12. Bayangan Ketakutan

"Turun! Turun! Turun! Pokoknya turun sekarang juga!"

Eriana melongo. Mulutnya membuka lebar dan mata membesar. Oh, jangan lupakan kedua tangannya yang masih terangkat dengan sepuluh jari yang masih bergerak-gerak menakutkan –setidaknya menakutkan di mata Satria.

Kyot! Kyot!

"Ya ampun, Tuhan!" jerit Satria. "Turun! Saya bilang kamu turun!"

Mata Eriana lantas mengerjap-ngerjap. Menghentikan gerakan tangannya, ia menoleh. Melihat melalui jendela pintu mobil. Menyadari bagaimana ternyata setelah melewati lampu merah tadi, Satria langsung melajukan mobilnya dengan cepat. Namun, anehnya pria itu justru menepikan mobilnya lima menit kemudian. Tepat di depan halte bus.

Dahi Eriana berkerut. "Turun?" tanyanya bingung. "Bapak nyuruh saya turun?"

"Iya! Memangnya ada orang lain di sini selain kamu?!"

Sekali, Eriana mengerjapkan matanya dengan ekspresi polos yang justru membuat Satria semakin mual.

"Kan ada Bapak juga."

Satria menahan napas di dadanya. Mulut terkatup rapat seolah mencegah semburan api yang akan keluar dari sana.

"Ya kali saya yang turun dari mobil saya sendiri?!" tukas Satria kesal. "Ya ampun, Ri! Please. Turun sekarang juga dari mobil saya."

"Loh, Pak? Saya kan belum sampe ke apartemen saya. Masa saya turun di sini?"

Kedua tangan Satria naik ke atas kepala ketika mendengar pertanyaan bernada keberatan Eriana. Meremas rambutnya sendiri dengan geram. "Please, kamu turun."

Tak menghiraukan perkataan Satria, Eriana justru mengerutkan dahinya. Karena entah mengapa, Eriana saat itu mendadak bingung. Tak yakin dengan yang telinganya dengar. Itu seperti ia sedang mendengar suara Satria yang tengah merengek. Tapi, itu tidak mungkin kan?

"Eh, Bapak kenapa?" tanya Eriana kebingungan. Pelan-pelan ia mengulurkan satu tangannya. Bermaksud untuk mencoba menenangkan pria itu. Tapi, nahas. Pergerakannya justru membuat Satria histeris.

"Aaah!"

Eriana melonjak dengan jeritan Satria. Semakin heran ketika melihat Satria menjauhi dirinya. Yah walau itu jelas-jelas percuma. Ada pintu mobil yang menahan punggungnya.

"Jauhkan tangan kamu, Ri. Please."

Kali ini Eriana tidak akan salah lagi. Satria benar-benar merengek. Lebih dari itu, pria itu terlihat memejamkan matanya.

"Tangan kamu, Ri. Jangan. Please."

"Loh, Pak? Memangnya ada apa dengan tangan saya?"

"Tangan kamu itu menakutkan dan dengar apa yang saya katakan. Pokoknya kamu turun!" bentak Satria kemudian. "Saya nggak mau ngantar cewek mesum kayak kamu!"

Eriana terdiam. Seperti membutuhkan waktu beberapa saat untuk mencermati maksud perkataan Satria. Hingga kemudian ia tersadar dan terkesiap.

"Cewek mesum?" tanya Eriana tak percaya. "Bapak ngomongi saya cewek mesum?"

"Memangnya saya harus nyebut kamu apa selain cewek mesum? Apa ada panggilan lain buat cewek yang terobsesi sama bokong cowok hah?! Apa coba?!"

Eriana seketika melotot. "W-wah! Bapak ngomongi saya cewek mesum cuma karena saya suka sama bokong Bapak?"

Satria menggeram. "Malah kamu omongi lagi? Dasar cewek nggak tau malu!"

"Gimana ceritanya suka sama bokong Bapak malah dibilang nggak tau malu?" tanya Eriana. "Memangnya cowok aja yang boleh suka payudara cewek? Terus cewek nggak boleh suka bokong cowok? Gitu?"

Satria tidak menyangka bahwa Eriana akan mengatakan hal seperti itu. Jujur bahwa dirinya suka dengan bokongnya saja sudah lebih dari kata berhasil membuat Satria syok. Eh ... ini pakai acara mempertahankan argumen tentang kesukaannya itu di depan Satria lagi? Pria itu benar-benar tidak habis pikir.

"Kalau kamu memang suka bokong cowok, silakan saja! Tapi, jangan bokong saya!"

Perkataan itu membuat Eriana memindahkan fokus matanya. Dari mata Satria turun ke bawah. Dan hal itu memancing reaksi alamiah Satria. Menggeser duduknya, walaupun jelas. Eriana pasti tidak akan bisa melihat bokongnya dengan posisi duduknya itu.

"Masalahnya saya cuma sukanya bokong Bapak," kata Eriana dengan bibir sedikit manyun. "Gimana lagi ya, Pak? Seumur hidup baru bokong Bapak yang saya pegang."

