22. Penyiratan Ancaman

"Kreeek."

Suara pintu yang terbuka membuat Satria beralih dari dokumen yang sedang ia pelajari. Dan ketika melihat wanita cantik yang masuk ke ruangannya itu, seketika saja Satria menghela napas panjang. Tiba-tiba ia seperti merasa letih. Terlihat berbeda seratus delapan puluh derajat dengan wanita itu yang tampak melangkah mendekat dengan penuh semangat. Tanpa aba-aba, ia langsung saja mendaratkan bokongnya di satu sofa empuk yang tersedia di ruang kerja Satria.

"Satria ...."

Satria bangkit. Dengan wajah suntuk ia beranjak ke sana. "Ratna ...," lirihnya menyebut nama wanita itu.

Ratna mengangkat wajahnya. Memulas satu senyuman manis di bibirnya yang tipis. "Kamu apa kabarnya? Udah lama kita nggak ketemu."

Masih berdiri dan bahkan bisa dikatakan bahwa tak terlihat ada niatan Satria untuk duduk bersama dengan wanita itu, Satria menjawab.

"Kabar aku baik. Ada keperluan apa kamu datang ke sini?"

"Ehm ...." Ratna mendehem seraya memutar bola matanya dengan ekspresi salah tingkah. "Ya ... aku cuma mau ketemu kamu aja."

Satria bergeming di tempatnya. "Aku punya banyak kerjaan yang lebih penting ketimbang harus ketemu kamu, Rat."

Mata Ratna mengerjap. Dan sepertinya ia menyadari bahwa ia tak bisa bermanis mulut dengan Satria. Karena itulah mengapa pada akhirnya wanita itu mengatakan juga apa yang menjadi tujuannya datang.

"Aku dengar ..." Ratna meneguk ludahnya. "... kamu akan menikah dengan seseorang?"

"Ya. Memang berita itu benar," jawab Satria tanpa basa-basi.

"Dengan siapa?"

Berbeda dengan pertanyaan yang tadi, kali ini Satria tampak menimbang baik buruk jawaban yang akan ia berikan. Haruskah ia mengatakannya atau sebaliknya?

Tapi, bukannya pada akhirnya dia bakal tau juga ya?

Maka dari itu jangan heran bila pada akhirnya Satria untuk memutuskan bertanya seperti ini.

"Tadi di depan kamu ketemu sama sekretaris aku kan? Eriana?"

Ratna tak tau apa hubungannya dengan sekretaris Satria.

Mungkin aku disuruh nanya ke sekretarisnya kali ya?

Semula Ratna berpikir seperti itu dan karenanya ia mengangguk. Dan melihat anggukan itu, Satria menarik napas dalam-dalam.

"Dia wanita itu."

Mata Ratna membesar. "A-apa?"

Tak menjawab rasa syok Ratna, Satria justru mengatakan hal lain dengan menatap lurus pada mata Ratna.

"Hubungan kami masih dirahasiakan. Jadi, aku harap kamu nggak buat masalah apa-apa, Rat. Kamu tau akibatnya nanti seperti apa."

Bahkan Ratna sebenarnya tidak memikirkan hal itu. Yang ia tau ia terlalu syok dengan perkataan Satria.

"Jadi di---"

"Oke!" potong Satria cepat. "Jawaban kamu udah aku berikan, jadi ... kamu bisa tinggalkan kantor aku, Rat. Aku masih ada pekerjaan lainnya."

Ratna meremas lengan sofa. Mendengar pengusiran Satria tentu bukan hal yang mengejutkan bagi wanita itu. Jangankan pengusiran, penolakan pun sudah terlalu sering. Tapi, kali ini tentu saja berbeda. Kalau sebelumnya penolakan dirinya masih memiliki harapan –setidaknya itulah yang Ratna pikirkan mengingat Satria menolak dirinya dengan status belum ada wanita lain-, sekarang semuanya berbeda. Bisa dikatakan penolakan Satria kali ini benar-benar harga mutlak bagi Ratna.

Tak menghiraukan Ratna dengan wajah syoknya, Satria memilih beranjak dari tempatnya berdiri. Menuju kembali ke mejanya dan duduk di sana. Seolah tak ada Ratna, ia pun kembali mempelajari dokumen yang sempat ia tinggalkan tadi karena kedatangan wanita muda tersebut.

