1. Bos Yang Menyebalkan

Suasana pagi yang cerah saat itu. Di pelataran perusahaan Aksa Bhumi, seorang wanita berdiri dengan tatapan yang lurus terarah pada gerbang kantor. Dengan sabar menunggu satu mobil yang mengantarkan orang yang tengah ia tunggu kehadirannya.

Menyandang tas kerjanya di bahu kirinya, wanita itu membawa kedua tangannya dengan sopan bertemu di depan perut. Tubuhnya yang ramping berbalut stelan kerja bewarna biru muda dengan kombinasi sepasang sepatu berhak setinggi tujuh sentimeter di kakinya yang jenjang –yang ia harapkan bisa menyamarkan tinggi badannya yang hanya bertahan di angka seratus lima puluh tujuh sentimeter. Wajahnya yang terlihat segar dipulas oleh make up bernuansa natural, terlihat manis. Rambut bewarna coklat gelap ia sisir dengan rapi dalam tatanan updo. Memberikan kesan muda yang berkelas untuk seorang wanita yang berstatus sebagai sekretaris CEO di perusahaan itu.

Adalah Eriana Dyah Pitaloka, seorang wanita berusia dua puluh delapan tahun yang baru saja berhasil mendapatkan posisi sebagai sekretaris di sana dengan perjuangan yang tidak mudah. Sempat tersingkir di tahap terakhir tes yang diselenggarakan, Eriana telah berusaha menerima takdir buruk itu bahwa ia tetap menyandang status sebagai pengangguran. Namun, pada akhirnya Eriana percaya dengan ungkapan: rezeki tidak akan tertukar.

Hal itulah yang terjadi pada dirinya seminggu setelah pengumuman kelulusan penerimaan jabatan sekretaris itu. Seorang pria yang bernama Teguh Santoso –yang mulanya terpilih mengisi posisi sekretaris itu- mengalami nasib malang. Terserang penyakit demam berdarah hingga dirinya harus izin ketika baru empat hari bekerja. Sementara itu, CEO perusahaan tersebut sedang dilanda pekerjaan yang tidak sedikit. Hingga mengambil opsi selanjutnya, penarikan Eriana sementara Teguh dianggap tidak mampu memenuhi salah satu perjanjian di kontrak kerja. Yaitu, tidak diperkenankan untuk mengambil izin di bulan pertama. Sekilas terlihat tidak berperikemanusiaan karena Teguh pun terpaksa izin karena sakit, namun begitulah yang terjadi. Ada pekerjaan yang tidak bisa dinilai secara perasaan. Dan pada akhirnya, nasib buruk Teguh justru merupakan nasib baik untuk Eriana. Sekarang, tercatat sudah merupakan minggu kedua bagi Eriana menyandang status sebagai sekretaris di sana.

Semenit kemudian, mata Eriana menyipit. Melihat pada satu mobil hitam mewah yang berkilat tampak melintasi gerbang kantor. Dengan mulus berjalan dan berhenti tepat di depan pelataran gedung kantor yang tinggi dan megah itu. Eriana pun beranjak. Mendekati mobil dan segera membuka pintu itu seraya berucap.

"Selamat pagi, Pak."

Satu suara berat dan dalam terdengar membalas sapaan Eriana sekilas.

"Pagi."

Seiring dengan balasan sapaan sopan itu, satu tas kerja tampak terulur dan dengan segera disambut oleh Eriana. Tepat sebelum empunya turun dari mobil itu.

Sang CEO perusahaan yang bernama lengkap Satria ArdimanDjokoaminoto berdiri sejenak di sisi mobil. Sekadar memberi satu sentakan pada jasnya agar rapi kembali –atau justru itu adalah tindakan rutinitas yang dimaksudkan untuk memamerkan pesona yang ia miliki pada semua mata yang memandang, kalau kata Eriana.

Eriana menyadari hal itu dari pertama melayangkan surat lamaran ke perusahaan itu. Bahwa perusahaan tersebut memiliki CEO yang persis seperti deskripsi novel romansa atau pun visual drama cinta. Tak ada ubahnya.

