9. Hangat










Bagian 9

Hangat












"Oh gitu, Man." Arkana hanya membalas dengan mengangguk-anggukkan kepalanya.

Sekarang mereka sedang di sekolah, mendiskusikan hal-hal secara acak dengan posisi paling nyaman menurut masing-masing. Arkana duduk bersandar pada bangku kayunya sedangkan Putra menopang kepalanya menyamping di atas meja, menghadap karibnya yang baru saja selesai bercerita, soal kepergiannya ke rumah Adara beberapa hari lalu.

"Dara cantik ya, bro," ujar Putra, matanya melirik ke atas. Sepertinya membayangkan sesuatu yang tidak sesuai dengan umurnya. Arkana mengangkat kedua bahunya, ia sudah bosan mendengar Putra memuji perempuan. "Tapi gak cocok sama lo," ujarnya lagi.

Arkana mengernyit. Kok bisa?

"Nah, penasaran 'kan kenapa gue bilang gitu?" balas Putra dengan melempar seringai menyebalkannya. Sedangkan Arkana melihatnya seperti sesuatu yang membosankan. "Sebelum gue jawab pertanyaan lo, sontekin gue bahasa Indonesia dulu. Malas gue lihat tulisan banyak-banyak, bikin lieur."

Arkana tak menjawab, sebaliknya, ia justru langsung memberikan buku kecil tempatnya mengerjakan tugas bahasa Indonesia. Membiarkan Putra berhenti mengoceh dan segera memberitahu maksud dari ucapannya tadi.

Dan sepertinya bakat terpendam Putra adalah menulis cepat, terbukti ia dengan sangat cepat menyalin PR Arkana. "Makasih banyak ya, Bro," ujarnya menyodorkan buku tulis itu kembali kepada pemiliknya. Arkana menerimanya lantas menaruhnya di laci.

Sesuai dengan kesepakatan, Putra kembali bersuara. Menjelaskan perkara yang sempat tersendat. "Nah, kenapa gue bilang lo gak cocok sama Dara karena cewek itu terlalu gimana ... gitu, buat lo," jelasnya pada Arkana yang memang masih menunggu jawaban darinya.

"Gimana? Maksud lo?"

"Ya, maksud gue, lo itu lebih cocok sama Rana. Kalo sama Rana beuh mantap!" Bukannya  menjawab pertanyaan Arkana, ia malah bertutur dengan intonasi dramatis, membuat Arkana tercengang dengan tingkah laku temannya itu. Matanya mengerjap-ngerjap, membayangkan maksud Putra. "Oh iya, ngomong-ngomong soal Rana, lo gak mau minta nomornya? Gue punya lho, Bro."

•••

Rana. Nama gadis itu terngiang terus di kepala Arkana. Sejak pertemuan mereka di kantin, dirinya seolah takluk. Sudah setengah jam yang lalu ia menginjakkan kaki di rumah. Memasuki kamarnya setelah membersihkan diri lalu mengecek kontak Whatsapp-nya.

Kini ada yang baru di sana. Kehadiran nama kontak baru yaitu Rana. Singkat cerita, ia mendapat nomor telepon gadis itu dari Putra tadi siang. Sungguh di luar dugaan jika nomornya kini berada di ponselnya.

Membayangkan apa yang dikatakan Putra tadi membuat jarinya kehilangan akal sehat lantas mengetikkan sesuatu di roomchat Whatsapp-nya.

Anda
Ini Rana?

Ketiknya singkat pada roomchat-nya dengan Rana, foto profil gadis itu seolah menatapnya lamat-lamat.

Tak berselang lama ponselnya berdering. Menampilkan pemberitahuan di atas sendiri bertuliskan nama gadis yang tengah dielu-elukan parasnya itu. Pupil netra Arkana melebar, tak menduga akan mendapat balasan secepat ini.

Rana
Iya, ini siapa?

Arkana menarik napas panjang, tangannya hendak mengetikkan jawaban. Namun, alih-alih menjawab pesan dari Rana, ada pesan lain yang masuk ke ponselnya, membuat gerakan jarinya terhenti.

Adara
Arkana?

Rupa-rupanya Adaralah yang mengirim pesan. Arkana menoleh ke arah lain, kamarnya yang lapang kini tak lagi seperti itu. Penyebabnya adalah buku serta diktat-diktat yang kian menebal seiring bertambah tinggi kelas yang sedang dijenjangnya. Sehingga, apabila ia melihat ke kanan, di sana akan berdiri rak menjulang. Lalu, di sebelah kirinya terdapat meja belajar dengan buku yang tak kalah banyak. Dan juga di samping tempat tidurnya, di sebelah pintu juga tersedia lektur-lektur dengan topik yang beragam.

Ditambah kamarnya memang zona paling nyaman untuk menghabiskan waktu dengan bersantai sembari membaca buku. Membuat siapa saja yang masuk ke dalam kamar Arkana akan keluar dengan keadaan pintar.