Ratna menghirup napas dalam-dalam. Antara syok atau malu lantaran ia menganggap tentu saja Eriana sekarang sedang menertawai dirinya di depan sana.

Cewek itu.

Dia pasti udah tau aku siapa.

Maka tanpa berkata apa-apa lagi, Ratna pun berdiri. Langsung saja berjalan keluar dan menutup pintu itu.

Satria mengangkat kembali wajahnya. Mengembuskan napas panjang dan justru meletakkan kembali pena yang sempat ia pegang. Tatapannya lurus ke pintu sementara kepalanya geleng-geleng dengan ekspresi lesu.

"Itu cewek emang keras kepala banget. Udah ditolak berapa kali, bukannya nyadar diri, eh ... malah makin nggak tau diri."

Selesai dengan gerutuannya, Satria kembali mencoba untuk berkonsentrasi dengan pekerjaannya, namun susah. Kehadiran Ratna tadi walau hanya beberapa menit saja –kalau Satria lihat sih tidak sampai lima menit-, nyatanya tetap saja membuat ia sedikit merasa kesal. Alhasil, ia seperti kehilangan konsentrasinya.

"Ah! Sial!"

Satria membanting kepalanya ke belakang, pada punggung kursi dan menarik napas dalam-dalam. Di saat itulah ia mendesah.

"Harusnya tadi aku tetap nyuruh Eri buat bawain minum. Walau cuma untuk aku aja."

Satria mengulurkan tangan. Meraih gagang telepon yang tersedia di atas mejanya. Berniat untuk menghubungi Eriana, namun ia urungkan.

"Jangan mempersulit hidup kamu, Sat. Masa abis ketemu Ratna kamu justru mau ngeliat Eri? Ya makin terganggulah konsentrasi kamu."

Satria lantas berusaha untuk kembali fokus pada pekerjaannya. Namun, baru semenit berlalu mendadak saja Satria merasa hidungnya gatal.

"Hatciiih!"

Satria menarik napas setelah ia bersin sekali. Meremas sedikit hidungnya demi mengusir rasa gatal itu. Tapi, tak berselang lama ia kembali bersin. Kali ini bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali.

"Ah!" geram Satria sambil kembali meremas hidungnya. "Ini aku mendadak flu atau ada yang lagi ngomongi aku sih?"

Dan bersin-bersin itu membuat Satria semakin kesal. Hingga sedetik kemudian pria itu mengembuskan napas panjang seraya bangkit dari duduknya.

"Apa ada debu di ruangan ini?" tanya Satria geram seraya mengedarkan pandangannya berkeliling. "Dasar Eri. Harusnya dia memastikan ruangan aku untuk selalu bersih."

Menahan kesal yang semakin bertubi-tubi Satria lantas melangkah menuju ke pintu. Ia akan menyuruh Eriana untuk segera memanggil petugas kebersihan. Dan sementara itu mungkin ia akan keluar sejenak. Sekadar memberi waktu agar ruangannya bisa dibersihkan dan untuk mendamaikan emosinya akibat kedatangan Ratna. Namun, hal yang di luar dugaan terjadi ketika ia baru membuka sedikit pintu ruangannya itu.

"Bahkan Pak Satria aja nggak mau ngobrol lama-lama sama Ibu. Dan Ibu nggak ngaca un---"

"Plaaakkk!!!"

"Auuu!"

Mata Satria melotot besar. Melihat bagaimana Ratna menampar Eriana hingga wajah gadis itu terhenyak ke samping. Dan tak hanya itu, Ratna pun kemudian membentak Eriana.

"Kamu wanita rendahan berani-beraninya ngomongin aku kayak gitu?!"

"Ibu ..., saya---"

"Kamu emang perlu aku beri pelajaran!"

Ratna mencengkeram satu tangan Eriana sementara tangannya yang lain terangkat lagi. Tanpa bertanya, Satria sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan karena itulah Satria pun segera mengambil tindakan. Tepat ketika tangan Ratna kemudian mengayun kembali.

