20. Tanpa Antisipasi
"Eri .... Kamu serius, Nak?"
Eriana tidak heran sama sekali kalau itu adalah pertanyaan yang akan dilontarkan oleh ibunya ketika pagi itu selagi menunggu kedatangan Satria di pelataran kantor ia memutuskan untuk menghubungi ibunya. Dalam rangka untuk memberitahukan bahwa Sabtu malam akan ada seorang pria dengan keluarganya yang akan datang ke rumah mereka. Bermaksud untuk melamar dirinya.
"Ya ampun, Bu. Aku berani sumpah. Dan kalau aku sampe berani bohong untuk hal sepenting ini, aku rela Ibu kutuk jadi remahan dedak padi buat makan bebek."
"Ka ... mu serius?"
Eriana kembali mengangguk. "Aku serius banget, Bu."
"Tapi, ini kok mendadak banget."
Bola mata Eriana berputar sekilas. "Kan tempo hari aku udah ngomong ke Ibu. Tapi, Ibu nggak percaya."
"Ya gimana Ibu mau percaya kalau Ibu belum pernah ketemu sama cowok ini. Dan bahkan kamu juga belum lama kenal dengan dia. Yakin dia serius mau nikahi kamu?"
Eriana geleng-geleng kepala. Ujung jari telunjuknya mengusap pelipisnya. "Bu, coba deh aku tanyain." Ia menarik napas dalam-dalam sekali sebelum lanjut bicara. "Mana yang lebih serius? Kenal berapa bulan dan langsung melamar atau pacaran bertahun-tahun terus diputusin?"
"Aaah ...."
Lirihan di seberang sana membuat Eriana refleks menyipitkan matanya. "Jelas kan, Bu, mana yang serius?"
"Ya, tapi ...."
Lantas mata Eriana menangkap bayang mobil yang ia tunggu sedari tadi masuk melewati portal pintu masuk.
"Percaya aku, Bu. Kali ini aku serius banget."
Mobil yang membawa Satria tampak semakin mendekat hingga Eriana pun terpaksa harus memutuskan panggilan tersebut.
"Ehm ... ntar aku telepon lagi ya, Bu. Ini Bos sekaligus calon mantu Ibu udah mau sampe."
"Eh ...."
"Dadah, Bu."
Eriana memutuskan panggilan itu dan segera memasukkan ponsel itu ke dalam saku jasnya dengan cepat. Sedetik kemudian ia telah memasang mode sekretaris siap menunggu atasannya.
Eriana menyambut tas kerja Satria, lalu mulai melangkahkan kaki di depan Satria. Sekarang Eriana sudah menebalkan wajah untuk berjalan di depan sementara Satria di belakang dirinya. Tak peduli dengan tatapan aneh orang-orang di sana. Lagipula itu kan memang perintah Satria.
Sekitar setengah jam kemudian, keduanya sudah berada di dalam ruang Rapat Utama Aksa Bhumi. Sementara Satria duduk, Eriana justru berdiri tak jauh dari sana. Dan selama rapat berlangsung, Eriana memerhatikan dengan saksama. Antara merekam informasi rapat di kepalanya dan menulisnya di buku catatan, serta sigap memberikan informasi tambahan pada Satria.
"Rincian pembangunan dan proposalnya ada di sini, Pak."
Eriana membuka satu map bewarna hijau muda dan menunjukkan dokumen di dalam sana.
"Hasil studi tanah menunjukkan kemiringan lahan terlalu curam. Tim survey perusahaan memberi masukan untuk mengubah sedikit desain bangunan."
Satria membiarkan Eriana membuka dokumen tersebut. Langsung melompat pada bagian Lampiran di mana ada gambar desain bangunan berlantai lima itu. Bangunan yang rencananya akan menjadi tempat pusat perbelanjaan baru.
"Ini opsi lain untuk desainnya, Pak."
Eriana meraih satu map lainnya. Membukanya dan menunjukkan gambar desain lainnya.
"Jadi untuk tanah yang miring memang perlu ditimbun, namun demi menjaga keamanannya beberapa titik bangunan harus diubah. Khawatir pergeseran dan beban ke depan akan membuat gerusan yang membahayakan, Pak."
Satria memerhatikan ketika Eriana menunjuk beberapa titik pada kedua gambar desain tersebut.
