Bab III-Sahabat Tersayang
Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
IG @Benitobonita
Lana berjalan lincah dengan tongkat penuntun di tangan kanannya, sudah hampir satu minggu dia menikmati udara segar di halaman rumah sakit. Adiknya Leo terkadang hanya mengantar dan menjemput Lana saat waktunya pulang.
Gadis itu melangkah menuju tempat kesukaannya. Dia menemukan lokasi yang teduh dan terlindung dari angin.
Samar-samar dia mencium aroma yang tidak asing dari arah kanan tempatnya berdiri. Rasa penasaran timbul dalam hatinya. Menjejakkan tongkat ke arah sumber wangi, Lana berjalan pelan.
Aroma yang menenangkan itu semakin kuat. Gadis itu terus berjalan, hingga merasakan seseorang berada di dekatnya.
Eko duduk di salah satu kursi halaman, termenung menatap kolam ikan yang berada di dekat tempatnya.
Beberapa ikan koi terlihat asyik berenang, berputar-putar seakan sedang menari di dalam air.
Eko menghela napas, setelah kalah adu debat dengan para perawat, pria itu berhasil di usir keluar dari kamar tempatnya bersembunyi, dan diharuskan menghabiskan sore hari di taman. Biar badannya sehat, Mas, ucap salah satu perawat saat menghalangi pria itu untuk kembali ke atas ranjang.
Pria itu tahu, maksud para perawat itu baik. Namun, tatapan orang-orang saat dia melintas, membuatnya harus menahan rasa malu.
Halaman rumah sakit sebetulnya amat nyaman untuk dinikmati, seandainya hatinya sedang tidak gundah, mungkin jiwa senimannya dapat bangkit untuk menciptakan sebuah puisi mengenai hamparan rumput yang terpangkas rapi menyelimuti taman itu.
Lamunannya terputus, saat pria itu mendengar seseorang datang mendekatinya. Merasa malu akan wajahnya, dia berusaha mengangkat telapak tangan kiri untuk menutupi bagian wajah yang cacat.
Mengintip ke arah orang yang menganggu ketenangan sore harinya, dia menemukan gadis itu berdiri tegak menatapnya dengan pandangan kosong.
"Eko, ya?" gadis itu tersenyum bersahabat.
Eko menurunkan tangan, gadis itu tidak bisa melihat luka di wajahnya, perasaan rendah dirinya berkurang.
"Eng...Lana?" tanya Eko gugup, terkejut wanita di depannya masih ingat namanya.
Raut wajah Lana semakin cerah, dia senang bisa bertemu pria itu lagi. Berjalan mendekat dengan tongkat tuntunnya, gadis itu berusaha untuk mencari tahu tentang wangi yang diciumnya.
"Kamu lagi duduk? Apa ada tempat kosong di dekat kamu?" tanya Lana saat kaki mereka hampir bersentuhan.
"Eh...iya," Eko menggeser posisi duduknya ke sisi kiri.
Lana mengangkat tangan kiri untuk membantunya mencari tempat merehatkan kedua kakinya. Tanpa sengaja jari-jarinya menyentuh pundak laki-laki itu. Pipi gadis itu merona merah. "Maaf."
Jantung Eko berdegup cepat, gadis di depannya terlihat amat manis. "Enggak apa-apa, mau dibantu duduk?"
Lana mengangguk.
Eko berdiri dan membimbing gadis itu untuk duduk di sisinya. Kulit gadis itu lembut juga hangat, pucuk kepala gadis itu hampir setinggi hidungnya, membuatnya mudah untuk mencium wangi lidah buaya yang berasal dari rambut Lana.
Setelah dia berhasil membantu gadis itu duduk, Eko kembali duduk di tempat semula.
Semilir angin kembali menebarkan aroma lembut yang menenangkan dari pria itu.
Lana tanpa sadar menutup kedua kelopak matanya dan menghirup napas dalam-dalam, menikmati wangi yang mengisi paru-parunya.
"Jadi, obat apa yang kamu pakai?" tanya Lana setelah hening berapa saat.
"Salep untuk kulit, ada campuran lavender dan zaitunnya," jawab Eko. Kedua mata pria itu terus memerhatikan gadis yang menatap kosong ke depan.
Lana terdiam, ingat akan luka bakar pria itu.
"Apa masih sakit?" tanya Lana beberapa saat kemudian.