Lihat saja. Tubuh tinggi yang tampak proporsional dalam angka seratus sembilan puluh sentimeter itu dinaungi oleh rambut lurus tebal yang hitam. Wajah yang tampan dengan sepasang mata elang yang tajam. Rahang yang tegas diimbangi oleh bibir yang sensual. Dadanya yang bidang. Punggungnya yang tegap. Dan jemari tangannya yang panjang terlihat begitu kuat.

Maka dari itulah, ketika Satria membuang sedetik waktunya demi merapikan jasnya, Eriana selalu menduga hal itu disengaja Satria untuk memukau mata setiap orang yang memandang dirinya. Karena setelah itu barulah Satria melangkahkan kedua kakinya.

Berada di belakang Satria, Eriana pun turut melangkah. Berusaha mengimbangi langkah besar dan lebar Satria dalam jarak yang teratur sementara ia kesusahan menjaga keseimbangan dengan sepatu hak lancipnya itu. Pun mencoba agar langkah kakinya tidak terlalu terburu-buru dan melenyapkan kesan anggun nan profesional yang semestinya selalu melekat pada diri seorang sekretaris mana pun.

Mengabaikan beberapa pasang mata yang sesekali melirik pada mereka berdua, Eriana menunggu waktu yang tepat untuk bicara. Tepat ketika mereka berdua telah melewati sensor keamanan yang menghubungkan antara lobi dan bagian dalam perusahaan, menuju ke lift khusus untuk mereka dan Eriana pun mempercepat langkah kakinya. Sedetik setelah Satria menghentikan langkah kakinya di depan lift, Eriana dengan segera menekan tombol di lift tersebut.

Dan setelah mereka berdua masuk ke dalam lift tersebut, bertepatan dengan lift yang perlahan mulai bergerak, maka Eriana pun mengatakan hal yang telah tersusun rapi di benaknya.

"Hari ini Bapak ada jadwal rapat jam sepuluh pagi di Ruang Rapat Utama mengenai proyek pembangunan apartemen Wisnu Istana. Selanjutnya di jam dua belas siang, ada janji makan siang bersama Pak Andika."

Memasukkan kedua tangannya di saku celana, Satria menarik napas dalam-dalam seraya sedikit mengangkat wajahnya. Hidungnya terlihat mendengus sekilas.

"Mundur sedikit, Eri. Parfum kamu terlalu menyengat."

Di belakangnya, Eriana mengerjapkan matanya dua kali. Dengan bibir manyun, wanita itu mundur selangkah seraya mengendus aroma tubuhnya sendiri.

Perasaan aku malah parfumnya nggak kecium deh.

Eriana kemudian mendehem sekilas. Sebelum lanjut berkata.

"Setelah itu mungkin Bapak ingin menghadiri sejenak pertemuan internal Departemen Pemasaran. Dijadwalkan jam dua siang nanti, Pak."

Satria diam sejenak. Kepalanya sedikit meneleng ke satu sisi sebelum berkata.

"Sepertinya nggak. Daripada itu, sebaiknya kamu yang datang memantau pertemuan tersebut. Laporkan pada saya setiap rinciannya."

Walau jelas mengetahui bahwa bosnya itu tak akan melihat, nyatanya Eriana tetap mengangguk.

"Baik, Pak."

"Ting!"

Lift berbunyi. Lantas pintu itu pun terbuka.

Satria langsung melangkah dengan Eriana yang masih mengikuti dirinya. Bahkan wanita itu pun membuka pintu ruangan Satria. Meletakkan tas kerja pria itu dengan sopan di atas meja.

Bersamaan dengan itu, Satria beranjak. Duduk di kursinya. Ketika Eriana akan mengucapkan permisinya, mendadak saja terdengar suara Satria berkata.

"Dan ingat. Saya nggak mau kejadian kemaren kamu ulangi lagi, Eri."

Mata Eriana mengerjap. Berusaha mengingat kejadian kemaren yang mana yang tengah bosnya bicarakan.

"Maksud Bapak?" tanya Eriana kemudian dengan berhati-hati.

"Jangan selipkan hasil pertemuan nanti di dalam tas kerja saya. Saya nggak suka mencampuradukkan pekerjaan dengan waktu istirahat saya."

Eriana menarik napas sekilas. Senyum masih terkembang di wajahnya. "Baik, Pak. Saya mengerti."

Satria melirik melalui sudut matanya.

