28. Halusinasi Tingkat Tinggi
"Ri, dengar dulu. Ini ada hal penting yang mau aku bicarakan."
Di balik pintu, ketika Eriana mendengar suara Satria mengatakan hal itu, sontak saja gadis itu mencibir-cibir. Walau jelas Satria tidak akan melihat cibirannya, tapi setidaknya Eriana benar-benar merasa harus melakukan itu.
"Dasar modus cowok! Nggak bakal aku kena tipu muslihat kamu lagi, Sat. Tadi juga katanya kamu mau ngomong sesuatu. Yang terjadi apa coba? Kamu nggak ada ngomong apa pun selain mencium aku."
Ketika mengatakan itu, Eriana merasa dadanya menjadi begitu panas. Seperti ada kebakaran hutan yang terjadi di dalam sana. Ia begitu kesal. Bukan karena ia baru saja kehilangan ciuman pertamanya. Bukan. Lagipula Eriana bukanlah anak kemaren sore. Dia pernah berpacaran sebelumnya. Tapi, tentu saja. Dengan pacarnya dulu saja Eriana selalu mengacungkan sapu lidi kalau berani menciumnya tanpa izin. Dan kali ini. Bukan lagi Satria yang melakukannya tanpa izin. Malah bisa dikatakan pria itu menciumnya dengan begitu ... beringas.
Ck. Beringas itu emang cocoknya untuk hewan pemangsa saja.
Dan Satria sebelas dua belas dengan sebangsa hewan pemangsa itu.
Selang semenit kemudian, terdengar lagi suara Satria berkata.
"Oke. Kalau kamu nggak mau aku yang ngomong, ya apa boleh buat. Biar Mama aja yang ngomong ke kamu."
Lagi-lagi, Eriana mencibirkan bibir bawahnya. Goyang-goyang kepala seraya tetap mempertahankan tiang infus di sebelahnya agar tidak bergeser -setidaknya gadis itu tidak ingin menambah luka di tangannya.
"Ck. Modus nggak mempan, mau pake taktik sok ngancem. Nggak ngaruh. Aku ini pinter, Sat," serunya kemudian.
Setelahnya Eriana mendapati bahwa tak ada balasan perkataan Satria untuk seruannya itu. Dan ketika itu, Eriana tidak berpikir bahwa Satria benar-benar memanggil Mega. Melainkan sebaliknya.
"Ck. Pake acara ngancam," gumam Eriana pelan. Matanya menyipit dengan dugaan yang langsung muncul di benaknya. "Kayak aku yang nggak tau taktik dia aja. Ehm .... Pasti dia yang pura-pura pergi manggil Tante. Tapi, yang ada ya tetap dia yang bakal nongol di depan pintu ini."
Bahu Eriana berguncang dengan penuh irama tatkala ia berusaha menahan tawa liciknya.
"Ho ho ho ho. Kamu pikir semudah itu buat menjebak aku, Sat?"
Dan Eriana dengan rasa penasaran tetap memilih berdiri di belakang pintu itu. Semula ia berpikir untuk kembali ke tempat tidur saja. Tapi, rasa kesal karena Satria membuat ia menjadi bersemangat untuk melawan pria itu. Walau sebenarnya sih di dalam hati Eriana berharap agar Satria memang benar-benar pergi saat itu. Mungkin efek infus, tapi Eriana merasa kelopak matanya begitu berat. Ia merasa mengantuk.
Namun, tak berapa lama kemudian ternyata harapan Eriana harus lenyap. Itu adalah ketika ia mendapati bagaimana daun pintu bergerak-gerak kembali. Terang saja hal itu membuat Eriana murka. Tapi, sejujurnya ketimbang murka ... Eriana lebih merasa capek meladeni Satria. Maka dari itu Eriana pun berkata.
"Sat, please. Kamu ini beneran ngeyel ya jadi cowok. Berapa kali aku harus ngomong? Kamu jangan gangguin aku lagi. Nggak cukup apa seharian ini kamu cium aku dua kali?"
Eriana mengerjap-ngerjapkan matanya. Satu tangannya naik dan memegang bibirnya. Ada rasa malu ketika ia mengatakan hal itu, tapi Eriana memutuskan untuk menebalkan wajahnya.
Seharusnya yang malu itu dia, bukan aku.
Dasar cowok nggak tau malu.
Maka seraya meremas tiang infus, Eriana pun mengeluarkan semua unek-uneknya yang mengganjal. Juga ditambah oleh ancaman yang ia buat dengan sepenuh hati.
