27. Bisik-Bisik

Tak terkirakan lagi bagaimana melototnya mata Eriana kala itu. Di saat di mana ia mendapati Satria yang tanpa peringatan sama sekali justru menundukkan dirinya dalam satu ciuman yang membuat ia merasa kelonjotan seketika.

Eriana berusaha melepaskan diri, tapi sulit. Hingga ia pun mengambil opsi lainnya, yaitu setidaknya ia harus menyadarkan pria itu. Maka dari itu Eriana mencoba untuk menyebut nama Satria. Mencoba untuk menggerakkan lidahnya, namun yang terjadi ya ... lidahnya memang bergerak. Tapi, bukan bergerak dalam tujuan berbicara, melainkan bergerak melingkar-lingkar panas saat Satria melumatnya di dalam sana.

Ini cowok!

Eriana menggeram. Bangkit dari posisi bersandarya pada kepala tempat tidur. Mengabaikan jarum infus, kedua tangannya naik. Mendarat di dada Satria, bergerak mendorong. Namun, Satria benar-benar bergeming. Lebih dari itu, pria itu justru semakin memperdalam cumbuannya pada bibir Eriana.

Eriana menutup matanya rapat-rapat. Tepat ketika merasakan bagaimana tekuknya ditarik Satria. Dan bibirnya bergerak dalam pagutan yang begitu kuat. Membuat Eriana menjadi merasa gelisah.

Sementara itu, mendapati Eriana ingin membatalkan pernikahan mereka, jelas membuat Satria berang.

Kalaupun ada yang boleh membatalkannya, itu berarti aku.

Dia mau sok-sokan menolak aku?

Nggak akan aku maafkan.

Satria hanya tidak habis pikir bagaimana orang-orang akan melihatnya. Satria yang sempurna ditolak seorang gadis seperti Eriana?

Tidak akan ia biarkan.

Karena itu Satria mengambil tindakan super cepat. Seolah melupakan di mana mereka berada saat itu, Satria memanggut bibir Eriana. Melumat lidahnya. Dan melakukan semuanya yang membuat Eriana menjadi terdiam tak berdaya.

Tapi ..., Satria pikir tindakannya tak buruk juga. Bahkan kalau Satria bisa menurunkan sedikit gengsinya, ia pasti akan mengakui bahwa ciuman itu ... menggairahkan.

Eriana berusaha mendorong dirinya. Yang mana itu justru menjadi satu pergerakan sensual di rengkuhan Satria.

Ketika Satria menarik tekuk Eriana, ia pun tak lupa menyingkirkan satu tangan Eriana yang berada di dadanya. Menarik gadis itu menempel di tubuhnya. Menyebabkan Satria dapat merasakan pergerakan sepasang payudara Eriana di dadanya. Hal yang membuat ia---

"Kreeek."

"Oooh."

Satria membuka matanya yang entah sejak kapan terpejam. Otaknya bekerja dengan cepat dan ia berkata.

"Berhenti."

Entah mengapa, tapi instingnya mengatakan bahwa orang yang baru akan masuk itu pasti akan langsung melarikan diri.

Satria serta merta melepaskan tubuh Eriana. Menghiraukan bagaimana ekspresi Eriana yang terlihat seperti seekor gorilla betina yang akan melahirkan bayi kembar tujuh, Satria bangkit. Melihat bahwa di ambang pintu ada Lina yang berdiri dengan satu nampan dan kepalanya menunduk.

"Maaf, Tuan Muda. Saya pikir Nona Muda mungkin ingin menikmati camilan sebelum jam makan malam."

Di tempatnya, mendengar perkataan Lina, Eriana justru berkata dengan nada sarkas.

"Nggak perlu, Lin. Aku baru aja menikmati camilan rasa super."

Wajah Satria memerah. Meneguk ludah dan melayangkan tatapan pada Eriana. Gadis itu langsung melotot dengan wajah yang tak kalah merahnya. Dan mata pria itu lantas melihat pada bibir Eriana yang mengkilap basah dan setengah membengkak.

Mata Satria menyipit. Duduk lagi hingga membuat Eriana menarik diri dengan sorot antisipasi.

"Mau apa lagi?"

Tak menjawab, Satria justru meraih tangan Eriana yang tertancap jarum infus. Ada berkas darah di sana.

"Kamu berdarah."

Mata melotot, Eriana bertanya. "Menurut kamu aja. Gara-gara siapa coba tangan aku berdarah gini? Itu kalau Lina nggak datang, aku yakin aku udah berdarah di tempat lainnya."

