17. Satu Tahap

Kepala Satria pusing. Rasanya seperti ada gunung Merapi yang sedang meletus dan jatuh menimpa di atas kepalanya itu. Berat dan seakan ingin meledak. Dan hal itu tentu saja lantaran insiden yang harus ia alami tatkala mengantar Eriana tadi pulang. Bayangkan! Mobil mewahnya yang tak terhingga harganya itu sekarang harus memiliki kenang-kenangan berupa baretan. Hasil karya tabrakan dengan gerobak sampah yang terparkir di pinggir jalan.

Satria ingin mengumpat.

Menyalahkan orang yang meletakkan gerobak itu pinggir jalan. Pun pada Eriana yang selalu saja merusak konsentrasi otaknya. Tapi, yang paling menggeramkan pria itu adalah desakan untuk mengumpati dirinya sendiri. Menyalahkan dirinya karena semudah itu tersulut emosi.

"Menurut Bapak gimana kalau saya manggil Bapak dengan panggilan sayang?"

Dada Satria terasa panas ketika suara itu mengiang di benaknya. Dan sebagai pemeriah suasana, mendadak saja ia meremang. Seperti ada embusan napas Kuntilanak yang menyapa di tekuknya.

Gimana bisa aku nggak emosi kalau dia mendadak mau manggil aku sayang?

Hah?

Sayang?

Dasar Eriana bokong peyang!

Tapi, ketika ia masuk ke kamarnya Satria justru memikirkan perkataan Eriana. Mau tak mau ia memang menyadari bagaimana ia dan Eriana yang tetap menggunakan bahasa formal. Sekalipun itu tidak berada di kantor lagi. Bahkan ketika mereka berdua di rumah Satria pun mereka tetap bicara dengan panggilan saya dan Bapak. Memikirkan hal tersebut, Satria menjadi sedikit bimbang. Entah bagaimana ceritanya, tapi mendadak saja ada satu bagian dari otaknya yang memang membenarkan perkataan Eriana.

Nahas!

Hal tersebut justru menjadi topik keesokan harinya di meja makan. Di saat mereka bertiga sedang menikmati sarapan, adalah Sigit yang memulai membicarakan hal tersebut.

"Papa tau hubungan kalian bermula dari pekerjaan. Tapi, Eriana tetap memanggil kamu Bapak selagi di luar pekerjaan, apa itu nggak berlebihan?"

Dan seakan belum cukup untuk menanyakan hal tersebut, ada lirikan mata Mega yang tertuju pada dirinya.

"Mama tau, Sat, kamu itu bagaimana. Terkesan kaku dan nggak bisa mengekspresikan perasaan. Tapi, sepertinya kamu bisa mulai sedikit melihat keadaan kamu sekarang. Apalagi mengingat kalau sebentar lagi kalian harus bertunangan bukan?"

Harus bertunangan.

Dua kata yang membuat kepala Satria semakin berat terasa. Yang mana walaupun Satria sudah bisa menduga bahwa ia dan Eriana memang harus segera melangkah dalam hubungan mereka –memangnya mereka memang memiliki hubungan?-, tapi tetap saja. Satria merasa waktu benar-benar berputar dengan begitu cepat.

"Ehm ...." Satria merasa tidak mampu untuk menelan sarapannya pagi itu. "Iya."

Ketika satu kata itu meluncur dari mulutnya, Satria merasa nyawanya sudah pergi meninggalkan badannya. Melambai-lambai terbang ke angkasa sana.

Namun, di lain pihak Sigit dan Mega justru saling senyum. Melemparkan tatapan bahagia satu sama lain. Hal yang membuat Satria bertanya-tanya.

"Ehm ... ini mendadak senyum-senyum ... ada apa ya, Ma?"

Mega meletakkan sendok dan garpunya. Melayangkan senyuman yang begitu lembut. Lantas mengucapkan perkataan yang membuat Satria merasa dunia telah berhenti berputar.

"Memangnya ada yang lebih membahagiakan untuk orang tua selain melihat putra semata wayangnya akan menikahi gadis yang ia cintai?"

*

Ini benar-benar gawat.

Bayangan wajah Mega yang tersenyum dan mata Sigit yang berbinar-binar tidak lepas dari kepala Satria. Pun ketika ia harus menghadiri rapat internal perusahaan jam sembilan pagi itu, bayangan dua orang paruh baya yang paling ia sayang tetap membayang. Hingga kemudian di saat waktu istirahat siang tiba, Satria memutuskan untuk keluar. Menikmati makan siang dengan seorang temannya. Sekaligus untuk menjernihkan pikirannya.

