16. Dalam Tahap

Hari yang kesekian, di mana Eriana kembali harus datang ke rumah besar Satria dan menjalani serangkaian pelajaran di tiga kelas pribadinya. Hal yang sebenarnya sudah bisa dianggap sebagai rutinitas bagi gadis itu mengingat sudah lebih dari seminggu ia menjalani aktifitas tersebut. Semuanya sama. Eriana tiba sekitar jam setengah enam sore. Beristirahat sejenak untuk menikmati makan malam miliknya sendiri di jam enam dan setelah setengah jam beristirahat, maka ia pun memulai kelasnya.

Kelas yang pertama adalah seni budaya bersama Bu Donda. Semula Eriana pikir ia akan belajar menarikan Tari Jaipong, tapi nyatanya ia belajar mengenai beberapa tradisi yang biasa dilakukan di keluarga tersebut.

Kelas etiket dengan Mrs. Roberts menjadi kelas yang menegangkan untuk gadis itu. Bukannya apa. Tapi, semenjak perkara dirinya yang membawa nama Reino Barack dan berujung pada tawa Satria yang meledak, wanita paruh baya itu semakin keras pada dirinya. Hiks. Menyedihkan untuk Eriana, terutama karena semenjak kejadian itu Satria tak pernah lagi mendampingi dirinya belajar.

Dan kelas ketiga adalah kelas tata krama bersama Pak Aldi. Seorang pria paruh baya yang terlihat sedikit gemulai, tapi justru keras dalam mendidik dirinya. Bahkan Eriana yang merasa dirinya sudah taat pada norma sopan santun dari kecil merasa masih saja salah di mata pria itu.

"Oke. Perhatikan lawan bicara kamu. Berikan tatapan yang lembut dan jangan terlalu sering berkedip. Yang paling penting, tersenyum."

Eriana meneguk ludahnya. Berusaha melaksanakan intruksi yang diberikan oleh Aldi. Dan saat itulah ia merasa bahwa belajar tata krama tidak semudah yang ia bayangkan di awal. Begitu banyak hal yang ia anggap sepele, tapi menjadi begitu berat ketika harus ia lakukan. Contohnya ya seperti ini. Memangnya siapa yang peduli kita harus tersenyum pada lawan bicara. Pun jumlah kedipan mata yang tidak boleh terlalu sering dilakukan.

"Senyum itu menunjukkan kalau kita menghargai lawan bicara kita. Kedipan mata yang terlalu sering terkesan seperti kita yang bosan dengan lawan bicara kita. Dan itu nggak sopan, Eri."

Kepala Eriana mengangguk sekali. Dan hal itu justru membuat mata Aldi melotot.

"Eh! Ingat apa yang kemaren sudah dipelajari?" tanya Aldi cepat. "Mengangguk itu lakukan dengan pelan dan anggun. Kurang lebih lima sentimeter saja. Dagu sampai menyentuh ke bawah itu benar-benar tidak elegan. Daripada itu, kamu bisa tersenyum sedikit lebih lebar yang dibarengi oleh anggukan samar."

Eriana mengembuskan napas panjang. Dan hal itu malah membuat Aldi semakin melotot.

"Eri. Bukankah saya sudah bilang? Mengembuskan napas panjang itu nggak sopan. Itu seperti memberikan tanda kalau kamu letih berbicara dengan lawan bicara kamu?"

Mata Eriana terpejam spontan dengan gerakan dramatis. Menyadari bahwa kewarasannya mulai goyah saat itu.

Ya ampun.

Kenapa semua jadi serba salah kayak gini sih?

"Eh?" Mata Aldi lagi-lagi melotot. "Mengerutkan dahi? Itu benar-benar tindakan yang nggak anggun. Nggak sopan dan bisa menyinggung perasaan orang. Kamu nggak boleh membiasakan itu."

Astaga.

Eriana merasa dirinya mulai meledak. Tapi, ia berusaha menenangkan diri seraya menarik napas dalam-dalam.

"Eri."

Lagi-lagi Aldi menegur dirinya.

"Menarik napas terlalu dalam itu mempengaruhi pundak kamu. Pundak kamu terlihat naik dan itu membuat pakaian kamu tertarik. Itu akan meninggalkan kerut-kerut yang akan merusak penampilan kamu."

