7. Takjub









Bagian 7

Takjub







Sudah lama sejak Putra datang ke rumah Arkana tanpa sebab pagi itu. Selama itu pula, ia penasaran soal Rana. Gadis yang digadang-gadang sebagai yang tercantik seangkatannya. Arkana mengembuskan napas, ketika telinganya lagi-lagi mendengar beberapa teman di kelasnya menjadikan gadis itu sebagai topik pembicaraan mereka.

Dalam hati, ia bergumam meremehkan. Secantik apapun gadis bernama Rana itu, tetap takkan mengalahkan kecantikan Emilia Clark. Percayalah.

Namun, kini di sinilah ia. Dengan segenap rasa malu, takluk dan rasa kalah sebab kecantikan Rana memang sebuah kesungguhan.

Kesungguhan yang tak dapat ditepisnya.

"Kenapa, Ar?" Putra menyela rasa takjub Arkana pada dara satu itu. Ah, gadis itu sungguh mampu menghentikan bumi berotasi dan berevolusi, begitulah pandangan Arkana kini.

Ia hanya menggeleng. Hatinya terbagi dua. Satu melaknati Putra yang mengganggu dirinya memandangi makhluk Tuhan yang cantik ini. Satunya lagi tengah menikmati, memuja-muja Rana yang diam-diam sudah sadar jika dirinya menjadi objek sepasang manik.

Gadis itu menoleh. Ditatapnya kedua manik mata Arkana tepat sasaran. Tak melenceng sedikit pun. Dan yang tepat dikenai sasaran kelabakan, seperti murid yang kepergok gurunya bermain ponsel di kelas. Arkana menelan ludah, berusaha mencari celah bersembunyi dari rasa malunya sendiri.

Akan tetapi, sudahlah. Terlambat.

Gadis yang ditatapnya semenjak tadi sudah berjalan ke arahnya. Sepaket dengan langkah anggun dan senyum yang ditebar sana-sini, kedua hal tersebut mampu membuat Arkana mulai kehabisan oksigen. Hal tersebut bahkan membuat Putra keheranan.

"Heh, lo kenapa dah, Ar? Asma lo kambuh?" ujarnya asal-asalan, memang sejak kapan Arkana punya riwayat penyakit asma. Kemudian, setelah tak lagi menghiraukan, ia membuka game online-nya lalu tenggelam pada kesibukannya itu.

Arkana?

Jangan ditanya. Ia sudah sejak tadi merapalkan doa-doa dan tepat saat Rana berhenti di mejanya, ia berusaha menormalkan deru napasnya dan merendahkan suara detak jantungnya.

"Hei!" Suara Rana menginterupsi rapalan doa-doanya. Ia tersenyum kecil. Ia rasa itulah senyum paling lebar yang berhasil dilontarkannya seharian ini.

Rana tetap tersenyum bahkan ketika pertanyaan keduanya muncul. "Lo kenal, ya, sama gue?"

Arkana menelan ludah. Pertanyaan macam apa ini? Ia tak mengira akan mendapat pertanyaan seperti ini sebelumnya. Dan jelas, ia belum menyiapkan jawabannya.

Namun keberuntungan sedang memihak kepadanya.

"Eh, ada Rana, hai Ran!" Suara Putra merenggut beberapa opsi jawaban yang sudah disiapkan Arkana, tetapi hal itu malah membuatnya senang sebab dirinya tak perlu repot-repot menjawab pertanyaan dara itu.

Rana lagi-lagi tersenyum. Gadis itu nampak sama sekali tak keberatan jika pertanyaannya dibiarkan menganggur tak terjawab. "Hai, Put!" serunya, senyumnya merekah lebih lebar.

Setelah berbasa-basi sebentar dengan Putra, sepertinya laki-laki itu tahu apa yang dikehendaki Arkana yang sejak tadi hanya melongo tak ikut mengobrol. Maka dengan tingkat kepekaan tinggi, Putra pun memperkenalkan sahabatnya itu di depan Rana. Membiarkan tangan gadis itu disalami oleh Arkana.

