13. Tak Percaya

Eriana turun dari angkot yang ia tumpangi. Dengan bibir yang masih manyun, ia melewati portal keamanan gedung apartemennya. Dan di saat itulah, seorang satpam yang bertugas tampak menyapa dirinya.

"Neng Eri!"

Langkah kaki Eriana terhenti. Tanpa perlu merasa mendekati satpam yang bernama Joko itu di posnya, Eriana menyahut dari tempatnya berdiri. "Ya, Pak?"

"Tadi ada yang ke sini nyariin Neng Eri loh."

Dahi Eriana berkerut mendengar hal tersebut. Raut bingung langsung tercetak di wajahnya. "Nyariin aku?" tanyanya seraya berpikir. "Siapa, Pak, yang nyariin aku? Bukan debt collector kan ya?"

Joko tertawa. "Hahahaha. Ya nggak toh, Neng. Ini tadi cowok. Masih muda gitu. Wajahnya sih cakep."

"Ehm ...."

Eriana berpikir di benaknya.

Menarik.

Ternyata ada juga cowok muda yang cakep nyariin aku. Biasanya yang nyariin aku mah Bapak-Bapak mulu.

Tapi, siapa?

Lagipula ... emang ada aturannya ya debt collector nggak boleh cakep?

"Dia pake mobil?" tanya Eriana kemudian. Entah mengapa ia menduga bahwa itu adalah Satria yang dimaksud.

Joko menggeleng. "Kalau yang pake mobil BMW hitam itu mah kan udah ketemu sama Neng pagi tadi. Kan Bapak ngeliat Neng pergi sama dia."

"Ah. Bener-bener."

"Lagipula yang pagi tadi mah bukan cakep lagi, Neng. Super cakep malah."

Eriana seketika bergidik. "Kok aku berasa ngeri sih kalau Bapak-Bapak muji kegantengan muka cowok."

"Hahahaha. Si Neng mah becanda mulu," kata Joko. "Tapi, ini serius, Neng. Dia datang sekitar jam sembilan tadi."

Ehm ....

Itu bertepatan dengan suasana menegangkan saat minum teh.

Lantas, Eriana pun menanyakan sesuatu.

"Nama dia siapa, Pak? Dia ngomong nggak maksud dan tujuan dia nyariin aku? Takutnya semacam penggemar rahasia aku gitu."

"Hahahaha." Joko menggeleng. "Bapak lupa nanya, Neng. Lagian dia buru-buru pergi gitu."

"Aaah ...." Eriana angguk-angguk kepala. "Ntar kalau emang penting, dia pasti bakal datang lagi."

Setelah itu, Eriana pun mengucapkan permisinya. Dengan bergegas demi menghindari sinar matahari yang mulai menyengat, Eriana memasuk gedung apartemennya.

Eriana perlu sedikit bersabar diri dalam menghadapi lift gedung yang seringkali bermasalah. Naik dengan tersendat-sendat atau mendadak membuka di lantai yang keliru. Hingga pada akhirnya ia pun sampai di unitnya.

Eriana tidak heran sama sekali ketika mendapati unitnya dalam keadaan yang sepi. Sama seperti dirinya yang sudah bekerja, Intan pun demikian. Namun berbeda dengan dirinya yang bekerja di kantor, Intan justru bekerja sebagai wartawan untuk kolom gosip artis di salah satu situs berita online. Makanya tak heran bila Intan kerap kali berceloteh panjang lebar tentang hasil liputannya pada Eriana. Sementara Intan tidak merasa takut Eriana akan membocorkan berita-berita barunya pada kompetitor sealiran, Eriana justru sebenarnya tidak pernah benar-benar mendengarkan berita yang diceritakan Intan.

Ngingat masalah hidup aku aja aku udah nggak mampu, gimana mau ngingat masalah hidup para artis coba?

Begitulah pikir Eriana setiap ada berita artis lainnya yang Intan ceritakan.