Satria melangkah setengah berlari dan tanpa silap menangkap tangan Ratna di udara. Selanjutnya suara pria itu pun terdengar.

"Kamu ngapain Eri?"

Pertanyaan yang dengan segera mendapatkan perhatian dari dua wanita itu. Baik Eriana maupun Ratna sama-sama membeku tatkala melihat pada dirinya.

"Satria ...."

"Bapak ...."

Refleks, Satria melototkan mata pada Ratna. Lebih dari itu, Satria seakan tanpa sadar meremas tangan Ratna di genggamannya dengan erat dan kuat. Saking kuatnya bisa dilihat bagaimana wajah Ratna yang kemudian langsung meringis.

"Satria ...."

Mata Satria tak berkedip menatap pada Ratna. "Lepaskan tangan Eri."

Perkataan Satria serta merta langsung dituruti oleh Ratna. Menilik dari ekspresi wanita itu, sudah barang tentu Ratna tengah terintimidasi tatapan dan aura Satria yang tampak menakutkan. Dan bukan hal yang berlebihan mengingat ketika tangannya dilepaskan oleh Satria, Ratna mendapati rasa panas dan sakit di pergelangannya. Ketika ia melirik cepat, ia melihat warna merah di sana.

Ratna memucat. "Satria ..., ini ...."

Melihat wajah Ratna yang memucat, bukannya membuat Satria merasa iba, malah sebaliknya. Yang terjadi justru ia merasakan rasa kesal yang tadi ia tahan telah berubah menjadi rasa kemarahan.

Berani-beraninya ya dia ngusik kehidupan aku?

Sedikit pun dia nggak ada mandang aku?

Sampe-sampe berani berbuat gini ke Eri?

Satria mengembuskan napas yang terasa panas di kedua lubang hidungnya. "Kamu belum mau pergi dari sini?" tanya Satria dingin. "Masih ingin membuat kekacauan di sini?"

Ratna meneguk ludahnya. Tak bisa menjawab pertanyaan Satria. Atau kalaupun Ratna ingin menjawab, tentu saja niatannya itu lenyap seketika saat melihat bagaimana rahang Satria yang mengeras dengan tatapan merahnya yang terarah lurus pada dirinya. Lebih dari mampu untuk membuat nyali Ratna seketika menciut.

"Eriana itu selain sekretaris aku, dia juga wanita yang dilamar langsung oleh Mama. Dan kamu berani nampar dia?"

Rasa sakit hati dan takut seketika riuh di dada Ratna hingga membuat mata wanita itu terlihat berlinang. Kepalanya menggeleng dengan samar.

"A-a-aku ...."

Ratna benar-benar seperti tidak bisa bicara lagi. Ketakutan yang melingkupi dirinya semakin menjadi-jadi seiring tiap detik yang berlalu. Dan selagi Ratna merasa tubuhnya perlahan mulai terasa melemas dan dingin, Satria justru kembali berkata.

"Aku bakal menikahi Eri dan kamu harus berusaha untuk menghormati dia."

Perkataan yang sangat ingin ditampik oleh Ratna. Bagaimanapun juga, dia benar-benar mencintai pria itu. Bahkan di titik terendah ia seakan melupakan rasa malunya dan tetap berusaha mendekati Satria walau jelas pria itu memang tidak menaruh rasa padanya dari awal perjumpaan mereka. Kenyataan yang dengan segera menerbitkan genangan air mata wanita itu untuk semakin banyak. Pun bibirnya terlihat bergetar.

"Nggak mungkin kamu cinta dia, Sat .... Nggak mungkin .... Dia cuma ingin mengincar harta kamu aja."

Satria menatap mata Ratna lurus-lurus. Seakan ingin memberikan penekanan pada tiap kata yang akan ia ucapkan. "Apa pun perasaan aku untuk dia, itu urusan kami. Bukan urusan orang luar." Ia menarik napas sekilas. "Kamu mau pergi sendiri atau perlu aku panggil satpam?"

Kali ini Ratna tak mampu menahan dirinya lagi. Membiarkan setetes air mata jatuh di pipinya. Dan Ratna memutuskan untuk tidak memperdalam rasa malu di hadapan Eriana. Maka untuk itulah Ratna melemparkan tatapan kemarahannya pada gadis itu sebelum memutuskan untuk berlalu dari sana. Setengah berlari pergi secepat mungkin seraya menahan desakan air matanya.

