Bab 1 (Novel Tanpa Judul)
Aku pernah mendengar ungkapan bahwa setiap orang punya akar dalam hidup mereka. Tarikan dan keterikatan yang membuatnya enggan bertolak dari suatu tempat--atau memilih pergi di suatu titik, kemudian kembali. Dan saat aku mengamati bangunan-bangunan lama dan baru saling tumpang tindih dari balik jendala mobil, ingatan dan pemandangan yang bertabrakan, aku menjadi berandai-andai, apakah aku punya sebagian kecil saja akar di kota ini? Atau apakah aku sebelumnya memang punya, tapi sekarang sudah sekarat?
Bukannya aku punya ingatan super kuat, tapi perubahan-perubahan selama beberapa tahun belakangan terlihat begitu jelas bagiku. Dulu aku dan Mum sering mengunjungi restoran kecil dengan bangku-bangku biru usang ditata di luar rungan. Kini restoran itu telah berganti ukuran dan suasana, dengan jendela tinggi dan pintu kaca, karpet mewah, serta semua kursi yang diletakkan di dalam ruangan; tidak lagi berwarna biru. Kemudian, ketika mobil meluncur melewati rumah seribu jam kukuk (itu nama sebuah toko, bukan diartikan secara harfiah. Namun, aku percaya saja di sana menjual seribu jam kukuk. Maksudku, memang ada banyak sekali) aku mencari-cari kedai roti yang menjual pretzel paling lezat di Triberg, tapi yang kudapati adalah etalase yang dipenuhi tas buatan tangan.
Ada banyak contoh lain. Intinya begitulah. Waktu mengubah segalanya.Jangan salah paham, aku bukannya tidak menyukai ini. Rasanya menggairahkan melihat dunia bermertamorfosis di sekelilingmu, tapi saat kau menghirup udaranya, kau masih mengenali aroma manisnya. Satu penyesalanku adalah, kenapa aku tidak berkunjung lebih sering dan menyaksikan perubahan itu berjalan. Dan bukannya memori yang berlubang-lubang, barangkali aku akan mendapatkan ingatan yang berlapis.
Mobil terus melesat, membawaku semakin dalam memasuki wilayah yang tampak familier sekaligus tidak terlalu kukenal. Di sampingku, Paman Frank seolah memakukan pandangannya ke jalanan. Kami hanya berbicara hal-hal formal sejak dari bandara, dan kukira Paman Frank memilih diam karena ingin membiarkanku beristirahat. Di sisi lain, aku tidak yakin bagaimana memulai percakapan dengannya.
Aku tahu, bersikap pasif seperti itu bukan gayaku. Tapi, hei, coba saja berperilaku biasa pada keluarga yang tidak kau jumpai selama bertahun-tahun!
Setelah rasanya lama sekali mobil hanya diisi suara radio, Paman Frank akhirnya berkata, "Aku sudah mengatakannya beberapa kali, Addy. Tapi, senang bisa melihatmu berkunjung."Paman Frank adalah pria paruh baya dengan rambut gelap beruban dan bertubuh tambun. Dia memiliki kerutan-kurutan ramah di wajahnya, dan setiap kali tersenyum, kelihatannya itu adalah salah satu ekspresi paling tulus di dunia.
"Senang bisa ..., " aku memanjangkan kalimat, mencari kata yang tepat, "kembali." Aku cukup sering menggunakan Bahasa Jerman. Namun, tentu saja logat Inggrisku lebih mendominasi.
"Sangat bagus, sangat bagus. Ada banyak tempat indah di dunia ini, tapi tempat di mana kita menghabiskan masa kecil selalu punya rasa istimewa di benak kita, 'kan?" Triberg bukanlah satu-satunya tempat di mana aku tumbuh. Malahan, aku hanya mendatangi kota ini beberapa kali di musim panas. Namun, aku tidak mendebat. "Iya, benar."
