23. Lupa Akhirat

"Kamu duduk dulu di sini."

Eriana melongo. Dan karena itulah mengapa ia tampak seperti orang linglung yang butuh pemandu jalan. Anehnya, justru itulah yang terjadi pada dirinya beberapa detik yang lalu. Satria meraih tubuhnya. Menuntunnya dengan penuh kelembutan agar gadis itu duduk di satu kursi di pantry. Lantas, Satria beranjak. Meninggalkan Eriana yang duduk di kursinya dengan ekspresi bingung.

Ini aku masih sadar atau sebenarnya udah jatuh pingsan sih?

Di saat Eriana sedang mempertanyakan kesadaran dirinya, di saat itu matanya terasa nyata melihat bagaimana Satria yang membuka kabin pantry. Hal yang menakjubkan untuk Eriana yang memiliki tubuh yang tidak terlalu tinggi. Melihat Satria melihat isi di dalam kabin itu bahkan nyaris bisa dikatakan tanpa perlu mendongakkan kepalanya, benar-benar membuat Eriana kagum.

Satria mengedarkan pandangannya demi memeriksa isi di dalam kabin sana. Lalu mengulurkan tangan meraih sehelai serbet yang belum terpakai. Mengeluarkannya dari dalam bungkus plastik kemasannya.

Beranjak dari sana, pria itu lantas menuju ke kulkas. Dengan sigap mengambil beberapa balok es batu dan meletakkannya di dalam satu mangkok yang telah berisi sedikit air.

Tubuh Eriana bereaksi. Tepat ketika dilihatnya bagaimana Satria kemudian mendekatinya.

Satria menarik satu kursi. Duduk di depannya.

Glek.

"Sini. Mana pipi kamu?"

Pertanyaan Satria membuat Eriana membolakan matanya. Menatap bingung pada pria itu. Tentu saja dengan pikiran yang menjadi bertanya-tanya.

Ini dia mau ngapain?

Mau ngompres pipi aku yang abis kena tampar atau gimana?

Meremas kursi yang ia duduki, Eriana tanpa sadar menggigit bibir bawahnya. "Ehm .... Bapak mau ngapain?"

Bibir Satria bergerak demi membentuk satu ulasan senyum yang membuat Eriana menjadi tegang.

Ini kenapa dia malah senyum kayak gitu?

Nyadar nggak sih senyuman dia itu malah buat aku ngeri?

Mata Eriana bergerak-gerak resah. Melirik ke kanan dan ke kiri dengan cepat seolah sedang menilai situasi. Dan di saat seperti itu, Satria justru membuat ia meneguk ludah dengan jemari tangannya yang meraih dagu wanita itu.

Eriana membeku.

Seakan tak menghiraukan bagaimana bingungnya sorot mata Eriana, Satria justru melayangkan tatapannya pada pipi kiri gadis itu. Melihat dengan saksama warna merah yang menjadi cap di sana.

Satria mengembuskan napasnya. Membuat Eriana bergidik karena udara hangat itu terasa sedikit membelai wajahnya.

"Pipi kamu harus dikompres dulu. Biar mendingan."

Tepat sesuai dengan dugaan Eriana sebelumnya. Tapi, ia benar-benar tidak menyangka kalau Satria akan melakukan itu.

Satria mengulurkan tangan. Memeras serbet di dalam mangkok itu. Setelah menyisihkan mangkoknya di atas meja, Satria lantas fokus dengan pipi Eriana.

Eriana memejamkan matanya. Tepat ketika dilihatnya serbet dingin di tangan Satria perlahan-lahan mendekati pipinya. Lantas, rasa dingin itu hinggap menyapa sensor sarafnya.

Tanpa sadar Eriana kembali menggigit bibir bawahnya ketika merasakan bagaimana serbet itu bergerak pelan di pipinya. Mengusap dan menekan secara bergantian.

"Sakit?"

