21. Karena Perasaan

"Mbak pesan nasi goreng telor ceplok?"

Satu pertanyaan itu Eriana terima ketika ia meletakkan pesanannya di atas meja. Beberapa orang bagian HRD tampak melihat pada makan siang yang dibawa oleh Eriana.

Gadis itu tersenyum, mengangguk, dan duduk. Sekilas melihat pada menu makan siang karyawan lainnya, Eriana mendapati mungkin hanya dirinya yang memesan menu seperti itu. Lihatlah yang lain. Dari sop babat, soto daging, hingga sate kelinci.

Seorang sekretaris Bos, tapi makan siangnya seperti ini?

Ehm .... Mungkin itu sih yang mereka pikirin.

Tapi, nggak boleh boros.

Nggak ada yang bakalan tau masa depan kayak gimana.

Maka begitulah makan siang Eriana kala itu. Yang mana sebenarnya Eriana sangat menikmatinya. Bahkan ketika mulai mengunyah sesuap demi sesuap nasi goreng tersebut, Eriana justru terpikir hal lain. Bahwa nasi goreng telor ceplok itu adalah makanan yang lebih nikmat ketimbang nasi kerupuk dan kecap yang pernah ia makan dulu.

Dan sekarang, dalam situasi seperti ini, Eriana merutuk di dalam benaknya. Mengapa hari itu ia tidak melakukan pengecualian? Memesan rendang daging beruang, spagetti saos ikan paus, atau sop burung elang kan?

Tapi, ya aku mana tau kalau mendadak bakal ketemu dengan rival cinta.

Hiks.

Dilihat dari ekspresi wajahnya, ini cewek nggak mungkin banget mau ngajak aku ngegosip artis yang ketangkap lagi make narkoba.

Yakin banget deh.

Tampang dia kayak yang mau nelan aku bulat-bulat coba.

Astaga ....

Ini masih mending aku ngadapin preman pasar deh ketimbang cewek yang cemburu.

Berusaha untuk tetap tenang, Eriana membawa turun tangannya yang menutup mulutnya tadi. Gadis itu menarik napas dalam-dalam dan perlahan merasakan detak jantungnya bukannya melambat, eh ... malah semakin terpacu. Tapi, Eriana tetap mencoba untuk tidak terintimidasi oleh tatapan lurus Ratna yang tanpa kedip mengarah pada dirinya itu.

Hanya saja sepertinya takdir sedang tidak ingin melihat Eriana bisa tenang menghadapi situasi itu. Karena di saat ia mulai bisa menguasai dirinya, maka di saat itu pula Ratna memberondong dirinya dengan sederet pertanyaan.

"Sejak kapan kamu kenal Satria? Apa yang kamu lakukan sampai Satria ingin melamar kamu? Sudah berapa lama kalian berhubungan? Sejauh apa hubungan kalian? Satria benar-benar serius dengan kamu?"

Glek.

Ya Tuhan.

Eriana meneguk ludahnya.

Ratna ini ... cewek yang Satria tolak demi aku kan ya?

"Ehm ... ehm ...."

Ratna mendekat. Sensor peringatan menyala di benak Eriana. Bulu kuduknya berdiri. Tubuhnya menegang. Dan di saat itulah Eriana bersyukur bahwa ada meja yang membatasi mereka. Setidaknya ada jarak pasti yang memisahkan mereka, walau tak urung juga Ratna mencodongkan tubuh ke arah Eriana. Menguatkan dirinya, Eriana berusaha untuk tidak memundurkan tubuhnya. Lebih dari itu, ia terlihat mengangkat sedikit dagunya.

"Saya kenal Pak Satria sekitar tiga bulan yang lalu. Saya melakukan semua yang Pak Satria suruh. Kami berhubungan sekitar dua bulan ini. Hubungan kami sudah sejauh persiapan lamaran. Dan kalau melihat itu, sepertinya Pak Satria memang serius dengan saya."

Ratna menyipitkan matanya. "Kamu pasti mengincar uang Satria kan?"

Tenang, Eriana menggeleng. "Nggak."

Yang aku incar itu bokongnya.

Ups!

Tapi, tentu saja ucapan yang itu hanya menggema di benaknya saja. Setidaknya Eriana masih memiliki sedikit kewarasan di benaknya.

Tenang saja.