Paman Frank merentangkan sebelah tangan, seolah sedang menunjuk Triberg dan semua isinya. "Aku juga merasakan itu ketika aku dan bibimu masih tinggal di Berlin bertahun-tahun lalu. Kami sering duduk di meja makan lama setelah makan malam selesai. Membicarakan hal konyol seperti; kami rindu suara jam kukuk, atau kepala yang kejatuhan runjung pinus saat berjalan di tepi hutan. Hal-hal semacam itu." Paman Frank tergelak, tapi aku tahu dia berkata sebenarnya. "Maksudku, kami bahkan membawa jam kukuk yang kami beli di kota ini sebelum pindah. Tapi, suaranya kedengaran berbeda di luar sana."
Aku tidak paham dengan jam kukuk dan mesinnya. Namun, seperti Paman Frank, kurasa itu bukan karena hal mekanis, melainkan sesuatu yang lebih dalam; kenangan dan perasaan."Mungkin ada sihir yang berkerja di sini," kataku. "Mungkin ada benang tidak terlihat yang menghubungkan kita dengan tempat ini. Saat kita pergi, benang itu menarik kita kembali."
"Menurutmu begitu? Jadi kita seperti anjing-anjing yang terikat?"
Aku mengerutkan dahi, lalu meringis. "Sebenarnya aku sedang mengadaptasi legenda benang merah dari Jepang--penghubung setiap pasangan agar bisa saling menemukan. Aku selalu berpikir itu indah. Tapi, setelah Paman mengatakannya, rasanya jadi sedikit menakutkan, terikat seperti itu."
"Oh, tidak, Addy. Menurutku perumpamaanmu memang indah. Aku tidak mengatakan anjing-anjing yang terikat secara paksa, dan itu perbedaan besar. Artinya, mereka tidak segan atau marah karena terikat di tempatnya. Mereka merasa aman di sana. Tidak ada yang lebih melegakan kecuali mengetahui ada tempat yang bisa dituju setelah berjalan jauh. Barangkali talinya akan menyulitkanmu. Tapi, pada akhirnya tali itulah yang akan menunjukkan jalan pulang."
Mataku mengerjap-ngerjap. Kutepis segaris rambut berwarna abu-abu dari wajahku. "Wow, Paman sangat ... puitis."
"Terima kasih, Addy, kau baik sekali mengatakannya. Bibimu akan meledekku seharian jika aku berkata begitu. Dia bilang seharusnya aku menulis seperti Shakespare. Akhir-akhir ini dia sedikit terlalu bersemangat dengan tulisan."
"Aku bahkan percaya bisa lebih hebat," gurauku.
"Yah, aku tidak bisa membayangkannya. Jika aku menulis, itu pasti akan seperti persilangan ganjil teori kekekalan energi dan midsummer night dream. Itu akan sangat .... "
"Fenomenal?"
"Fenomenal." Sekarang gantian Paman Frank yang meringis.
Dan begitulah awalnya, lalu kami berbicara panjang lebar seperti keluarga yang tidak pernah terpisahkan. Seolah tahun-tahun yang berlalu tanpa bertatap muka tidak pernah ada. Paman Frank juga memberi sedikit pesan agar aku mengantisipasi bibiku.
"Ngomong-ngomong, bagaimana kabar ayahmu, Addy?" tanya Paman Frank begitu kami berbelok menjauhi pusat kota. Ada bangunan besar bergaya bavaria yang bertengger di profil melandai--seolah terpancang ke tanah. Aku baru kali ini melihatnya. "Saat kau menelepon dan bilang ingin berkunjung, kami pikir kalian berdualah yang akan datang."
Tanpa sadar kulirik tangan yang tergenggam di pangkuanku. Kulitku tampak lebih cokelat daripada biasanya. Yah, itulah yang terjadi kalau kau dipaksa mengekori ayahmu berjemur di Pantai Mediterania bersama sekretaris-garis miring-pacarnya. "Dia agak sibuk sekarang, tapi baik-baik saja." Aku menimbang-nimbang, "Dad menitipkan salam untuk paman dan bibi."