"Kamu ...."

Satria dengan sekuat tenaga menahan lidahnya untuk tidak meneruskan perkataan yang akan ia lontarkan. Lagipula tak mungkin ia meladeni gadis itu dengan kehadiran Lina di sana. Maka ia pun beranjak, menghampiri Lina.

"Suruh perawat mengecek lukanya."

Lina tak mengangkat wajahnya. Hanya mengangguk. "Baik, Tuan Muda."

Suara pintu yang tertutup beberapa detik kemudianlah yang membuat Lina pada akhirnya mengangkat wajahnya lagi. Ia pun segera mendekati Eriana yang terlihat mengatupkan mulutnya rapat-rapat dengan mata yang kentara sekali sedang menahan emosi. Kedua tangannya meremas bedcover yang menyelimuti tubuhnya itu.

Lina meletakkan nampan berisi piring potongan beraneka ragam buah sebelum menarik beberapa lembar tisu dan duduk di tepi tempat tidur.

"Tangan Nona berdarah."

Pelan-pelan Lina meraih tangan Eriana untuk melepaskan bedcover malang itu. Mengelap darahnya dengan lembut.

"Menurut kamu gara-gara siapa coba tangan aku sampe berdarah kayak gini?" tanya Eriana kesal. "Dasar Satria itu. Bisa-bisanya dia ngelakuin hal kayak gitu?"

Masih mengelap bekas darah itu, Lina mengulum senyum seraya berkata. "Itu kan artinya Tuan Muda memang cinta Nona."

Eriana melotot. "Kamu ini malah ngebela dia."

"Bukannya ngebela, Nona." Lina menyisihkan bekas tisu itu dan meraih piring buah. "Tapi, selama ini Tuan kan nggak pernah dekat dengan cewek manapun. Ngeliat Tuan dan Nona Muda mesra gini, saya ya senang."

Eriana merinding. Tapi, potongan buah anggur dan pir di piring itu ternyata mampu menggugah seleranya. Tangan Eriana mengambil garpu kecil dan menancapkannya pada potongan anggur. Langsung melenyapkan buah bewarna ungu itu ke dalam mulutnya.

Membiarkan Eriana menikmati buahnya, Lina pun kemudian memanggil perawat tadi. Mengecek jarum infusnya dan mengatakan bahwa tak ada luka yang serius. Hanya saja Eriana diminta jangan terlalu banyak bergerak. Khawatir jarumnya akan bergeser lagi.

"Aku nggak bakal begerak kalau Satria nggak tiba-tiba cium aku," kata Eriana kesal. "Aku cuma mempertahankan lidah aku biar nggak copot gara-gara dia."

Eh?

Lina dan perawat yang bernama Sinta itu melongo. Jelas saja mereka berdua jadi tak bisa berkata apa-apa lagi sementara Eriana masih juga misuh-misuh tak jelas. Pada akhirnya mereka memilih untuk meninggalkan Eriana beristirahat.

"Lin, tolong kamu kunci aja pintunya ya," kata Eriana kemudian. Lalu ia yang geleng-geleng kepala. "Ah, biar aku yang kunci."

"Loh? Kok dikunci, Nona?" tanya Lina bingung.

Sinta pun menanyakan hal yang serupa. "Kalau saya ingin mengecek keadaan Nona gimana?"

"Nanti kalau kamu mau ngecek aku, tinggal ketuk aja pintunya," jawab Eriana.

Lina mencoba membujuk. "Nggak perlu dikunci, Non. Biar Sinta dan saya juga mudah buat melayani Nona."

"Kalau aku nggak ngunci pintu, siapa yang mau tanggungjawab kalau Satria sampai datang lagi?"

"Eh?"

"Emangnya kamu beneran mau ngeliat aku berdarah-darah di tempat lainnya gara-gara Satria itu?" Eriana menyipitkan matanya dengan wajah yang mendadak memerah lagi. "Tapi, walaupun nggak dikunci tenang aja. Kalau dia sampai masuk ke kamar lagi, aku bakal pentung dia pake tiang infus," gerutunya. "Nggak pake izin, nggak pake ngomong, semaunya aja cium anak gadis orang."

Mengulum senyum, Lina dan Sinta pun keluar dan menutup pintu kamar Eriana. Yang mana ternyata Eriana benar-benar mengunci pintu itu kemudian. Hal yang membuat Lina dan Sinta mau tak mau menjadi geli sendiri.

"Masa?"

"Iya iya."

"Ternyata Tuan Muda memang cinta banget sama Nona."