"Eh, apa?"
"Lukanya, apa masih sakit?" tanya gadis itu lagi.
"Oh, enggak," jawab Eko singkat.
Suasana kembali hening.
Angin sore memainkan rambut panjang Lana, gadis itu berusaha merapikan rambut yang membuat pipinya geli.
Eko memerhatikan tingkah gadis itu dalam diam.
"Kamu hebat," ucap Eko tiba-tiba.
Bingung akan komentar pria itu, Lana berusaha mengarahkan wajah menatap lawan bicaranya.
"Kamu bersemangat walau tidak dapat melihat," jelaa Eko menggenggam kedua tangannya erat. Malu akan perasaan rendah diri yang sering dirasakan olehnya.
Lana tersenyum manis, dimiringkan kepalanya. Kedua matanya memang tidak dapat melihat, tetapi dia dapat mendengar ketulusan dari pria itu.
"Aku pernah depresi, tapi kemudian aku sadar, tidak ada gunanya terus bersedih. Apalagi harapan untuk melihat masih ada," ujar Lana bijak.
"Dokter bilang apa?"
"Katanya aku bisa cangkok kornea empat bulan lagi," jawab Lana kembali memosisikan duduknya menghadap ke depan.
"Oh, syukurlah."
"Kalau kamu bagaimana? Apa kata dokter?" tanya Lana ke pria itu.
"Minggu depan aku keluar dari rumah sakit."
Lana memainkan kedua kaki. "Aku belum tau kamu umur berapa?"
"Oh, aku sembilan belas tahun, kalo kamu?"
"Aku lebih muda artinya, jadi aku manggilnya Bang Eko ya."
Eko terbatuk gugup, dipanggil dengan sebutan Bang oleh seorang gadis manis, membuatnya salah tingkah. "Enggak usah, panggil Eko aja."
Lana terkekeh. "Oke, Eko udah kuliah?"
"Aku semester dua jurusan tehnik," jawab Eko tanpa memberi tahu nama universitasnya.
"Aku juga mau kuliah jurusan desain, sayang aku berhenti sekolah karena kecelakaan," ujar Lana sedih, kedua matanya yang tidak dapat melihat berkaca-kaca.
Eko merubah posisi duduk, matanya kini memerhatikan pohon besar di dekat mereka, beberapa helai daun hijau kekuningan gugur di sekitarnya. "Habis operasi kan bisa ikut ujian kesetaraan."
Lana merespon ucapan Eko dengan tersenyum kecil. "Iya, aku sudah ingin segera melihat lagi."
Terdengar suara langkah seseorang mendekati mereka. Eko mengalihkan pandangannya dan menemukan pemuda yang pernah bertengkar dengan kawan barunya tengah menatapnya.
"Siapa yang datang?" tanya gadis itu kepada Eko.
"Eh...sepertinya teman kamu," jawab Eko tidak nyaman dengan cara remaja itu membelalakan matanya yang memang sudah besar. Pria itu berusaha menundukkan juga memalingkan wajah dengan harapan si pendatang baru tidak bisa dengan mudah melihat lukanya.
Leo, adik Lana melotot terkejut mengetahui teman bicara kakaknya memiliki rupa yang menyeramkan.
"Kak..." panggil Leo melirik takut-takut ke arah Eko.
"Leo, kenalin ini teman Kakak, namanya Eko," panggil Lana ceria.
Kepala Eko semakin menunduk, menghindari pengamatan remaja itu.
"Oh, hai," sapa Leo berusaha sopan. Kedua kaki pemuda itu sedikit gemetar takut melihat cacat pada wajah pria itu.
"Hai," jawab Eko tanpa sadar mengangkat telapak tangan kiri berusaha menutupi lukanya.
"Kak, sudah sore, ayo pulang," kembali Leo mengajak Lana untuk meninggalkan rumah sakit.
Lana bangkit berdiri dengan bantuan tongkat. "Eko, sampe ketemu besok ya."
"Eh?" tanya pria itu terkejut, dia tidak menyangka gadis itu berniat bertemu dengannya lagi.
"Kamu masih di sini kan sampe minggu depan? Aku akan datang ke sini besok sore," jawab Lana tersenyum.
"Oh, iya," jawab Eko gugup, pria itu menggerakan kedua kakinya.
"Dah," ucap gadis itu, saat adiknya menarik tangan kanannya untuk digandeng.
