14. Baru Permulaan

"Ini, Pak, kopinya."

Satria melirik pada secangkir kopi hitam pekat yang disajikan Eriana di atas meja kerjanya. Lalu matanya kembali pada dokumen yang sedang ia pelajari. Ia hanya mengangguk sekilas pada Eriana.

"Saya permisi."

Setelah mengucapkan permisi itu, Satria bisa melihat melalui ujung matanya bagaimana Eriana yang beranjak. Melangkah meninggalkan mejanya. Dan ketika itu spontan saja wajah Satria terangkat. Melihat pada Eriana yang menuju pada pintu. Melihat pada---

Sialan!

Aku ngeliatin apa sih?

Satria buru-buru kembali menundukkan pandangannya di saat ia tersadar bahwa dalam beberapa detik yang singkat ia justru melihat bagaimana bokong Eriana melenggok saat pemiliknya berjalan. Benar-benar memalukan untuk pria itu.

Tapi ....

Satria mengangkat kembali wajahnya. Tepat ketika Eriana berhenti tepat di depan pintu dan membuka pintu tersebut. Lalu, itu adalah lenggokan terakhir yang Satria lihat sebelum Eriana keluar dan pintu kembali tertutup.

Bentuknya bulat dan ....

Sialan!

Satria kembali mengumpat. Di detik selanjutnya ia memutuskan untuk meraih cangkir kopinya. Menyeruput isinya dengan terburu-buru dan mengaduh sakit selanjutnya.

"Astaga!"

Satria merasakan lidahnya bagai terbakar karena rasa panas kopi itu. Seraya mendengkus kesal, pria itu meletakkan kembali cangkirnya di atas tatakan.

"Kenapa sekarang malah jadi aku yang ngeliatin bokong dia?"

Satria menggeram. Meremas satu pena di tangannya dan mendadak menyadari sesuatu.

"Lihat kan? Baru berapa hari dekat dengan dia, aku mendadak ketularan pikiran nggak normalnya. Dan gimana ceritanya kalau aku harus menghabiskan sisa usia aku dengan dia? Hidup satu rumah dengan dia?"

Kalau bisa, Satria ingin segera mengubah takdir hidupnya. Tapi, ia sudah menyadari bahwa itu tak mungkin. Terutama karena dia dan kedua orangtuanya sudah melakukan pembicaraan serius siang kemaren. Lebih dari serius malah.

"Mama nggak mau ngambil risiko, Sat. Jadi, lebih cepat kamu menikahi Eriana itu akan lebih baik."

Jangan bilang Satria tidak mengatakan pendapatnya. Ia pun mengutarakan rasa keberatannya. Namun, Sigit pun berkata.

"Sebelum gosip kamu semakin berkembang dalam situasi yang nggak menguntungkan untuk kita, memang kamu sebaiknya mulai memikirkan kapan kamu akan menikahi Eriana."

Dan semua semakin parah karena ada Dewi yang siang hari itu mendadak datang. Memperkeruh suasana yang memang sudah keruh.

"Lihat, Mas, lihat. Nggak ada seorang pun di keluarga kita yang belum ngeliat video itu. Dan aku yakin banget. Satria ini pasti udah yang kebelet gitu dengan Eri."

Satria tidak berani mengingat bagaimana merahnya wajah Sigit kala itu ketika adik kandungnya sendiri mengatakan hal seperti itu di depannya. Terutama ketika Dewi menaburkan bumbu penyedap lainnya.

"Mas nggak ngeliat secara langsung sih. Satria kayak yang udah mau melucuti gaun---"

"Dewi ...."

Untunglah saat itu Mega menginterupsi perkataan Dewi. Kalau tidak, bisa Satria jamin akan ada bawang goreng, ayam suwir, saos, dan kecap yang turut memperiah sajian gosip itu. Gosip edisi paket lengkap tiada duanya!