Keheningan langsung melingkupi suasana di sekitar Satria dan Eriana. Kejadian tadi jelas membuat mereka berdua berada di situasi yang tak nyaman. Terutama Satria. Tak ingin mengakui, tapi bukan berarti Satria tak mampu melihat rasa syok yang menyelimuti Eriana.

Gadis itu tampak berdiri kaku. Menundukkan pandangannya seakan menghindari tatapan mata Satria. Hal yang sangat langka karena selama ini Eriana selalu berusaha membalas tatapannya. Bahkan ketika Satria merasa marah pada Eriana pun gadis itu tak gentar. Tapi, sekarang berbeda. Terutama dengan bekas merah yang tercetak nyata di pipi kirinya.

Satria menghirup napas sejenak. Merasakan kesat di tenggorokannya ketika ia memaksa untuk bicara.

"Eri ...."

Suara Satria terdengar serak ketika menyebut nama gadis itu. Dan Eriana sontak mengangkat wajahnya. Membuat Satria mampu melihat samar air mata di kelopak matanya.

"Terima kasih, Pak, untuk bantuannya. Saya permisi minum dulu."

Satria ingin mengatakan sesuatu, namun Eriana langsung mengangguk sekilas sebagai tanda permisinya. Beranjak meninggalkan Satria seorang diri.

Ditinggal seorang diri di sana membuat Satria mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Usapan yang kasar dengan rasa letih yang mendadak saja menghinggapi dirinya.

"Argh! Inilah mengapa aku berusaha untuk menghindari wanita," geram Satria. "Kenapa wanita itu harus menjadi makhluk yang merepotkan sih?!"

Satria membuat napas kesal.

"Sudah cukup dengan Ratna, muncul Eri. Dan sekarang mereka berdua muncul bersamaan."

Entah berapa kali Satria menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya panjang-panjang. Sekadar untuk meredakan emosi yang membuncah di dalam dadanya. Dan di saat ia merasakan bahwa rasa panas di tubuhnya tak mampu ditahan lagi, ia mendadak saja teringat dengan Eriana.

"Harusnya aku benar-benar nyuruh dia untuk ngebuatin aku minum."

Maka dengan terpaksa Satria membawa langkah kakinya menuju ke pantry. Berniat untuk menyuruh Eriana membuatkannya segelas minuman dingin, namun yang terjadi di pantry justru membuat kakinya sontak kaku di ambang pintu itu.

Eriana terduduk di lantai. Menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dan tanpa melihat pun Satria mampu menebak apa yang tengah terjadi pada gadis itu. Dengan suara sesegukan dan bahu yang berguncang, orang bodoh sekalipun akan tau kalau saat itu Eriana sedang menahan tangisannya.

Satria mengerjapkan matanya. Memutuskan dengan cepat untuk pergi saja dari sana. Melihat wanita menangis tentu bukan hal yang ingin dilakukan oleh pria itu. Tapi, ketika ia akan beranjak dari sana, terdengar suara rintihan Eriana yang membuat ia membeku.

"Aku tau dia nggak mungkin cinta aku. Mana ada cowok di dunia ini yang bisa cinta aku? Nggak bakal ada. Nggak bakal ada cowok yang mau cinta kamu, Ri. Apalagi cowok seperti dia."

Mata Satria membesar. Dahinya berkerut. Tapi, ketika kebingungan itu hinggap di pikirannya, di saat itu pula suara Eriana kembali terdengar.

"Tapi, kalau dengan menikah dengan dia bisa membuat martabat keluarga aku naik ... aku rela ngebuat diri aku gila dengan nganggap dia cinta aku. Aku bakal nganggap kalau dia memang cinta aku. Aku bakal nganggap kalau dia memang nyimpan perasaan ke aku."

Isakan Eriana semakin menjadi-jadi. Bahunya terlihat bergetar berkali-kali. Dan napas gadis itu terdengar menjadi payah sekarang.

