29
"dokter.!" Aree memanggil Dokter Tete yang sudah selesai melakukan pemeriksaan rutin padanya dan bersiap pergi.
"Tumben hari ini anda pendiam sekali."
Aree tentu saja sudah menebak alasannya pasti karena kehadiran Laura kemarin.
"Apa anda takut salah bicara dan membuat keadaanku memburuk.?"
Aree tertawa.
"Dokter apa saya sudah boleh pulang.?"
Dokter Tete kaget mendengar pertanyaan Aree yang tiba-tiba.
"Kenapa.?" Tanyanya.
Aree tersenyum.
"Tapi bukankah itu selalu yang ditanyakan pasien pada dokternya.!"
Dokter Tete milirik sang suster pendamping.
"Apa ada yang salah.?"
Aree menggeleng.
"Sepertinya diluar sangat sepi."
Dokter Tete terlihat tidak enak.
"Apa semuanya sudah pergi, mulai bosan menunggu.?"
Aree terus melihat ke pintu keluar.
"Kondisi tuan Salban kurang baik jadi dia istirahat di ruang lain.
Ssmalam dia emosi jadi tekanan darahnya sedikit naik.
Kedua putranya bersamanya, di kamar paling ujung."
Dokter Tete menjelaskan.
"Apa kakek baik-baik saja.?"
"Yah hanya butuh istirahat." Dokter Tete cepat-cepat menenangkan Aree yang terlihat cemas.
"Emi dan Yul.?"
"Yul ada di ruang tuan Salban sedangkan Emi pulang katanya dipanggil oleh Idze.!"
Dokter Tete kembali menjelaskan.
Aree mengangguk mengerti, dia tidak perlu bertanya tentang Idze, dia sudah tau jawabannya.
"Dokter bisa aku minta tolong satu hal.
Aku butuh menuliskan sesuatunya tapi aku tidak punya pena atau pencil dan kertas.
Jadi kupikir bisa rekam saja suaraku dan nanti tolong ubah ke bentuk tulisan dan diprint.?"
Meski heran, dokter Tete mengangguk.
Dia mengeluarkan ponsel dan nenyalakan rekaman suara, mendekatkan pada Aree.
Saat Aree bicara dengan terperinci dengan rekaman yang menyala, dokter Tete dibuat kaget, tapi dia memilih diam sampai Aree selesai memperinci segalanya dan mematikan rekaman suara.
"Aree apa sudah dipikirkan.
Anak ini, apa kau.."
"Dokter." Aree memotong.
"Tolong print sesuai yang aku minta. Setelahnya tolong perlihatkan biar aku bisa memeriksa jika ada yang terlewatkan."
Aree memejamkan matanya.
"Tolong bantu aku.. tidak ada yang lain yang bisa membatu.. semuanya pasti menolak.
Mereka semua ada diluar sana tapi takkan ada yang mau membantuku."
"Tapi Aree soal semalam aku rasa Idze bisa menjelaskannya padamu."
"Sudah terlalu lama menundanya, semakin cepat dibereskan semakin baik.
Sungguh aku lelah dengan semua drama ini.
Aku benci semua orang, termasuk diriku sendiri."
Aree tersenyum.
"Sejujur aku mulai bosan terkurung dan hanya melihat pemandangan yang sama setiap harinya.
Jadi aku ingin meninggalkan tempat ini."
"Keluar dari sini kemana kau akan pergi.?"
Dokter Tete mulai cemas.
"Tubuhmu rapuh dan kandunganmu lemah, kau tidak pergi lalu bergerak kesana-kemari sesukamu."
Kepalanya menggeleng.
"Aku tidak akan mengizinkanmu keluar jika suamimu tidak bisa menyakinkanku kalau kau akan dijaga terus selama dua puluh empat jam."
Aree melihat pada ponsel sang dokter.
"Sebentar lagi aku tidak punya suami, semua keputusan ada di tanganku."
Dia tersenyum.
"Yakinlah mengingat betapa Idze Salban sangat menyayangi kekasihnya, dia tidak akan ragu menandatanganinya."
Kening dokter Tete berkerut, dia memang belum pernah melihat interaksi Idzs Salban dan istrinya ini tapi dia yakin orang butapun tau betapa Idze takut kehilangan Aree.
Apalagi saat melihatnya berlari membawaa istrinya, saat itu di mata Idze dunia seperti akan kiamat.
Tapi se sok tau apapun dia tentang hubungan Idze dan Aree tetap saja dia orang luar yang masih akan buta untuk bisa melihat sisi lain yang terhalang.
Orang luar tetaplah orang luar.
"Dokter jika anda melihat Emi atau Yul, tolong katakan aku ingin makan bubur manis yang mereka buat."
Aree mengangkat alis.
"Aku boleh kan makan Itu.?"
Dokter Tete mengangguk.
"Selama tidak terlalu manis, tidak rakus dan semua bahannya alami."
Aree tersenyum.
Ini pertama kalinya dia minta sesuatu.
Biasanya dia makan saja makanan rumah sakit tanpa protes, menelannya dengan air saat dia merasa enek atau mual.
"Dan dokter tolong pastikan kapan aku bisa keluar dari rumah sakit ini.
Kasihan mungkin ada beberapa orang yang sangat butuh dirawat tapi karena aku dia jadi tidak dapat tempat.
Lagipula tidak mungkin aku membuat keluarga Salban yang terhormat berkemah di sini."
Aree menarik napas panjang.
"Seperti yang nona Laura bilang, aku harus sadar diri dan tau kedudukanku."