"Huh!" Ratna mendengkus. "Memangnya aku percaya dengan omongan kamu? Semua wanita pasti mengincar harta Satria."

"Apa Ibu sedang membicarakan diri Ibu sendiri?"

Mata Ratna melotot. "Kamu ...."

"Maaf, Ibu," kata Eriana kemudian. "Kalau urusan Ibu dan Pak Satria sudah beres, saya pun ingin melanjutkan pekerjaan saya yang lainnya. Kalau Ibu masih ingin tinggal di sini, Ibu bisa duduk di sofa tamu yang tersedia."

Eriana meyakinkan kata-katanya dengan menunjuk satu set tamu yang tersedia tak jauh dari meja sekretarisnya. Namun, Ratna tentu saja tidak melihat ke arah yang Eriana tunjuk.

"Jangan pikir aku akan melepaskan Satria untuk kamu. Sampai kapan pun Satria hanya akan menikahi aku."

Eriana tersenyum. "Itu sepenuhnya hak beliau, Bu. Maaf, tapi saya ingin melanjutkan pekerjaan saya, Bu."

Ratna melihat bagaimana Eriana yang kemudian bergerak. Tampak akan kembali duduk di kursinya. Tapi, melihat sikap Eriana yang terlihat tenang dan seolah tak memedulikan dirinya, sontak saja membuat Ratna merasa panas.

Gimana bisa ini cewek kayak yang ngerasa biasa-biasa aja?

Bahkan keliatan tenang gitu?

Nggak bisa dimaafkan!

Maka Ratna pun mengulurkan tangannya. Meraih tangan Eriana dan mencegah gadis itu untuk duduk. Alih-alih ia justru menarik agar tubuh Eriana mencondong pada dirinya.

"Kamu pikir kamu siapa?" dengus Ratna. "Kamu berani merebut sesuatu yang ditakdirkan untuk menjadi milik aku? Mana sikap kamu kayak yang biasa aja. Udah sering ya jadi pelakor?"

Eriana syok. Melihat percikan-percikan api kemarahan di mata Ratna yang tampak bersiap akan meledak menjadi kobaran dalam waktu dekat. Mau tak mau hal itu membuat jantung Eriana berdebar parah.

Ya ampun.

Harusnya aku tau ini risiko yang bakal aku dapatkan kalau sampe dicintai sama cowok semacam Satria.

Eriana lantas menarik napas dalam-dalam. Sejenak menahan udara itu di dadanya sebelum pada akhirnya mengembuskannya dengan amat perlahan. Setidaknya hal tersebut bisa menenangkan dirinya. Persis yang dikatakan oleh Aldi beberapa malam yang lalu, saat mengajari dirinya.

"Tahan napas beberapa saat, tapi jangan sampe memperlihatkan dada kamu yang mengempis."

"Oke .... Oke ...."

"Bener."

"Gimana? Terasa berbeda kan debar jantung kamu?"

Ya kenapa juga aku harus ingat kelas aku di situasi kayak gini sih?

Tapi, setidaknya dengan melakukan itu, Eriana memang merasakan dirinya yang lebih tenang. Dan hukumnya, ketika seseorang tenang maka pikirannya pun menjadi jernih. Jadi jangan heran kalau sedetik kemudian Eriana berkata seperti ini.

"Saya nggak merebut suami orang kok. Jadi saya nggak bisa disebut pelakor. Dan lagipula, tanpa saya ngerebut ... bukannya Pak Satria memang nggak mau dengan Ibu ya?"

Pertanyaan Eriana seketika membuat wajah Ratna memerah. Lebih dari itu, Eriana pun langsung beralih pada tangan Ratna yang menggenggam pergelangan tangannya. Getaran tubuh Ratna sampai menggetarkan tangannya pula.

Mata Eriana membesar dalam antisipasi.

Kok kamu kadang jujur yang kayak nggak kenal situasi dan kondisi sih, Ri?

Kepintaran kamu menganalisa nggak perlu ditunjukkan kalau keadaannya kayak gini.

"Kamu ... berani sama aku?"

Glek.

Suara Ratna terdengar rendah dan penuh dengan irama penekanan. Hal yang meyakinkan Eriana bahwa pertanyaannya tadi benar-benar sudah menyulut percikan api terakhir yang menyala di dada Ratna. Sekarang ... api itu sudah berkobar. Lihat saja. Eriana bahkan bisa melihat warna merah menyala di sepasang bola mata Ratna yang semula terlihat putih.