"Ehm .... Aku bisa mengerti perasaan Tante dan Om. Lagipula ya, kamu itu udah berumur tiga puluh empat tahun, Sat. Ya kali kan? Kamu mau nunggu sampe empat puluh tahun dulu baru nikahi itu cewek? Ehm ... siapa namanya? E ... Eri? Erina? Erika?"

Satria mengembuskan napas panjang. Entah mengapa ia sekarang meragukan kewarasan otaknya yang justru bahwa makan siang bersama dengan Andika. Menjelaskan kekalutan pikirannya pada pria itu terbukti adalah jalan pintas untuk semakin merasa gila. Karena terbukti, bukannya memberikan solusi, Andika justru terkesan mengompori dirinya.

"Namanya Eriana," ralat Satria kemudian.

Andika, seorang teman yang Satria kenal ketika menginjak bangku SMP dulu, terlihat mengusap dagunya.

"Ehm .... Eriana." Bahunya naik sekilas. "Nama yang nggak biasa."

Dan bola mata Satria berputar dramatis. "Percaya deh ke aku. Bukan cuma nama dia yang nggak biasa, tapi orangnya lebih nggak biasa lagi."

"Aku percaya," jawab Andika seraya menyeringai. "Dia pasti cewek luar biasa---"

"Tepat sekali!"

"Karena sukses membuat kamu bertekuk lutut sama dia."

"Hah?"

Andika tertawa. "Tapi, beneran deh. Aku penasaran banget sama cewek itu. Maksud aku ... ya ampun! Aku nggak tau akan ada satu masa di mana kamu bakal menikah. Itu kayak keajaiban dunia."

Mata Satria melotot. "Maksud kamu apa?"

"Hahahahaha. Kan kamu tau maksud aku gimana? Lagian ya. Emang kamu nggak risi gitu selama ini diterpa gosip yang nggak-nggak?"

Meraih telinga cangkir kopinya, Satria hanya menggeleng sekali. "Nggak ngaruh buat aku. Jadi, untuk apa aku pikirin?"

"Ya ya ya. Tipikal kamu banget," kata Andika. "Tapi, kali ini aku serius. Kapan rencana kamu dan Eriana bakal menikah?"

Pertanyaan itu seketika membuat Satria kembali meletakkan cangkir kopinya tanpa menikmati isinya terlebih dahulu. Matanya menatap pada Andika.

"Jangankan mikir buat nikah, mikir untuk tunangan sama dia aja aku udah mau sakit jiwa."

Andika menyeringai. "Rata-rata bujangan selalu ngomong kayak gitu. Semacam takut gitu. Merasa pernikahan akan membuat dunia para cowok menjadi terkekang. Tapi, nggak kok."

Ya ampun.

Lagi-lagi mata Satria memejam dengan dramatis.

"Yang ngomong aku takut siapa?"

Andika melongo. "Berarti nggak ada masalah dong?"

"Ehm ...."

Satria menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk menenangkan dirinya sejenak. Lalu, ketika ia merasa dirinya sudah lumayan tenang, ia kembali berkata.

"Ini masalahnya nggak sesederhana yang kamu bayangkan, Dik."

Satria memikirkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi kalau ia menceritakan semuanya secara gamblang pada Andika. Bahwa orang-orang salah menduga pada tragedi Eriana yang meremas bokongnya.

'Hah? Kamu ngebiarin cewek meremas bokong kamu?'

'Lemah banget jadi cowok.'

'Harusnya cowok yang meremas bokong cewek.'

'Itu baru laki!'

Astaga!

Satria mengenyahkan pikiran itu.

Lagipula di mana ia akan meletakkan harga dirinya?

Otak Satria berpikir. Berusaha mencari alasan lainnya yang aman dan masuk akal untuk dikatakan.

"Jadi, ada masalah apa sebenarnya?"

Pertanyaan Andika membuyarkan lamunan singkat Satria. Membuat pria itu mengembuskan napas panjang dan berkata.

"Masalahnya hubungan aku dan Eriana ini bukan seperti hubungan kamu dan Marsya pas nikah dulu. Nggak sama. Malah kalau mau dibilang justru beda jauh."

Andika mengerjapkan matanya sebanyak dua kali tatkala Satria membawa nama istrinya yang telah ia nikahi selama enam tahun itu. Wajahnya terlihat berubah. Dan Satria menduga temannya itu mulai serius sekarang.

"Maksudnya?" tanya Andika dengan nada bicara yang sedikit berbeda.