Eriana menyerah. Kali ini memasang tampang meringis tanda bahwa dirinya sudah tak kuat. Hingga membuat Aldi benar-benar melotot.

"Eri? Kamu---"

"Pak," potong Eriana kemudian dengan nada merengek. Ia pikir dirinya benar-benar letih saat itu hingga tak mampu menahan rasa kesal yang mengancam untuk meledak saat itu juga. "Melotot pada lawan bicara itu juga nggak sopan loh. Apalagi kalau nada bicaranya tinggi. Nggak sopan sama sekali."

Dan Aldi hanya bisa menganga. Tidak bisa berkata apa-apa. Terutama ketika Eriana lanjut berkata.

"Mana ditambah mulut nganga lagi. Itu nggak sopan."

Lantas, terdengar suara tawa tertahan dari beberapa orang pelayan di ruangan tersebut. Hanya Herman yang mendehem. Walau jelas, wajahnya terlihat memerah pula. Sama merahnya dengan wajah Aldi.

*

Eriana mengembuskan napas panjang. Bersandar pada punggung kursi dan meraih segelas air dingin yang diberikan oleh seorang pelayan pada dirinya. Dan selagi Eriana meneguk air itu dengan begitu lahap, pelayan tersebut mengambil tempat di belakangnya.

"Mau saya pijit, Nona?"

Eriana meletakkan kembali gelas yang telah kosong itu ke meja sebelum melirik ke belakang melalui pundaknya. Memasang wajah cemberut pada pelayan tersebut.

"Lina! Kayaknya cuma kamu yang baik sama aku di sini."

Sang pelayan yang bernama Lina itu melongo kaget. Tak percaya dengan respon Eriana yang meledak tiba-tiba tanpa peringatan sama sekali.

"Eh? Nona."

Mengabaikan rasa kaget Lina, Eriana mendadak saja bangkit dan menghambur memeluk pelayan tersebut. Sontak saja membuat rasa kaget Lina semakin menjadi-jadi. Dan tak hanya rasa kaget sebenarnya. Rasa takut pun mendadak muncul. Gadis pelayan itu serta merta melihat ke sekeliling ruangan tersebut. Memang tak ada orang lain, tapi bukan berarti orang tidak bisa muncul tiba-tiba.

"Nona, tolong lepaskan saya. Nanti kalau ada yang melihat, saya bisa dapat masalah."

Perkataan Lina seketika membuat Eriana tercengang. Namun, tak urung juga pelukan itu terurai.

"Bahkan meluk kamu pun bisa jadi masalah?"

Lina mengangkat satu jari telunjuknya ke depan bibir. "Jangan bicara seperti itu, Nona. Kita kan jelas berbeda. Nona itu Nona Muda kami. Mana boleh saya memeluk Nona sembarangan."

"Nona Muda ...."

Eriana melirihkan dua kata itu seraya menarik lepas kedua tangannya dari tubuh Lina. Pelan-pelan, ia beranjak. Meraih sehelai saputangan yang telah disediakan khusus untuk mengelap keringatnya yang muncul selama mengikuti kelasnya tadi. Dan dengan benda itu pula Eriana mengusap setitik keringat di dahinya.

"Ngomong-ngomong soal Nona Muda," sambung Eriana, "entah kenapa aku ngerasa semua yang aku lakukan ini bukan kayak yang mau jadi Nona Muda, tapi lebih seperti Putri Raja abad pertengahan."

Lina mengulum senyum. Membuka satu kipas lipat di tangannya dan mengipasi Eriana dengan pelan. Walau di ruangan itu sebenarnya sudah memiliki pendingin suhu, tapi melihat keringat Eriana yang tak berhenti mengucur membuat Lina berinisiatif untuk memberikan angin sejuk tambahan pada gadis itu.

"Jadi Putri Raja juga bagus kan, Non? Saya sering nonton film dan Putri Raja pasti bertemu dengan Pangeran Tampan."

Sesederhana itu pikiran Eriana. Ketika ia mendengar kata-kata Pangeran Tampan, seketika juga rasa letih di wajahnya menghilang. Alih-alih masih merasa letih akibat rasa tertekan dan capai lantaran ketiga kelasnya, Eriana justru terlihat bersemangat sekarang.

