3. Unjuk Penampilan
Sekretaris itu wajah Bos.
Entah mengapa di saat seperti itu Eriana justru teringat satu drama kesukaannya dulu, Master Sun. Tepatnya pada satu adegan di mana tokoh bernama Joo Joong Won menolak Tae Gong Shil yang ingin menjadi sekretarisnya karena penampilannya yang tidak menarik. Nah, kurang lebih seperti itulah Satria berkata padanya untuk selalu menjaga penampilannya.
"Sekretaris itu wajah, Bos. Jangan mempermalukan saya dengan penampilan kamu yang norak."
Ugh!
Setiap mengingat perkataan itu, Eriana merasakan dadanya bergejolak. Ia merasa berada di titik di mana wanita merasa dirinya tidak cantik. Padahal itu tidak sepenuhnya benar.
"Yah, mungkin aku emang nggak secantik artis papan atas sih. Tapi, tampang aku masih lumayan kok dibawa ke kondangan terdekat."
"Hihihihi."
Suara kikik itu membuat Eriana berpaling dari cermin besar di hadapannya. Sedikit susah dengan balutan gaun yang memeluk erat tubuhnya itu. Dan ketika melihat ke sumber kikikan itu, mata Eriana menyipit. Pada teman satu apartemennya yang bernama Intan.
Gadis itu terlihat memeluk semangkok popcorn. Melangkah pelan dan berhenti di belakang tubuh Eriana. Turut melihat pantulan bayangan temannya itu di cermin.
"Ehm ..., not bad."
Eriana mendengkus kecil. Membawa kembali tatapan matanya untuk menilai penampilannya sendiri. Beberapa kali mengubah posisi tubuh hanya untuk memeriksa setiap detailnya.
"Ini bukan kayak kamu yang lagi mau ngadiri acara penobatan gitu kan ya?" tanya Intan setengah mengeomentari sikap berlebihan Eriana kala itu. Jarinya meraup beberapa keping popcorn. Mengunyahnya dengan mulut setengah terbuka. Hingga menimbulkan suara di telinga Eriana.
Eriana berkedip sekali. "Kalaupun aku bakal ngadiri acara penobatan aku," jawab Eriana lirih, "Itu bukan berarti aku bakal tampil habis-habisan." Kedua tangannya terlihat mengusap kedua pahanya yang terlihat berlekuk. "Tapi, masalahnya ini adalah---"
"Bos aku sangat cerewet," potong Intan geli.
Dan Eriana pun cengar-cengir karenanya.
"Aku udah hapal banget." Jari tangan Intan bergerak lagi. Kembali menikmati popcorn-nya. "Yang namanya Bos yah memang selalu menuntut semua untuk sempurna kan? Lagipula wajar. Kamu sekretaris. Dari zaman dulu sekretaris memang harus memerhatikan penampilan."
"Aku tau persis kalau sekretaris itu memang harus menjaga penampilan. And in case you forget it, Tan. Aku udah ngabisin banyak duit tabungan aku cuma untuk belanja pakaian, sepatu, dan tas. See?" Kedua bahu Eriana terlihat naik. "Aku itu udah yang beneran total deh buat pekerjaan ini. Tapi, tetap aja. Selalu ada aja hal yang bisa ngebuat mata Bos aku itu gatal."
Setitik rasa geli terbit di sudut bibir Intan. "Perasaan aku, selama kamu kerja ... aku nggak pernah denger kamu muji Bos kamu. Selalu aja ngumpatin dia."
Perkataan Intan membuat Eriana mengembuskan napas panjang. Tak bisa menampik hal tersebut.
"Ya mau gimana lagi coba, Tan. Bos aku itu emang sumbernya umpatan manusia. Kayaknya semua keberkahan yang dia punya tertutupi oleh tingkah menjengkelkannya."
"Hei hei hei! Kamu baru dua minggu coba kerja sama dia."
"Itu dia masalahnya. Dua minggu aja entah udah berapa kali dia negur masalah penampilan aku. Which is ... aku pikir penampilan aku udah bernilai sembilan puluh untuk skala satu sampai seratus," bela Eriana. "Lagipula ya. Sejak kapan coba warna merah membuat silau mata?"
"Hahahaha." Tawa Intan menyembur begitu saja.
Eriana menoleh. "Aku mikir ya. Terlepas dari apa pun orientasi seksual dia, yang mana itu adalah hak prerogatif dia, aku bahkan merasa memang nggak bakal ada cewek yang suka sama dia loh."