"Baguslah. Aku tahu ayahmu bekerja keras. Sampaikan salamku kembali." Paman Frank mengganti saluran radio. Lagu-lagu pop terkenal berubah menjadi suara datar seorang pembaca berita. "Dia masih bermain catur?"
"Sudah jarang. Aku hanya melihatnya sesekali di akhir pekan." Maksudnya sesekali adalah sabtu di akhir tahun lalu.
"Begitu, ya?"
Mobil berbelok lagi, dan aku kembali menatap keluar jendela yang kubuka sedikit-- menampakkan lahan berumput, tapi kali ini diselingi pohon-pohon pinus. Suara radio seolah mengabur menjadi latar belakang, titik utamanya adalah bunyi embusan angin serta rasa sejuknya kala menyentuh wajahku. Aku mendengar sedikit tentang fenomena di malam akhir musim panas dan sebagainya, tapi aku tidak lagi memperhatikan. Hal apa pun yang menyangkut malam akan selalu terlewat olehku. Terutama yang terjadi di langit sana.Aku pasti sempat tertidur beberapa saat, karena beberapa detik kemudian mobil sudah berhenti di pekarangan luas yang ditumbuhi pohon apel. Kemudian Paman Frank berujar, "Nah, ini dia. Selamat datang kembali ke rumah."
*
Aku tahu musim panas seharusnya datang bersama rencana-rencana. Seperti, apakah kau ingin pergi ke pantai menggunakan baju renang atau bikini? Es krim rasa apa yang ingin kau coba? Atau apakah kau ingin mengganti produk tabir surya atau tidak? Namun, musim panas kali ini rasanya datang secara spontan. Aku bahkan nyaris tidak mempersiapkannya.
Tidak ada pantai di Triberg--baju renang tidak jadi masalah buatku (bikini ... nah, aku bukan tipe gadis yang bergantung pada belahan dada. Karena, jujur saja tidak ada apa pun untuk dilihat!) Aku akan melewati es krim--walau macha sangat cocok dengan seleraku, menghabiskan 3 cup setiap hari selama seminggu cukup membuatku muak. Tentang tabir surya, yah ... aku cukup puas dengan yang sekarang. Aku belum ingin menggantinya.
Jadi saat kami sedang makan bersama siang itu dan Bibi Letto bertanya, "Apa rencanamu hari ini, Addy?" Aku tidak punya jawaban. Belum. "Mungkin berkeliling sedikit," sahutku pada akhirnya. Aku punya peraturan dasar. Jika kau tidak yakin dengan situasi, cobalah berkeliling. Itu biasanya membantu.
"Sebelumnya, beristirahatlah, Sayang. Kau pantas mendapatkannya. Aku bisa menemanimu berkeliling sore nanti, jika kau mau."
"Aku baik-baik saja. Tolong tidak usah repot-repot."
"Siapa bilang kau merepotkanku? Kami menantikan kedatanganmu, bukan begitu, Frank? Jangan sungkan meminta bantuan."
Baiklah, mari kita perjelas ini.1. Aku baru menghubungi mereka seminggu lalu, yang praktis tidak pernah kulakukan sejak umurku 9 tahun (terakhir kali aku datang ke sini.)2. Aku secara tiba-tiba bilang ingin berkunjung selama musim panas, yang dalam istilah kasarnya, aku ingin menumpang tinggal minimal sebulan. 3. Sekarang ada kemungkinan lebih dari 0 bahwa aku telah membawa masalah ke ambang pintu mereka begitu aku tiba, sementara di sisi negara lain, mungkin aku sedang menjadi daftar orang hilang (tidak persis begitu. Aku sudah dapat izin dari pacar ayahku. Tapi semua hal bisa jadi rumit jika bersangkutan dengan hubungan ayah-anak.)Menilai dari fakta-fakta di atas, jelas aku bukan keponakan yang cukup baik. Aku memang seharusnya merasa sungkan.