"Ka ... kamu ...."

"Dan itu rasanya ...."

Eriana tidak meneruskan perkataannya. Alih-alih ia justru menutup mata dan kembali menggerak-gerakkan kesepuluh jari tangannya dengan begitu penuh irama. Hal yang seketika membuat Satria ingin meraung rasanya.

Kenapa aku harus ketemu cewek mesum, Tuhan? Kenapa?

"Ehm ...." Eriana mendehem. Membuka mata dan berkata. "Saya bahkan masih ingat dengan jelas, Pak, sensasinya."

Satria geleng-geleng kepala ngeri. "Kamu jangan berani-berani ngomong lebih jauh lagi. Awas aja kamu, Ri."

Tapi, seakan perkataan Satria tak ada artinya, Eriana mengabaikan peringatan itu. Ia lanjut saja berkata.

"Sensasinya ehm ...." Bahkan Eriana sampai menjilat bibir atasnya dengan ujung lidahnya. "Bulat, montok, dan kenyal."

"Aaah!"

Dan kemudian orang-orang di halte mendadak kebingungan karena melihat ada satu mobil berkaca gelap bergoyang-goyang di pinggir jalan padahal saat itu masih siang.

*

Eriana memegang kedua tali tas ranselnya yang melintasi kedua sisi badannya. Masih cemberut dengan pandangan mata yang menuju ke satu titik. Melihat pada objek yang dengan begitu cepat menghilang dari pandangan matanya itu. Mobil Satria.

Dan sementara orang-orang di sekitar dirinya yang berada di halte tersebut melihat pada Eriana dengan dahi berkerut-kerut, wanita itu justru mengalami pengerutan pada bibirnya. Ia cemberut. Hal yang wajar dan manusiawi terjadi pada wanita manapun yang mendadak diturunkan di tengah jalan.

Itu cowok dasar nggak punya hati nurani dan perasaan.

Ya kali aku diturunkan di tengah jalan.

Mana nggak dikasih duit angkot lagi.

Ih! Dasar!

Ternyata di balik wajah tampan Pak Bos, dia juga nyimpan sifat yang buat jengkel.

Tapi ....

Eriana merasakan dirinya mendadak saja tidak berdaya. Itu adalah ketika satu pemikiran melintas di benaknya dan membuat ia kembali melayangkan tatapan di mana mobil Satria sudah menghilang di kejauhan.

Emang ngejengkelin sih, tapi sayangnya aku udah kadung jatuh cinta sama bokongnya yang sempurna.

Hiks.

*

Satria masuk ke rumahnya dengan menguarkan aura membunuh. Hal itu bisa dirasakan oleh dua pelayan yang menyambut kedatangan Satria siang itu. Wajah suram, terkesan merah membara. Rahang mengeras dan rambut berkilap basah karena keringat dengan keadaan yang acak-acakan.

Mengabaikan sekelilingnya, pria berusia tiga puluh empat tahun itu langsung melesat masuk ke kamarnya. Menutup pintu dan dengan terburu-buru melepaskan jaket yang tadi ia pakai.

"Argh!"

Satria menggeram. Membanting jaket tersebut ke atas tempat tidur. Seolah sedang melampiaskan kekesalannya di sana. Mungkin saat itu ia sedang membayangkan sedang membanting Eriana. Namun, ketika pikiran itu melintas, mendadak saja seperti suara Eriana yang menggema di benaknya.

"Sensasinya ehm ... bulat, montok, dan kenyal."

Satria seketika bergidik. Membawa satu tangan untuk mengusap kuduknya dan ia menyadari bahwa rambut-rambut halus di sekitaran sana sudah berdiri menegang semua.

Gila!

Gimana bisa ada cewek semesum itu di dunia ini?

Satria panik. Memikirkan hal tersebut membuat ia tak bisa tenang. Kepalanya terasa penuh dan tanpa sadar ia mondar-mandir di kamarnya yang luas itu.

Aku nggak tau ya mana yang lebih buat pusing antara digosipkan punya hubungan dengan sekretaris cowok atau justru jadi objek fantasi seks sekretaris cewek?

Satria kembali meremas rambutnya sendiri.

Ya Tuhan.

Kenapa sekalinya aku nerima sekretaris cewek, malah cewek mesum yang kepilih?

Satria berpikir dengan keras. Mengetahui bahwa ia tidak mungkin bisa tahan bekerja selama lima hari dalam sepekan bila ia harus bekerja sama dengan seorang sekretaris yang jelas-jelas sudah terobsesi dengan bokongnya.

Ya ampun.

Kaki Satria berhenti mondar-mandir. Tepat berhenti di depan cermin yang memiliki tinggi berukuran dua meter. Entah sadar atau tidak, namun saat itu Satria hanya terpekur melihat pantulan pada cermin tersebut. Lebih tepatnya pantulan sosok tubuhnya yang berdiri menyamping.

Kalau ada cewek yang tergila-gila dengan uang kamu ... itu wajar, Sat.

Kalau ada cewek yang tergila-gila dengan wajah kamu ... itu wajar, Sat.