"Ya sudah. Kalau gitu, ke meja kamu sekarang."

Kaki Eriana sudah akan bergerak, namun suara Satria kembali terdengar.

"Jangan lupa kopi saya, Ri."

Kaki Eriana berhenti. Menoleh pada Satria yang tak acuh justru menyalakan komputer di mejanya.

"Baik, Pak," jawab Eriana singkat. Lalu, benar-benar beranjak dari sana.

Keluar dari ruangan Satria, Eriana meletakkan sejenak tas kerjanya di meja kerja milik dirinya yang berada tepat di luar ruangan Satria. Sebenarnya secara harfiah, ruangan Satria dan Eriana berada di dalam satu ruangan besar. Nyatanya setelah dari lift, mereka akan melewati satu lorong yang mengarah pada satu pintu ruangan besar. Ruangan di mana tempat Satria dan Eriana berada.

Tak langsung melaksanakan pekerjaannya, Eriana langsung beranjak ke pantry yang memang tersedia di lantai mereka. Dengan segera memanaskan air di satu kompor gas di sana dengan menggunakan satu ketel sementara ia langsung beranjak menyiapkan bubuk kopi di satu cangkir bewarna hitam.

Eriana ingat betul. Setiap detail yang telah ia pelajari dari catatan kecil yang ditinggalkan oleh sekretaris terdahulu sebelum dirinya. Yang mana sebenarnya Eriana tidak sempat bertemu dengan wanita yang bernama Marianti tersebut. Ia hanya menemukan satu buku catatan yang lumayan tebal yang ditinggalkan di laci meja sekretarisnya. Kurang lebih isinya adalah mengenai sifat-sifat pria yang saat ini menjadi bosnya itu. Dan kalau Eriana tidak salah ingat –yang mana ini mustahil sekali karena pada dasarnya ingatan Eriana begitu tajam-, salah satu catatan di sana memiliki tanggal. Yaitu, 12 Desember 2016.

Ketel berbunyi.

Lamunan Eriana akan buku catatan itu buyar seketika. Tergantikan oleh gerakannya yang cepat. Memadamkan kompor gas. Menuangkan air panas ke cangkir dan segera mengaduk kopi hitam tanpa gula itu.

Eriana meletakkan cangkir beserta tatakannya di atas nampan. Tersenyum dan teringat bahwa ia pun mengetahui kopi kesukaan bosnya itu melalui catatan di buku itu.

Berhati-hati, Eriana membawa nampan tersebut dan mengantarkannya ke ruangan Satria. Tak ada basa-basi selain.

"Silakan dinikmati, Pak."

Dan perkataan Eriana hanya disambut deheman Satria.

"Ehm ...."

Tanpa ada kata-kata lain, bahkan sekadar terima kasih.

Setelah mengucapkan permisinya, Eriana beranjak lagi dari sana. Dan ia pun teringat akan hal lainnya. Sesuai yang telah tertulis di buku catatan tersebut.

Pak Satria orang yang tidak suka berbasa-basi.

Yah, Eriana pun akhirnya menyadari bahwa jangan heran bila ucapannya terkadang tidak dibalas oleh Satria. Walau pada dasarnya Eriana tidak pernah menyangka bahwa hal tersebut akan separah ini.

Berbicara mengenai keparahan Satria, sepertinya hal itu telah menjadi rahasia umum perusahaan –yang mana pada akhirnya Eriana ketahui setelah seminggu bekerja. Ketika ia menikmati makan siang di kafetaria kantornya, ia semeja dengan beberapa karyawan dari bidang HRD dan percakapan itulah yang terjadi. Sesuatu yang membuat Eriana menganga tak percaya.

"Kamu tau? Setelah Bu Marianti, kamu adalah satu-satunya cewek yang berhasil menjadi sekretaris Pak Satria."

Kala itu, Eriana benar-benar menganga.

"Sebanyak empat orang sekretaris setelah Bu Marianti dan kamu, mereka semua adalah cowok."

Eriana hanya bisa terbengong dan melirih dua kata. "Kok bisa?"

Dan berlanjutlah percakapan itu, hingga membawa Eriana pada satu kesimpulan yang membuat ia merinding.

"Dengar-dengar, katanya Pak Satria itu phobia cewek."

Mata Eriana melotot. "What?"