"Eh." Intan menepuk pelan pundak polos Eriana. "Aku udah sempat ngeliat profil dia di Google. Jujur aja. Dia memenuhi semua kriteria sebagai cowok idaman cewek. Mapan dan tampan."
"Ih!" Eriana tampak mengusap pundaknya. Khawatir ada remah-remah popcorn yang tertinggal di sana. "Kayak yang nggak ada kerjaan aja ngeliatin profil dia. Kalau kamu mau tau, aku mah bisa ngasih kamu profil dia. Sampe ke foto-fotonya coba."
"Serius?" tanya Intan dengan mata membesar.
"Serius?" balik tanya Eriana dengan mata yang ikut-ikutan membesar.
"Aku serius dong."
Eriana tercengang. "Wah!" Ia terkesiap. "Kamu pasti stres."
"Kenapa nggak coba?" tanya Intan memainkan kedipan matanya. "Cowok ganteng itu obat stres."
"Cowok ganteng yang ramah itu obat stres. Cowok ganteng tukang marah?" Eriana geleng-geleng kepala. "Itu justru penyebab stres."
Intan tertawa.
Mengabaikan tawa Intan yang semakin terbahak-bahak, Eriana beranjak. Meraih sepatu stiletto t-trap yang ia beli kemaren dengan gaun yang telah ia kenakan saat itu. Mengenakannya dengan jantung yang berdebar-debar.
"Wih! Aku deg-degan. Apakah ini cinta?"
Intan menyeringai dan melihat Eriana yang tampak mencoba melangkah di kamarnya. Pelan dan mencoba untuk santai.
"Gimana?"
Eriana melihat ujung kakinya yang menyembul sedikit keluar dari pinggiran gaun. Setengah lirih ia menjawab.
"Ehm ... kayaknya sih bisa aku atasi untuk beberapa jam ke depan."
Intan mengacungkan jempolnya. "Undangan dan clutch kamu jangan lupa."
"Ah, bener bener."
Eriana beranjak ke meja riasnya. Meraih clutch yang mana di dalamnya ada ponsel dan juga undangan acara.
Menarik napas dalam-dalam, Eriana melirik ke jam dinding. Sudah menunjukkan jam setengah enam sore.
"Waktunya untuk berperang."
Dan Intan kembali tertawa.
*
Taksi yang ditumpangi oleh Eriana berhenti di depan hotel megah yang berada di kawasan Jakarta Barat, tepatnya di Podomoro City. Menenangkan dirinya sejenak, wanita itu lantas membuka pintu. Dan satu kaki Eriana pun melangkah turun dari taksi.
Wah!
Kata kagum itu terlontar begitu saja di benak Eriana. Menggema dengan begitu takjubnya. Tapi, ketakjuban itu belum seberapa ketika pada akhirnya kedua kaki Eriana melangkah memasuki pelataran hotel mewah itu.
Masuk selangkah, Eriana langsung disambut ramah oleh petugas hotel tersebut. Seorang wanita dengan sanggul dan penampilan yang menawan tersenyum padanya.
"Selamat malam, Ibu. Ada yang bisa saya bantu?"
Sebelum menjawab, Eriana membalas senyum itu dengan tak kalah ramahnya. Membuka clutch dan mengeluarkan undangan yang setengah tertekuk di dalam. Menyerahkannya.
Petugas berwajah cantik itu menerimanya dan segera mengetahui tujuan kedatangan Eriana. Ia pun mengembalikan undangan tersebut.
"Mari ikuti saya, Bu."
Eriana memberikan satu anggukan. "Terima kasih."
Selagi petugas hotel tersebut membawa Eriana menuju ke ballroom di mana pesta amal yang bertajuk The Harmony itu diselenggarakan, sepasang mata gadis itu tak henti-hentinya memutar ke seluruh penjuru hotel tersebut. Mengagumi kemewahan dan kemegahan yang memukau.
Ya ampun.
Seumur hidup aku nggak kebayang bakal masuk ke hotel segede ini.
Eriana meneguk ludahnya. Semakin lama ia melangkahkan kaki, semakin jauh ia masuk ke dalam sana, semakin kagum ia dengan yang matanya lihat. Hingga kemudian, petugas itu berkata.
"Di sini, Bu."
"Oh, terima kasih."
Mereka saling bertukar senyum dan lalu berpisah. Petugas hotel yang kembali menuju ke tempat jaganya semula sementara Eriana langsung melangkahkan kaki ke ambang pintu masuk. Menunjukkan undangan tersebut pada petugas jaga lainnya.