"Nice to meet you, Ar." Percakapan mereka pun berakhir dengan kata-kata singkat dari bibir Rana. Setelah mengucapkannya, ia lantas berlalu, berbalik arah meninggalkan mereka berdua yang masih sama-sama memiliki suasana hati yang baik setelah mengobrol sebentar dengan cewek itu.

Tanpa disadari ternyata Putra melempar seringai khasnya ketika kedua netra Arkana masih fokus mengantar kepergian Rana kembali ke kelasnya. "Wel, well, udah move on dari Adara nih ceritanya?" ujarnya menggoda, matanya kembali awas pada game online yang tadi sempat ia relakan untuk kalah supaya kesempatan mengobrol dengan Rana tidak sia-sia.

"Emang kapan gue bilang gue suka sama dia?" balas Arkana, namun belum sempat Putra menyemburnya, ia melanjutkan, "balik yuk, PR kimia lo belum selesai, 'kan?" Lalu tanpa tedeng aling-aling, Arkana bangkit dari duduknya setelah sebelumnya membereskan beberapa barang-barangnya di meja. Meninggalkan Putra dengan wajah kecut akibat pertanyaannya belum terjawab.

•••

Baiklah. Memang sebelumnya Arkana tidak tahu bagaimana paras cantik yang diagung-agungkan Putra itu. Ia sungguh tak mengira bagaimana wajah Rana bisa semudah itu mengalihkan dunianya yang monoton. Ia benar-benar tidak menduga hal itu.

Namun yang kini ada di benaknya ialah, justru mengapa Putra bisa menilainya suka dengan Adara hanya karena ia pernah memuji perempuan itu? Memangnya, dirinya sama dengan jejaka itu, yang dengan mudah bergonta-ganti perempuan. Menganggapnya sebagai oblong.

Nyatanya, Arkana lupa. Ia juga sama seperti Putra. Bahkan ketika menanggapi hal-hal seperti. Ia lalai. Terlalu sibuk membenarkan dirinya sendiri.

"Lo lupa ya, Ar? Kan lo pernah bilang kalo Dara itu cantik?"

Rupanya obrolan itu berlanjut. Sekarang mereka berdua tengah duduk, kelelahan setelah berputar-putar, joging pagi. Putra menyulut obrolan itu karena matanya tak sengaja menangkap orang lain yang mirip dengan Adara juga tengah joging, sama seperti mereka. Arkana mendengar pertanyaan itu dan ia bergeming. Ngapain bahas ini lagi, elah.

"Ya, kan dia cewek. Jelas cantiklah," jawabnya sambil tersenyum, bercanda. Tapi sesungguhnya, ia sama sekali tidak bercanda. Apa yang dikatakannya benar dan sudah terverifikasi. Dan jelas ucapannya itu mengundang umpatan Putra yang clueless, tak mampu menjawab lagi, membuat Arkana tergelak.

Arkana membatin. Pikirannya juga melanglang buana hingga kejadian rok Adara yang tertiup angin, kejadian yang sudah cukup lama tertinggal. Kalau diingat, saat itu ia sama sekali tak punya ide jika Adara adalah gadis pemberani. Baginya—saat itu—Adara adalah gadis ceroboh yang mementingkan penampilan di atas segala-segalanya. Tapi, memang begitulah.

Adara emang cewek yang punya nyali, sih, batinnya memberi ulasan. Ia juga ingat, saat diajak ke kafe oleh Putra. Kata pemberani semakin tertanam dalam dirinya ketika mendeskripsikan Adara. Gadis itu pernah didapatinya menggunakan dress yang menurut ukurannya cukup berani alias terbuka. Berani, sih. Tapi rok ketiup angin, ya, tetap teriak.

"Ar, baliklah, yuk!" Seruan Putra menghentikan laju kereta pikirannya yang entah sudah sampai stasiun mana. Mengangguk sekilas seraya berdiri dari duduknya.

Angin bertiup sepoi-sepoi, menerbangkan anak rambut. Sekaligus pikiran-pikiran Arkana tentang Adara dan Rana. Kedua perempuan yang sama-sama cantik dan sudah pasti memiliki kepribadian yang berbeda. Arkana berjalan menyusuri jalanan, pulang ke rumahnya. Sebentar lagi ada banyak agenda yang akan dilakukannya. Tugasnya menumpuk, menunggu untuk dikerjakan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top