Sekarang setiap Satria memikirkan bahwa ia akan menikahi Eriana, mendadak saja perutnya mual-mual. Seumur hidupnya, Satria tidak pernah membayangkan bahwa ketika ia harus menikah, adalah sekretarisnya sendiri yang akan ia nikahi. Terutama lagi sekretaris otak mesum yang suka menatap bokongnya. Ditambah lagi menikah karena alasan yang benar-benar di luar dugaan.

Diduga berniat melakukan tindakan yang tidak senonoh pada Eriana. Ingin menyerang gadis itu tanpa memikirkan bahwa mereka berada di tempat umum. Itu sangat merendahkan harga diri Satria yang selama ini berada di level tinggi.

Dan berbicara mengenai harga diri, sebenarnya itu adalah hal yang paling penting untuk pria itu. Terlahir dari keluarga kaya menjadikan pria itu terdidik dengan begitu keras dari kecil. Terutama karena dia anak semata wayang. Ketika anak-anak seusia mereka masih sibuk bermain, dia sudah dihadapkan oleh beberapa kelas pribadi. Tak terhitung berapa kelas dengan berapa guru yang berbeda yang mengajari pria itu. Dan semua itu membentuk semua kesempurnaan yang orang lihat pada dirinya. Pintar dan bertata krama. Hingga pada satu titik hal tersebut justru membuat dirinya merasa menjadi orang yang tanpa cela. Yang mana sebenarnya itu masuk akal. Bahkan untuk pekerjaan, ia terbiasa mengambil keputusan dengan begitu saksama. Untuk kehidupan pribadi pun ia lebih keras lagi. Ia terobsesi untuk hidup bersih. Dan tentu saja, gosip dengan Eriana bukan termasuk dalam kategori 'hidup bersih'. Cenderung mencoreng nama baiknya malah.

Dengan cewek kayak gitu?

Bisa-bisanya!

Orang bakal mikir kalau selera aku terhadap cewek perlu dipertanyakan.

Tapi, dibandingkan dengan hal itu, ada hal lainnya yang menjadi pikiran pria itu. Ia menyadari bahwa ia terlanjur basah terperangkap dengan Eriana. Satu bagian dari harga dirinya sudah runtuh dan kalau ia sampai lepas tangan dari pertanggungjawaban yang harus ia emban, maka harga dirinya yang lain akan runtuh juga. Pada akhirnya, Satria menyadari bahwa ia tak memiliki pilihan lain. Daripada berusaha merutuki nasib yang tak akan bisa ia ubah, ia hanya perlu meminjam perkataan Mega tempo hari.

"Sama layaknya dengan batu mulia, setiap gadis hanya perlu dipoles untuk bisa menjadi berlian."

Walau Satria ragu, apa Eriana bisa menjadi berlian? Alih-alih justru menjadi batu kerikil?

Dan pada sore itu, ketika Satria keluar dari ruangannya, ia mendapati bahwa Eriana sudah bersiap pula. Langsung berdiri dari kursinya. Menghampiri dirinya dan mengulurkan tangan.

Satria menyerahkan tasnya untuk dibawa oleh Eriana. Lalu, ia bertanya.

"Kamu tau kan kalau sore ini kamu ikut saya ke rumah dulu?"

Eriana mengangguk. "Tau, Pak. Saya harus belajar."

Satria mengembuskan napasnya. Lantas tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia pun beranjak dari sana. Tapi, ketika ia baru dua langkah berjalan, Satria menghentikan langkah kakinya kembali.

"Kamu jalan di depan."

Eriana melongo. "Lagi, Pak?"

"Pokoknya sekarang kamu yang harus jalan di depan. Biar saya jalan di belakang."

Eriana memikirkan beberapa pilihan di benaknya yang sekiranya bisa menjadi penyebab mengapa sudah dua kali Satria meminta hal seperti itu pada dirinya. Walau ia benar-benar tidak bisa menduga alasannya apa.

Padahal itu kan terkesan nggak sopan kan ya?

Lantas Eriana memilih untuk tidak mendebat hal tersebut. Alih-alih, ia menuruti perintah Satria. Mengambil langkah dan berjalan di depan Satria.