Menuju langsung ke kamarnya, Eriana melangkah seraya mengeluarkan ponselnya. Mengusap layarnya sekali dan kunci itu pun terbuka. Eriana langsung menuju ke kontak dan melakukan panggilan kepada satu nama yang ia tulis 'Ibu'.

"Ri ...?"

Suara seorang wanita paruh baya terdengar di telinga Eriana beberapa detik kemudian. Tepat setelah ia meletakkan kembali tasnya ke atas meja dan ia memilih untuk duduk di tepi tempat tidur, yang mana kemudian pada akhirnya ia memilih untuk langsung berbaring saja.

"Bu ...," lirih Eriana dengan suara lemah.

"Eri? Kamu kenapa? Suara kamu kok kedengaran lesu? Lagi sakit?"

Suara di seberang sana menyiratkan kekhawatiran. Hal yang wajar akan dirasakan oleh orang tua mengingat anaknya yang berada jauh dari mata mereka.

"Nggak, Bu," jawab Eriana seraya refleks menggelengkan kepalanya. "Cuma ada sesuatu yang mau aku bilangin ke ibu."

Suara Mega lantas terngiang lagi di benaknya.

"Kamu bisa menghubungi keluarga kamu bukan?"

Eriana memejamkan matanya sekilas. Teringat kalimat itu dengan begitu jelas ketika Mega melamar dirinya di malam itu.

"Mau ngomong apa?"

Menarik satu napas dalam-dalam, Eriana menguatkan dirinya. Ia yakin ibunya akan syok, tapi itu bisa dimaklumi.

Lagipula nggak bakal ada manusia yang ngira kalau pada akhirnya aku bakal nikah. Terutama dengan keadaan yang mendadak seperti ini.

Pada akhirnya ia pun berkata.

"Bu ..., aku mau nikah."

Hening beberapa detik. Dan Eriana tak mengatakan apa-apa lagi karena cukup tau. Saat itu ibunya pasti merasa syok dengan perkataannya. Bisa dimaklumi, ia mengatakan hal yang terlalu mendadak siang hari itu.

Yah, mudah-mudahan aja di Bogor nggak mendadak yang ada petir menggelegar gitu.

Sejurus kemudian terdengar suara di seberang sana, memecah lamunan beberapa saat yang membelenggu pikiran sadar Eriana.

"Ya, Ibu sudah bisa nebak. Kamu pasti mau nikah. Lagian umur kamu udah dua puluh delapan tahun, wajar aja kalau kamu mau nikah."

Dahi Eriana berkerut. "Eh? Maksudnya aku itu mau nikah, Bu."

"Iya iya iya. Ibu tau. Kayaknya semua orang juga mau nikah kok."

Perkataan itu sontak saja membuat Eriana bangkit duduk kembali. Ia garuk-garuk kepala. Entah mengapa saat itu ia merasa bingung.

"Bu," rengek Eriana kemudian. "Ini maksudnya aku bukan ngomong kalau aku mau nikah ...." Eriana mengerjap. "Eh?"

"Kamu ini kenapa sih, Ri? Tadi ngomongnya mau nikah, sekarang ngomongnya nggak mau nikah. Yang benar yang mana sih?"

"Ya ampun, Bu." Eriana putus asa menghadapi ketidaknyambungan percakapan antara dirinya dan ibu kandungnya itu. "Maksud aku itu ada yang mau ngelamar aku. Alias aku mau nikah."

"Hah?!"

Seruan itulah yang membuat Eriana spontan menjauhkan ponsel dari telinganya. Gendang telinga gadis itu terasa bergetar karena tingginya seruan yang terdengar. Saking tingginya membuat Eriana khawatir speaker ponselnya akan pecah.

"A-apa kamu bilang, Ri? Kamu mau nikah?"

Eriana mengembuskan napasnya. "Iya, Bu. Kan dari tadi aku ngomong kalau aku mau nikah. Eh, Ibu malah ngomong yang lain."

"Be-bentar. Emangnya siapa yang mau nikahi kamu, Ri?"