"Dicium?"

"Dicium. Beneran."

"Dipeluk juga."

"Tadi kan waktu balik Tuan megang tangan Nona juga."

"Ya Tuhan."

"Romantis banget."

"Nona beruntung banget."

"Iya iya. Udah cantik, pintar, eh dicintai Tuan lagi."

Lina memelototkan mata ketika ia mendapati bisik-bisik di dapur sekembalinya ia dari kamar Eriana tadi. Melihat pada beberapa orang pelayan yang lebih muda dari dirinya berkumpul seraya cekakak-cekikik tersenyum malu-malu.

"Kalian lagi ngomongi Tuan dan Nona?" tanya Lina. "Nggak sopan."

Mereka menutup mulut masing-masing dengan raut geli. Tapi, mau tak mau ada pula yang bersuara.

"Tadi aku nggak sengaja ngeliat, Mbak. Sebelum Mbak ngantar buah itu. Rencananya aku mau cegat Mbak biar jangan sampe nganggu."

"Astaga ...."

Mata Lina memejam dramatis. Dan lalu, kikik-kikik geli pun terlontar kembali. Lina pun tak bisa mencegah hal tersebut terjadi.

*

Selesai makan malam, Mega yang bersantai seraya menikmati siaran televisi meminta seorang pelayan untuk memanggil Satria. Putra sematawayangnya itu pun datang tak lama kemudian. Tampak mengambil tempat di satu kursi yang berada tepat di sebelah Mega.

Mega menoleh. "Kamu sudah ngomong ke Eri tadi? Gimana? Dia mau kan pindah? Mama sudah menyiapkan satu unit untuk dia. Kalaupun dia mau ngajak temennya itu, ya nggak jadi masalah. Tapi, jangan sampai dia tinggal di sana lagi."

Satria terdiam.

Ya ampun.

Gara-gara cium dia tadi, aku sampe lupa mau ngomong hal sepenting itu ke dia.

Satria mendehem.

"Belum, Ma."

Mega yang akan meraih cangkir tehnya langsung mengurungkan niatnya. Kembali melihat pada putranya itu.

"Bukannya tadi kamu ke kamar Eri ya?" tanya Mega. "Nggak ngomongi soal itu?"

Sekilas, Mega bisa melihat ada rona merah di pipi Satria. Lalu, pria itu mendehem lagi dengan perasaan tak nyaman karena teringat perbuatannya pada Eriana.

"Ehm .... Eri lagi tidur tadi, Ma," dusta Satria. "Jadi, aku belum ngomong tentang itu. Atau ... sekarang aja aku omongi ke dia."

Dahi Mega berkerut, seperti menangkap bahwa ada sesuatu yang tidak beres yang tengah terjadi kala itu. Tapi, pada akhirnya Mega pun mengangguk.

Satria segera pergi menuju ke kamar Eriana. Menenangkan dirinya yang entah mengapa mendadak jadi seperti gugup, Satria menekan daun pintu.

"Eh?"

Mata Satria melotot dan berusaha mendorong pintu itu.

"Siapa?"

Suara Eriana terdengar dari dalam sana. Dan hal itu langsung membuat Satria mendapatkan kesimpulannya.

"Kamu ngunci pintu ini, Ri?"

"Ups!"

Suara Eriana terdengar kembali. Kalau Satria perhatikan, dari jelasnya suara Eriana terdengar di telinganya, pria itu bisa menduga bahwa Eriana sekarang sedang berada di balik pintu itu.

"Kamu beneran keterlaluan," geram Satria. "Buka pintunya."

"Nggak mau. Siapa yang bisa menjamin kamu nggak bakal nyerang aku lagi kayak tadi sore coba? Ck. Aku nggak bakal ngebiarin kamu mencuri kesempatan di dalam kesempitan, Sat."

"Waaah!"

Semudah itu Satria merasa emosinya tersulut karena perkataan Eriana. Dadanya kembali terasa panas.

"Bisa-bisanya kamu ngomong aku mencuri kesempatan di dalam kesempitan."

"Loh? Kan emang itu yang terjadi."

Tangan Satria mengepal dan terangkat ke atas. Mungkin berniat untuk menggedor dengan kuat. Tapi, kepalan itu justru tertahan di pintu.

Jangan buat satu rumah heboh gara-gara seorang Eri, Sat. Jangan.

Menarik napas dalam-dalam, Satria mencoba untuk menyabarkan diri dari rasa malu akibat tuduhan Eriana. Yang mana sebenarnya ... itu bukan hanya sekadar tuduhan kosong kan?