"Itulah yang kukatakan padanya sepanjang perjalanan." Paman Frank meneguk es lemonnya hingga tinggal setengah. Dia menutup mulut kemudian bersendawa. Wajahnya tampak sedikit berkedut. "Maaf untuk yang tadi."
Dari sekian banyak hal yang kuingat, kebiasaan paman dan bibi ketika minum adalah salah satunya. Mereka tidak pernah minum di hadapanku, termasuk kali ini. Saat kutanya padanya tadi, bibi menjawab, "Bukankah itu tidak adil? Kita selalu gembar-gembor anak di bawah umur dilarang menyentuh alkohol, tapi kita orang dewasa selalu minum di hadapan mereka. Di mana letak logikanya itu?"Orang dewasa macam itulah paman dan bibiku, dan aku patut berbangga.
"Sebenarnya ada sepeda di garasi. Jika kau ingin berkeliling santai." Paman Frank merenung sebentar. "Eh, kau belum membuangnya, 'kan, Letto? Kurasa aku tidak melihatnya sekitar seminggu ini."
"Buat apa aku membuang sepeda?"
"Mungkin karena, eh, benda itu menjatuhkanmu?"
Bibi Letto melotot. "Aku tidak membuang benda-benda, Frank. Dan kau sendiri yang meminjamkannya pada Gerald."
"Benarkah? Aku kelupaan lagi." Paman Frank bergerak-gerak tidak nyaman di kursinya. "Kadang aku masih terbayang-bayang insiden pemotong rumput. Benda itu hilang keesokan harinya."
"Tidak hilang." Bibi Letto menjadi defensif. "Aku yang secara khusus memberikannya untuk Frau Leloran. Dia lebih membutuhkannya daripada kita."
"Ada apa dengan pemotong rumput?" selaku.
Paman Frank berdeham. "Begini ceritanya, Bibimu sedang mencoba alat itu padahal biasanya akulah yang menggunakannya. Lalu saat benda itu menyala, Bibimu tidak--"
"Bukan apa-apa, Addy," potong Bibi Letto. Dia beranjak dari meja makan, membawa serta mangkuk besar berisi bratwutz yang tinggal sedikit. "Seharusnya Gerald datang pagi tadi, dia bilang begitu kemarin. Apa dia lupa? Kau ingin tambah lagi, Addy?" katanya sebelum benar-benar pergi.
"Tidak, terima kasih. Aku sudah kenyang."
"Oh, tidak. Belum." Bibi Letto tersenyum cemerlang ketika memutar tubuhnya di depan kulkas. Mata birunya berbinar-binar setengah jail. Untuk sedetik yang membekukan, dia kelihatan sangat mirip dengan Mum. "Kau tidak akan meninggalkan tempatmu sebelum mencoba ini, 'kan?" Dia menjulurkan tangan, memamerkan sepiring besar kue blackforest buatan sendiri. Permukaannya penuh krim dan ceri.
"Bibimu bisa bersikap habis-habisan."
"Wow," adalah reaksiku. Sebab, apalagi yang harus kukatakan?
Sementara Paman Frank menelepon seseorang, Bibi Letto menungguiku di meja makan seolah aku masih berusia 9 tahun. Bibirnya tidak berhenti tersenyum, dengan kata-kata yang terus diulangi, "Kau mirip sekali dengan ibumu." Kenyataannya aku tidak tahu di mana letak kemiripan kami.
Kemudian Bibi Letto serta-merta mengganti topik tentang es lemon, bahwa kami membutuhkan lebih banyak. Ketika dia berbalik dan melenggang ke konter dapur, itu terjadi nyaris terlalu cepat. Dan aku berani bersumpah, aku melihat matanya berkaca-kaca.
*
Rumah teman Paman Frank (sekaligus peminjam sepedanya) yang bernama Gerald sebenarnya cukup jauh jaraknya untuk disebut tetangga. Namun, Paman Frank berkeras menyebutnya begitu karena itulah satu-satunya rumah dalam radius 300 meter ke segala arah.