Eriana membeku. Menghadapi kemarahan wanita yang cemburu tanpa pikiran yang jernih membuat ia ketakutan.

Cewek kalau udah ilang akal, tukang begal aja bisa dilawan. Apalagi cewek lemah gemulai kayak aku coba?

"Bu-bukannya saya berani. Tapi ...."

"Kalau emang kamu nggak berani, tinggalkan Satria!"

Eriana terdiam. Dan untuk beberapa saat hanya ada keheningan di saat matanya dan mata Ratna saling beradu. Tanpa kedip. Seakan mereka sedang berlomba tahan tak berkedip dan siapa yang berkedip duluan akan kalah.

"Meninggalkan Pak Satria ...?" tanya Eriana kemudian dengan suara lirih. Terlalu lirih seperti ia sedang bertanya pada dirinya sendiri. "Ibu pasti nggak tau kan gimana sakitnya ditinggal sama orang yang kita sayang?"

Bola mata Ratna bergerak-gerak dalam tatapannya pada Eriana.

"Sakit banget, Bu. Dan saya nggak mungkin ngebiarin Pak Satria merana sepanjang malam gara-gara saya tinggalin."

"Kamu ...."

"Ibu nggak tau kan gimana ternyata Pak Satria selama ini suka sama saya?" tanya Eriana kemudian. "Dia udah mendam perasaan sama saya dan saya nggak kebayang kalau saya harus meninggalkan dia. Dia pasti depresi. Tertekan."

Sepertinya kata-kata Eriana sukses memicu penyakit asma yang sebenarnya tidak diderita oleh Ratna. Wanita muda itu terlihat membuka mulutnya. Tampak akan bicara, namun yang ada justru berusaha untuk menghirup udara.

Ratna syok.

Ia mendengkus mencemooh.

"Kamu pede sekali ya jadi orang?" ejek Ratna. "Kamu pikir kamu secantik itu sampe bisa ngebuat Satria depresi? Iya? Ngaca jadi cewek?!"

Eriana mengatupkan mulutnya. Merasa kalau ia sudah cukup memberikan waktu untuk bersabar menghadapi Ratna. Dan lalu kata-katanya menyembur tanpa sensor.

"Ya tentu saja saya cantik. Orang buktinya Pak Satria udah mau ngajak saya check in. Dan Ibu tau? Ajakan itu saya tolak. Kurang bukti apa coba? Nggak percaya? Noh tanya aja sama calon mertua saya. Bu Mega. Ah! Sama Tante Dewi juga tanyain. Yang perlu ngaca itu Ibu. Orang jelas-jelas ditolak eh masih juga ngebet. Nggak malu atau nggak punya kemaluan heh?"

Sudah tak terkira lagi bagaimana wajah Ratna berubah menjadi merah. Dan mungkin wajah itu akan semakin merah karena Eriana lanjut berkata.

"Dan sekarang ibu juga ngeliat kan? Ibu diterima ketemu sama Pak Satria itu bentar banget. Dan apa Ibu tau? Tadi Pak Satria pesan ke saya. Katanya gini. Eri, jangan buat air minum." Eriana mengembuskan napasnya. "Bahkan Pak Satria aja nggak mau ngobrol lama-lama sama Ibu. Dan Ibu nggak ngaca un---"

"Plaaakkk!!!"

"Auuu!"

Sontak saja Eriana berseru sakit dan menarik tangannya untuk melepas dari genggaman tangan Ratna. Langsung membekap pipinya yang terasa panas akibat tamparan itu.

Eriana seketika merasakan tubuhnya seperti merasa kaku. Kali ini ia bisa menyadari bahwa Ratna telah berada di ambang kemarahannya. Wajah cantik Ratna terlihat mengelam dan basah karena keringat.

"Kamu wanita rendahan berani-beraninya ngomongin aku kayak gitu?!"

"Ibu ..., saya---"

"Kamu emang perlu aku beri pelajaran!"

Mata Eriana melotot. Pada tangannya yang kembali dicengkeram oleh Ratna sementara satu tangan lainnya tampak terangkat di udara.

"Ibu ...."

