Bab II-Lavender dan Zaitun
Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
IG @Benitobonita
Didedikasikan untuk OrangeWriters
Eko membaringkan tubuh di atas ranjang rumah sakit. Tiga orang pasien yang berada satu ruangan dengannya telah mandi. Berbeda dengan mereka, dia harus menunggu perawat memandikannya.
Tubuhnya bergidik mengingat kebakaran itu. Semua orang tengah tertidur saat terjadi korselet listrik. Saat itu dia tertidur pulas, tidak sadar keadaan yang terjadi. Seandainya teman satu kostnya tidak ingat akan dirinya, dapat dipastikan saat ini dia sudah berada di akhirat, mempertanggung jawabkan dosa-dosanya selama hidup.
Mereka berhasil menyelamatkannya saat api mulai memanggang sebagian tubuh dan wajahnya. Sisi kiri mukanya rusak dan rambutnya hampir tidak bersisa.
Pria itu menghela napas, bersyukur karena kedua matanya tidak terluka.
Teringat dia akan pertemuannya dengan gadis manis di ruang tunggu dokter. Lana, nama yang cocok untuknya, pikir Eko tersenyum.
Dia terkejut saat mengetahui gadis itu tidak dapat melihat, tingkahnya yang ceria dan bersemangat, benar-benar mengagumkan. Seandainya aku bisa memiliki kepercayaan diri seperti gadis itu.
Eko bergerak gelisah, wajahnya yang rusak, membuat dia menutup diri dari pergaulan. Dia tidak mau bertemu dengan teman-teman kampus atau mendapatkan kunjungan keluarga. Hanya mamanya yang dia izinkan untuk mengunjungi.
"Mas Eko, waktunya mandi," sapa seorang perawat menutup tirai hijau yang membatasi ranjangnya dengan ranjang pasien lain. Eko memalingkan wajah, malu. Suster itu masih muda dan membayangkan dia harus dirawat seperti seorang bayi, membuat harga dirinya runtuh.
Mengalihkan pikiran bahwa tubuhnya akan dijamah secara profesional oleh seorang wanita, Eko berusaha mengingat-ingat isi Undang Undang Dasar 1945. Sayang saat perawat itu mulai melepaskan seragam hijau yang wajib digunakan pasien rawat inap, pria itu malah ingat salah satu adegan kamasutra yang pernah dia lihat bersama teman-teman satu kos-nya.
Untungnya, sang suster berhasil membuat Eko melupakan adegan khusus di atas tujuh belas tahun dengan membawa topik yang tidak menyenangkan. "Sebetulnya, Mas Eko, dokter menyarankan agar perbannya lebih baik tidak dipakai lagi, biar penyembuhannya lebih cepat," ucap suster menggosok bagian tubuh Eko dengan lembut. Terlihat beberapa luka bakar yang telah menghitam di sekujur tubuh pria itu.
"Aku malu, Sus," jawab Eko gelisah, dalam benaknya, wajahnya akan seperti monster film horror.
"Mas Eko jangan ngerasa malu, namanya juga musibah, mau cepat sembuh kan?" tanya perawat mulai menyabuni kaki Eko dengan washlap baru.
Pria itu terdiam.
"Nanti kan bisa operasi kulit, jadi ganteng kaya artis Korea." Kembali perawat berpakaian merah muda itu berusaha menyemangati Eko.
"Mahal, Sus, Mama saya tidak ada uangnya, Papa sudah almarhum," jawab Eko sedih.
Perawat itu merasa tidak enak hati. "Banyak doa aja, Mas, nanti akan dikasih jalan sama yang di atas."
Eko hanya mengangguk kecil. Perawat itu akhirnya menyelesaikan tugas tanpa berkata-kata lagi.
"Mas, bangun dulu biar seperainya bisa diganti," tegur perawat lain yang membawa sehelai kain baru untuk menggantikan seperai ranjang yang ditiduri pria itu.
Eko bangkit dari kasur lalu melangkah menuju jendela. Hari sudah sore, terlihat matahari mulai turun dari puncaknya. Perhatiannya tercuri oleh gerakan seseorang di halaman rumah sakit.
Lana, gadis yang mengajaknya berbincang-bincang, tengah berjalan menggunakan tongkat, dituntun oleh seorang pemuda.
