Bab I-Pertemuan Pertama
Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
IG @Benitobonita
Gadis itu termenung, duduk menunggu giliran untuk bertemu dokter mata di sebuah rumah sakit swasta daerah Jakarta Timur. Sebuah tongkat besi berada di sisi kiri tubuhnya. Kedua matanya yang tidak dapat melihat menatap kosong ke arah tembok putih rumah sakit.
"Lana Sinambela!" terdengar suara wanita memanggil namanya.
"Saya, Sus," ucap Lana menegakkan tubuh.
"Dua orang lagi ya," perawat itu memberitahu.
"Baik, Sus," jawab Lana memalingkan wajah ke arah suara. Rupa gadis itu cantik, seandainya dia dapat melihat, pasti banyak laki-laki yang akan mendekatinya.
Lana menunggu dalam diam, gadis itu menyibak rambut hitam panjang yang menggelitiki wajahnya. Mamanya belum kembali dari toilet, menghela napas bosan, dia berusaha mengingat syair sebuah lagu yang sempat dia dengar di radio.
Tidak berapa lama, gadis itu mendengar suara roda bergesekan dengan lantai mendekati dirinya. Sebuah aroma asing, wangi, dan menyejukkan, menyeruak masuk ke indra penciuman gadis itu.
Berusaha mencari asal wangi yang mengoda dirinya, gadis itu menggerakkan jari-jari tangan kanan ke arah sumber aroma tersebut. Terasa kulit hangat tersentuh olehnya.
Terkejut, Lana menarik kembali lengannya. "Maaf," ucap gadis itu malu, rona merah muncul pada kedua pipi putihnya.
Terdengar suara kursi roda sedikit bergeser. "Tidak apa-apa," jawab suara seorang pria. Sama seperti wangi yang dibawa laki-laki itu, suaranya pun lembut, dan meneduhkan.
"Kau wangi." Lana kembali menghirup aroma dari tubuh pria itu.
"Aku apa?" tanya pria itu kebingungan.
"Kau wangi, aku belum pernah mencium wangi seperti ini."
Tidak ada jawaban.
Lana berusaha memosisikan wajahnya agar berhadapan dengan pria itu. "Maaf, aku kasar."
"Eh, tidak...aku hanya bingung cara ngejawabnya," sahut pria yang berada di sebelahnya.
"Apa kamu pakai sesuatu? Aku suka dengan aromanya."
Terdengar kembali suara roda bergeser.
"Aku tidak...eh, mungkin yang kamu cium itu bau obatku."
"Obat?" tanya Lana penasaran, tanpa sadar gadis itu sedikit memiringkan kepala, kebiasaannya sejak kecil setiap kali keingintahuannya muncul.
"Yah, eh...aku..." pria itu berhenti menjawab, "maaf, apa kamu tidak bisa melihat?"
Lana tersenyum, kedua matanya yang cacat menatap kosong ke arah lawan bicara di depannya. "Tahun lalu aku kecelakaan mobil, korneaku rusak."
"Oh, begitu..."
"Kamu sendiri kenapa?" tanya Lana antusias, entah mengapa aroma yang berasal dari pria itu membuatnya percaya diri untuk bercakap-cakap.
"Aku..." jawab pria itu gelisah, suara kursi berderit terdengar.
"Eko Cahyadi, waktunya masuk!" ucap suara perempuan.
"Maaf, aku harus masuk," kata pria itu.
"Oh, baiklah," sahut Lana kecewa, dia ingin mengetahui lebih banyak tentang teman barunya.
Merasa tidak enak, pria itu berkata, "Aku Eko, salam kenal."
"Aku tahu, tadi suster kan nyebut namamu," sahut Lana terkekeh.
"Eh...iya, kalo begitu aku masuk dulu," balas pria itu kikuk.
"Iya, namaku Lana, salam kenal."
"Mas Eko, kita masuk sekarang ya!" tegur perawat yang bertugas mendorong kursi roda, kesal karena pasiennya masih sibuk berkenalan.
"Iya, Sus," jawab Eko membiarkan wanita itu mengantarnya masuk ke dalam ruang praktik.
Menghela napas, Lana kembali menunggu giliran dalam diam.
Sesaat kemudian, gadis itu kembali merasa seseorang duduk di dekatnya. "Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya mama Lana.
"Aku baru mendapatkan teman," jawab gadis itu riang.