"Kamu nggak ngerasa kan lidah aku hampir copot di dalam sini? Aku nggak bohong, Sat. Sampai kamu mau ngapa-ngapain aku, bakal aku pentung atas bawah kamu pake tiang infus. Lihat aja. Aku nggak main-main."
Selesai mengatakan itu, Eriana diam. Menunggu beberapa saat kalau-kalau Satria membalasnya. Atau mungkin opsi lainnya yang akan dipilih oleh pria itu? Merasa malu dan memutuskan untuk segera pergi setelah menyadari bahwa Eriana tak akan goyah? Siapa yang tau kan?
Tapi ....
Eriana melihat pada daun pintu yang masih tertekan. Jelas saja itu menandakan bahwa ada tangan yang masih menahannya di depan sana.
Dahi Eriana berkerut. Benaknya jadi bertanya-tanya.
Kalau dia masih di sini, kenapa dia diem aja?
Ehm ....
Aneh.
Tangannya yang semula memegang bibirnya, turun. Mengusap ujung dagunya.
Dan kalau mau aku pikir-pikir, ini kayak yang aneh kalau sampe Satria nggak ngebalas omongan aku.
Dia kan gitu orangnya.
Aku ngomong A, eh dia ngomong A, B, C, D, E ... sampe ke Z.
"Sat ...?"
Pada akhirnya Eriana tak mampu menahan rasa penasarannya dan memanggil nama pria itu.
"Kamu masih di depan pintu? Kamu---"
"Ini Tante, Ri. Bisa kamu buka pintunya?"
Demi Dewa Dewi Penghuni Galaksi Bima Sakti.
Ini kenapa suara Satria berubah kayak suara Tante?
Sontak saja Eriana merasa panik. Ia geleng-geleng kepala.
Ini nggak mungkin Tante kan?
Ya Tuhan.
Yakin ini yang masuk ke pembuluh darah aku cairan infus berisi garam mineral dan vitamin? Bukan justru ekstasi gitu? Kenapa aku jadi halu melebihi batas ambang kewajaran?
Eriana memucat. Tak bisa berkata apa-apa lagi.
"Ta ... n ... te?"
Suara Eriana terdengar begitu lirih, namun sepertinya tetap mampu didengar walau terpisah kayu tebal pintu kamar itu. Buktinya, suara Mega terdengar menyahut.
"Iya, ini Tante. Kamu nggak perlu khawatir. Satria ada di bawah. Buka pintunya ya, Sayang."
Mata Eriana mengerjap-ngerjap berulang kali.
Bahkan Ibu kayaknya nggak pernah manggil aku dengan panggilan 'sayang'.
Lagi-lagi, Eriana melihat horor pada tetes-tetes air infus yang terjatuh dari kantungnya itu. Semakin membuat Eriana yakin.
Ini pasti bukan cairan infus biasa.
Aku yakin banget.
Dan sejurus kemudian, pada akhirnya Eriana memberanikan diri memutar anak kunci. Membuka pintu itu. Menundukkan wajahnya dalam-dalam dan membiarkan Mega masuk. Kemudian mereka berdua pun memilih duduk di tepi tempat tidur.
"Gimana keadaan kamu sekarang?" tanya Mega lembut.
Meneguk ludahnya, Eriana mengangguk sekali. "Sudah mendingan, Tante," jawabnya. "Ini kayaknya pipi aku udah nggak merah lagi deh."
Tangan Mega terulur. Mengangkat dagu Eriana dan melihat pipinya.
"Ehm .... Udah baikan sih kayaknya."
Diam-diam, Eriana lantas mengembuskan napas leganya. Tepat ketika Mega menarik tangannya dari dagu gadis itu. Dan ketika itulah, Eriana tanpa sadar mengulum bibirnya. Hal yang kemudian menarik perhatian fokus mata Mega. Yang lantas membuat wanita paruh baya itu menarik napas dalam-dalam.
"Ehm .... Tadi Satria datang ke kamar ya?" tanya Mega hati-hati.
Pertanyaan yang membuat Eriana menjadi gelisah.
Jujur salah.
Nggak jujur ya makin salah.
Berat, tapi Eriana pun mengangguk.
"Bukannya aku nggak sopan, Tan. Tapi, aku ngunci pintu juga karena terpaksa. Satria ...." Eriana mengatupkan mulutnya rapat-rapat dengan ekspresi kesal. "Dia itu benar-benar---"
Tangan Mega menepuk-nepuk ringan tangan Eriana. "Ssst .... Ssst .... Ssst .... Nggak perlu diomongin. Tante tau."