"Maksud kamu kayak Tuan Muda kamu itu?" tanya Eriana mengulum senyum.

Lina mengangguk-anggukkan kepalanya dengan penuh semangat. "Kayak Tuan Muda. Kan cocok dengan Nona yang cantik."

"Menurut kamu gitu?" tanya Eriana kemudian. "Aku cocok dengan Tuan Muda?"

Lina kembali angguk-angguk kepala. "Lagipula, Non, seumur saya di sini, saya belum pernah sekali pun melihat Tuan Muda dekat dengan perempuan."

"Aaah. Apa itu artinya Tuan Muda dekatnya memang dengan cowok ya?" tanya Eriana spontan.

Entah bagaimana ceritanya, tapi Eriana tidak tau mana yang lebih mengkhawatirkan dirinya. Satria dekat dengan wanita lain atau justru dekat dengan pria lain.

Hiks.

Tapi, di lain pihak sepertinya Lina sama sekali tidak mengerti ke arah mana pertanyaan Eriana tadi. Karena itulah pelayan itu dengan wajah bersemangat justru mengatakan hal lainnya.

"Sebenarnya banyak loh teman-teman Nyonya Besar yang ingin menjodohkan anaknya dengan Tuan Muda, tapi semua ditolak langsung sama Tuan Muda."

"Waaah!"

Eriana terkesiap. Merasa tak perlu menutupi ekspresi kagetnya kala itu. Lagipula dia hanya berdua dengan Lina selagi ia beristirahat sejenak sebelum pulang setelah menyelesaikan tiga kelasnya malam itu. Tak akan ada yang mempermasalahkan perilakunya.

"Makanya pas tau Tuan Muda deket dengan Nona ..."

Tidak terbayangkan bagaimana berserinya wajah Eriana kala itu. Perkataan Lina benar-benar membuat letih tubuhnya terasa menguap seketika.

"... semua jadi heboh. Termasuk para pelayan di sini. Dan setelah kami lihat, ternyata Nona memang cantik sih. Wajar Tuan Muda jadi suka sama Nona."

Mata Eriana berkedip-kedip sementara bibirnya yang kembali mengulum senyum terlihat semakin menggelikan. Hal yang tiba-tiba membuat Lina mengerutkan dahi. Wajah Eriana saat itu terlihat seperti ia sedang berusaha menahan desakan untuk buang air besar.

"No-Nona?"

Eriana melihat Lina yang wajahnya mendadak berubah seperti ketakutan. Tapi, mengabaikan hal tersebut, Eriana justru memainkan rambutnya yang mulai lepas dari sanggulan rapinya.

"Ehm ... kamu jangan sering-sering ngomongi aku gitu ya?" tanya Eriana malu-malu.

"Eh?" Lina melongo.

"Ngomongi aku dan Tuan Muda itu cocok atau sebagainya .... Itu, jangan sering-sering. Soalnya aku kan jadi malu, Lin."

"Aaah ...."

Lina hanya bisa melirihkan satu kata itu. Melihat wajah Eriana, entah mengapa membuat Lina benar-benar tidak bisa bicara apa-apa lagi.

"Gimana ya ngomongnya ...." Eriana membawa sejumput rambutnya ke balik daun telinganya dan melanjutkan perkataannya. "Aku sih sebenarnya cukup tau diri kok, Lin. Aku itu perpaduan yang seimbang antara cantik dan pintar. Emang wajar banget sih kalau Tuan Muda kamu sampe menaruh perasaan sama aku."

Eh?

"Tapi, kalau diomong terus kayak gini kan aku berasa malu gitu."

"Aaah." Lina meneguk ludahnya dengan salah tingkah. Angguk-angguk kepala. "Saya janji nggak bakal ngomong begitu lagi, Non. Janji banget."

Mendengar hal itu, Eriana justru terkekeh. Dan sementara itu, di dalam hatinya Lina justru berkata.

Selera Tuan Muda terhadap cewek memang beda.

Tuan Muda memang hebat.

Dan setelah beberapa saat beristirahat, Herman datang ke ruangan itu. Menghampiri Eriana untuk memberitahukan bahwa Satria sudah menunggu dirinya di depan. Tepat ketika jam sembilan malam.

