26. Terlambat Sudah
Beberapa saat kemudian, Eriana sudah berada di satu kamar yang---
Astaga!
Ini kamar atau istana Putri Keraton?
Eriana meneguk ludahnya ketika Lina mengantarnya ke kamar mewah dan luas itu. Mengarahkannya untuk duduk di satu meja rias sementara Lina meminta dua orang pelayan lainnya menghampiri Eriana.
Eriana sempat melonjak, namun ditahan oleh Lina.
"Biar mereka merapikan Nona bentar."
Merapikan?
Maksudnya?
Maksudnya adalah kedua orang pelayan itu membuka sanggulan rambut Eriana. Menyisirnya dengan rapi dan kemudian muncul seorang pelayan lainnya.
Eriana melihat pada sehelai dress berpotongan sederhana yang sangat elegan yang dibawakan oleh pelayan tersebut. Lina menyambut dress bewarna merah muda itu.
"Nona bisa ganti pakaian dulu selagi menunggu dokter dan perawat tiba ke sini."
Eriana melotot. Satu jarinya menyentuh pada bahan dress itu. Lembut sekali.
"Ehm ... itu ...."
"Nona kan nggak mungkin dirawat sambil menggunakan pakaian kerja. Iya kan?"
Mata Eriana mengerjap.
Benar juga sih.
Maka Eriana pun mengganti pakaiannya. Dress itu pas di tubuhnya. Hanya saja sedikit sesak di bagian dada.
Lina memanggil seorang pelayan. "Hubungi lagi butik tadi. Bilang semua pakaian ditukar ke ukuran satu nomor yang lebih besar."
"Baik, Mbak."
Lina mengucapkan maafnya. "Maaf, Nona. Sepertinya dressnya sedikit kekecilan."
"Ini pas sih. Cuma memang agak sedikit sesak."
"Untuk sementara waktu, saya sudah meminta butik mengirimkan baju ke sini. Nanti setelah Nona cukup sehat, saya akan meminta mereka mengirimkan orang untuk mengukur Nona."
"Eh, itu ...."
Satu dering asing memutus perkataan Eriana. Lina di hadapannya tampak merogoh saku seragamnya. Mengeluarkan ponselnya yang berdering.
"Ya?"
"...."
"Oh, terima kasih."
Ketika Lina memasukkan kembali ponsel ke dalam sakunya, ia langsung beralih pada Eriana.
"Mari, Nona. Dokter dan perawatnya sudah tiba."
Eriana duduk di tempat tidur sementara seorang dokter wanita dan dua orang perawat menghampiri dirinya. Lina terlihat turut ikut. Berdiri di dekat mereka.
Dan pemeriksaan pun dilakukan.
Atau ...
Kalau menurut Eriana, bukan pemeriksaan yang sedang ia terima. Melainkan vonis-vonis yang membuat ia menjadi sesak napas. Tak hanya membahas soal pipinya yang merah, tapi kulitnya yang kering pun menjadi masalah.
"Lina, nanti saya akan membuatkan jadwal untuk Nona Muda medical check up total. Tapi, sebagai antisipasi akan saya ambil dulu sampel darah Nona Muda."
"A-apa?"
Maka menit selanjutnya Eriana harus merelakan beberapa tetes darahnya diambil oleh seorang perawat itu. Dan tidak sampai di sana. Semenit kemudian jarum infus menancap di tangannya.
"Antisipasi pertama, Nona," kata Dokter tersebut. "Agar Nona tidak dehidrasi dan kekurangan vitamin dan mineral."
Lantas Eriana benar-benar memilih untuk diam saja menghadapi semua keanehan yang terjadi saat itu.
Ya Tuhan.
Hanya karena perkara sekali tamparan, tapi efeknya jadi kayak gini?
Eriana pun tidak heran bila setelah kepergian dokter dan seorang perawatnya –seorang perawat lainnya tetap tinggal untuk memantau Eriana-, ia mendapati seorang pelayan yang disuruh Lina untuk membawakan dirinya makan. Yaitu semangkok bubur ayam.
Eriana melongo melihat bubur itu.