"Eh?" Eriana terkesiap. "Ibu ini. Ya banyak dong yang mau nikahi aku."

"Kamu nggak usah memutarbalikkan fakta, Ri. Dan nggak usah ngomongi yang lain. Intinya, siapa yang mau nikahi kamu?"

Sedikit manyun, Eriana tetap saja menjawab. "Bos aku, Bu."

"Bos?"

"Iya," jawab Eriana seraya mengangguk. Gerakan refleks padahal ia sadar ibunya tak akan melihat anggukannya.

"Kamu kan baru kerja belum ada sebulan, Ri. Kok bisa dia mau nikahi kamu? Eh, ini Bos kamu tempat kamu kerja sekarang kan ya?"

Eriana tak heran sama sekali kalau ibunya akan sekaget itu dan melontarkan kebingungannya. Malah Eriana akan merasa heran kalau ibunya tidak kaget.

"Iya, Bu. Bos tempat aku kerja sekarang. Lagian kan aku juga baru kerja sekali ini."

"Ehm .... Kok bisa, Ri?"

Mulut Eriana monyong ke kanan monyong ke kiri dalam usahanya untuk berpikir memilih jawaban untuk pertanyaan itu. Lagipula, ia pun bingung.

"Ya bisa aja sih, Bu," jawab Eriana kemudian. "Soalnya bukan apa, Bu. Tapi, Pak Bos kayaknya jatuh cinta pada pandangan pertama gitu sama aku, Bu."

Hening sejenak.

"Bulan purnama bulan ini kayaknya kamu harus mandi kembang dulu, Ri. Bagus lagi kalau kamu nemu bunga bangkai yang layu."

"Ibuuu ...." Eriana kembali merengek. "Sama anak sendiri malah dibilangin kayak gitu. Ini aku beneran serius. Pak Satria mau menikahi aku. Bahkan kemaren itu ibu Pak Bos sudah melamar aku."

"Kamu jangan buat ibu gila, Ri. Cukup harga bumbu dapur yang buat ibu gila, kamu jangan."

Eriana mencak-mencak di kasurnya. Meremas-remas bantal lantaran geregetan dengan ibu kandungnya itu.

"Kalau ibu nggak percaya ya udah. Tapi, aku udah ngasih tau ya. Lagian aku beneran nggak bohong. Buktinya mulai besok aku harus ke rumah Pak Bos untuk belajar etiket, tata krama, dan seni budaya. Kayak di film-film dan drama itu loh, Bu. Kan orang-orang kaya tuh pake belajar etiket gitu, Bu. Tadi aku udah ketemu sama pengajarnya. Wih! Mereka pada keren-keren, Bu. Aku jadi nggak sabar buat belajar besok."

Dan selagi Eriana berbicara panjang lebar tentang keadaan yang sekarang terjadi pada dirinya, di seberang sana ibunya justru geleng-geleng kepala seraya memijat pangkal hidungnya.

"Ri ..., ini Minggu siang. Ibu kayaknya lebih baik ke depan buat ngelayanin pembeli daripada harus meladeni kamu yang mendadak kumat."

Ucapan Eriana terhenti. "Ibu ini. Pokoknya ya, Bu, aku itu nggak main-main. Jadi Ibu siapkan aja dulu kebaya Ibu yang Ibu pake pas wisuda aku dulu. Biar nggak kaget pas acara lamaran aku ntar."

Dan setelah mengatakan hal tersebut, Eriana mengulum senyum malu-malu. Berbasa-basi sedikit dan baru kemudian ia mengakhiri panggilan tersebut.

Seraya membaringkan tubuhnya kembali ke atas kasur, Eriana masih terus saja tersenyum. Menyelipkan satu telapak tangan di bawah bantal yang menyanggah kepalanya, pandangan mata Eriana terlihat menerawang.

Ketika teringat dengan percakapan barusan, Eriana mau tak mau menyadari bahwa wajar saja ibunya meragukan perkataannya.

"Yah, aku ingat banget kali, Ri. Setelah putus tiga tahun yang lalu, semua orang ngira kamu nggak bakalan mau nikah deh."