"Bagaimana dengan tim pembangunan? Desainnya apa sesuai?"
Eriana mengangguk. "Departemen Pembangunan sudah melakukan rapat internal departemen. Karena prioritas pertama perusahaan adalah keamanan dan kenyamanan, maka saat ini tim pembangunan sedang berusaha untuk merevisi desain sesuai dengan masukan tim survey. Namun, sepertinya mereka butuh sedikit waktu untuk memenuhi aspek kenyamanan. Bagaimanapun juga, dua pilar yang harus dipindahkan mempengaruhi penampilan bangunan secara keseluruhan."
Satria mengangkat wajahnya. Beralih pada seorang pria yang duduk terpisah satu kursi dari kursinya.
"Kapan rencananya desain baru akan masuk, Pak Wanto?"
Pria paruh baya yang mendapat pertanyaan itu terlihat mengerjap sekali. Baru kemudian menjawab.
"Beberapa desain baru sudah masuk dari tim pembangunan, Pak. Saat ini kami sedang menyeleksinya. Nanti hasil rapat internal akan saya laporkan."
Satria melirik pada Eriana yang sudah menegapkan kembali punggungnya. "Segera beritahu saya nanti hasilnya."
"Siap, Pak."
Sekitar lima belas menit kemudian, rapat pun berakhir. Merapikan beberapa map dengan sigap, Eriana lantas keluar dari ruangan itu bersama dengan Satria. Tampak percaya diri membawa setumpuk map di salah satu tangannya, berjalan di depan Satria dengan langkah yang teratur. Dan selagi mengiringi Eriana dari belakang, Satria tanpa sadar mengerutkan dahi.
"Ini, Pak, yang jadi pertimbangan tim survey. Di titik ini."
"Sampai harus mengubah desain?"
"Karena satu pilar ini tepat berdiri di lahan yang curam. Dan pilar ini berhubungan dengan pilar lainnya sebagai pondasi. Menggeser pilar pertama mau tak mau akan mengganggu keseimbangan berat bangunan, Pak. Tinggi pilar, diameter pilar, dan beban yang akan ditahan bisa berpengaruh terhadap jangka panjang. Sederhananya pilar sebagai pondasi harus berdiri di lahan yang kokoh."
Diskusi singkat dan sebenarnya beberapa hal lain menjadi berkelebat di benaknya. Membuat satu tanda tanya besar di kepala Satria.
Apa jangan-jangan karena terlalu memerhatikan pekerjaan, makanya otaknya sedikit bermasalah kalau dipakai untuk berpikir hal lainnya?
Satria mengembuskan napas panjangnya.
Kalau melihat keseharian dia dalam bekerja, siapa yang nyangka otaknya sering salah paham untuk urusan lainnya?
Berusaha mengabaikan hal itu, Satria menggelengkan kepalanya sekali. Mungkin ia pikir dengan cara itu maka pertanyaan aneh yang muncul di benaknya bisa pergi. Tapi, yang terjadi adalah lebih menakutkan lagi. Itu karena sedetik kemudian matanya justru terfokus pada goyangan bokong Eriana.
Kenapa malah jadi tambah parah?
Buru-buru, pada akhirnya Satria memutuskan untuk mempercepat langkah kakinya. Mendahului Eriana dan tanpa basa-basi langsung menuju ke ruangannya secepat kilat. Karena bagaimanapun juga pria itu tak ingin Eriana sempat melihat bokongnya.
Cukup aku aja yang ngeliat bokong dia. Jangan sampe dia yang ngeliatin punya aku.
Mata Satria mengerjap sekali.
Eh?
Namun, yang tak diantisipasi oleh Satria adalah betapa cepatnya sensor retina mata Eriana ketika menangkap sinyal bahwa Satria berjalan di depannya. Memang hanya beberapa detik karena pada akhirnya pria itu masuk ke dalam ruangannya dan segera menutup pintu. Tapi, bukan berarti pemandangan itu luput dari mata Eriana. Buktinya adalah gadis itu lantas menggumam pelan.
"Ehm .... Syarat untuk selalu waras itu memang cuma satu. Nikmati bokong dia setelah berpikir menguras otak."
Ia tersenyum.
"Aku harus tetap waras soalnya. Hehehehe."