Suara Satria terdengar bertanya seraya tangannya yang masih bergerak di pipi Eriana. Pertanyaan yang dijawab Eriana dengan satu anggukan kepalanya.

Untuk beberapa saat kemudian, keheningan adalah hal yang menyelimuti mereka berdua. Di pihak Eriana, ia jelas merasa gamang dan bingung bila harus memulai percakapan santai dengan Satria. Lagipula ketimbang memikirkan topik perbincangan, saat ini otak Eriana justru memilih untuk memikirkan hal lainnya.

Ini perasaan aku aja atau emang kenyataannya?

Kok dia yang kayak aneh gitu?

Dia mau ninggalin kenang-kenangan sebelum mati atau gimana sih?

Pertanyaan yang membuat Eriana menjadi tidak nyaman. Sudahlah tidak nyaman karena kedatangan Satria yang memergoki dirinya dalam keadaan memalukan, eh ... ditambah lagi tidak nyaman karena perlakuan pria itu pada dirinya.

Ini sebenarnya yang mendadak gila itu aku atau dia sih?

Kenapa dia yang jadi baik gini ke aku?

Selang beberapa menit kemudian, Eriana merasakan sentuhan itu berakhir juga. Dan oleh karena itulah Eriana lantas membuka matanya.

"Ya Tuhan!"

Eriana spontan terkesiap seraya menarik mundur tubuhnya hingga membentur punggung kursi yang keras itu. Reaksi alamiah saat dirinya kaget melihat bagaimana ternyata di hadapannya ada wajah Satria. Sangat dekat hingga Eriana yakin mereka tadi terpisah tak lebih dari sejengkal.

Mata gadis itu membesar seketika.

"Bapak ...."

Satria meletakkan serbet itu kembali ke mangkoknya acuh tak acuh. Tanpa melepaskan tatapan matanya dari sepasang mata Eriana yang tetap membesar walau telah beberapa detik berlalu.

Mengembuskan napasnya panjang-panjang, Satria lantas mencondongkan tubuhnya ke arah Eriana.

"Bukannya kemaren kita udah sepakat untuk nggak usah formal lagi ya?"

Tidak cukup rasa kaget Eriana yang pertama dengan posisi tubuh mereka yang dekat, gadis itu dibuat kaget untuk kedua kalinya dengan pertanyaan Satria.

"Eh?" Mata Eriana mengerjap-ngerjap. "Apa?"

Satria tersenyum lembut melihat rasa kaget yang membuat gadis itu tergagap. Sorot bingung dan ekspresi salah tingkah Eriana membuat satu percikan kebahagiaan tersulut di dada pria itu.

Baru segini kamu udah salah tingkah?

Ck. Kayaknya ini nggak bakal butuh waktu lama deh.

Embusan napas hangat Satria kembali membelai sisi wajah Eriana. Membuat gadis itu kembali menarik mundur tubuhnya. Lagi-lagi menciptakan jarak di antara mereka.

"Kamu barusan manggil aku Bapak kan?" balik bertanya Satria.

Mata Eriana mengerjap sekali. "Aaah ...." Lalu ia tersadar. "Tapi, ini kan di kantor. Jadi ...."

"Tapi, di sini kan cuma ada kita berdua," timpal Satria kemudian. "Aku pikir walaupun di kantor, tapi kalau cuma ada kita berdua ... yah rasanya nggak jadi masalah."

Glek.

Eriana meneguk ludahnya.

Ini antara aku yang makin gila atau justru aku mendadak pingsan dan ternyata ini semua lagi terjadi di alam mimpi aku.

Tapi, ya kali.

Masa ada mimpi yang senyata ini?

Sampe-sampe rasa dingin es batu itu masih terasa banget di pipi aku.

Mata Eriana kemudian mencoba untuk berani menatap mata Satria. Dengan sedikit kerutan di dahinya yang mulus pastinya.

"Aku minta maaf."

Rasa kaget ketiga yang membuat Eriana terbengong-bengong. "Maaf?"