Mungkin itu pacarnya, pikir Eko. Pria itu menyandarkan kedua lengan di atas bingkai jendela dan mengamati mereka dari lantai tiga, tempatnya dirawat.
Gadis itu terlihat menepis tangan pemuda yang menggandengnya lalu berusaha berjalan sendiri hanya dengan bantuan tongkat.
Tertawa kecil, Eko terus memerhatikan gadis tersebut.
"Mas Eko, seperainya sudah bersih."
"Terima kasih, Sus," jawab Eko mengalihkan perhatian dari jendela.
"Dua jam lagi perban diganti, sekarang makan dulu," ucap perawat itu meletakkan nampan di atas meja.
"Baik, Sus," jawab Eko.
Sejenak pria itu melirik ke arah makan sorenya, sebelum dia kembali memusatkan perhatian pada tingkah kedua orang yang tengah bertengkar di halaman.
Gadis itu terlihat berusaha memukul pemuda yang menggandeng lengannya dengan tongkat penuntun yang digenggam oleh tangan kanan.
Kembali tertawa geli, Eko menonton adegan perkelahian mereka. Tiba-tiba pemuda itu menatap ke arahnya, mata pria itu terbelalak kaget melihat perban yang membalut wajah Eko. Gugup karena ketahuan mengintip , Eko segera menjauhi jendela, dan memutuskan untuk menyantap jatah makan sore.
*****
Leo mematung melihat bayangan seram yang mengintip melalui jendela rumah sakit, pertahanannya turun sehingga serangan tongkat kakaknya berhasil memukul kepalanya yang tidak bersalah. "Aduh, Kak! Sakit!"
"Salah kamu sendiri! Kan sudah Kakak bilang kalau Kakak mau jalan sendiri!" omel Lana kesal. Adiknya terkadang terlalu overprotektif seakan Lana bukan saja buta tetapi juga lumpuh.
"Kak, ampun, Kak, tapi tadi Leo liat ada yang seram," ucap Leo sembari menahan tongkat Lana agar berhenti memukuli dirinya.
"Maksudnya?" tanya Lana curiga kalau yang dimaksud adiknya adalah dirinya.
"Tadi dari atas, ada orang dengan wajah diperban ngeliatin kita," jawab Leo bergidik takut. Remaja umur lima belas tahun ini memang hanya besar badannya tapi penakut.
"Di mana?" tanya Lana penasaran, dari cerita mama Lana saat perjalanan pulang dengan taksi, gadis itu mengetahui bahwa Eko, teman barunya, mengalami luka bakar sehingga wajahnya harus diperban.
"Di lantai atas," jawab Leo takut, "Kak, pulang yuk."
Wajah Lana mengerut kesal, baru saja mereka sampai dan adiknya sudah minta pulang. "Enggak! Kakak masih mau di sini! Mama kan udah bilang, pulangnya nanti pas hampir magrib!"
Cemberut Leo akhirnya menemani kakaknya mengapal halaman rumah sakit dengan bantuan tongkat, beberapa kali dia mencuri pandang ke arah jendela tempat orang itu mengawasi mereka. Namun, sosok itu tidak lagi terlihat.
"Kak, kenapa enggak mau kupegangi aja?" tanya Leo yang kelima belas kalinya setelah Lana hampir jatuh terperosok karena salah menginjak jalan.
"Kakak enggak mau bergantung terus sama kamu, gimana kalo nanti kamu enggak bisa ngantar? Kakak harus diam di rumah, dong," jawab Lana keras kepala.
Leo menghela napas, di satu sisi dia kagum dengan kakaknya yang tetap bersemangat meski kedua matanya rusak , tetapi di sisi lain, dia juga kesal karena kakaknya berkepala batu.
Mereka berjalan berkeliling beberapa putaran hingga Lana merasa puas. Udara sore semakin dingin dan angin mulai bertiup kencang menerbangkan daun-daun yang berserakan juga rambut Lana.
"Kak, udah waktunya pulang," ucap Leo melihat ke arah langit, sudah hampir magrib.
"Ayo, Dek." Lana akhirnya menggerakkan jari-jari tangan kanan untuk meraih lengan Leo. Berjalan beriringan, mereka keluar dari halaman Rumah Sakit Putra Rahayu untuk pulang ke rumah.