Eriana masuk seraya mengembalikan undangan tersebut ke dalam clutch. Di dalam, mata Eriana dengan cepat mempelajari dan menilai situasi di sana.
Setengah jam menuju jam tujuh malam –waktu resmi acara dibuka-, maka tak heran bila suasana di dalam sana mulai terlihat ramai. Walau pada dasarnya undangan pesta amal itu tak lebih dari empat puluh orang, tapi beberapa undangan datang bersama dengan pasangan. Tak heran bila suasana saat itu terlihat lebih ramai dari yang Eriana perkirakan sebelumnya.
Ehm ....
Apa Pak Bos bawa pasangan juga?
Eriana mengulum senyum.
Emangnya siapa coba orang waras yang mau jadi pasangan Pak Bos?
Imajinasi menggelikan membayang di benak Eriana. Namun, belum lagi ia benar-benar menikmati imajinasi itu, ia merasakan getar di clutch-nya. Eriana pun segera mengeluarkan ponselnya dan mendapati orang yang baru ia bayangkan menelepon dirinya.
Mata Eriana melotot.
Ya ampun.
Harusnya dari tadi aku ngubungi Pak Bos.
Mampus deh aku.
"Ehm." Eriana mendehem sejenak sebelum mengangkat panggilan tersebut. "Selamat malam, Pak."
"Kamu sudah sampai atau belum? Jangan sampai terlambat."
Cuping hidung Eriana berkedut sekali. Bibirnya bergerak-gerak dalam keinginan untuk menggerutu. Tapi, sedetik kemudian ia justru mengubah keinginan itu menjadi senyuman.
"Saya sudah tiba, Pak," kata Eriana. "Bapak ada di mana?"
"Saya baru sampai."
"Oh."
Eriana tanpa sadar melirihkan satu kata yang kemudian ia sadari tidak terlalu sopan untuk dilontarkan pada atasannya sendiri. Tapi, bagaimanapun juga itu hanyalah spontanitas Eriana saat matanya beradu dengan beberapa pasang mata di sana. Menatap pada dirinya dan tersenyum. Membuat gadis itu balas tersenyum seraya berpikir.
Pasti aku cantik banget deh malam ini.
Banyak yang kayaknya terpesona sama aku gitu.
Hihihihi.
Tapi ....
Eriana terpikir sesuatu.
Mudah-mudahan aja penampilan aku nggak buat masalah di mata Pak Bos.
Ehm, walau mendadak aku jadi penasaran.
Apa Pak Bos bisa mengimbangi penampilan aku yang super cantik ini?
Ha ha ha ha.
"Kamu sekarang di mana?"
Pertanyaan itu membuyarkan rasa percaya diri Eriana yang sudah melambung hingga ke langit ketujuh tersebut. Bukannya apa, tapi Eriana merasa yakin sekali bahwa penampilannya sangat sempurna malam itu. Terlepas dari gaun dan sepatu yang ia kenakan, Eriana bahkan sampai menjelajahi dunia You-Tube untuk mempelajari gaya rambut updo yang terinspirasi dari Taylor Swift. Yang mana menurut Eriana, ia dan Taylor Siwft sama-sama memiliki kesan sederhana nan elegan. Dan hal itu nyaris membuat Intan memuntahkan popcorn-nya.
"Saya sudah di dalam, Pak."
"Saya sedang ke sana."
"Baik, Pak," kata Eriana.
Benak Eriana lantas terpikir untuk menyambut kedatangan Satria. Memang saat itu mereka tidak berada di kantor, tapi entah mengapa Eriana tetap berpikir untuk melakukan hal tersebut.
Membalas satu senyuman seorang wanita paruh baya, Eriana tetap menahan ponsel di telinganya ketika memutar tubuh. Bertepatan dengan suara di telinganya ketika ia pun berucap.
"Saya ..."
"Saya ..."
Dua ucapan terhenti ketika dua tatapan itu bertemu di udara. Tak hanya itu, langkah kaki keduanya pun terhenti seketika.
Mengerjap sekali, Eriana teringat pikirannya tadi.
Apa Pak Bos bisa mengimbangi penampilan aku yang super cantik ini?
Meneguk ludah, Eriana berusaha untuk tetap bernapas.
Ya ampun.
Gosip yang ngomong Pak Bos nggak suka cewek itu bener nggak sih?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top