25
"tolong dia. Dia berdarah. Darahnya banyak sekali."
Idze berlari masuk ke dalam IGD, dimana tadi dia baru membawa Laura pulang tapi sekarang kembali dengan Aree dalam gendongannya.
Para petugas langsung membantu Idze memindahkan Aree ke atas ranjang dorong menempatkan Aree di dekat peralatan medis dan mendorong Idzs menjauh.
"Dia terjatuh, kakinya.."
Idze terlalu panik, tak tau harus mengatakan apa saat melihat darah di tapak tangan dan di bagian depan jas dan kemeja putihnya.
"Perutku.. sakit sekali.."
Idze kaget mendengar suara Aree, dia mendekat mencoba meraih tangan Aree.
"Apa hubungan anda dan pasien."
Seorang dokter bertanya saat memeriksa kaki Aree lalu beralih ke perut Aree, raut wajahny langsung berubah dan menoleh pada Idze.
"Suaminya, Aree istriku."
Jawab Idze parau bergetar.
"Aku tak mau melihatnya. Suruh dia pergi."
Aree mengerang, merintih dengan badan kaku menahan sakit.
"Jadi istri anda jatuh, bersama wanita yang tadi anda bawa.?"
Dokter yang tadi merawat kaki Laura, terlihat jengkel.
"Anda membawa wanita lain tapi membiarkan istri anda sampai seperti ini.!?"
Tuduhnya yang langsung menyimpulkan suami istri ini tidak akur.
Sebagai seorang wanita dia bersimpati pada wanita yang terbaring di ranjang ini.
"Tuan tolong menjauh, pasien saya tidak mau anda mendekat."
Dia memberi kode pada salah satu perawat untuk menjauhkan Idze lalu menutup tirai.
Idze tidak berdaya dia pasrah saja karena ditarik menjauh, dia mengigit bibirnya, meremas jemarinya yang masih licin oleh darah.
Dia dibuat menunggu begitu lama, berjalan mondar mandir di depat ruang gawat darurat tersebut sampai Yul dan Emi datang mendekat dan bertanya tentang Aree.
Idze menggeleng tak mampu bersuara jemarinya bergetar, dadanya menyempit menyadari betapa takutnya dia kehilangan Aree.
Tidak ada diantara mereka yang bersuara sampai sang dokter keluar sambil melepas sarung tangan yang yang merah oleh darah..
Darah Aree bisik batin Idze gemetar.
Idze mendekat, sang dokter berhenti dua langkah di depannya.
"Benar anda suaminya.?"
Si dokter ingat betul bagaimana wanita yang sebelumnya terus merengek, bergelayut di lengan laki-laki ini padahal kenyataannya sang laki-laki sudah menikah, mengabaikan istrinya hingga seperti ini.
"Ya.." lirih Idze.
"Aku suami Aree."
"Lalu apa anda tau istri anda tengah hamil dan nyaris keguguran.
Terlambat sedikit lagi kita bisa kehilangan keduanya.!"
Seperti ada godam yang menghantam rahang Idze menbuatnya oleng dan terhuyung ke belakang, dia berpegangan pada lengan YUl yang mematung.
Mereka semua dibuat kaget oleh ucapan dokter barusan, jelas tidak tau dan tidak menyadarinya.
"Pemeriksaan menyeluruh perlu dilakukan.
Saat ini tidak boleh ada guncangan atau tekanan.
Dia benar-benar harus istirahat, fisik dan mental."
"Aree hamil.." bisik Idze.
"Berapa.." suaranya mengambang lalu hilang, Idze terlalu shock, terlalu bingung dan takut.
"Menurut perkiraan saya sudah melewati trimester pertama, jalan empat bulan.
Tapi tentu saja harus ada pemeriksaan lebih lanjut.
Untuk itu dia akan tetap tinggal dan dirawat di rumah sakit."
Si dokter menatap tajam Idze.
"Dia tertidur, tidak kesakitan lagi, sudah tenang tapi bersikeras meminta agar anda tidak mendekatinya.
Dia tidak mau melihat anda."
Sang dokter melihat emi dan Yul.
"Nanti saat pasien sudah tenang, saya akan memberitahukan tapi jika dia menolak bertemu siapapun, maka kami tak punya pilihan. Saat ini yang paling penting adalah ketenangan sang ibu."
Idze masih terpaku, bisikan benci Aree tak berhenti terngiang di telinganya.
Kata-kata yang Aree katakan tak mau lepas dari benaknya.
Dia berusaha bernapas tapi sulit sekali untuk menarik udara masuk ke paru-parunya.
"Hamil.." bisiknya meremas dadanya yang sakit.
"Tolong selesaikan semua prosedur di bagian Administrasi, lalu silahkan keruangan saya, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan pada anda sebagai suaminya.!"
Sang dokter lalu berlalu, sedangkan seorang perawat mengarahkan Idze untuk mengikutinya.
Yul dan Emi saling menggenggam, jemari mereka dingin wajah mereka pucat dan hanya sorot mata yang bisa menyampaikan perasaan mereka disaat lidah mereka kelu.
Idze sendiri tidak mengatakan Apapun saat di bagian Administrasi, dia mengeluarkan kartu identitas dan kartu banknya, menyelesaikan semuanya tanpa satu katapun.