Eko mengintip dari balik tirai jendela melihat kepergian mereka. Perhatiannya buyar saat seorang perawat mendekatinya, "Mas Eko, waktunya ganti perban."
"Baik, Sus." Pria itu berjalan ke ranjang lalu duduk di atasnya.
Proses pergantian perban menyakitkan, sebab obat yang tertempel pada kulit dan kain putih itu menyebabkan daging juga kulitnya tertarik.
"Mas Eko, perbannya enggak usah dipakai lagi, biar cepat sembuhnya," bujuk perawat yang tengah membersihkan sisa obat di wajah Eko dengan kasa steril.
Eko meringis. "Saya malu, Sus."
"Enggak seseram yang Mas bayangin kok, saya ambilkan kaca, biar Mas bisa liat sendiri."
Napas Eko tertahan, setelah kebakaran, dia belum pernah melihat lagi rupanya.
"Enggak, Sus, enggak usah."
Perawat itu menghela napas. "Mas Eko, cepat atau lambat, Mas harus liat wajah Mas sendiri, masa mau pakai perban seumur hidup?"
Eko terdiam.
"Sini saya ambilkan dulu cerminnya." Perawat itu beranjak mengambil cermin kecil di dalam kereta dorong yang dibawa olehnya dan menyodorkan benda itu ke hadapan pria itu.
Eko berusaha mengumpulkan keberanian, bernapas cepat, dia menatap rupa dirinya yang memantul balik. Pipi kiri hingga keningnya berwarna hitam, seperti beberapa bagian tubuhnya, luka parut menodai bagian kulitnya yang semula mulus. rambut-rambut tipis mulai tumbuh di kepalanya yang sempat botak akibat dicukur oleh perawat. Jelek sekali!
Eko menepis kaca di depannya, kedua matanya berkaca-kaca, tubuhnya gemetar.
"Mas Eko, nanti rambutnya panjangin aja buat nutupin sisi kiri sampai ada jalan buat operasi plastik."
"Lama, Sus numbuhin rambut."
"Nanti saya bantuin beliin wig pas mau keluar rumah sakit, tapi sekarang kita fokus pada pengobatan."
Eko termenung memikirkan saran perawat. Wanita paruh baya itu membuka sebuah botol plastik kecil berisi salep. Teringat akan pembicaraannya dengan Lana, bertanyalah pria itu, "Salepnya terbuat dari apa, Sus?"
"Memang kenapa, Mas?"
"Eng...baunya enak," jawab Eko meniru ucapan gadis tuna netra yang baru dikenalnya.
"Oh, yang Mas cium, itu bau lavender, dan zaitun, mereka bagus untuk pengobatan luka bakar."
Eko tidak menjawab, diizinkan perempuan itu mengoleskan benda lengket itu ke wajah dan bagian tubuhnya yang menghitam.
"Jadi, enggak pake lagi perbannya ya," tegas si perawat.
Mengangguk lesu, Eko bersandar di ranjang pasien.
"Selesai, sampai ketemu besok." Perawat itu membereskan peralatan lalu meninggalkan Eko dengan pikirannya.
Pria itu menggeser tubuhnya beberapa kali di atas ranjang sebelum akhirnya dia memutuskan untuk menelepon ibunya.
Diambil telepon genggam hitam merk samsung dari nakas di sisinya lalu ditekan tombol dial. Terdengar suara panggil beberapa kali sebelum suara seorang perempuan menjawab.
"Ma, Eko cuma mau bilang kalau perbannya udah dilepas, jadi Mama jangan kaget saat ke sini."
Eko diam mendengarkan balasan dari ibunya.
"Iya, Ma, Mama juga sehat-sehat di rumah ya, sebentar lagi Eko mau makan malam, enggak usah terbang ke sini, mahal tiketnya bolak balik Jakarta Semarang, nanti aja pas waktunya pulang."
Kembali pria itu terdiam mendengarkan balasan ibunya.
"Iya, Ma, Eko ngerti, tokonya harus diurus, Mama inget makan juga. Udah dulu ya," ucap Eko menyudahi pembicaraan sebelum menutup telepon.
Menghela napas, pria itu akhirnya memutuskan memejamkan mata menunggu makan malam tiba. Tidak berapa lama, dengkuran halus keluar dari bibirnya yang menandakan dia telah tertidur.
*****
Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang ya^^
30 Maret 2017
Benitobonita
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top