Dan Eriana mengembuskan napasnya sementara benak Mega berpikir.
Ini kayaknya Satria emang udah yang jatuh cinta banget sama Eri.
Wajar sih.
Gadis ini sepertinya pintar menjaga diri.
Hal yang sulit untuk didapatkan di zaman sekarang.
Dan kalau Satria udah ngebet, kenapa aku harus sibuk mikirin acara pertunangan segala macam?
Lagi di pesta kemaren aja Satria udah yang hampir lepas kendali.
Apalagi kalau mereka terus menerus berduaan?
Ehm ... Nikahin aja sekalian ya?
Lagian ... semakin cepat mereka nikah, kan semakin cepat juga aku punya cucu.
Tepukan ringan Mega kemudian berubah menjadi remasan pelan. "Eri, Tante mau nanya."
"Nanya apa, Tan?"
Mega tersenyum. "Menurut kamu rumah ini gimana? Nyaman nggak?"
Deheman Eriana terdengar. Terlepas dari keberadaan Satria sih, Eriana sudah tau pasti jawabannya. Maka ia pun mengangguk.
"Nyaman sih, Tan. Semua orang baik. Apalagi Lina."
Mega merasa lega. "Tante sama Om gimana?"
Dahi Eriana berkerut. Terlepas dari beberapa hal yang harus Eriana jaga dan perhatikan selama bersikap, ia pun tau jawabannya. Lantas, ia mengangguk lagi.
"Tante dan Om baik sih. Walau aku dan Om jarang ngobrol, tapi Om ramah sama aku."
Senyum Mega semakin berkembang. "Kalau gitu, gimana kalau konsultasi sama dr. Kimnya di-pending dulu?"
"Di-pending?" tanya Eriana bingun. "Bukannya dibatalkan ya, Tan? Kan aku udah baikan."
"Ehem ...." Mega geleng-geleng kepala. "Ntar biar buat jadwal konsul sama dr. Kim sekalian kamu dan Satria bulan madu saja."
Eriana melongo. "Bulan madu?"
"Iya," jawab Mega dengan penuh semangat. "Kamu mau bulan madu ke Korea kan? Atau mau ke mana?"
Dasar infus sialan.
Ini kenapa halu aku semakin lama semakin parah sih?
"Bu-bulan madu, Tan?" tanya Eriana gugup.
Mega mengangguk. "Besok Tante undang desainer ke rumah. Kita pesan gaun pengantin dan kalian bisa menentukan tanggal pernikahan kalian."
"Tante---"
"Ssst ...." Mega mengerutkan dahinya sedikit. "Semua pelayan di rumah ini sudah tau gimana Satria yang benar-benar nggak bisa lepas dari kamu, Ri. Jadi, menurut Tante, kalian menikah secepatnya pun nggak jadi masalah. Toh kalian saling cinta kan?"
Cinta dengkulku infus kurang asam.
"Tan ...."
"Tante dan Om yang dosa kalau sampe ngebiarin Satria kebablasan sama kamu sementara kami bisa menikahkan kalian secepatnya."
Kebablasan?
Mata Eriana membesar.
"Satria itu keras kepala orangnya. Kamu nggak bakal sanggup bertahan dari dia dalam waktu yang lama," lanjut Mega. "Jadi, Tante pikir. Daripada kamu harus hamil sebelum nikah, ya mending nikah duluan kan?"
Eriana memejamkan matanya. Rasa syok, kaget, dan tak percaya berputar-putar hingga membuat gadis itu merasa pening. Hal yang membuat ia ingin melepas jarum infus dari tangannya itu.
Namun, semuanya belum terlalu komplit hingga Mega mengatakan sesuatu pada dirinya dengan suara rendah. Sesuatu yang membuat Eriana merasa bahwa nyawanya telah melayang. Sesuatu itu adalah.
"Sebelum kamu bengkak di tempat yang lain, Ri."
*
"Pak Herman, coba bilang ke aku. Apa ada sesuatu di diri aku yang nggak bisa ngebuat cewek jatuh cinta?"
Herman yang memegang jas Satria tampak tersenyum. Menyerahkan pakaian itu pada majikan mudanya. Sedikit merasa bahwa Satria pernah menanyakan hal yang kurang lebih serupa dengan pertanyaannya pagi itu.
"Ya tentu saja nggak ada, Tuan Muda."