"Aku tau dia ngebela aku cuma karena Mama dia. Aku tau. Tapi, nggak apa-apa. Asal menikah dengan dia bisa ngebuat kehidupan keluarga aku lebih layak, aku rela dianggap nggak waras. Aku sudah biasa hidup berpura-pura."

Dan kalimat itu membuat jantung Satria bagai tak berdetak lagi. Bahkan pria itu nyaris harus berpegang pada dinding demi menahan tubuhnya yang terasa limbung. Di saat itu ia mendadak teringat percakapannya dengan Eriana tempo hari.

"Kamu melakukan ini semua gara-gara uang kan? Katakan pada saya, kamu mau berapa? Akan saya berikan. Biar semua kekacauan antara kita bisa selesai secepatnya."

"Saya nerima lamaran Tante bukan karena uang kok, Pak."

"Terus? Kamu nggak mungkin kan mendadak yang punya perasaan dengan saya sehingga nerima lamaran kemaren?"

"Ya emang karena Bapak kok saya nerima lamaran itu. Coba Bapak pikir deh. Di mana lagi coba saya bisa dapat suami dengan bokong semontok Bapak?"

Satria membuka mulutnya. Menghirup oksigen sebanyak yang ia mampu ketika merasakan lagi-lagi dadanya berubah panas.

Bukan harta aku yang ia mau.

Bukan fisik aku yang ia suka.

Tapi, ia justru berharap pernikahan ini bisa menaikkan martabat keluarga dia?

Biar kehidupan keluarga dia lebih layak?

Satria menarik dasi di lehernya. Melonggarkannya karena merasakan sesak yang benar-benar membuat ia nyaris panik.

Wah!

Kamu benar-benar, Eriana.

Kamu nggak tau gimana di luaran sana cewek semuanya terkagum-kagum dengan pesona aku?

Dan kamu sama sekali nggak merasakan itu?

Untuk pertama kalinya bagi seorang Satria, ada seorang wanita yang bahkan tidak melihat semua pesona yang ia miliki. Hal yang benar-benar membuat pria itu merasa tidak terima.

Aku masih sedikit punya harga diri waktu kamu bilang kamu naksir bokong aku.

Tapi, ini?

Bahkan kamu cuma mau martabat keluarga kamu naik dengan pernikahan ini?

Kamu nggak mau keluarga kamu jadi kaya raya gitu? Kamu nggak mau memamerkan aku sama teman-teman kamu gitu? Kamu nggak mau punya anak yang cakep pintar kayak aku gitu?

Wah!

Satria mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Mengikrarkan tekadnya dengan bulat total. Dengan penuh keseriusan yang tak terbantahkan.

Kamu bakal kena batunya, Ri.

Awas aja kamu ya.

Kalau kamu belum terpesona sama aku, maka yang akan aku lakukan adalah ngebuat kamu tergila-gila sama aku.

Dan setelah menggemakan hal itu di benaknya, Satria membawa kakinya untuk melangkah. Tak terburu-buru, namun pasti dengan penuh irama mendekati Eriana.

Satria tau kalau Eriana menyadari kehadirannya. Itu terbukti dari isakan Eriana yang mendadak berhenti dan tubuhnya menegang.

Satria turun, setengah berjongkok di depan Eriana. Kedua tangannya lantas terulur, meraih tangan Eriana dan menurunkannya dengan perlahan. Ketika tangan Eriana turun, gadis itu segera memalingkan wajahnya. Tapi, Satria tidak akan menyerah.

Kamu bakal aku buat jatuh cinta klepek-klepek sama aku, Ri.

Jari tangan Satria lantas meraih dagu Eriana. Menariknya pelan untuk berpaling pada dirinya. Dan ketika tatapan keduanya beradu, Satria melembutkan suaranya ketika bertanya.

"Pipi kamu pasti sakit ya?"

Satria bisa menangkap sorot kaget di manik mata Eriana. Tapi, Satria tidak berhenti. Karena di detik selanjutnya pria itu melepas dagu Eriana, lantas memberikan satu belaian lembut di pipi Eriana yang merah itu. Bergerak perlahan mengusap aliran air mata di sana.

Gimana?

Apa kamu mulai merasakan sedikit pesona aku?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top