*
Siang harinya, Eriana baru saja kembali dari kafetaria kantor ketika ia mendapati ada seorang wanita cantik menuju ke meja sekretarisnya. Maka dengan bergegas Eriana pun mempercepat langkah kakinya. Dan pada detik yang tepat, ia berhasil tiba bertepatan dengan wanita tersebut.
"Selamat siang, Bu."
Eriana menyapa dengan sopan seraya langsung mengambil tempat di balik meja sekretarisnya. Matanya dengan cepat mengamati penampilan wanita muda itu. Tinggi semampai, rambut yang tampak lembut bergelombang, dan wajah cantik yang dipulas oleh dandanan elegan. Terlihat begitu berkelas.
"Ada yang bisa saya bantu?"
Wanita itu terlihat terkejut sekilas mendapati kehadiran Eriana yang tiba-tiba. Lantas ia tampak menenangkan diri dengan menghirup napas dalam-dalam. Kemudian ia pun mengutarakan maksud kedatangannya.
"Aku ingin ketemu sama Satria. Dia ada?"
Respon pertama yang Eriana tangkap dari wanita itu adalah ia pasti mengenal Satria secara pribadi. Hal yang mudah diamati karena wanita itu memanggil Satria tanpa ada embel-embel Bapak seperti biasanya. Bahkan terkesan tak formal ketika menyampaikan tujuannya datang siang itu.
Eriana tersenyum. "Maaf sebelumnya. Sepertinya Pak Satria hari ini tidak ada janji temu dengan siapa pun. Ibu ada keperluan apa?"
Satu tangan wanita itu mengibas di depan wajah. "Aku datang bukan untuk urusan kantor, melainkan untuk urusan pribadi."
"Apalagi karena Ibu datang membawa urusan pribadi. Anda datang di jam kantor, bukan di jam pribadi."
Mata wanita itu seketika melotot.
"Maka saya hanya berusaha untuk menjalankan prosedur kantor sebagaimana mestinya."
Dengkusan kasar wanita itu terdengar begitu nyata di telinga Eriana, namun sekretaris yang memilih untuk mengenakan stelan bewarna oranye pastel di hari itu tetap berusaha untuk tersenyum ramah.
Wanita itu tampak menarik kursi yang tersedia di meja Eriana. Duduk dengan wajah yang tampak kesal. Seraya memutar sekali bola matanya dengan ekspresi malas, ia berkata.
"Bilang ke Satria kalau Ratna datang nyari dia."
Eriana mengangguk. "Baik, Bu. Silakan ditunggu sebentar."
Mengabaikan kibasan tangan Ratna yang berulang kali bergerak di depan wajahnya, Eriana pun beranjak dari tempatnya. Menuju ke ruangan Satria. Dengan sopan mengetuk pintunya dan lantas masuk.
"Pak, maaf mengganggu waktunya. Tapi, di depan ada seorang wanita yang ingin menemui Bapak."
Satria menuntaskan untuk membubuhkan tanda tangan terakhirnya di satu dokumen terlebih dahulu sebelum mengangkat wajah pada Eriana.
"Seingat saya, hari ini tidak ada janji temu."
Eriana meneguk ludahnya. Walau bagaimanapun juga, otak gadis itu bisa membedakan jelas ada perbedaan urusan kantor dan pribadi.
Jangankan cewek bernama Ratna itu. Orang aku dan dia aja kalau di kantor sama-sama nyadar diri untuk saling jaga sikap.
"Memang, Pak. Saya sudah mengatakan hal yang serupa. Namun, Bu Ratna sepertinya memang ingin bertemu dengan Bapak."
Dahi Satria seketika mengerut. "Siapa tadi kamu bilang?" tanya Satria. "Ratna?"
Kepala Eriana mengangguk sekali. "Iya, Pak. Bagaimana? Apa saya suruh beliau untuk masuk? Atau saya suruh beliau untuk pergi?"
"Ck."
Satria terdengar berdecak sekilas. Dan di mata Eriana, saat itu ekspresi Satria yang tadi tampak datar seketika saja berubah menjadi terlihat kesal.
"Suruh dia masuk."
Eriana mengangguk. "Baik, Pak," katanya seraya hendak beranjak dari sana. Tapi, suara Satria menahan dirinya.
"Eri."
"Ya?"
Satria mengangkat satu jari tangannya. "Nggak usah buat minum."