"Iya, sampai besok," balas Eko singkat.
Lana membiarkan Leo menuntunnya pulang. Remaja itu mengangguk singkat ke arah Eko sebelum beranjak pergi.
Pria itu terdiam lama menatap kepergian mereka, diangkat wajahnya memandang langit sore, sebuah senyum kecil terbentuk di bibirnya. Besok mungkin akan jadi hari yang menyenangkan.
*****
Lana tersenyum antusias untuk dapat pergi bertemu teman barunya. Hari ini dia membawa beberapa makanan ringan untuk dibagi.
Tadi pagi mama Lana membuat banyak kue kering untuk persediaan di rumah. Dengan bantuan adiknya, gadis itu telah memasukkan hasil karya mamanya ke dalam sebuah toples plastik.
"Kak, orang kemarin mukanya seram banget," ucap Leo mendekati kakaknya, "aku takut lihatnya."
Gadis itu mengerutkan kening tidak suka. "Leo...."
"Bukan ngehina, tapi aku beneran takut."
"Kalo gitu kamu antar Kakak aja lalu jemput sorenya," ucap Lana sebal, dia tidak suka adiknya menilai orang dari penampilan fisik. Sama seperti teman-temannya yang mulai menjauhinya satu per satu sejak kecelakaan itu.
Leo menggaruk tengkuknya yang tidak gatal lalu memutuskan mengikuti saran kakaknya.
*****
Hari demi hari berlalu, Lana dan Eko semakin dekat. Mereka bercerita tentang banyak hal, kecelakaan yang dialami Lana, kebakaran yang merusak wajah Eko. Ketakutan Lana untuk menghadapi pisau bedah dan rasa malu Eko untuk kembali kuliah.
Tanpa sadar satu minggu berlalu, waktu Eko untuk meninggalkan rumah sakit.
"Kamu tetap datang tiap sore kan?" tanya Lana pada hari terakhir pria itu berstatus pasien rawat inap.
"Iya, aku rencana kost dekat sini kok, pasti gampang datangnya."
Tersenyum, Lana mengantar kepergian Eko, tanpa diketahui gadis itu, seorang wanita paruh baya memerhatikan mereka dari jauh.
"Siapa dia?" tanya mama Eko, menatap wajah ayu gadis itu.
"Teman Eko, dia mau operasi mata," jawab Eko membantu wanita tua itu, membawakan koper isi pakaian miliknya.
Mama Eko menatap putranya. "Wig-nya bagus, seperti rambut asli."
Eko menunduk, memperbaiki rambut palsu yang menutupi kebotakan juga lukanya.
Mereka berjalan keluar rumah sakit untuk mencari taksi. Sebuah kendaraan biru menepi untuk mengambil mereka.
"Pak, mau cari kos-kosan dekat sini, bisa bantu?" tanya Eko ke pria berkumis yang berada di belakang setir.
"Oh, saya tau, naik aja, Mas," jawab supir taksi meyakinkan, pria tua itu membuka bagasi mobil dan membantu Eko memasukkan kopernya.
"Ma, Eko sebetulnya malu buat kuliah lagi," ucap Eko saat mereka berada di dalam kendaraan.
Wanita tua itu menggenggam erat tangan putra tunggalnya. "Kalau kamu enggak kuliah, nanti bagaimana kamu bisa bekerja? Usaha kita juga tidak terlalu baik."
Eko menatap perumahan yang mereka lewati, dia tahu betul seperti apa perjuangan ibunya mengusahakan uang kuliah untuknya.
"Iya, Ma," jawab Eko berusaha tabah.
"Siapa nama teman kamu tadi?" tanya mama Eko mengalihkan pembicaraan.
"Lana, Ma."
"Cantik ya," ucap mama Eko menggoda putranya.
"Cuma teman, Ma." Rona di pipi pemuda itu terlihat jelas.
Mama Eko tertawa renyah. "Pacaran juga enggak apa-apa, anaknya manis."
"Ma, udah ah, bicarain yang lain," ucap Eko jengah.
Terkekeh, mama Eko akhirnya bercerita mengenai kehidupannya di Semarang, saat pikiran Eko mengembara memikirkan gadis manis yang masih berada di halaman rumah sakit.
*****
Pembaca yang baik hati, harap tekan tanda bintang ya^^
30 Maret 2017
Benitobonita
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top