Aree merebahkan kepalanya ke bantal, menghembuskan napas panjang seperti sangat menikmati hidup.
"Lagipula jika suamiku menandatangani perjanjian cerainya, aku akan bebas lalu kenapa aku membuang waktu mengurung diri dalam ruangan ini."
Dokter Tete melihat wajah Aree yang masih pucat, pada punggung tangannya yanv masih bengkak dan lebam karena terlalu lama memakai Infus.
Dia tau Aree masih sangat lemah dan tertekan tapi anehnya dia salut karena Aree bisa begitu tegar.
Dia tidak tau apakah Aree menangis mendengar semuanya, melihat suaminya pergi dengan sang simpanan tapi dari sorot matanya, Dokter Tete yakin Aree tidak merasa cemburu hanya rasa kecewa, mungkin.
Aree meraba pinggangnya.
"Aku tidak mungkin melahirkan normal dan ada kemungkinan mereka lahir lebih cepat dari seharusnya.
Lima puluh perseb kemungkinan aku mati saat melahirkan, lima puluh persen lagi mereka yang tak mampu bertahan."
Mata Aree berkaca-kaca.
"Andaikan saja aku bisa mendapatkan seratus persen, tidak perlu berbagi yang lima puluh persen pada mereka."
Airmata itu jatuh tanpa suara.
Aree tau jiwa keibuannya sudah menguasai perasaannya.
Dia awalnya tidak pernah menduga kalau dia akan mencintai dan takut kehilangan bayinya meski mereka berasal dari Idze.
Aree tak rela kehilangan mereka, Aree takut mereka lahir ke dunia ini hanya untuk menderita sama seperti nasibnya.
Dia takut Laura akan menyiksa bayi kembarnya, tidak memberinya kasih sayang.
Dan bagaimana Idze bisa mencintai bayinya jika anak ini lahir dari wanita yang dibencinya sampai mati.
"Seperti ada empat tembok yang bergerak menghimpit dan menghancurkanku.
Tidak ada jalan keluar, kebebasan yang aku inginkan, kini terasa menakutkan."
Aree mengelus perutnya, menatap lembut.
"Mereka hadiah terindah yang tuhan titipkan padaku. Tapi sayangnya aku tau aku hanya perantaraan, karena pemilik sebenarnya adalah Idze."
Tidak perlu ditanyakan lagi, dokter Tete tau kalau Aree mendengar semua yang Laura katakan.
"Apapun keadaannya tetap saja kau adalah wanita yang mengandung dan melahirkan mereka.
Tidak ada yang bisa menolak jika kau mau memgambil keputusan."
Aree mengangguk.
"Karena itu di surat cerainya aku meminta supaya diizinkan
bertemu mereka sesekali.
agar mereka tau aku ibu mereka."
Dokter Tete menarik napas.
"Aku akan memprint seperti yang kau mau.
Aku akan membawakan untuk dicek, apakah sudah sesuai yang kau mau."
"Terimakasih Dokter."
Bisik Aree parau.
"Dan dokter aku mau minta sesuatu lagi pada Emi atau yul.
Minta mereka membawakan dress yang ada kancing depannya dari atas sampai bawah, yang mana saja tidak masalah."
Alis Dokter Tete terangkang.
"Apa kau mulai bosan pakai baju rumah sakit.?
Mau terlihat cantik di mata suamimu.?"
Aree tau sang dokter sedang melucu.
"Di mata Idze Salban aku adalah siluman yang kejam tak punya perasaan.
Jadi sebelum aku mati melahirkan anak-anak ini, aku harus menjelaskan padanya semuanya.
Aku tidak mau semua kebenciannya kemudian disalurkan pada anak-anaknya sendiri."
Dokter Tete menarik napas panjang, menyadari kesalahan yang Idze Salban lakukan sudah sangat luar biasa sampai-sampai Aree berpikir seputus asa ini.
"Apa Idze tau penyebab aku sulit Hamil dan melahirkan.?"
Dokter Tete melihat Aree lalu memgangguk.
"Aku menjelaskan semuanya padanya, bahwa ada merusakan di pinggulmu.
Aku menjelaskan kalau tubuhmu rapuh dan ada masalah dengan organ dalammu.
Dia tau harusnya kau tidak hamil tanpa pengawasan dokter.
Tapi dia kebingungan, tidak tau apa yang menyebabkan ini semua padamu."
Dokter Tete menarik bibirnya hingga menjadi garis tipis.
"Dan sepertinya dia benar-benar tak mengerti.
Selama menunggu di sini, aku melihat Idze seperti linglung dan menyesali."
Dia menarik napas.
"Apa kau mau menceritakan apa yang membuatmu seperti ini.?"
"Suster Nia sudah bercerita tentang luka bakar di punggungku yang memanjang hingga ke pinggul.?"
Aree menatap Dokter Tete yang mengangguk, setelah itu baru dia lanjut.
"Lebih sepuluh tahun yang lalu terjadi kebakaran,
Ada balok kayu yang jatuh dari plafon, tepat menimpaku."
Aree mengangkat bahu.
"Ajaibnya aku masih hidup tapi sakitnya masih terasa sampai sekarang."
Aree meremas dadanya.
"Baiklah Dokter, Aku tidak akan menahanmu.
Aku juga mulai mengantuk."
Dia memejamkan mata, mengusir Dokter Tete dengan cara halus.
Dia tidak mau membahas masalah ini, terlalu membosankan.!
***************************
(05112024) PYK
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top