"Oh ...." Eriana mengerjap. Tapi, kemudian ia mengangguk paham. "Baik, Pak."
Eriana keluar dan mendapati Ratna langsung berdiri dari kursinya. Melirik pada Eriana dan langsung bertanya dengan nada penuh rasa percaya diri.
"Gimana? Satria mau kan ketemu sama aku?"
Eriana mengangguk. "Iya, Bu. Pak Satria sudah menunggu di dalam."
"Oke. Dan oh ...." Ratna mengangkat satu jari telunjuknya. "Buatkan aku teh tanpa gula. Jangan terlalu panas, tapi jangan terlalu dingin juga."
Mata Eriana mengerjap. Ingin mengatakan sesuatu, namun Ratna sudah keburu beranjak dan masuk ke ruangan Satria. Dan ditinggalkan seperti itu, Eriana menjadi bingung sendiri.
"Tadi Satria ngomong nggak usah buat minum. Eh ... si Mbak ini malah minta teh."
Eriana yang masih berdiri di dekat mejanya mengedip-ngedipkan mata dalam upaya untuk berpikir. Namun, sejurus kemudian ia justru berkata pada dirinya sendiri.
"Yang ngegaji aku bukan itu cewek." Maka Eriana pun terkekeh pelan. Walau untuk sejurus kemudian kekehan itu berhenti dan Eriana mengerutkan dahi. "Ngomong-ngomong ... kok aku berasa kayak familiar ya dengan nama Ratna?"
Eriana berpikir, namun ia merasa tak yakin.
"Apa kemaren Intan ada ngomongi soal Galih dan Ratna?"
Eriana geleng-geleng kepala. Dan karena merasa pusing sendiri lantaran memikirkan hal tersebut, ia pun memilih beranjak kembali untuk duduk di kursinya. Namun, di saat itu Eriana justru mendapati bahwa pintu Satria terbuka dengan kasar. Bahkan gadis itu nyaris belum benar-benar duduk saat mendapati Ratna yang telah keluar dari ruangan Satria.
Wah!
Apa karena ini makanya Satria nggak nyuruh aku buat minum?
Ehm ....
Pertemuan yang singkat sekali.
Eriana bangkit berdiri. Membawa kedua tangannya untuk menutup di depan tubuh dan memulas senyum. Berniat untuk menyapa kembali Ratna, namun Eriana justru kaget ketika wanita itu mendekati dirinya dengan satu hardikan.
"Kamu yang namanya Eriana?!"
Mata Eriana sontak saja membesar. Kaget dan panik secara bersamaan. Tapi, tak urung juga mulutnya bicara.
"Iya, Bu. Saya Eriana. Ada a---"
"Oh, jadi kamu cewek yang ngejar-ngejar Satria itu?"
What?!
Eriana melongo.
"Mak-maksudnya?"
Ratna mendengkus. "Kamu nggak tau aku siapa?"
Pertanyaan itu membuat Eriana terdiam.
Baru aja tadi aku ngerasa kayak yang familiar sama nama dia. Eh ... sekarang malah langsung ditanya sama orangnya lagi.
Tapi, emangnya dia siapa ya?
Butuh waktu beberapa detik, lantas entah mengapa pada akhirnya otak Eriana seperti bisa kembali berpikir. Mengingat percakapan yang terjadi hampir sebulan yang lewat. Ketika malam itu terjadi tragedi antara ia dan Satria di pesta amal.
"Mama nggak akan memaksa kamu lagi untuk menikahi Ratna. Bagaimanapun dari awal kamu memang sudah menolak gadis itu. Dan ternyata alasannya adalah Eriana."
Suara Mega menggema.
Dan Eriana sontak membawa satu tangan untuk menutup mulutnya sendiri yang spontan menganga lebar.
Ratna menyeringai sadis. "Sepertinya kamu udah tau siapa aku."
Di saat itulah sesuat berkelabat di benak Eriana.
Gila!
Jangan bilang aku mau dihajar sama ini cewek.
Ya kali kan?
Tadi itu aku makan siang cuma sama nasi goreng telor ceplok. Itupun nasi goreng versi ekonomis akhir bulan.
Mana sanggup buat nandingi tenaga cewek yang khilaf karena cemburu.
Eriana meneguk ludahnya.
Mampuslah aku!
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top