5. Klarifikasi





Bagian 5

Klarifikasi












"Oh, jadi lo, ya?"

Adara mengangguk samar. Ia tak berani untuk sekadar menoleh ke sampingnya, karena di sana sudah duduk dengan posisi nyaman, seorang laki-laki yang berbaik hati meminjamkannya jas untuk menutupi dressnya yang tertiup angin. Dua minggu lalu. Ya, tepat hari ini.

"Kenalin, gue Arkana." Tangan kanan laki-laki itu terjulur membuat Adara gelagapan lantas sesegera mungkin menyambutnya. "Gue Adara," ujarnya singkat. Menelan ludah setelah mengucapkannya.

"Santai aja, Dar." Ucapan lagi-lagi terlontar dari bibir Arkana. Santai saja memecah keheningan, ia tidak tahu jika batin gadis di sebelahnya bergejolak akibat dari ucapannya. "Gue ke sini bukan karena nagih jas, kok."

Deg.

Napas Adara seakan terhenti. Cowok ini seakan tahu apa yang sedang membuncah di otaknya. Sementara keadaannya seperti itu. Di sisi lain, Arkana hanya tersenyum kecil. Menggumam kecil dalam hati soal dunia yang sempit.

"Gue ke sini gara-gara teman gue marah karena bola yang dibuat main sama dia diguntingin. Katanya sama lo, ya?" ujar Arkana lagi-lagi memecah hening. Angin semilir tak henti menerbangkan anak rambutnya, membuat sekelilingnya sejuk. Suasana yang menyenangkan.

Adara bergeming. Menelan ludah dalam-dalam sembari otaknya memutar kembali ingatan tentang bola yang tadi memang dirobek olehnya. Lantas mengangguk. "Iya, emang gue yang gunting. Maaf ya, Ka," cicitnya pelan dengan gurat muka hati-hati. Mampus lo, Dar.

Sebagai balasan, Arkana memberi respons menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Menatap heran. "Ngapain minta maaf ke gue, Ra? Kan bolanya bukan punya gue."

Sejenak Adara berpikir, mengingat-ingat lagi ucapan Arkana barusan. "Oh iya, ya," ucapnya lantas mengutuk diri sendiri dan kembali mengalihkan pandangan sebab kemungkinan pipinya sudah merona. Malu.

Senyum kecil tersungging di bibir Arkana. Sebenarnya, tujuannya tadi simpel saja. Ia turun, langsung ke kelas siswa yang sudah menggunting bola milik Putra lalu pulang. Namun rencananya gagal karena ternyata gadis yang berani menggunting bola itu adalah gadis yang sama dengan yang ditemuinya dua minggu lalu.

Arkana masih ingat jelas betapa gadis di sebelahnya ini memang gadis pemberani, bahkan untuk orang yang belum pernah bertemu dengan dirinya. Hal ini menyulut pertanyaan dalam dirinya.

"Kok lo bisa berani guntingin bolanya Putra?" Satu pertanyaan meluncur tanpa hambatan. Arkana menatap Adara dengan alis terangkat. Penasaran.

Namun tidak seperti halnya Arkana. Menyadari laki-laki itu memandanginya lekat justru membuat nyalinya makin ciut. "Ya, salah siapa bolanya masuk ke kelas gue. Ya, udah, gue gunting," jawabnya tentu dengan menghindari kontak mata dengan Arkana. Membuat laki-laki itu ber-hmm singkat.

Separuh diri Arkana bergumam jika ia pernah bertemu dengan gadis ini, tetapi, separuhnya lagi setuju karena memang ia pernah bertemu dengan gadis ini dua minggu lalu. Namun, sekali lagi separuh hatinya mengelak, seolah mereka memang pernah bertemu sebelum insiden di acara pernikahan itu.

Hening. Kali ini Arkana maupun Adara nampak enggan memulai pembicaraan. Entah Arkana yang sudah lelah mencari topik atau Adara yang pusing tujuh keliling memilih topik yang pas untuk dibicarakan dengan laki-laki itu.

Keheningan itu berlanjut hingga akhirnya Arkana memutuskan untuk pulang. Melanjutkan kegiatannya yang tertunda karena bercakap ringan dengan gadis itu.

•••

Malam datang. Melingkupi semua yang ada di bumi. Sebagai ganti, bulan menyabit bertemankan bintang-bintang menghiasi langit yang menggelap. Arkana terdiam di tengah serentetan seru-seruan bak peluru yang tak berhenti mendesing. Membuatnya ingin pindah ke planet Mars saja.

"Jadi, tadi lo ketemu sama Dara, Man?" Tangan Putra bergerak tangkas di atas layar datar ponselnya. Bermain game online.