"Inilah salah satu keuntungan tinggal di pinggiran kota, kita punya ruang untuk diri sendiri, dan tetangga tidak akan terasa begitu menyebalkan," canda Paman Frank. "Di sini tidak akan ada yang menggedor pintumu karena kau menyetel lagu terlalu keras, atau tetangga yang marah karena asap barbeque melewati jendela mereka."
Kami menulusuri lajur aspal sunyi yang seolah membelah lahan berumput menjadi dua sisi. Bunga-bunga ekor singa tumbuh di sepanjang jalan, warna kuningnya sebagian telah mengering seperti benih dandelion, tertiup terbang setiap angin berembus. Suara burung bersahutan dari kejauhan, ditingkahi suara hewan-hewan musim panas. Matahari cerah, langit jernih, pucuk-pucuk pohon pinus yang berkilau. Segala hal nyaris tampak terlalu terang, surealis oleh cahaya. Seperti di dalam lukisan.
Herr Gerald telah menunggu kami di depan rumah yang samar-samar kuingat. Sebuah sepeda berkeranjang di parkir di depan garasi, bersebelahan dengan mobil model tua. "Frank, aku sungguh-sungguh minta maaf."
"Bukan masalah besar." Paman Frank mengetuk kotak perlengkapan yang dijinjingnya. "Nah, ada apa dengan mobilmu?"
"Tidak bisa menyala. Aku sudah memeriksa akinya, tapi aku tidak bisa menemukan di mana masalahnya." Herr Gerald beralih padaku. "Ini keponakanmu yang datang dari London, Frank?"
"Benar. Ini Addy."
"Aku juga berasal dari London. Pindah ke sini mengikuti istriku."
"Kau ingat Melanie, Addy? Teman Ibu dan Bibimu yang sering datang ke rumah?"
"Ya, aku ingat. Dia sering bercerita macam-macam. Jadi--"
"Yah, dia adalah istriku," sambung Herr Gerald seraya melepas sarung tangannya yang penuh oli.
Kami berjabat tangan, lantas dia menyerahkan sepeda padaku. "Melanie sedikit gusar karena dia ingin bertemu denganmu, tapi dia ada urusan. Dia ingin mengajakmu makan malam kapan-kapan. Frank, apa bisa kita mulai sekarang? Jika Melanie pulang dan tahu mobil ini tidak berfungsi, dia akan membuangnya."
"Kedengaran persis seperti seseorang. Ada apa dengan para gadis di sekitar sini dan membuang benda-benda?" Paman Frank tergelak. "Tentu, ayo lakukan."
Sementara itu aku mengatakan pada Paman Frank akan berkeliling sekarang. Aku mulai mengayuh, terus lurus ke timur membelakangi matahari. Kemudi sepeda terasa keras sekaligus nyaman di genggamanku. Punggungku hangat ditimpa cahaya sore. Aku baru ingat tentang sesuatu begitu aku sampai di persimpangan. Maka aku berbalik dan pulang.
Sesampainya di rumah, aku berderap ke lantai atas lalu membongkar koper yang kucampakkan di kaki ranjang. Buku sketsaku berada di tumpukan paling atas, bersama sekotak cat air, oil pastel dan pensil. Aku menyambar semuanya, lantas berlari menuruni tangga dua-dua sekaligus. Nyaris limbung oleh euforia ganjil yang mengaliri nadiku.
Aku selalu berjanji seperti ini ketika meninggalkan rumah, "Aku akan pulang sebelum matahari terbenam." Dan saat itu pula, kata-kata yang sama kuucapkan pada Bibiku. Aku membuang napas lega, tahu aku tidak akan mengingkarinya.