Eriana melihat bagaimana tangan itu kembali terayun. Dalam hitungan detik yang cepat, Eriana sudah mengambil keputusannya. Akan menangkap tamparan itu dan tak peduli kalau harus terlibat dengan kekacauan selanjutnya.

Toh aku cuma membela diri.

Tapi, tepat ketika tamparan itu akan menghampiri pipi Eriana dan tepat ketika Eriana bersiap untuk melindungi dirinya sendiri, tepat pula di saat itu satu suara berat terdengar seiring dengan tertahannya tangan Ratna di udara.

"Kamu ngapain Eri?"

Semua membeku. Antara Eriana yang baru saja selamat dari tamparan kedua dan Ratna yang menyadari tamparannya telah dihentikan. Dan semua itu karena satu orang. Membuat kedua wanita itu sama-sama kompak menoleh pada sumber suara.

"Satria ...."

"Bapak ...."

Mata Satria melotot pada Ratna. Meremas tangan Ratna di genggamannya dengan erat. Kuat sekali hingga membuat wanita itu terlihat meringis.

"Satria ...."

Satria tak berkedip. "Lepaskan tangan Eri."

Lantas, Eriana pun langsung merasakan tangannya lepas dari genggaman Ratna. Dan sedetik selanjutnya Eriana melihat bagaimana Satria membuang tangan Ratna. Membuat wanita itu spontan mengusap tangannya yang baru saja ditahan Satria. Tampak memerah.

Ratna memucat. "Satria ..., ini ...."

"Kamu belum mau pergi dari sini?" tanya Satria dingin. "Masih ingin membuat kekacauan di sini?"

Ratna meneguk ludahnya. Dan hal yang serupa pun terjadi pada Eriana. Walau jelas saat itu bukan dirinya yang sedang dimarahi oleh Satria, tapi Eriana sendiri merasa ketakutan.

"Eriana itu selain sekretaris aku, dia juga wanita yang dilamar langsung oleh Mama. Dan kamu berani nampar dia?"

Mata Ratna terlihat berlinang. Kepalanya menggeleng dengan samar. "A-a-aku ...."

Sementara itu, Eriana meremas kedua tangannya. Harusnya ia senang mendengar pembelaan Satria, tapi entah mengapa yang terjadi justru sebaliknya. Antara takut, ngeri, dan ada hal lain yang tidak ingin ia akui.

Selain itu, Eriana juga menyadari bahwa ia tak pernah melihat Satria marah seperti itu. Yang sering ia dapati adalah.

"Kalau kita sudah melewati tempat tinggal kamu, kenapa kamu nggak ngomong dari tadi?!"

"Please, Ri. Selain masalah pekerjaan, kamu jangan mikir apa-apa deh."

"Yang mau buang mobil siapa?!"

Selama ini tak jarang Satria membentak dirinya. Tapi, melihat situasi saat itu ... entah mengapa Eriana merasakan bahwa bentakan Satria tidak menakutkan dibandingkan dengan suara rendah penuh penekanan milik pria itu. Seperti ada ancaman yang tersirat dari suaranya yang seperti itu.

Dan mungkin hal itu juga yang dirasakan oleh Ratna. Karena jelas, wanita itu terlihat seperti tak mampu untuk bicara lagi untuk beberapa saat.

"Aku bakal menikahi Eri dan kamu harus berusaha untuk menghormati dia."

Linangan di mata Ratna terlihat semakin dalam. Bibirnya bergetar. "Nggak mungkin kamu cinta dia, Sat .... Nggak mungkin ...."

"Apa pun perasaan aku untuk dia, itu urusan kami. Bukan urusan orang luar." Satria menatap Ratna lurus dengan penuh makna. "Kamu mau pergi sendiri atau perlu aku panggil satpam?"

Setetes air mata jatuh di pipi Ratna. Melemparkan tatapan kemarahannya yang terakhir pada Eriana, pada akhirnya Ratna memutuskan pilihannya. Ia segera berlalu dari sana. Setengah berlari pergi secepat mungkin seraya menahan desakan air matanya.

Untuk beberapa saat, sepeninggal Ratna hanya ada keheningan di sana. Hingga semenit kemudian, Satria beralih. Pada Eriana yang berdiri kaku. Tak menatap pada Satria, melainkan menundukkan pandangannya. Namun, tak urung juga Satria mampu melihat warna merah yang membekas di pipi gadis itu.