Arkana mengangguk. Ia masih berusaha fokus pada apa yang sedang dikerjakan jarinya. Tangannya juga masih bergerak tangkas di atas ponselnya, main bersama dengan Putra. Mengisi sebagian waktu luangnya sesudah semua PR-nya selesai.

"Wah gila lo, Ar!" ucap Putra kagum setelah mereka berdua berhasil memenangkan game online itu. Rasa kagumnya bukan tentang permainan tembak-menembak di dalam layar datar itu melainkan masih pasal peristiwa langka tentang Arkana dan Adara.

Arkana yang salah mengartikan hanya mengangkat bahu, jemawa setelah berhasil mengalahkan musuh yang paling kuat. Putra mendengus, "Bukan gamenya kali, Pak."

"Terus?" Arkana mengerutkan kening. Kali ini berusaha mencerna kalimat temannya lebih baik.

"Soal Adara." Jawaban singkat itu sudah mampu membuatnya mengangguk.

Demi melihat wajah Arkana berpikir keras, Putra melanjutkan perkataannya, "Lo itu tumben-tumbenan mau ngobrol sama orang kayak Dara?"

Arkana kembali mengerutkan kening. "Lho emang Dara kenapa, Put?"

"Dara kan cantik, Man. Lo gak lihat apa?" Putra diam sebentar. Matanya menyipit, khas dirinya saat berpikir atau membayangkan sesuatu. "Adara tuh, ya, cantik dari rambutnya yang halus, matanya yang belok, hidungnya mancung. And most of all, lo tahu apa yang paling cantik dari dia, Man? Badannya. Gak ada anak di sekolah yang bisa ngalahin kesempurnaan badan langsingnya yang macam model di TV itu."

Bibir Arkana membulat. Otaknya mengabsen cepat semua keunggulan seorang Adara yang dikatakan Putra. "Man, dia biasa aja, sih, menurut gue," Arkana merespons santai. Otaknya masih belum berhenti berpikir ketika mengucapkannya.

Ujaran santainya itu mengundang respons lain dari Putra. "Apa, Man? Gak ada waras-warasnya lo, ya. Dara yang cantik, lo kata biasa aja. Ya, meskipun rada sok-sokan, sih."

Seringai tipis muncul di bibir Arkana. "Ya, itu kan menurut sudut pandang gue, Put. Buat gue, cewek gak cuma bisa dipandang lewat mata kayak yang lo bilang. Tapi lewat sikap, tingkah laku mereka."

"Ck, sok banget lo, Ar!"

Helaan napas terembus pelan dari hidung Arkana. "Iya, sih. Kadang gue juga mikir kalau gue itu sebenarnya pemilih. Tapi, Put, gue punya gambaran gampangnya biar lo paham sama apa yang gue bilang." Arkana menarik napas sejenak. Sedang berpikir tentang cara paling baik untuk menjelaskannya pada Putra.

"Gampang aja, anggap lo sama gue suka pakai jaket. Tapi jaket kita beda merek. Jaket punya gue itu lebih murah ketimbang punya lo dan jaket gue warnanya gak semenarik punya lo. Trus, karena warna dan harga itu lo bisa anggap gue gagal milih jaket? Nggak kan, Put. Nah, ini juga sama kayak urusan si Adara tadi."

"Lo samain Adara sama jaket? Man, jelas-jelas beda tahu!" Tanpa disangka, Putra kembali protes. Temannya itu memang mudah menelan sesuatu mentah-mentah

Arkana menghela napas panjang. "Iya, semua itu gak perlu lo pikir panjang-panjang. Anggap aja gue setuju. Selesai, 'kan?" ujarnya mengangkat bahu.

Dan tanpa disangka-sangka pula, Putra berbalik dan berkata galak, "Man, gak segampang itu, dong. Adara itu ...,"

"Cantik, iya, kan? Gue ngerti, Put. Tapi buat gue, Adara lebih cantik lewat sikapnya," jelas Arkana setelah memotong ucapan Putra. Membuat laki-laki dengan rambut klimis itu nampak jengkel meski Arkana benar tentang satu hal yaitu, Adara cantik.

"Sikap apa?"

"Berani. Dia itu pemberani, lho. Menurut gue, di sana nilai plus dia."

Putra memasang tatapan menyelidik. "Dia bukan berani, kali, Man, sok-sokan," kilahnya. "Eh, bentar, lo tahu dari mana kalau Adara orangnya berani?" sambung seraya mendekat dan mengangkat telunjuk ke arahnya.

Sedang Arkana hanya mengangkat bahu. Mengalihkan muka, berusaha menghindari kontak mata dengan Putra. "Ya, dengan dia berani gunting bola punya lo. Dia berani, 'kan?" alihnya tidak mau soal jas itu terbawa-bawa.

Dan Putra hanya mengangguk. Menyetujui.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top