Eh? Makan bubur?
"I-ini kayaknya sudah sangat berlebihan, Lin. Gimana bisa aku cuma kena tampar sekali, tapi hebohnya udah yang kayak gini?"
Pertanyaan itu terlontar juga dari mulut Eriana ketika ia dengan susah payah berhasil pula menghabiskan semangkok bubur ayam tersebut. Kemudian yang mana dilanjutkan dengan meminum beberapa pil obat dan vitamin yang diberikan dokter tadi.
"Ini nggak berlebihan, Nona," jawab Lina seraya menyerahkan nampan bekas Eriana makan dengan seorang pelayan lainnya. "Nona kan calon menantu di rumah ini. Sudah sewajarnya diperlakukan seperti ini. Mana mungkin Nona boleh ditampar. Apalagi sama Nona Ratna. Kalau dia sampai berani menampar Nona lagi, nanti biar saya yang balas."
"Eh?" Mata Eriana melotot. Lalu ia geleng-geleng kepala. "Nggak perlu. Aku juga bisa kok nampar dia balik."
Lina menggeleng sekali. "Nona nggak boleh nampar orang lain. Biar kami yang melakukan itu. Lagipula, mereka nggak boleh sembarangan bersentuhan dengan Nona."
"Eh?"
"Kalau begitu, Nona silakan istirahat dulu ya. Nanti saya akan ke sini lagi untuk membantu Nona makan malam."
Eriana hanya bisa mengangguk sekali. Melongo melihat kepergian Lina beserta perawatnya. Membiarkan dirinya untuk beristirahat seorang diri di kamar yang mewah itu. Yang mana nyatanya adalah Eriana justru tidak bisa beristirahat.
Pertama Eriana melihat pada tetes demi tetes cairan infus yang terjatuh dari kantungnya. Masuk ke selang yang terhubung dengan jarum yang menancap di atas pergelangan tangannya.
Seumur hidup, baru kali ini aku ngeliat orang kena tampar dan berakhir harus diinfus.
Mata Eriana memejam dramatis. Yang kemudian matanya terbuka saat mendapati nada dering ponselnya. Gadis itu pun berusaha mengambil ponselnya dari atas nakas tanpa mengganggu jarum infusnya.
"Halo, Tan."
Eriana langsung mengangkat panggilan Intan tersebut.
"Kenapa?"
Terdengar helaan napas Intan di seberang sana. "Kamu balik malam kayak biasanya?" tanyanya. "Aku cuma mau ngomong, kayaknya malam ini aku nggak balik ke unit."
"Eh? Kenapa?"
"Soalnya aku mau melakukan pengintaian gitu. Denger-denger katanya ada artis yang mau ngelamar malam ini. Di resto. Jadinya aku mau nongkrong di sana bareng yang lain."
"Ckckckck."
Eriana selalu kagum dengan semangat juang Intan dalam meliput berita. Sementara artis menikmati kehidupan mereka yang bergelimang harta, ada wartawan gosip seperti Intan yang harus bergelimang dengan semua spekulasi-spekulasi yang mendorong mereka untuk tetap sigap.
"Aku sebenarnya juga nggak bakal balik ke unit sih malam ini."
"Eh?" Intar terdengar sedikit kaget. "Kamu nggak yang mau bilang kamu bakal tinggal di rumah Bos kamu itu kan?"
Menggigit bibir bawahnya, Eriana baru menjawab pertanyaan itu sekitar sepuluh detik kemudian. Suaranya terdengar lirih berkata.
"Sebenarnya iya." Eriana mengembuskan napas panjang sekilas. "Aku sekarang lagi di atas tempat tidur dan---"
"What?!" pekik Intan. "Kamu udah ditidurin Satria?"
"Ya ampun meriam kompeni!" sentak Eriana langsung mendengar pertanyaan Intan. Pertanyaan itu terang saja membuat jantungnya jadi bermasalah. "Yang ngomong aku ditidurin Satria siapa? Aku ini lagi baring di atas tempat tidur. Bukan berarti aku abis ditidurin sama dia!"
"Ops. Jadi, kamu belum ditidurin dia?"
