik."
"Bingkisan buah yang dibawa Nona Ratna langsung dibuang di depan mukanya."
Kala itu Eriana pun ingat bahwa beberapa hari yang lalu ia telah mengurus pembatalan kontrak yang melibatkan tenaga hukum perusahaan. Yang mana Eriana sendiri heran bahwa ternyata Satria benar-benar melakukan omongannya tempo hari. Jujur saja, Eriana pikir omongan Satria itu hanya omongan kosong belaka. Ternyata ....
"Tuan mah emang gitu, Non. Ada yang macam-macam bakal ehm ...."
Mata Eriana melotot saat melihat seorang pelayan itu meletakkan sisi telapak tangannya di leher seperti gerakan orang yang tengah menyembelih hewan ternak. Hal yang membuat Eriana bergidik langsung. Untuk itulah pada akhirnya Eriana merasa sudah tak ada pilihan lainnya.
Dan seakan ketakutan Eriana belum cukup, di hari selanjutnya Satria berkata seperti ini.
"Kalau kamu sampe nolak pernikahan ini, kamu bakal aku pecat tanpa pesangon dan kamu bakal dapat riwayat pemberhentian hubungan kerja dengan catatan yang nggak bagus. Perusahaan manapun bakal memasukkan nama kamu ke daftar hitam mereka. Percaya aku deh. Selain jadi tukang cuci piring di warteg, kamu nggak bakal bisa kerja di kantor mana pun. Ya kecuali kantor travel sih."
Dari bayangan gaji yang tinggi karena kerja di kantor sebesar Aksa Bhumi, Eriana harus memiliki bayangan menakutkan lainnya. Tak diterima kerja di manapun dan harus berakhir menjadi penjaja minuman kemasan di simpang lampu merah.
Bukan masalah kerjaannya sih. Tapi, masalah uangnya.
Aku harus dapat kerja yang bisa menghasilkan uang banyak.
Nggak punya duit itu beneran nggak enak.
Maka dari itu, Eriana merenungkan nasibnya. Menimbang bahwa sebenarnya menikah dengan Satria tetap masih ada sisi positifnya.
Nggak buruk-buruk amat kok, Ri.
Paling nggak kamu ingat aja montoknya bokong Satria.
Hal yang hampir kamu lupakan selama ini akibat syok gara-gara ciuman dia.
Dan di saat itulah Eriana merenung.
Apa sebenarnya ciuman dia lebih memesona ketimbang bokong dia?
Atau justru ciuman sambil ngeremas bokong dia itu lebih memesona lagi?
Iiiih!
Eriana bergidik. Dan memutuskan bahwa itu adalah hal yang sangat tidak ingin Eriana cari kebenarannya. Lebih dari itu, kembali pada saat ini, Eriana menyadari bagaimana Satria menunggu jawabannya dengan tatapan yang semakin terasa menusuk ke dalam kalbunya.
Mendengkus sekilas, Eriana pun menjawab.
"Iya. Kita jadi nikah."
Satria terkekeh lirih. Pelan. Dan tak lama. Pria itu lantas terlihat menggaruk sedikit ujung pelipis kanannya dengan ujung jari telunjuknya.
"Kan kalau gitu enak. Coba aja kamu nggak pake acara sok nolak aku, aku nggak bakal sampe ngancam kamu yang nggak-nggak."
Bibir Eriana semakin maju dalam cemberutannya. Dalam hati ia mengumpat habis-habisan.
Psikopat berdasi tukang ngancam.
Awas aja kamu ntar ya?
Ntar kamu bakal aku balas.
"Nah ...."
Suara Satria mengaburkan umpatannya. Spontan membuat Eriana mengangkat wajah dan melihat pada pria itu. Ia mendekat. Dan Eriana pun refleks menjauh. Membuat Satria kembali geleng-geleng kepala. Namun, ketimbang memperdebatkan hal itu, Satria justru mengatakan hal lain.
"Ya kalau kita beneran mau nikah ..., coba sekarang aja kamu nelepon ibu kamu. Biar aku yakin kamu beneran serius mau nikah dengan aku."
Demi Dewa!