Tunggu!

Apa dia punya kosakata maaf dalam kamus hidupnya selama ini?

Kenapa dia yang mendadak bisa ngucapin kata itu?

Lagipula ....

Eriana mencoba untuk tetap bernapas. "Maaf? Maaf untuk apa, Pak?"

"Ehm ...." Satria seperti memberikan irama tambahan dalam dehemannya. "Satria, Ri. Panggil aku Satria kalau kita cuma berdua."

Lagi-lagi Eriana hanya bisa melirih bodoh karena perkataan Satria. "Aaah ...."

Satria mengulurkan tangannya. Meraih satu tangan Eriana dan bisa merasakan bagaimana tubuh gadis itu bergidik spontan karena tindakannya. Namun, Satria tak membiarkan Eriana untuk menarik tangannya lepas dari genggamannya. Alih-alih, pria itu justru semakin memerangkap jemari Eriana dalam genggamannya. Pun memberikan satu remasan yang Eriana pikir terasa sampai ke jantungnya.

"Satria ...." Eriana melihat pada tangannya. "Kamu ...." Kepalanya celingak-celinguk. "Nanti kalau ada yang melihat."

"Tenang aja. Kamu sendiri tau kalau nggak bakal ada orang lain yang ke sini."

Tenang?

Sekarang Eriana justru merasa tidak tenang dengan fakta yang satu itu. Dan seperti mengabaikan hal tersebut, di detik selanjutnya Satria justru berkata.

"Aku minta maaf untuk tamparan yang harus kamu terima."

"Aaah ...."

Mata Satria kembali melihat pada pipi Eriana. "Kalau bukan karena aku, pasti kamu nggak bakal ditampar sama Ratna."

Eriana memilih untuk melihat lantai saja ketimbang harus melihat wajah Satria di depannya. Tak perlu ditanya, tatapan yang ia terima dari Satria membuat gadis itu merasa risi.

"Kamu pasti tau Ratna itu siapa kan?" tanya Satria kemudian tanpa melepaskan tangan Eriana di genggamannya.

Tanpa mengangkat wajahnya, Eriana mengangguk sekali. Dan entah mengapa saat itu otak Eriana justru memikirkan hal lain. Yaitu: sejak kapan ya aku kalau ngangguk cuma sekali doang?

"Aku nggak nyangka kalau Ratna bakal melakukan hal kayak gini sama kamu."

Walau Satria memang dalam rencana untuk membuat Eriana tergila-gila padanya, tapi bukan berarti semua yang dikatakannya dusta. Setidaknya untuk kalimat yang baru saja ia ucapkan, itu berbeda. Untuk yang satu ini Satria benar-benar meyakinkan kejujurannya. Dia memang tidak menyangka kalau Ratna akan sampai melayangkan tangannya pada Eriana.

"Oh ...." Eriana melirih lagi. "Nggak apa-apa. Lagipula, ini bukan salah kamu."

Satria mengembuskan napas panjangnya. Menyadari kebenaran dari kata-kata Eriana. Bagaimanapun juga, niat awal Satria sampai memberitahu Ratna tentang Eriana hanyalah agar Ratna merasa sadar diri dan memilih untuk mundur. Tapi, siapa mengira yang terjadi justru sebaliknya? Wanita itu malah dengan tidak tau malu menghajar Eriana. Dan Satria sendiri tidak akan salah menebak seandainya saja tadi dirinya tidak keluar, tentu saja Eriana sudah menjadi bulan-bulanan Ratna. Walau sebenarnya Satria sedikit meragukan hal tersebut. Mengingat ketika ia menangkap tangan Ratna, ia pun melihat bagaimana ekspresi antisipasi Eriana. Tangan gadis itu pun telah terangkat sebenarnya.

"Jadi," lanjut Satria kemudian. "Kamu masih bisa lanjut kerja? Atau kamu mau pulang aja?"