Saat semuanya selesai, dia digiring ke ruang sang dokter yang sudah menunggu.
Dokter wanita paruh baya itu, meletakan kertas-kertas yang sedang dipegangnya, membuka kacamata dan mempersilahkan Idze duduk di kursi di seberangnya.
Idze duduk lemas, tidak tau harus bagaimana atau bertanya apa.
Mendengar kabar kehamilan Aree dan melihat darah di tangan yang belum sempat di cucinya, Idze masih tak mampu berpikir yang terasa hanya sakit di dada.
"Tuan Salban." Mulai si Dokter.
"Berapa lama anda menikah dengan Aree, berapa lama kalian saling kenal.?"
Idze terlalu bingung dan lelah untuk menebak arah pembicaraan sang dokter.
"Kami menikah enam bulan ini dan saling kenal dari umur sepuluh tahun."
Kening sang dokter berkerut, dia melihat lembaran plastik hitam transparan yang artinya itu adalah hasil ronsen.
"Kalau begitu anda harusnya tau bahwa istri anda tidak boleh hamil tanpa melakukan konsultasi atau mendapatkan izin dari dokter.?"
Mata Idze membelalak, dia sempat melirik pada kertas dan hasil ronsen.
"Apa maksudnya.?"
"Benturan keras atau pukulan benda tumpul di pinggang istri anda membuatnya sulit untuk memiliki keturunan, kalau dia nekad, resiko dengan nyawanya sendiri sebagai taruhan.
Seharusnya saat kalian menikah dan berencana punya anak, kalian harus melakukan konsultasi dan pemeriksaan menyeluruh."
Sang dokter menatap tajam Idze.
"Sebagai suaminya bukankah seharusnya anda tau itu.?"
Kapan Aree pernah terjatuh atau mendapatkan pukulan.?
Idze tidak pernah mendengarnya, dia tidak tau sama sekali.
"Saat ini janinnya masih disana tapi kapan saja kita semua bisa kehilangan."
Si dokter mengansurkan selembar ke hadapan Idze.
"Barusan saya memastikannya, melakukan pengecekan.
Kandungannya berusia lima belas minggu.
Dan ini."
Sang dokter mengetuk pada kertas di meja, melingkarkan belakang penanya.
"Hamil satu bayi saja sudah sangat berisiko tapi ini ada dua janin yang sedang di kandung istri anda dan resikonya luar biasa sekali untuk istri anda dan janin itu sendiri."
"Kembar." Bisik Idze menatap gambar hitam putih dengan dua lubang hitam di sana.
Kembar seperti dirinya dan tuan muda Ivar yang Aree puja.
"Istri anda sendiri kaget saat tau dia hamil, dia bilang itu mustahil tapi kemudian saat saya mengatakan padanya dia bisa bicara dengan anda untuk memutuskan apa yang terbaik, dia menolak dan bilang dia akan mempertahankan bayinya, tak mau bicara atau bertemu dengan anda."
"Kapan.. kapan aku bisa bertemu Aree.?" Bisik Idze yang matanya terpaku pada hasil USG, jemarinya yang bergetar menyentuh dua titik yang merupakan janin yang berasal dari benihnya.
"Aku harus bicara dengan aree, ada banyak yang ingin kukatakan padanya."
Dia sadar mereka tidak pernah bicara baik-baik selama enam bulan ini.
"Saat ini yang paling penting adalah menjaga ketenangan mental istri anda.
Fisiknya sangat lemah, dia terlalu kurus dan ada beberapa tulang yang cacat.
Kita tidak bisa gegabah, saat dia mau, saat itulah anda bisa menemuinya."
Sang dokter menatap Idze.
"Dan tolong jangan coba-coba menerobos masuk, memaksa bertemu dan bicara."
Dia menarik napas.
"Pendarahannya memang sudah berhenti tapi kapan saja bisa terulang dan kita tak pernah bisa memastikan ibu dan janin akan baik-baik saja.
Kecuali anda sudah siap kehilangan mereka maka anda bisa berbuat sesuka hati.
Biarkan dia istirahat, jangan menganggunya, biarkan dia merasa aman dan tenang."
Idze mengangguk lemah.
"Jika kami kehilangan bayi ini, apakah Aree akan baik-baik saja.
Apa ada kemungkinan dia bisa hamil lagi nanti.?"
Sang dokter terlihat tidak yakin.
"Sulit ditentukan. Mungkin dengan beberapa pengobatan dan terapi atau operasi semuanya bisa lancar tapi bisa juga memperburuk situasinya.
Andaikan cedera pinggangnya cepat diobati dan tidak diabaikan maka kita tidak akan menghadap masalah seperti ini sekarang."
Dari tadi Idze bertanya-tanya kapan sebenarnya Aree mengalami kecelakaan, kenapa dia tidak tau dan apakah memang tidak ada yang tau karena tidak mungkin mama akan mengabaikan Aree sampai seperti ini.!
"Karena resiko yang Aree hadapi, apakah aku bisa memutuskan untuk menyingkirkan janinnya.?"
Idze ketakutan, dia tidak bisa bernafas hanya dengan membayangkan tidak akan pernah melihat, mendengar dan menyentuh Aree lagi.
***************************
(30102024) PYK
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top