Di mana-mana itu cewek yang biasanya nuntut keseriusan cowok buat nikahi dia.
Lah ini? Kok kebalik sih?
Malah dia yang nuntut keseriusan aku?
Mata Eriana melotot.
"Kamu nggak percaya akau?"
Enteng, Satria menjawab. "Kalau gitu, buktikan ke aku kalau kamu bisa dipercaya."
Dan Eriana pun tak membalas lagi perkataan pria itu, melainkan mengambil ponselnya dari dalam tas. Dengan cekatan menekan kontak ibunya seraya memilih untuk kembali duduk di satu kursi. Hal yang berada di luar dugaan, Satria juga menarik kursi dan memilih untuk duduk di hadapan Eriana.
"Loudspeaker-kan, Ri."
Eriana tak membantah. Mengaktifkan fitur itu dan memegang ponsel di tengah-tengah mereka. Diam selagi menunggu panggilannya diangkat.
"Eri ...?"
Suara ibunya terdengar dan menyadarkan Eriana yang nyaris jatuh dalam lamunannya. Gadis itu menarik napas dalam-dalam.
"Bu ..., ada yang mau aku omongin."
Satria diam saja. Sama sekali tidak mengalihkan tatapan matanya dari Eriana. Menyadari bahwa wajah Eriana saat itu sedikit berubah. Seperti gugup. Lebih lagi ketika Satria menyadari bagaimana sesekali bibir bawah gadis itu tampak bergetar.
"Tiap ngubungi ibu, kamu pasti selalu bawa berita heboh. Ehm ... kali ini apa lagi, Ri? Soal lamaran kamu kemaren itu?"
Tanpa sadar, Eriana menggigit bibir bawahnya. Bodohnya, ia mengangguk saat menjawab. "Iya, Bu. Rencananya nanti Tante Mega bakal nyuruh orang ke rumah buat bantu-bantu malam lamaran."
"Ehm .... Tante Mega ini siapa, Ri?"
Pertanyaan yang refleks membuat Eriana mengangkat wajahnya. Matanya langsung beradu pada sepasang mata Satria. Pria itu terlihat tenang. Raut wajahnya tampak biasa-biasa saja. Berbeda sekali dengan Eriana yang memerah ketika harus menjawab.
"Calon mertua aku, Bu."
Satu seringai yang tak terlihat di mata Eriana, timbul di wajah Satria. Sedetik, lalu seringai puas itu lenyap. Kembali tergantikan oleh wajahnya yang tenang.
"Oh .... Jadi?"
Eriana menguatkan dirinya. "Mereka mau ngelamar aku dua minggu lagi, Bu. Dan setelah itu ...."
Baik ibu Eriana maupun Satria sama-sama menunggu kelanjutan perkataan Eriana. Yang mana sepertinya butuh waktu yang lebih lama untuk Eriana mampu lanjut berkata lagi.
"Setelah itu aku dan Satria rencananya bakal menikah bulan depan, Bu."
Satu kalimat yang langsung mendapatkan dua respon yang berbeda. Di hadapan Eriana, ada Satria yang kali ini tak lagi merasa perlu untuk menutupi senyum penuh kemenangannya. Sementara itu, di seberang sana ada suara kesiap wanita paruh baya yang nyaris persis seperti suara orang yang tercekik.
"Kamu mau nikah bulan depan, Ri? Yang benar-benar aja? Kamu mau nikah atau mau apa sih? Kok mendadak kayak gini? Secepat ini?"
Eriana meneguk ludahnya. Sejujurnya, Eriana sama sekali tidak terkejut dengan respon orang tuanya. Lagipula, mana ada orang tua yang tidak syok kalau mendapat kabar anak gadisnya akan menikah mendadak seperti itu?
"Ehm ... itu ...."
"Kamu lagi hamil, Ri?!"
"Eh?"
Eriana dan Satria sama-sama melotot mendengar pertanyaan itu. Yang mana mereka kemudian sama-sama merasa panas di wajah masing-masing. Tapi, belum lagi Eriana akan menjawab pertanyaan itu, ternyata Satria dengan tangkas merebut ponsel Eriana.
"Selamat malam, Bu. Aku Satria."