Tak membuang waktu lebih lama lagi, Eriana meraih tas kerjanya yang disimpan oleh Lina selagi ia belajar tadi. Menuju ke ruang keluarga di mana Sigit, Mega, dan Satria sedang berkumpul. Setelah berbincang singkat, mengucapkan permisinya, dan memberikan pelukan singkat pada Mega, gadis itu pun mengikuti Satria yang bersiap untuk mengantar dirinya pulang.

"Ayo, duluan."

Satria berkata pada dirinya dengan suara yang lirih. Tepat ketika mereka berdua telah berada di teras rumah. Bersiap untuk menuruni anak tangga, menuju pada mobil yang sudah siap di sana.

"Iya iya. Saya duluan, Pak."

Eriana berjalan mendahului Satria dengan dahi yang masih berkerut. Dan kalau mau Eriana pikir, sebenarnya hal itu semakin membuat ia bingung. Mulanya gadis itu pikir perintah Satria agar jalan di depan hanyalah perintah berjangka waktu. Sehari atau dua hari saja. Namun, sepertinya ia kecele. Buktinya sudah lebih dari seminggu itulah yang terjadi.

Ugh!

Tidak terbayangkan bagaimana Eriana harus menebalkan muka setiap ia berjalan di depan Satria sementara orang-orang di kantor memandang pada dirinya. Ingin bertanya pun Satria tidak pernah menjawabnya.

Sementara itu, setelah Eriana mendahuluinya, Satria mengembuskan napas lega. Sejenak menunggu hingga Eriana dua langkah di depannya, Satria pun lantas turut melangkah. Walau---

Satria melotot. Buru-buru memalingkan kepalanya saat melihat bagaimana tiap anak tangga yang dituruni oleh kaki Eriana memberikan lekukan feminin tambahan pada bokong gadis itu.

Ya ampun!

Ini kenapa aku yang mendadak jadi ngeliatin bokong dia terus sih?

Satria merasa gusar.

Dan itu jelas terlihat dari wajahnya yang sepanjang perjalanan tampak dingin. Seperti tak ada darah yang mengalir di sana. Hal yang diam-diam membuat Eriana melirik dengan penuh rasa ingin tau.

"Pak ...."

Mata Satria mengerjap. Namun, ia hanya melirik sedikit sebelum kembali fokus pada jalanan di depannya.

"Apa?"

Sedikit memperbaiki duduknya, Eriana berusaha untuk melihat wajah Satria. "Bapak lagi marah atau gimana? Kok wajahnya keliatan suntuk gitu?"

Sreeet!

Satria menoleh. "Emangnya kamu pernah ngeliat saya nggak suntuk setiap berdua dengan kamu?"

"Eh?" Kepala Eriana meneleng ke satu sisi. "Aaah." Gadis itu lantas merasa paham. "Bapak bisa kok cerita ke saya kalau lagi ada masalah."

"Maksud kamu?"

Eriana menampilkan senyum penuh rasa pemakluman. "Memang bener kayaknya kata orang. Cuma dengan orang yang kita cinta kita spontan mengeluarkan semua masalah yang kita rasakan. Semua yang kita tutupi dari orang lain justru terbuka lebar dengan orang yang kita cinta."

"Hah? Maksud kamu apa?" tanya Satria horor.

"Maksud saya," lanjut Eriana. "Saya tau Bapak mendadak memperlihatkan wajah suntuk kayak gini karena sedang mencoba membuka masalah Bapak ke saya. Istilahnya ... Bapak mau curhat gitu kan ya?"

Ciiit!

Lampu merah yang muncul dengan tiba-tiba membuat Satria sontak menginjak pedal remnya. Membuat tubuh keduanya spontan terbanting ke depan.

"Aduh!"

Eriana mengusap dahinya yang terbentur dashboard. Dan belum lagi hilang rasa kagetnya karena Satria yang menghentikan laju mobil dengan tiba-tiba, ia justru mendapati bagaimana pria itu yang terlihat semakin gusar.

"Kamu ini kalau saya perhatikan bener-bener pede banget ya jadi cewek," gerutu Satria. "Memangnya siapa juga yang mau curhat sama kamu?"