Tapi ....

Pandangan Satria turun. Beralih pada lekukan di bagian belakang tubuhnya. Dan lalu, suara Eriana kembali bergema nyaris membuat ia mual.

"Bokong Bapak ... benar-benar sempurna!"

Tapi ..., kalau ada cewek yang tergila-gila dengan bokong kamu, Sat ..., ya ampun. Itu cewek pasti udah gila.

Kesimpulan tersebut membuat Satria horor. Dan ia menyadari bahwa ia harus mengambil tindakan cepat untuk mencegah hal yang lebih buruk terjadi. Melakukan tindak pencegahan.

"Ini memang. Sepertinya aku nggak punya pilihan lain lagi," pikir Satria.

Tangannya merogoh saku celananya. Mengeluarkan ponsel pintarnya. Menempelkan jari jempolnya di sensor sidik jari dan kunci layar pun terbuka.

"Walaupun dia baru bekerja, tapi mungkin aku bisa memecat dia," lirih Satria. "Tapi, sebelum itu, lebih baik aku konsultasikan dulu ke sekretaris a---"

Ucapan Satria menggantung di udara.

Di satu sisi Satria mengetahui dengan jelas bahwa posisi dirinya sebagai CEO dituntut untuk mengambil tindakan yang seobjektif mungkin. Dan kerena itulah mengapa ada satu posisi yang penting yang harus diisi oleh orang yang berkompeten. Yaitu, sekretaris. Tak hanya bertugas untuk mengurus pekerjaan di kantor, lebih dari itu sekretaris pun bisa dibilang sebagai penasehat seorang pimpinan. Satu posisi yang memungkinkan seseorang untuk memberikan pandangan baik buruk terhadap keputusan yang akan diambil oleh pimpinan.

Dan sekarang? Aku mau minta pertimbangan Eri buat memecat dirinya sendiri?

Satria benar-benar merasa tidak berdaya.

Ya ampun!

Ia merasa stres saat itu. Terutama ketika ia menyadari bagaimana akhir-akhir ini ia selalu berinteraksi dengan gadis itu.

Astaga!

Jangan-jangan selama ini ... di saat ia berjalan di belakang aku?

Mata Satria membesar. Bayangan Eriana yang berjalan di belakangnya dengan tatapan yang tertuju pada bokongnya langsung muncul. Dan tak hanya itu. Bayangan itu memperlihatkan Eriana yang menatap intens pada bokongnya dengan lidah yang menjilati bibir atasnya dengan sensual dan sepuluh jarinya bergerak-gerak mesum.

Kyot! Kyot!

Tuhan. Lebih baik suruh aku hadapi begal daripada nyuruh aku ngadapin cewek mesum.

Namun, layaknya Tuhan sedang mempermainkan pria itu, beberapa detik kemudian Satria mendapati pintu kamarnya diketuk sebanyak dua kali. Terburu-buru Satria merapikan penampilannya dan lalu berseru.

"Masuk."

Pintu terbuka dan Herman muncul. Pria itu terlihat mengangguk sopan sekali sebelum berkata.

"Tuan Muda, sebelum makan siang ini Nyonya ingin bicara sebentar."

Dahi Satria berkerut. Mendadak saja saat itu jantungnya seolah mendadak berhenti berdetak. Ataupun kalau masih berdetak, maka detaknya sangat halus.

"Untuk urusan apa, Pak?"

Herman tersenyum. "Sepertinya ini ada kaitannya dengan pertunangan Tuan Muda dan Nona Eriana."

Satria membeku.

Bukan hanya ia tidak bisa memecat gadis itu, sekarang malah ada fakta lainnya yang hampir ia lupakan. Ia kan harus menikah dengan Eriana.

Dug!

Satria bisa mendengar suara benda terjatuh. Dan butuh perjuangan yang sangat besar untuk Satria dalam menahan diri.

Itu pasti jantung aku yang jatuh.

Nggak salah lagi! Ingat kalau aku udah mau nikah dengan dia aja udah langsung ngebuat jantung aku copot dari tempatnya. Gimana kalau aku beneran nikah sama dia?

Memejamkan matanya, Satria merasa dirinya benar-benar sudah berada di ujung tanduk.

Menikah dengan Eri?

Sekretaris mesum predator bokong?

Imajinasi Satria berkelana.

Lima hari dalam seminggu harus bertemu Eriana saja sudah membuat ia merinding atas bawah. Dan ini menikah? Yang artinya tujuh hari dalam seminggu ia harus bertemu dengan gadis itu?

Tunggu dulu. Ada yang perlu diralat.

Dan ini menikah? Yang artinya bahkan ia pun harus sekamar dengan gadis itu?

Satria merasakan bagaimana nyawanya dengan perlahan mulai keluar dari ubun-ubun kepalanya. Layaknya asap yang terbang ke atas.

Sayang ....

Mana bokongnya?

Sini dong aku remas.

"Tidaaak!!!"

Dan Herman hanya bisa melongo melihat kelakuan Satria yang benar-benar di luar dugaannya.

"Tuan Muda?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top