"Eh? Satria? Loh? Eri tadi mana? Ini kamu siapa? Ya ampun. Iya, nama kamu Satria. Tapi, kamu siapa?"
Eriana menarik napas dalam-dalam. Benaknya bisa membayangkan kalau saat itu sudah barang tentu ibunya sedang terguncang. Panik. Makanya tak heran sama sekali kalau pertanyaan yang ia lontarkan menjadi kacau balau seperti itu.
"Aku pacar Eri, Bu."
What?
Belum hilang pelototan mata Eriana yang tadi, sekarang ia semakin melotot lantaran perkataan Satria.
"Oh, maaf, Bu. Bukan pacar, tapi calon suami Eri."
"Ya Tuhan."
Eriana bingung. Antara ingin menjitak Satria atau justru merebut ponsel itu. Sekarang Eriana merasa takut. Jangan-jangan ibunya sudah jatuh pingsan di seberang sana.
Gawat!
"Kamu yang mau menikahi Eri?"
Mantap, Satria menjawab. "Iya, Bu. Dan itupun kalau Ibu dan Bapak mengizinkan. Yang mana kalau menurut pendapat aku sih seharusnya Ibu dan Bapak ya mengizinkan."
Ya ampun Gusti.
Wajah Eriana horor melihat pada Satria yang tampak begitu percaya diri.
"Tenang saja, Bu. Aku udah ada pekerjaan. Eri nggak bakal kurang apa pun kalau nikah dengan aku."
Wah!
Terlepas dari sifat psikopat dia, ternyata dia pintar bermanis mulut juga ya?
Nggak nggak.
Eriana geleng-geleng kepala.
Psikopat kan emang kayak gitu kali, Ri.
Di depan mulutnya manis.
Di belakang mulutnya sadis.
Tapi, Eriana bisa menebak. Bukan berarti mulut manis Satria akan mudah mendamaikan perasaan ibunya.
"Be-bentar, Satria. Ibu benar-benar nggak kenal kamu dan kamu langsung mau datang melamar anak Ibu?"
Satria memperbaiki sedikit ponsel di tangannya. "Bukankah itu tanda aku serius, Bu? Apa Ibu mau anak Ibu dipacarin aja, tapi nggak dinikahi?"
"Sat---"
Mata Satria melotot. Membuat Eriana urung melontarkan sumpah serapahnya pada pria itu. Alih-alih, ia memilih meraih gelas minumnya yang masih berada di atas meja. Meneguk sisa isi di dalamnya.
"Aku berani bersumpah, Bu, Eriana belum hamil. Kami nikah bukan karena ada aib yang harus ditutupi, tapi murni karena kami emang udah siap buat nikah."
Siap buat nikah bokongmu?
Eriana manyun.
"Kalau Ibu masih ragu, nggak apa-apa. Sebelum lamaran, aku dan Eri ntar bakal datang ke rumah. Aku akan memperkenalkan diri dengan sopan. Tapi, sebelumnya aku minta maaf karena baru menyapa lewat telepon."
Pernah melihat ibu-ibu kompleks yang langsung melotot syok ketika melihat tetangga beli panci baru? Nah! Persis begitulah air wajah Eriana saat mendengar Satria berkata seperti itu.
Sopan santun.
Pake minta maaf.
Wah!
Siapa pun orangnya pasti nggak bakal nyangka kalau aslinya dia berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat.
Akting yang begitu memukau.
Perlu mendapat penghargaan Asia Artist Awards.
Dan seperti yang Eriana tebak, ibunya tampak tersentuh dengan perkataan Satria. Hal yang membuat ia menghela napas panjang di seberang sana.
"Jadi kamu benar-benar serius mau menikahi Eri?"
Wajah Satria terlihat lebih rileks kali ini. "Bagaimana kalau Ibu sendiri yang menilainya? Hari Minggu kami akan ke Bogor." Lantas kepala Satria terangkat. Melihat pada kedua bola mata Eriana dan bertanya. "Gimana, Sayang? Kita pulang ke rumah kamu bentar ya?"
Sayang?
Dan di saat itu Eriana benar-benar ingin berteriak.
Dasar bokong peyang!
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top