Dan Satria lagi-lagi mengembuskan napas. Antara bersyukur karena Eriana yang tidak bisa melihat bokongnya lagi atau sebaliknya. Bersyukur karena justru ia yang sekarang bisa menatap lenggokan bokong Eriana.

Eh?

*

Eriana benar-benar merasa antusias ketika kembali lagi mengunjungi rumah mewah dan megah itu. Tak bisa dipungkiri, selama hidup di dunia ini Eriana kerap kali memeriahkan hari-harinya dengan menonton berbagai film dan drama yang berisi tentang kehidupan orang kaya. Saat itu Eriana sering kali berpikir.

Ehm .... Sepertinya menarik deh kehidupan mereka.

Jadi jangan heran kalau semalaman Eriana tidak bisa tidur. Ia begitu bersemangat untuk mencicipi hidup seperti yang ia lihat di drama. Belajar menjadi orang kaya.

Hihihihi.

Dan tak butuh waktu lama untuk Eriana membayangkan akan menjadi wanita seperti apa beberapa saat kemudian. Penampilan yang anggun, cara bicara yang elegan, dan semuanya akan membuat setiap orang yang melihatnya akan terpana. Dan mungkin di saat itulah Satria akan berkata pada dirinya seperti ini.

Oh, Eri.

Melihatmu yang begitu mempesona, aku nggak akan berpikir dua kali untuk menyerahkan bokongku untuk kamu.

Terimalah.

Dan remas sesuka hatimu.

Eriana terkikik setiap membayangkan hal tersebut. Memalukan, tapi begitulah adanya. Ternyata di balik semangat Eriana yang membawa ada satu motivasi yang cukup menggelikan.

Bokong Satria.

Tapi, sepertinya Eriana harus menyadari bahwa semua yang ia lihat di drama itu tidak sampai 50% mewakili kenyataan yang terjadi. Karena ketika baru setengah jam ia mencoba untuk masuk ke dunia yang ia bilang menarik itu, Eriana langsung menyadari bahwa yang terlihat menarik mungkin saja memiliki kenyataan yang sebaliknya. Itu adalah ketika kelas etiket dimulai.

Menyisihkan sepatu hak tingginya, Eriana diberi pengarahan tentang pembawaan diri. Pada dasarnya itu adalah kelas yang akan mengajarkan Eriana bagaimana cara membawa diri, bersikap, dan membentuk kepribadiannya. Sesuatu yang secara logika akan sulit diterima oleh orang yang telah memiliki kepribadian sendiri yang berusia dua puluh delapan tahun.

"Look at my eyes."

"No! No! No!"

"Don't stare."

"Please, more elegant."

"You are a princess. The most beautifull princess."

"A soft smile, but with a deep aura."

Maka dimulailah rasa pusing yang mendadak muncul di kepala gadis itu. Berdiri di tempatnya, Eriana bertanya-tanya.

Gimana ceritanya natap mata orang tanpa kesan melotot?

Ya kali kan?

Aku kan orang Indonesia asli.

Mata sebesar biji jengkol itu keturunan.

Dan ketika tongkat sepanjang tiga puluh sentimeter yang dibawa oleh Mrs. Roberts menyentuh punggungnya, mendadak saja Eriana merutuk.

Ini aku sebenarnya belajar kelas etiket atau belajar jadi manekin hidup sih?

Dan itu tepat ketika Mrs. Robert berkata.

"Straighteen your back, Eri. But, don't be so stiff."

"More elegant, okay?"

"You are a princess."

Di saat itulah Eriana mendadak saja menukas karena kesal. Menyadari bahwa dari tadi sikap tubuhnya selalu saja dinilai salah oleh Mrs. Roberts.

"Oh, please, Mrs. Princess's married to Reino Barack."

Dan sementara Mrs. Roberts melongo, -tanpa disangka oleh siapa pun- Satria yang duduk di seberang ruangan justru tertawa terbahak-bahak.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top