Mata Eriana melotot. "Ya belum dong."
"Yah .... Kecewa penonton."
"Hah?!" Eriana terkesiap frustrasi. "Apa kamu bilang? Kamu kecewa?"
"Hahahaha. Sorry, Ri, sorry. Bukan maksud apa-apa sih. Cuma mau ngangguin kamu aja."
"Omongan kamu jelas banget ngeganggu aku."
Intan terkekeh. "Ehm ..., tapi ngomong-ngomong. Kok kamu bisa yang nginap di sana? Ada sesuatu? Kerjaan? Ya Tuhan. Persiapan pernikahan?"
Eriana memejamkan matanya dengan dramatis. Mengembuskan napasnya dengan amat perlahan. Mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Bagaimanapun juga ia tidak ingin kelepasan emosi dan justru mencak-mencak di sana sementara ada jarum infus yang menancap di tangannya. Bisa bocor pembuluh darahnya nanti.
"Ini bukan untuk persiapan pernikahan," kata Eriana kemudian.
"Terus?"
Eriana sudah bersiap dengan kesiap kaget Intan untuk hal yang akan ia katakan nantinya.
"Aku kena tampar dan akhirnya aku disuruh istirahat di sini. Mana lagi, katanya kalau pipi aku belum baikan, bisa-bisa lusa aku terbang ke Seoul."
"Oh .... Bagus deh kalau gitu," komentar Intan. "Tapi, kamu bakal balik ke unit bentar kan sebelum ke Seoul? Atau langsung pergi? Nggak mampir bentar?"
Eriana melongo.
Seperti ada yang nggak beres di sini. Sesuatu yang membuat gadis itu mengerutkan dahinya dengan bingung.
"Be-bentar deh, Tan," kata Eriana kemudian. "Kapan hari aku ngomong Satria kayak yang jatuh cinta ke aku, kamu reaksinya penuh dengan ketidakpercayaan. Aku cerita aku bakal nikah sama dia, kamu juga kayak yang nggak percaya. Tapi, sekarang? Aku ngomong aku mau ke Seoul gara-gara cuma ditampar sekali ..., kok kamu kayak yang percaya?"
"Oooh ...."
"Kamu nggak lagi sakit?" tanya Eriana heran.
"Dasar!" rutuk Intan. Lalu, terdengar helaan napas gadis itu. "Kalau yang kemaren-kemaren itu, jelas aja aku kayak yang nggak percaya, Ri. Maksud aku ... semua yang terjadi ke kamu kayak yang nggak bisa menjadi bukti kalau kamu dan Satria benar-benar ada hubungan. Sampai ...."
"Sampai ...?"
"Sampai kamu cerita soal kelas-kelas pribadi kamu. Di situ aku mulai percaya walau belum 100%. Tapi, sekarang aku beneran yakin deh kalau kamu dan Satria punya hubungan serius."
"Karena aku mau terbang ke Seoul gara-gara sekali ditampar?"
"Benar sekali."
Eriana merasa kepalanya pusing. "Kok bisa kamu justru percaya dengan hal yang lebay kayak gini, Tan? Kamu pasti sama nggak warasnya dengan mereka yang ada di rumah ini."
"Lebay? Nggak waras?" Intan terkekeh sekilas. "Makanya kalau aku lagi cerita tentang berita artis itu didengar, Ri. Kamu nggak tau?"
"Tau apa?"
"Lagi artis yang nggak ada darah ningrat aja pada heboh kalau anaknya sakit. Diare dikit langsung terbang ke Singapura. Anaknya bosan main di Ancol, langsung terbang ke Disneyland. Ada jerawat sebutir, langsung perawatan laser di Korea. Itu artis, Ri. Apalagi kalau keluarga pengusaha yang keturunan ningrat dari zaman penjajahan Belanda dulu? Mungkin bosan mendaki gunung, mereka mau langsung ekspedisi ke Jupiter sono lagi."
Eriana terdiam sejenak dengan jantung yang seperti tak berdetak lagi. "Gi-gitu?"