"Eri ...."

Suara Satria terdengar serak ketika menyebut nama gadis itu. Dan Eriana sontak mengangkat wajahnya. Ada samar air mata di kelopak matanya.

"Terima kasih, Pak, untuk bantuannya. Saya permisi minum dulu."

Eriana mengangguk sekilas sebagai tanda permisinya. Lalu bergegas menuju ke pantry. Dengan tangan bergetar ia meraih gelas dan menuang air dingin dari dalam kulkas. Meneguknya dengan terburu hingga membuat mulutnya belepotan karena air itu.

"Nggak mungkin kamu cinta dia, Sat."

Ucapan Ratna mengiang di benak Eriana. Lantas Eriana menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

"Aku tau dia nggak mungkin cinta aku. Mana ada cowok di dunia ini yang bisa cinta aku? Nggak bakal ada. Nggak bakal ada cowok yang mau cinta kamu, Ri. Apalagi cowok seperti dia."

Eriana merasa lututnya lemas. Maka tak heran bila pada akhirnya ia terduduk di lantai.

"Tapi, kalau dengan menikah dengan dia bisa membuat martabat keluarga aku naik ... aku rela ngebuat diri aku gila dengan nganggap dia cinta aku. Aku bakal nganggap kalau dia memang cinta aku. Aku bakal nganggap kalau dia memang nyimpan perasaan ke aku."

Dari kedua tangan itu, air mata Eriana merembes. Teringat pada perkataan Satria.

"Eriana itu selain sekretaris aku, dia juga wanita yang dilamar langsung oleh Mama."

Dan air mata Eriana semakin membanjir beserta dengan isakannya. Di saat itu, ia merasa dadanya terasa sesak.

"Aku tau dia ngebela aku cuma karena Mama dia. Aku tau. Tapi, nggak apa-apa. Asal menikah dengan dia bisa ngebuat kehidupan keluarga aku lebih layak, aku rela dianggap nggak waras." Eriana berusaha menahan, tapi sesegukan itu tak mampu ia kekang. "Aku sudah biasa hidup berpura-pura."

Dan bahu itu yang tadi tampak tegap seketika jatuh. Berikut dengan dagunya yang tadi terangkat, pun jatuh pula. Membuat ia semakin meringkuk terduduk di lantai itu. Hingga beberapa saat kemudian, terdengar derap langkah yang mendekat.

Eriana membeku. Derap langkah itu sontak membuat ia menahan air matanya. Tubuhnya menegang. Bahkan tanpa melihat ia bisa merasakan adanya kehadiran seseorang. Hal yang seketika membuat Eriana berusaha menghentikan sesegukan tangisnya.

Memalukan, pikirnya.

Eriana tak perlu menebak siapa adanya yang datang ke sana. Tak ada orang lain yang berada di lantai itu. Pantry itu pun pantry khusus yang diperuntukkan bagi sekretaris Satria untuk melayani keperluan pria itu.

Itu pasti dia.

Eriana merutuk. Dipergoki dalam keadaan seperti itu bukanlah hal yang ia inginkan. Dan selagi Eriana berpikir untuk menyelamatkan diri dari kejadian memalukan itu, ia lantas merasakan kedua tangannya dituntun untuk lepas dari wajahnya sendiri.

Eriana memalingkan wajahnya. Ia tak ingin terlihat seperti itu di hadapan orang lain. Terutama Satria.

Tapi, yang terjadi selanjutnya justru Satria meraih dagunya. Mau tak mau membuat Eriana membiarkan tatapannya beradu dengan Satria pada akhirnya.

Wajah itu basah, mata itu berkaca-kaca, dan Eriana tak bicara.

Aku pasti memalukan banget.

Tapi, pikiran itu sontak buyar dari benak Eriana ketika di detik selanjutnya ia justru mendengar suara Satria yang terdengar lembut bertanya.

"Pipi kamu pasti sakit ya?"

Eriana mengerjapkan matanya. Bingung dan melongo. Tapi, belum terlalu melongo sampai ia merasakan bagaimana tangan Satria membelai pipinya yang tadi kena tamparan itu. Lalu bergerak mengusap aliran air matanya di sana.

Eriana memejamkan matanya.

Apa secepat ini Tuhan mengabulkan doa aku untuk jadi gila tadi?

Astaga!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top