Pertanyaan Satria membuat Eriana semakin bertanya-tanya akan tingkat halusinasi yang sedang ia alami.

Apa makin parah ya?

Apa aku beneran udah gila?

Kenapa aku yang berasa dia lagi perhatian gitu sama aku?

Satu tangan Satria lepas dari genggamannya. Bergerak untuk lagi-lagi meraih dagu Eriana. Membawa tatapan mata gadis itu pada tatapannya.

"Kenapa?" tanya Satria dengan sedikit kerutan di dahinya. "Kamu kayak yang keliatan bingung gitu dari tadi."

Kali ini Eriana memilih untuk tidak menutupi perasaannya lagi. Maka ia biarkan dahinya mengerut total dan ekspresi bingungnya keluar secara keseluruhan.

"Aku ... ngerasa kamu kayak yang beda."

Perkataan yang ditunggu-tunggu oleh Satria dari tadi.

Ah ....

Mulai ngerasa heh?

Cuma ngerasa aku kayak yang beda aja?

Nggak ngerasa yang lain?

Jantung kamu berdebar-debar gitu?

Satria membentuk senyuman lembut di wajahnya. Menduga bahwa hal tersebut akan semakin membuat Eriana menjadi bingung karena perilaku dirinya.

"Beda kayak gimana?"

Swiiing!

Sumpah!

Ketika Satria memberikan irama yang berbeda dalam pertanyaannya itu, sekujur tubuh Eriana jadi meremang. Persis seperti yang dikatakan Ahmad Dhani. Merinding disco atas bawah.

"I-itu ...." Eriana berusaha untuk menenangkan dirinya. Menarik napas dalam-dalam dan menuntaskan kebingungannya. "Kamu kayak yang ...."

Sial!

Eriana menggigit bibir bawahnya. Tak mampu untuk menuntaskan perkataannya. Hal yang justru membuat Satria semakin merasa di atas angin.

"Kenapa? Kamu mau ngomong aku perhatian?"

Iya dong pastinya.

Jelas aja kamu heran.

Karena ini peristiwa langka di mana aku mau ngurusin cewek kayak gini.

Terang aja kamu jadi bingung kan?

Hahahaha.

Gimana?

Udah mulai terpesona sama aku belum?

Eriana mengerjapkan matanya. Entah mengapa sekarang perasaannya menjadi semakin tak karuan.

Ini kemungkinannya ada tiga.

Pertama ... aku udah beneran gila.

Kedua ... justru Satria yang jadi gila.

Ketiga ... kami berdua sama-sama gila.

"Ehm .... Sejujurnya ... iya."

Percayalah, itu adalah hal yang sangat berat untuk diakui oleh Eriana. Tapi, ia berpikir. Daripada harus memendam penasaran kan?

Dan ketika Eriana mengatakan hal tersebut, jujur saja ia sedikit merasa ngeri.

Gimana kalau mendadak Satria balik lagi jadi singa galak?

Kan bisa mampus aku.

Masa abis ditampar, eh malah diterkam?

Tapi, yang terjadi selanjutnya bukanlah terkaman yang Eriana dapat. Alih-alih diterkam, Eriana justru kaget lantaran Satria justru menarik tubuhnya.

Astaga!

Aku emang ngira aku bakal diterkam.

Tapi, bukan diterkam dalam pelukan kayak gini!

Mata Eriana melotot di saat menyadari bagaimana alih-alih menerkam dirinya dalam auman menakutkan, Satria justru menerkam dirinya dalam pelukan menenangkan.

Eriana kaget. Sontak mengangkat tangannya untuk menahan dada Satria. Bagaimanapun juga, baru tadi Eriana membiarkan tangannya digenggam Satria. Sekarang? Ia justru dipeluk?

"Satria ...," tahan Eriana dengan mata melotot.