Aku mulai bersepeda lagi, makin lama makin cepat. Dan bukannya mengendalikan laju sepeda, ini nyaris terasa seperti diberi kendali atas diri sendiri. Dengan benda ini, aku bisa pergi ke mana pun--tidak harus berhenti jika aku tidak ingin. Aku adalah angin. Aku bebas.
Ketika tiba di persimpangan tempatku berbalik tadi, aku tidak perlu berpikir untuk memilih jalur yang menanjak. Setelahnya hanyalah kayuhan di pedal yang tidak berhenti-berhenti, napas berat antusias, pepohonan yang lebih rapat serta udara yang lebih sejuk. Saat aku mendongak ke atas, cahaya matahari menyusupi dedauan dalam ratusan sorotan kecil. Aku terus mengayuh sampai kakiku kebas dan tenggoranku kering. Tidak lama kemudian, aku mememukan sebuah kedai kecil yang berdiri sendirian.
Kedai itu bernuansa damai, dengan sebagian besar perabot yang terbuat dari kayu dan bergaya sederhana. Tempat ini dimaksudkan sebagai pelarian setelah menjalani hari sibuk, dan kau hanya ingin diam sebentar dalam kesehajaan. Hanya ada beberapa pengunjung, masing-masing sibuk dengan kegiataannya sendiri. Aku berjalan melewati mereka, memilih kursi tunggal di dekat jendela yang terbuka sementara alat gambar ada di tanganku. Pemandangan yang kudapatkan adalah jalan-jalan kota yang diapit bangunan berjajar beragam warna, sisi luarnya berupa warna hijau tak terbatas--pepohonan yang membentuk hutan hitam.
"Permisi, ini adalah daftar menu kami. Bisa kutulis pesanan Anda?" tanya seorang pelayan berambut pirang pendek dengan nada monoton. Suzane adalah tulisan di tanda pengenalnya. Dia kelihatannya berumur tidak jauh dariku.
"Satu jus jeruk dengan es, bitte."
"Ada yang lain?""Untuk kali sekarang itu saja," sahutku.
"Baiklah, tolong tunggu sebentar."
Pelayan tersebut bertolak pergi dengan gerakan gesit. Tidak sampai sepuluh menit kemudian dia kembali bersama pesananku selagi aku membuka buku sketsa dan meneliti ketajaman pensilku.
"Ini pesanan Anda." Dia melirik buku sketsaku, dan ketertarikan melingkupi suaranya saat berujar, "Anda menggambar?"
"Ya, sebagai hobi."
"Itu cantik sekali." Dia menunjuk sketsa Big Ben yang kugambar dengan garis tumpang tindih yang sengaja tidak kuwarnai.
"Terima kasih."
"Apa anda belajar sendiri?"
Saat aku hendak menjawab, perhatianku tertarik oleh sesuatu--nyaris seperti refleks. Aku menggeser tubuh, menatap ke seberang ruangan. Untuk sedetik, kukira seseorang sedang menatapku. Namun, tidak ada siapa pun yang kukenal di dalam sini. Termasuk seorang pemuda yang baru saja melewati pintu.
"Um, ya," jawabku setelah termenung cukup lama.
"Ohh, aku sempat mengira Anda bergabung dengan Sekolah Seni Renoir. Uh, maaf, Anda tinggal di sekitar sini, 'kan?"
"Tidak, aku hanya menggambar saat senggang."
"Kalau begitu silakan dilanjutkan."
Suzane undur diri, dan aku mulai menggambar apa yang kulihat dari jendela. Aku larut dalam gesekan pensil dan kertas. Dunia nyata seolah memudar. Aku merasa sendiri dalam keramaian, tapi aku tidak keberatan.
Detik-detik berlalu, es di minumanku mulai mencair. Embun di permukaan gelas meluncur turun, meninggalkan jejak berupa galur-galur basah. Saat sketsaku setengah selesai, aku terdiam sejenak. Euforia surut dari darahku. Aku linglung dan kosong. Dan jauh di dalam benakku, aku mencari-cari sesuatu.
*
Cal
TA, 03/06/20
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top