Ia segera membalas pesan Adara.

Anda
Iya Dara?

Adara
Gue mau curhat, lo lagi senggang gak?

Melihat isi pesan dari Adara membuatnya seolah-olah tengah mempersiapkan sesuatu yang luar biasa penting. Di otaknya sudah terketik skenario-skenario, tergantung bagaimana Adara akan bercerita padanya.

Arkana berdeham. Adara benar-benar curhat seperti tawaran yang ia berikan pada waktu itu. Perempuan itu bercerita lewat ketikan jarinya bahwa mantan pacarnya tega meninggalkannya demi seorang perempuan lain yang jelas tak sebanding dengannya. Tak sebanding antara fisik dan seluruh pengorbanan yang telah dilakukannya.

Embusan napas keluar dari hidung Arkana seiring tulisan typing juga berhenti. Ia tuntas membaca semua pesan Adara. Dan kini, otaknya tahu dan sedang mempersiapkan ketikan balasan untuk gadis itu.

Anda
Gue paham kalo lo marah, Dar. Jadi, ya udah, sabar aja. Gak usah balas dendam. Gak ngasilin apa-apa dan lo bakalan ngerasa bersalah.

Setelah mengetik singkat dan mengirimnya. Arkana keluar dari kamarnya, ada pekerjaan yang harus ia lakukan di luar. Jejaka itu lupa membalas pesan dari Rana, hal itu membuatnya berbalik, masuk ke kamarnya lalu membalas pesan tersebut. Setelah selesai, ia keluar lagi. Dan sekali lagi, langkahnya terhenti. Kereta pikiran singgah di kepalanya. Membuat fokusnya terbelah.

Ia merasa balasannya terhadap Adara kurang. Ada sesuatu yang bergulat dalam dirinya dan minta untuk dikeluarkan segera.

Maka ia kembali masuk ke kamarnya, mengetikkan sesuatu di-roomchat lagi setelah balasan sebelumnya hanya dicentang biru oleh Adara.

Anda
Dar, menurut gue, lo ga seharusnya sesakit ini kalo lo emang ikhlas ngasih semua itu buat mantan pacar lo.

Maksud gue, ya, kalo lo mengatasnamakan segala kelakuan lo ke dia sebagai pengorbanan, gue pikir itu namanya lo ga ikhlas.

Tapi bukan berarti lo dilarang marah sama mantan pacar lo. Lo berhak kok. Tapi kalo lo berekspektasi dia bakalan balik dan nyesel udah mutusin lo, itu tindakan ga bener, sih. Mending lo relain dia.

Saran gue, lo jangan ekspektasi tinggi-tinggi ke orang lain dan inget, tindakan yang dibuat sama orang lain ke lo, itu semua berakar dari lo.

Oh iya, lo juga perlu mempertanyakan satu hal ini ke diri lo sendiri, Dar, menurut lo, apa lo ikhlas pacaran sama mantan pacar lo dan ngelakuin semua hal yang udah lo lakuin buat dia?

Arkana menelan ludah, ternyata lumayan panjang juga jawabannya. Dan di roomchat-nya dengan Rana nampaknya memunculkan balasan baru. Ia cepat-cepat keluar dari chattingan sebelumnya. Lalu membuka roomchat yang di sebelah kanannya terdapat bundaran hijau dengan angka dua di dalamnya. Menandakan ada dua pesan yang belum terbaca.

Rana
Oh Arkana, ya?

Rana
Nomer lo gue save, ya. Jangan lupa save balik ya, hehe.

Hati Arkana seketika menjadi lowong. Ia awalnya berpikir, mengirim pesan tanpa adanya kepentingan pasti akan membuat imejnya terlihat seperti cowok yang hobi mengumbar sapaan genit sana-sini. Akan tetapi, firasatnya kini berucap jika Rana tak menganggapnya sebagai laki-laki yang modelan seperti itu. Ia bisa merasakannya, meski belum tentu benar.

Maka untuk memastikan keraguannya tersebut. Ia mengirim balasan lagi.

Anda
Siap, udah kok. Maaf aja nih, gue gak ada perlu tapi chat lo.

Tak lama—bahkan Arkana belum menekan opsi kembali—balasan sudah muncul kembali di roomchat itu.

Rana
Gak pa-pa kali, santai aja, Ka.

Katakan, bagaimana mungkin hati Arkana tidak semakin lowong melihat isi pesan Rana yang membalas pesannya dengan begitu hangat.

Sedang di tempat yang berbeda, ada gadis lain yang hatinya tengah terbolak-balik membaca isi pesan darinya. Tapi Arkana mana mau tahu. Sekarang ia bersiap keluar kamar, tak ada lagi urusan yang mampu membuat langkahnya terhenti.

Arkana ingin membuat teh. Ingin menghangatkan badannya supaya seragam dengan hatinya yang sudah dihangatkan oleh Rana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top