"Dan karena itulah mengapa sekretaris Pak Satria cowok melulu."

Satu hal melintas di benaknya. "Tapi, dalam berapa tahun ini beliau sudah ganti sekretaris sebanyak empat kali?"

"Ehm ... itu ..."

Eriana bisa melihat bahwa mereka tampak saling lirik satu sama lain. Wajah mereka yang kompak berubah tampak membuat Eriana mengerutkan dahi.

"Kenapa?"

"Soalnya ... mereka kebanyakan ngeri."

"Ngeri?"

"Ehm ..., tapi kamu nggak perlu khawatir sih. Soalnya kamu kan cewek."

Perkataan itu bukannya menenangkan Eriana, yang ada justru sebaliknya. Semakin membuat wanita itu bertanya-tanya dengan rasa takut yang tak ia mengerti karena apa.

"Maksudnya?"

"Denger-denger sih ... beritanya Pak Satria itu penyuka sesama jenis."

Mata Eriana membesar seketika hingga ia merasa bola matanya akan meloncat seketika dari dalam rongganya.

"What?" tanya Eriana semakin syok. "Pak Satria yang secakep itu penyuka sesama jenis?"

"Berasa rugi banget kan ya?"

"Dan masalahnya satu, semua sekretaris Pak Satria itu kemaren adalah para cowok tulen."

"Tapi ...." Eriana mengerutkan dahinya. "Masa gara-gara itu mereka pada kabur sih? Kan gajinya besar."

"Ck. Nggak semua orang bisa mentolerir hal kayak gitu, Ri."

"Apalagi ya ... semua orang tau sifat menyebalkan Pak Satria."

"Galak, kejam, nggak kenal belas kasih, suka nyuruh orang lembur, jutek, dan wah!"

"Untung aja cakep deh."

Eriana meneguk ludahnya yang terasa menggumpal di pangkal tenggorokan. Di dalam benak ia bertanya-tanya.

Separah itukah bos aku?

Dan sekarang ketika teringat percakapan siang itu, Eriana pun menyadari bahwa yang dikatakan mereka tidak ada yang salah. Malah bisa Eriana yakinkan bahwa semuanya benar.

Lihat saja yang terjadi tadi pagi.

Perkara soal parfum pun bisa menjadi alasan bagi Satria untuk menegur dirinya. Dan kalau mau Eriana ingat-ingat lagi, bukan hanya soal parfum yang bisa menjadi pemicu teguran Satria.

"Eri, warna merah pakaian kamu benar-benar menyala. Mata saya rasanya silau melihat kamu."

"Eri, lipstik kamu terlalu norak. Terkesan murahan."

"Eri, apa kamu bisa mengetik dengan kuku jari sepanjang itu? Segera potong."

"Eri, ganti model hak sepatu kamu. Haknya membuat suara menggema di sepanjang jalan."

Kalau mau dihitung, rasa-rasanya Eriana tidak lagi mampu menghitung sebanyak apa teguran yang Satria berikan pada dirinya hanya karena penampilan dirinya. Dari model pakaian, warna lisptik, ketebalan bedak, panjang kuku, model sepatu, hingga yang terbaru tadi pagi, aroma parfum.

Padahal sebagai seorang wanita, Eriana hanya berusaha untuk menjaga penampilannya agar tetap segar. Bukankah orang-orang mengatakan bahwa sekretaris adalah wajah kedua seorang bos? Menjaga penampilan dirinya tentu saja berarti menjaga harga diri Satria. Lagipula, berbicara mengenai penampilan ... memangnya ada pria yang tidak menyukai wanita mengenakan pakaian dengan warna yang paling seksi sedunia? Bukankah merah menunjukkan sifat atraktif wanita ya? Cocok dengan profesi sekretaris yang ia sandang kan?

Dan sebagai pembelaan saja, Eriana tidak pernah menyemprot parfum ke tubuhnya lebih dari tiga kali semprotan. Aroma parfumnya pun sebenarnya lembut. Seharusnya tidak akan menimbulkan kesan menyengat seperti yang dikatakan oleh Satria tadi. Sehingga Eriana pun menyadari bahwa yang dikatakan para karyawan benar adanya.

Ya.

Satria adalah bos yang menyebalkan.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top