"Eri ...," kata Satria kemudian dengan merendahkan suaranya. Lebih dari itu, ia pun mencoba untuk melembutkan suaranya. "Bisa kamu buka pintunya? A---"

"Nggak bisa."

Mata Satria memejam dramatis mendapati Eriana yang langsung menjawab cepat pertanyaannya. Bahkan ketika ia belum selesai menyampaikan maksud dan tujuannya.

"Ri, dengar dulu. Ini ada hal penting yang mau aku bicarakan."

"Dasar modus cowok! Nggak bakal aku kena tipu muslihat kamu lagi, Sat. Tadi juga katanya kamu mau ngomong sesuatu. Yang terjadi apa coba? Kamu nggak ada ngomong apa pun selain mencium aku."

Satria melotot. Tangannya sudah terangkat, namun ekor matanya melirik pada dua orang pelayan yang melintas di sana. Walau mereka menunduk sopan, tapi Satria jelas melihat senyum kecil di bibir mereka. Mereka tentu mendengar perkataan Eriana barusan.

Ya Tuhan.

Satria tidak ingin mempermalukan dirinya lebih dari itu. Maka ia pun berkata.

"Oke. Kalau kamu nggak mau aku yang ngomong, ya apa boleh buat. Biar Mama aja yang ngomong ke kamu."

Selesai mengatakan itu, Satria langsung memutar tubuhnya. Berencana untuk kembali menemui Mega. Mengabaikan cemoohan Eriana yang sempat ia dengar.

"Ck. Modus nggak mempan, mau pake taktik sok ngancem. Nggak ngaruh. Aku ini pinter, Sat."

Satria sampai harus mengusap dadanya berulang kali seraya menuruni tiap anak tangga. Nyaris bisa dikatakan ia tampak buru-buru saat menghampiri Mega yang masih duduk menikmati tayangan televisi. Yang mana kali ini ada Sigit pula di sana yang tengah menemani istrinya itu.

"Ma," kata Satria kemudian seraya berusaha setengah mati menjaga raut wajahnya agar kedua orang tuanya tidak curiga. "Kayaknya Mama aja deh yang ngomong. Aku takutnya kalau sama aku, Eri bakalan nolak."

Mega mengerutkan dahi. "Kenapa gitu?"

"Ehm ...." Satria menggaruk kepalanya. "Soalnya dia sering ngerasa nggak enakan gitu, Ma."

Mega lantas beralih pada Sigit. Pria paruh baya itu mengangguk.

"Lagipula mungkin memang lebih nyaman kalau sesama wanita yang ngomongnya, Ma."

"Oke. Biar Mama yang ngomong."

Sementara Satria memilih untuk duduk di sana, Mega pun beranjak ke atas. Langkahnya teratur. Dan langsung menuju ke kamar Eriana berada.

Tangannya meraih daun pintu. Menekannya dan mengerutkan dahi ketika mendapati pintu itu tertutup.

Ya ... tentu saja Mega paham kalau wajar sekali seorang gadis mengunci pintu kamarnya. Tapi, posisi Eriana yang sedang mendapatkan perawatan otomatis membuat perawat harus sering mengecek keadaan gadis itu. Bagaimana ceritanya Sinta bisa leluasa mengecek Eriana kalau pintunya terkunci?

Dan ketika Mega ingin mengetuk seraya memanggil, mendadak saja terdengar suara dari dalam sana. Suara Eriana.

"Sat, please. Kamu ini beneran ngeyel ya jadi cowok. Berapa kali aku harus ngomong? Kamu jangan gangguin aku lagi. Nggak cukup apa seharian ini kamu cium aku dua kali?"

Mega membeku.

"Kamu nggak ngerasa kan lidah aku hampir copot di dalam sini? Aku nggak bohong, Sat. Sampai kamu mau ngapa-ngapain aku, bakal aku pentung atas bawah kamu pake tiang infus. Lihat aja. Aku nggak main-main."

Dan mendengar perkataan Eriana, Mega merasa oksigen di dalam paru-parunya semakin menipis. Ia pun menahan tubuhnya di depan pintu, berusaha agar tubuhnya tidak limbung karena syok.

Lantas di saat seperti itu, mendadak saja bisik-bisik halus yang ia dengar di dapur tadi terngiang lagi. Bisik-bisik yang tak sengaja ia dengar dan ia anggap sebagai khayalan para pelayan saja.

"Tuan Muda cium Nona sampe ngebuat bibir Nona bengkak loh."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top