Lalu, senyum malu-malu Eriana berganti dengan senyuman tipis.

"Namanya juga takdir kan ya? Lagipula, trauma sekeras apa pun, pasti bakal luluh dengan sesuatu yang montok."

Eriana terkikik.

"Dasar bokong!"

*

Eriana berkedip sekali saat mendapati mobil hitam itu berhenti di pelataran kantor. Menunggu sejenak dan penumpang di dalamnya turun. Yaitu, Satria.

Seperti biasa, Satria mengulurkan tasnya dan Eriana membawanya selagi mereka berdua berjalan masuk. Namun, belum lagi mencapai tempat pemeriksaan keamanan, mendadak saja Satria menghentikan langkah kakinya. Terlalu mendadak hingga nyaris membuat Eriana menabrak punggung lebar pria itu andai saja ia tidak sigap berhenti melangkah pula.

"Ada apa, Pak?"

Satria menghirup napas dalam-dalam, lalu memutar tubuhnya. Wajah datar itu terlihat tanpa ekspresi ketika berkata lirih pada Eriana.

"Kamu jalan di depan. Biar saya yang jalan di belakang."

"Ya?" Eriana mengerjap-ngerjap bingung. "Sa-saya jalan di depan?"

Tak menjawab pertanyaan Eriana, Satria langsung saja melangkah. Berpindah tempat di belakang Eriana dan kembali berkata.

"Ayo! Jalan!"

Eriana seketika bingung. Berpaling ke belakang. "Pak, masa saya yang jalan di depan? Kan nggak sopan."

Satria mengabaikan beberapa pasang mata yang melihat pada mereka. Wajahnya terlihat mengeras. "Ini perintah saya. Kamu nggak mau mendengarkan perintah saya?"

Seketika saja Eriana memucat. "Ya nggak gitu, Pak."

"Kalau nggak gitu, ya lakukan apa yang saya suruh."

"Iya, Pak."

Sedikit manyun, Eriana kembali memalingkan pandangannya ke depan. Setelah menarik napas sekali, Eriana pun melangkah.

Di belakang gadis itu, Satria mengembuskan napas lega. Turut melangkah dengan pikiran kesalnya.

Kamu pikir aku masih akan dengan sukarela membiarkan kamu menjadikan bokong aku sebagai objek fantasi kamu?

Mereka berdua melewati sensor keamanan. Menuju pada lift khusus. Dan di saat itu Satria masih saja sibuk dengan pikirannya.

Nggak akan aku biarkan kamu ngambil kesempatan dalam kesempitan lagi.

Ngeliatin bokong aku selama kamu berjalan di belakang aku?

Oh, tidak.

Satria mendengkus.

Lagipula, ini cewek pasti emang gila.

Lagian bokong aja pake bisa jadi objek fantasi dia.

Emangnya apa sih bagusnya dari ngeliatin bokong?

Refleks, pertanyaan yang mengiang di benaknya itu membuat tatapan mata Satria pun berpindah. Yang semula pada rambut Eriana yang disanggul rapi menjadi berubah fokus pada dua buah bongkahan yang terlihat naik turun dalam irama yang teratur itu. Berbalut rok selutut dengan potongan pensil yang tak terlalu ketat, tetap saja pemandangan itu menjadi hal yang menonjol.

Jakun Satria seperti tersangkut di tengah-tengah tenggorokannya. Terutama ketika Eriana menghentikan langkah kakinya tepat di depan lift, gadis itu berdiri dengan menumpukan beban tubuhnya pada satu kaki sementara kaki lainnya terlihat santai memainkan ujung sepatunya di lantai. Menyebabkan dua bongkahan bokong Eriana berada di posisi yang berbeda. Satu di bawah dan satu lagi di atas. Semakin mempertegas lekukannya di sana.

Mata Satria seketika memejam langsung. Dalam hati ia mengumpat.

Apa coba yang aku lakukan?

Astaga, Satria!

Memalukan!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top