"Kamu kenal di mana? Mama cuma pergi sebentar."
"Pasien di sini, Ma. Orang itu wangi sekali."
"Perempuan?" tanya mama Lana bingung.
Lana tertawa renyah, cacat pada mata tidak menghilangkan sifat cerianya. "Namanya Eko."
Mama Lana terdiam sejenak. "Lana..."
"Iya, Ma, tau, Lana harus hati-hati sama orang asing. Tapi dia wangi, Lana cuma penasaran apa yang dia pakai."
Mama Lana menghela napas. Anaknya yang sudah berusia tujuh belas tahun, memang selalu seperti ini. Ada rasa syukur kecelakaan mobil tahun lalu tidak meruntuhkan semangat hidup putri sulungnya.
"Dia sekarang lagi ada di dalam," bisik Lana mendekati mamanya.
Mama Lana mengalihkan perhatian kepada pintu putih ruang praktik dokter mata. Tidak berapa lama, keluar seorang pria dengan wajah tertutup perban putih, hanya mata kanan laki-laki itu yang terlihat.
Wanita tua itu menahan napas terkejut. Kedua matanya membulat penuh mengamati wajah teman baru Lana.
Pria itu merasakan tatapan mama Lana, dia menunduk saat kursi roda yang diduduki di dorong oleh perawat keluar ruangan.
Mama Lana berdiri mendekati seorang perawat lalu berbisik, "Pasien itu kenapa?"
"Tempat kosnya terbakar, Bu. Untung dia selamat, tapi mukanya rusak."
Wanita tua itu mengangguk bersimpati. "Jadi dia rawat inap di sini?"
"Iya, Bu. Mungkin bulan depan dia baru pulang."
"Lana Sinambela!" ucap perawat menghentikan mama Lana mengorek informasi lebih lanjut mengenai teman baru putrinya.
"Iya, Sus, ayo Lana." Wanita tua itu menyerahkan tongkat jalan ke tangan kanan Lana dan menggandeng lengan kiri putrinya untuk masuk ke ruang praktik.
"Siang, Pak dokter," sapa mama Lana tersenyum ke arah seorang pria paruh baya. Ruang praktik itu bersih, beberapa peralatan kedokteran berjejer rapi di sisi kiri ruangan.
"Siang juga, Lana, bagaimana kabarmu?" tanya pak dokter ramah.
Perawat berpakaian merah muda, menutup ruangan dari dalam, agar pemeriksaan pasien tidak terlihat pengunjung lain.
"Baik, Pak."
Lana dan mama Lana berdiri di dekat meja pria itu.
"Apa ada keluhan pada mata? Sakit? Perih? Gatal?"
Lana menggeleng kecil.
"Sini, biar saya periksa," sahut dokter Santosa berdiri menuju salah satu peralatan yang berfungsi untuk memeriksa mata.
Mama Lana menggandeng putrinya mendekati mesin itu lalu membantunya duduk di hadapan benda itu, kemudian mengambil tongkat penuntun gadis itu.
"Letakkan dagunya di mesin ya," ucap dokter dari balik teropong kecil.
Lana menurut, seorang perawat membantunya agar gadis itu dapat memosisikan dirinya sesuai perintah.
Suara mesin bekerja tertangkap oleh pendengaran Lana selama beberapa menit.
"Ok, sekarang duduk tegak, saya mau memeriksa mata kamu dengan senter," ucap pak Santosa berdiri mendekati Lana.
Tidak berapa lama, cahaya silau mengejutkan warna hitam yang selalu ditatap Lana. Gadis itu berkedip beberapa kali.
"Bagaimana, Pak?" tanya mama Lana cemas.
"Syarafnya masih bagus, setelah kita dapat donor kornea yang sesuai, kita bisa langsung operasi cangkok mata."
Tubuh Lana gemetar. "Pak, sakit tidak saat operasi?"
Dokter tua itu tertawa menenangkan pasiennya. "Kamu kan dibius, enggak akan merasakan apa-apa, bangunnya operasi sudah selesai."
"Pak, memang saat bangun saya sudah langsung bisa melihat?" tanya Lana dengan perasaan takut juga antusias.
Dokter Santosa tertawa lepas, kerut-kerut di wajahnya terlihat jelas. "Yah, enggak dong, mata kamu butuh pemulihan beberapa hari setelah operasi, namanya kan kita memasukkan benda asing ke tubuh kamu, badan kamu pun harus beradaptasi dulu."