"Makanya yah aku nggak heran sama sekali kalau kamu beneran bakal diterbangkan ke Seoul sana. Jangan-jangan kamu malah langsung dibuatkan jadwal operasi plastik pergantian kulit wajah lagi."
"Ya Tuhan."
"Sejujurnya saja, Ri. Kalau kamu dan Satria memang punya hubungan, menurut aku keluarga Satria mungkin sudah cukup menahan diri loh selama ini."
"Menahan diri gimana maksud kamu?" tanya Eriana dengan napas tercekat di pangkal tenggorokan.
"Maksud aku ..., mereka seharusnya udah yang nggak bakal ngebiarin kamu tinggal di unit kita loh. Semacam menjaga gengsi gitu. Masa ngebiarin calon mantu mereka tinggal di apartemen murahan kayak gini? Kan nggak logis secara pemikiran orang kaya."
Rasa takut mendadak menjalari seluruh saraf di tubuh Eriana. Tanpa sadar membuat ia mengusap tekuknya sekali. Bintik-bintik keringat timbul di sana.
"Aku bilangin aja ya, Ri. Sekilas orang ngeliat nikah sama orang ningrat itu menyenangkan. Tapi, banyak banget peraturan yang rasa-rasanya bakal buat kaum jelata kayak kita ngerasa depresi. Namanya aja ya kita harus menjaga nama baik mereka. Nggak boleh terlalu dekat dengan lawan jenis. Menjaga penampilan. Menjaga tutur kata. Perilaku. Dan ya ampun. Seabrek peraturan lainnya yang bakal ngebuat kamu sadar kenapa Putri Keraton dan Putri di Kerajaan Inggris beserta kerajaan lainnya itu terlihat anggun dan berwibawa. Mereka nggak boleh bertindak semaunya."
Glek.
Nggak boleh bertindak semaunya.
Ehm ....
Kayaknya itu bukan sifat kamu, Ri.
"Makanya lain kali kalau aku cerita gosip orang kaya di Indonesia itu didengerin, Dodol," geram Intan. "Kelas pribadi? Itu belum seberapa, Ri. Tunggu sampai kamu dikasih tau seabrek peraturan dan rutinitas keluarga Satria. Mungkin kamu bakal mengalami stres melebihi ujian Tesis kamu dulu deh."
Be-belum seberapa?
Oh, tentu saja Eriana paham.
Bahkan semula ia tak mengira Mega dan Satria bisa bertingkah berlebihan seperti itu. Menilai dari pertemuan pertama mereka, mana mungkin Eriana menduga bahwa kedua ibu anak itu bisa membicarakan penerbangan lintas negara seperti orang yang beli kacang rebus di perempatan jalan?
Kalau tadi Eriana bingung dengan situasi yang terjadi pada dirinya, sekarang Eriana takut akan masa depannya.
Eri, kamu digigit nyamuk. Ayo, kita tes darah.
Eri, rambut kamu rontok dua helai. Ayo, kita ke salon.
Eri, wajah kamu kusam. Ayo, kita ganti wajah.
Eh?
Intinya adalah mendadak saja Eriana merasa lingkungan itu benar-benar di luar akal sehatnya.
Sekarang aja aku udah syok.
Gimana dengan selanjutnya?
Lebih dari itu.
Sekarang aja aku udah kena tampar sama satu penggemar Satria, gimana dengan penggemar dia yang lainnya?
Eriana sekarang merasa takut.
"Kalau kamu tau kehidupan mereka kayak gitu, kenapa kamu nggak ngasih tau aku sebelumnya, Tan?"
Intan mengembuskan napasnya. "Karena aku pikir kamu cuma yang lagi gila aja, Ri. Mana aku tau kalau kamu waktu itu kamu lagi waras."
Eriana langsung menepuk dahinya dengan satu tangan. "Sekarang kayaknya aku beneran bakal gila."
"Eh? Maksudnya?"
Dada Eriana mengempis ketika menghirup napas dalam-dalam. "Gini Tan ..., aku pikir Satria nggak cinta aku deh. Kalau nggak cinta ..., kami nggak bakal nikah kan?"