Tapi, Satria telah berhasil menenggelamkan gadis itu ke dalam pelukannya. Lebih dari itu, Satria pun dengan sengaja mendaratkan wajahnya di lekuk bahu Eriana. Pun membiarkan gadis itu melakukan hal yang sama pada dirinya. Mengabaikan bagaimana sepasang telapak tangan Eriana menahan dadanya, Satria justru mengusap punggung Eriana dengan lembut.

Glek.

Bahkan Satria bisa mendengar bagaimana suara Eriana yang meneguk ludahnya.

Tuh kan.

Gugup kan ya?

Gugup kan?

Hahahaha.

Baru aku peluk biasa doang padahal loh ya.

Belum aku kasih plus plus yang lainnya.

Maka Satria pun memutuskan untuk melanjutkan apa yang telah ia lakukan. Dimulai dari belaian lembut di punggung gadis itu dan kemudian berlanjut pada satu embusan napas hangatnya di telinga Eriana.

Merinding lo merinding deh.

Hahahaha.

"Apa?" tanya Satria kemudian.

Eriana berusaha untuk tetap menjaga ketenangan dirinya. Dimulai dari menarik napas dalam-dalam. Namun, nahas! Hal tersebut justru membuat indra penciumannya seketika penuh dengan aroma maskulin Satria.

Ya ampun.

"Ri ...."

Eriana mengerjapkan matanya. "Ya?"

Di lekuk bahu Eriana, Satria tersenyum penuh arti. "Tadi kamu manggil nama aku ..., mau ngomong apa?"

"Ah?" Eriana berpikir. Tapi, sayangnya otaknya mendadak saja macet. Maka spontan saja Eriana menjawab. "Lupa."

Uh yeee!

Satria memejamkan matanya seketika dalam ekspresi penuh kemenangan.

Baru gini doang kamu udah lupa dunia ya?

Ehm ....

Mau aku buat kamu lupa akhirat juga?

Hahahaha.

Maka di detik selanjutnya Satria mengurai pelukannya. Menjaga jaraknya tetap dekat pada gadis itu, Satria berkata.

"Aku sadar selama ini sikap aku ke kamu itu kasar, Ri. Tapi, itu cuma karena aku nggak pernah ngerasain cinta sebelumnya. Aku harus melakukan apa, bersikap gimana ..., aku nggak tau."

Hwahahaha.

Astaga Satria.

Bahkan untuk akting pun kamu pinter banget coba kan?

Dan itu tentu saja terbukti bila melihat bagaimana Eriana yang hanya bisa membengong pada Satria.

"Tapi, ngeliat kamu dihajar Ratna ... aku benar-benar nggak terima."

Eriana berusaha untuk tetap menarik napas. "Satria ...."

Lantas tatapan mata Satria pada dirinya melembut. Seakan berusaha untuk menghipnotis kesadaran Eriana. Dan sepertinya itu berhasil. Mengingat bagaimana di detik selanjutnya Eriana hanya bisa membeku. Tepat ketika Satria berkata.

"Aku nggak terima kalau cewek yang aku cintai diperlakukan kayak gitu sama orang lain."

Bibir Eriana membuka. Berusaha bicara. "Ci ... n ... ta?"

Wajah Satria mendekati Eriana.

Bentar lagi kamu bakal lupa akhirat, Ri.

Aku jamin.

Dan ikrar di benaknya itu Satria tuntaskan dengan satu sentuhan yang tepat mendarat pada kedua belah bibir Eriana yang membuka. Menahan kedua tangan Eriana, Satria tanpa aba-aba melabuhkan bibirnya pada bibir Eriana. Sontak saja membuat Eriana melotot besar. Namun, ketika ia akan menarik diri, Satria lantas membawa satu tangannya untuk menahan tekuk sang gadis.

Eriana menegang di dalam sentuhan itu. Dan sedetik kemudian, sepertinya bukan hanya Eriana yang menegang. Nyatanya Satria pun mendadak ikut-ikutan menegang. Itu adalah ketika kedua bibir bersatu dan saling menyentuh.

Yang lupa akhirat siapa?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top