Satria mengenakan jasnya. "Kalau ada cewek yang nggak tertarik sama wajah aku, harta aku, atau kepintaran aku, itu artinya apa, Pak?"
Herman jelas sekali bingung dengan pertanyaan itu.
"Tuh kan. Bapak aja bingung. Apalagi aku, Pak."
Herman tak mengatakan apa-apa. Membiarkan Satria memeriksa penampilannya pagi itu.
"Keadaan Eri gimana, Pak?"
Nah, kalau untuk pertanyaan itu, Herman tau persis jawabannya.
"Nona sudah sehat, Tuan. Terakhir saya periksa, Lina sudah membantu Nona untuk bersiap ke kantor."
Satria mengangguk. "Terima kasih."
"Oh iya, Tuan Muda. Tadi saya disuruh Nyonya untuk menghubungi beberapa orang desainer."
Satria yang tengah mengangkat wajah demi merapikan lilitan dasi di lehernya itu melirik melalui pantulan cermin.
"Desainer?" tanyanya dengan dahi berkerut. "Untuk apa?"
"Sepertinya Nyonya ingin membuatkan Nona Muda gaun pengantin."
Satria mendehem. "Ehm .... Secepat itu?"
Tapi, dibandingkan dengan mencari jawaban untuk rasa herannya, Satria justru lebih tertarik dengan reaksi Eriana ketika menghadapi para desainer itu. Ia menyeringai.
Kamu masih mau nolak heh?
Dan pada dasarnya, rasa heran Satria langsung mendapatkan jawabannya ketika sarapan pagi itu berlangsung. Dengan kehadiran Eriana yang turut bergabung di meja makan, Sigit bertanya.
"Bagaimana kalau kalian langsung menentukan tanggal pernikahan saja?"
Sedetik Satria termenung.
Walaupun dia jelas-jelas ingin membuat Eriana jatuh cinta padanya, tapi bukan berarti rencananya harus seekstrim itu. Hal yang membuat Satria jadi mempertimbangkan keputusannya.
Pernikahan?
Tapi, hal selanjutnya yang terjadi justru membuat pertimbangan Satria buyar seketika. Itu adalah ketika Eriana terdengar berkata.
"Sepertinya kami nggak bisa menikah, Om. Satria nggak pernah punya perasaan apa pun ke aku. Aku nggak bisa nikah ke cowok yang nggak ada perasaan ke aku."
Tuh kan.
Dia yang mau nolak aku.
Sembarangan aja.
Pokoknya harus aku yang nolak.
Tapi, kalau Eri nolak duluan, gimana judulnya aku bisa nolak?
Sigit melirik pada Mega. Terlihat bingung dengan perkataan Eriana.
"Kejadian dulu di pesta, itu cuma salah paham aja. Satria nggak pernah ada hubungan apa pun dengan aku," lanjut Eriana.
Dalam hati ia telah memutuskan. Terlepas dari dalamnya percakapan ia dan Mega malam tadi, Eriana telah mengambil keputusannya. Ia tak mungkin menikah dengan Satria yang mendadak gila seperti itu. Lebih dari itu, ia justru ingin melarikan diri dari Satria yang telah ia cap sebagai hewan pemangsa.
Namun, selesai mengatakan itu Eriana justru merasakan kaget saat mendapati satu tangan besar meraih tangannya yang berada di atas meja. Ia menoleh dan melihat Satria meremas pelan tangannya.
"Mau sampai kapan kamu marah soal Ratna, Ri?"
Mata Eriana melotot. "A-apa?"
Satria melayangkan tatapan lembut penuh permohonan. Seperti pria itu yang sudah terlalu lelah berusaha untuk meyakinkan dirinya.
"Udah aku jelasin berulang kali, aku benar-benar nggak ada apa-apa sama dia."
Napas Eriana terasa sesak.
Padahal aku udah nggak diinfus lagi.
Tapi, kenapa efek halunya masih kerasa sampe sekarang sih?
Lantas di menit selanjutnya Eriana benar-benar seperti ingin menukar darahnya yang tercampur dengan larutan infus itu. Bagaimana tidak? Karena Eriana merasa tingkat halusinasinya sudah sangat berbahaya. Itu adalah ketika Satria bertanya.
"Jadi, kita nikah yuk?"
Sebuah prestasi melihat Eriana yang tidak langsung kejang-kejang saat itu. Walau jelas sekali ia merasa syok.
Kita nikah yuk?
Kamu ngajak nikah atau ngajak ke pasar malam sih?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top