"Eh?" kesiap Intan tak percaya. "Bukannya kemaren kamu semangat banget ngomong Satria itu cinta kamu? Dan bukannya kamu juga semangat banget buat nikah sama dia?"
Ya iya.
Waktu itu aku emang semangat empat lima kayak para pejuang kemerdekaan yang ngeliat Bung Karno bersiap membacakan teks Proklamasi.
Tapi, itu sebelum aku tau fakta seperti ini.
Eriana meremas rambutnya.
Harusnya aku sadar sejak acara sarapan dan tiga kelas pribadi itu.
Tapi, aku pikir saat itu ya cuma sebatas itu saja.
Nggak bakal ada hal lebih lainnya.
Namun, sepertinya Eriana keliru.
"Keluarga ningrat ... kayaknya bukan dunia aku."
Eriana mengatakan hal itu dengan teramat lemas. Hingga Intan pun memutuskan untuk mengakhiri perbincangan mereka semenit kemudian.
Meremas ponsel di atas pangkuannya, tatapan Eriana kosong lurus ke depan. Dan tak hanya pandangannya saja yang kosong. Otaknya pun terasa seperti kosong.
Aku emang mau nikah dengan orang yang bermartabat sih.
Biar keluarga aku jadi naik juga martabatnya.
Tapi, nggak dengan keluarga yang kayak gini.
Gimana kalau bukan cuma aku yang syok?
Ibu? Bapak?
Mampuslah aku.
"Tok! Tok! Tok!"
Tiga ketukan di pintu membuat fokus mata Eriana kembali lagi. Lalu ia melihat bagaimana Satria yang muncul dari ambang pintu itu. Membiarkan pintu dengan posisi sedikit membuka, Satria melangkah masuk. Menarik kursi dan duduk di dekat tempat tidur Eriana.
"Gimana keadaan kamu?"
Kayak yang aku abis lahiran aja sampe ditanya kayak gitu.
Aku ini cuma ditampar sekali.
Ya ampun.
Bukan kayak aku yang kena rudal Rusia.
Eriana mengembuskan napasnya pelan-pelan. "Aku baik-baik aja."
"Ehm ... baguslah," kata Satria yang kala itu telah berganti pakaian dengan kaos santai. "Sebenarnya ada yang mau aku katakan ke kamu."
Hal yang membuat Eriana terpikir sesuatu. "Sama. Aku juga mau ngomong sesuatu ke kamu."
"Oh ya?" tanya Satria. "Mau ngomong apa?" Dahi Satria tampak berkerut dengan ekspresi tertarik. "Kamu duluan aja yang ngomong."
Eriana menggigit bibir bawahnya.
Daripada aku keperosok makin dalam, mending aku akhiri sampai di sini aja.
Ntar mudah-mudahan aku dapat cowok lain yang keluarganya nggak segila keluarga ini.
"Satria ...," lirih Eriana pelan. "Aku pikir, sebaiknya kita nggak usah nikah."
Mata Satria seketika saja membesar. "A-apa?"
"Kayak yang kamu bilang kapan hari kan? Kamu nggak ada perasaan apa pun kan ke aku?" tanya Eriana dengan memelas. "Itu artinya kita nggak perlu nikah kan?"
Butuh waktu semenit lamanya untuk Satria mencermati maksud perkataan Eriana. Hingga kemudian bara api yang mulai meredup di dada pria itu, tersulut lagi. Tanpa peringatan, Satria bangkit. Menekan kepala tempat tidur, mengurung Eriana di posisi duduk bersandarnya.
Mata pria itu menyolot lurus menatap Eriana.
"Oh .... Kamu mau nolak aku hah?" Ia mendengkus. "Jangan harap."
Eriana mengerjapkan matanya. Terdiam dengan bingung sementara bibirnya terbuka. Entah ingin mengatakan sesuatu atau apa. Yang pasti, di detik selanjutnya, Satria justru mengambil kesempatan itu.
Bibir Satria langsung meraup bibir Eriana dalam ciuman yang tak mampu gadis itu tolak. Lagipula, ia memang tak mampu menolak apa-apa setelah mendapati lidahnya diisap pria itu.
Astaga!
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top