Lagi-lagi, Satria mengembuskan napas panjang. "Kamu dan Marsya saling cinta. Kalian bahkan sama antusiasnya untuk menikah. Sedangkan aku dan Eriana? Nggak gitu."

Andika terdiam sejenak.

"Kamu masih ragu sama dia?" tanya Andika kemudian dengan hati-hati.

"Ragu sama dia?" Satria mendengkus. "Aku justru ragu dengan diri aku sendiri kalau sampai menikahi dia."

Berbeda arah pikiran, Satria bermaksud mengatakan bahwa ia jelas-jelas meragukan kewarasan dirinya kalau sampai menikahi Eriana. Namun, Andika justru menangkap hal yang berlainan. Maka dari itu ia berkata.

"Ragu menjelang pernikahan itu wajar loh, Sat. Tapi, biar aku bilangin deh. Ragu itu lawannya cuma dengan keyakinan kedua belah pihak. Apalagi kamu cowok. Masa ragu sih? Jadi cowok harus mental baja."

Satria menepuk dahinya.

Aku butuh lebih dari mental baja kalau benar-benar menikahi Eriana.

"Lagipula ya. Bayangkan ini. Ya walau Tante dan Om nggak pernah nyinggung soal pernikahan kamu, jauh di lubuk hati mereka yang paling dalam, pasti mereka mau ngeliat kamu nikah. Kamu nggak ngeliat hebohnya mereka tiap ketemu sama Caca?"

Tak perlu mengatakan itu dua kali pada Satria, karena nyatanya ia tau hal itu dengan jelas melebihi siapa pun. Bahkan tanpa perlu Andika bumbui dengan kenyataan di mana kedua orang tuanya yang sangat antusias kalau bertemu dengan anak Andika yang telah berusia empat tahun itu. Dan yah! Satria menyadarinya.

Tapi, bukan berarti aku harus menikahi Eri kan?

Ya Tuhan.

Aku nggak kebayang kalau aku punya anak dengan Eri.

Pasti bakal ada Eri Satu, Eri Dua, Eri Tiga, dan Eri Seterusnya.

Aku beneran bisa gila!

"Lagipula kan kalau aku lihat-lihat, kamu dan Eriana ini agak beda juga. Maksud aku sama cewek-cewek yang lain itu kamu udah langsung nolak. Lihat aja Ratna. Berapa kali coba kamu nolak dia?"

Satria tak menjawab pertanyaan itu. Hingga Andika lanjut bicara.

"Sedangkan dengan Eriana ini kan nggak."

Aku bukannya nggak mau nolak, tapi udah nggak ada cara nolaknya lagi.

"Jadi," sambung Andika kemudian. "Kalau kita mau pake hitung-hitungan matematis, seperti yang sering kamu lakukan ya, ibaratnya gini." Andika memperbaiki duduknya. "Kamu ada punya cewek lain yang bisa kamu perkirakan bakal kamu nikahi beberapa tahun ke depan?"

Satria begitu lancar ketika langsung menjawab. "Nggak."

"Selanjutnya. Apa pernikahan ini bakal membahayakan posisi kamu? Apa Eriana tipe wanita yang akan membuat publik melihat kamu negatif? Apa dia tipe cewek bodoh yang akan menjatuhkan harga diri kamu?"

Dahi Satria berkerut. Pelan dan samar, tapi ia menjawab. "Ng ... gak."

"Nah!"

Andika setengah berseru hingga beberapa pengunjung restoran itu melihat ke meja mereka. Membuat Satria merasa sedikit tak nyaman. Terutama ketika Andika mengacungkan tangannya pada Satria.

"Lihat? Kalau kamu nggak rugi, itu artinya kamu untung kan?"

"Be-bentar deh, Dik. Aku tau kamu buka firma hukum, tapi ini kenapa aku berasa kayak hakim yang lagi dimanipulasi pengacara?"

"Hahahaha." Andika menyeringai. "Dari yang aku tau, Eriana ini pintar. Berarti nggak bakal mempermalukan kamu kan? Lagian ya. Bukan gampang sih nyari cewek yang bisa diajak berdebat menguras otak dengan pekerjaan kita yang berat. Apalagi kamu. Beban kamu besar. Kamu butuh cewek yang pintar."

"Kamu ... kamu ...."

"Satu hal yang penting," kata Andika dengan seringai licik di wajahnya. "Pernikahan itu selalu menguntungkan cowok. Trust me."

Dan Satria langsung mengerti ke mana arah pembicaraan Andika. Hingga ia hanya bisa mengumpat.

"Sialan!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top