Nyali Lana menciut, jari-jarinya kembali sibuk meremas satu sama lain.
"Lana, jangan terlalu dipikirin, sakitnya cuma kaya digigit semut," dokter Santosa memberikan semangat.
Tubuh gadis itu sedikit gemetar, masa mata diiris pakai pisau sakitnya cuma kaya digigit semut, pikir Lana curiga pria tua itu berbohong.
"Pak, enggak bohong kan? Benar-benar cuma seperti digigit semut?" gadis itu hampir merengek seperti anak kecil.
"Enggak bohong, betul kan Sus?"
"Betul, sakitnya cuma sebentar," balas perawat yang berada di dekat Lana.
Lana terdiam, berusaha percaya akan perkataan mereka.
"Kapan bisa operasinya, Pak?" tanya mama Lana memotong pembicaraan.
"Kita harus tunggu donor kornea yang cocok, biasanya tiga-empat bulan."
"Terima kasih, Pak," ucap mama Lana lega. Informasi yang dia dapat, di rumah sakit lain, menunggu donor kornea, bisa memakan waktu tahunan.
Dokter Santosa kembali duduk di kursi lalu menuliskan resep. "Saya berikan vitamin yang bisa merawat syaraf mata."
"Baik, Pak," jawab mama Lana patuh.
Lana hanya terdiam, pikiran kedua matanya harus disilet oleh pisau bedah membuat gadis itu ketakutan, dia menautkan jari-jari tanpa sadar meremas rok hitam yang dikenakan.
"O iya, Lana, sehari-hari kegiatannya apa?" tanya pak dokter mengoreskan pulpen di atas kertas resep.
Berhenti membayangkan hal-hal buruk, gadis itu berusaha menjawab pertanyaan pria itu dengan sopan. "Aku, cuma di rumah," jawab Lana menggerakkan wajah ke arah suara pria tua itu.
"Kamu harus sering berjemur dan menghirup udara segar, jangan di rumah terus," tegur pak dokter merobek kertas resep lalu memberikannya ke mama Lana.
"Lingkungan kami tidak aman untuk berjalan-jalan, Pak, dekat jalan besar," ucap mama Lana menerima resep.
"Rumahnya dekat sini kan? Sering-sering saja main ke taman rumah sakit, di sana aman."
"Oh, baik, Pak," Mama Lana kembali menggandeng putrinya dan memberikan tongkat besi ke telapak tangan kanan Lana, "mulai besok, saya minta adiknya mengantar Lana ke sini."
"Ok, sampai ketemu lagi bulan depan, sehat-sehat Lana," ucap pak dokter menyelesaikan percakapan.
"Terima kasih, Pak," ucap gadis iti tersenyum. Jemarinya menggenggam erat tongkat yang akan membantunya berjalan.
Ibu dan anak keluar ruangan bergandengan.
"Mama, jadi mulai besok Leo akan antar Lana ke sini?" tanya Lana terus mencengkeram lengan mamanya sebagai penopang.
"Coba nanti kita tanya adikmu ya, sekarang kamu duduk dulu, Mama mau bayar."
Lana menurut, menggunakan jari-jarinya untuk mencari pegangan kursi, dengan bantuan mamanya, gadis itu berhasil duduk dengan nyaman.
"Mungkin besok aku akan bertemu teman baru," pikirnya antusias. Sejak kecelakaan, Lana hanya tinggal di dalam rumah, dalam kegelapan yang menjadi temannya sehari-hari, gadis itu hanya dapat mendengarkan musik atau pun film dari televisi. Kegemarannya menggambar sudah tidak dapat dia lakukan lagi.
Tiba-tiba dia kembali teringat pada Eko, pria yang memiliki aroma unik.
Menghela napas kecewa, gadis itu berharap dia mendapatkan kesempatan lain untuk bertemu dengan pria itu. Aku cuma mau tau wangi itu berasal dari mana, batin Lana.
Tersenyum manis, gadis itu membiarkan pikirannya berkelana mengingat percakapan antara dia dengan pria kikuk itu.
******
Pembaca yang baik hati, harap tekan tanda bintang ya^^
Sebetulnya ini tugas oneshot dari OrangeWriters dengan tema cinta, entah mengapa saat menulis ceritanya kok jadi panjang sekali.
Semoga pembaca terhibur ya.^^
29 Maret 2017
Benitobonita
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top