Eriana cemberut. "Bapak kalau malu nggak usah segitunya kali. Lagian juga sama saya kok malu."

Mata Satria melotot. "Saya bukannya malu, tapi saya nggak habis pikir dengan jalan pikiran kamu. Pemikiran dan kesimpulan kamu itu selalu saja bermasalah."

"Bener?" tanya Eriana. "Kalau memang pemikiran dan kesimpulan saya bermasalah, bukannya udah lama pekerjaan Bapak berantakan?"

Satria menghirup napas dalam-dalam. Mengepalkan tangannya dengan begitu erat di atas kemudi. Berniat untuk membalas perkataan Eriana, pria itu justru merasakan hal yang sebaliknya. Terlintas hari-hari di mana Eriana yang mendampingi dirinya bekerja. Dari awal mula sampai hari ini, sepertinya Eriana sangat membantu pekerjaannya. Alih-alih bermasalah seperti yang ia katakan tadi.

Berat untuk mengakuinya, tapi ... benar. Eriana sigap untuk pekerjaannya. Bahkan mengerjakan beberapa pekerjaan dalam satu waktu pun terlihat mudah bagi gadis itu. Lihat saja seperti pagi tadi ketika Eriana menyelesaikan satu dokumen yang harus segera ia tandatangani. Dokumen itu masih diketik sementara satu telepon tertahan di antara telinga dan pundaknya.

Eriana mengetik seraya berbicara dengan seorang rekan kerjanya di sambungan telepon itu. Dan apa ada kata-kata yang keliru di dokumen itu?

Tidak.

Ketika melihat itu, Satria hanya bisa melongo.

"Mungkin kamu memang handal dalam bidang pekerjaan," sambung Satria cepat. "Tapi, untuk kehidupan sehari-hari, jelas. Kamu bermasalah."

Eriana mendengkus geli. Entah mengapa ia merasa lebih baik tidak membalas perkataan Satria.

"Saya pernah ingat satu pesan profesor saya, Pak," kata Eriana kemudian. "Orang yang pintar itu orang yang tau kapan waktunya untuk berhenti berdebat."

Mata Satria melotot. "Maksud kamu saya nggak pintar?"

"Ups!" Eriana menunjuk pada lampu lalu lintas tepat ketika terdengar klakson dari belakang. "Udah hijau, Pak."

Dan Satria terpaksa harus menahan sejenak keinginan hatinya untuk menendang Eriana keluar dari mobilnya. Setidaknya pria itu masih cukup sadar untuk mengantar Eriana pulang sampai di unitnya dengan selamat sentosa. Tentu saja, ia tidak ingin dirinya muncul di koran. Tepatnya di kolom kriminal dengan judul: Hilang Sabar, Seorang Pria Menghabisi Nyawa Sekretaris Sekaligus Calon Tunangannya Di Tengah Jalan.

Lantas Satria melajukan mobilnya dengan mencoba menenangkan dirinya. Hal yang sangat sulit mengingat ada makhluk yang selalu berusaha mengusik ketenangannya itu. Terutama ketika Eriana kembali bicara.

"Pak ..., kemaren Mrs. Roberts ngomong ke saya. Katanya kita ngobrolnya terlihat formal banget walau bukan di kantor. Makanya saya jadi kepikiran."

Satria meremas kemudi. "Please, Ri. Selain masalah pekerjaan, kamu jangan mikir apa-apa deh."

Eriana manyun. "Menurut Bapak gimana kalau saya manggil Bapak dengan panggilan sayang?"

Ciiit!

Braaakkk!

"Aduh!"

"Shit!"

Kali ini Eriana tak cukup mengucapkan aduhnya sekali. Karena nyatanya gadis itu mengaduh-aduh beberapa kali.

"Aduh! Aduh! Aduh!"

Dan ketika Eriana bangkit duduk dengan benar lagi setelah terjerembab ke dashboard dengan begitu telak, gadis itu terkesiap melihat ke depan.

"Bapak kalau mau buang mobil ya jangan di gerobak sampah pinggir jalan dong."

Satria menoleh dengan wajahnya yang menyeramkan. "Yang mau buang mobil siapa?!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top