4. Bola Robek






Bagian 4

Bola Robek








Sudah seminggu.

Sudah seminggu sejak insiden rok terbang yang teramat sangat membuat malu Adara. Ia sendiri bahkan enggan memikirkannya, mengingat laki-laki itu pasti sudah melihat apa yang tak seharusnya dilihat olehnya. Namun kendati ingin melupakan, tiap kali Adara membuka lemari bayang-bayang kejadian siang itu selalu saja menghantui.

"Jasnya masih di gue, lagi." Adara menggaruk rambutnya frustasi. Malam ini ia sudah menyuruh Oli dan Laras untuk bertandang ke rumahnya. Semakin lama ia melihat jas itu, semakin berantakan pula rambutnya.

Tak lama berselang, Oli datang disusul dengan Laras yang diantar sopir pribadinya. Mereka berdua tanpa disuruh dua kali sudah langsung naik ke lantai dua. Tempat Adara berdiam dengan segala gundahnya akan jas hitam yang tergantung rapi di dalam lemarinya.

"Hai, Ra!" sapaan riang muncul dari bibir tipis Laras untuk sedetik kemudian dilanjutkan setelah melihat keadaan rambut gadis itu. "Lo kenapa, Ra?"

Adara balas menggeleng, tersenyum. "Gak kok. Sini Ras, Li!"

Dengan tatapan menyelidik setengah ragu, Oli melempar pertanyaan yang sama dengan Laras. Dan pertanyaannya pun direspons tak jauh berbeda seperti pertanyaan Laras. Namun bedanya, Oli tidak mudah berpuas diri. Tatapan menyelidiknya tidak berubah sejak ia duduk di sofa minimalis bernuansa krem itu.

"Terus lo ngapain nyuruh gue sama Laras ke sini? Masa cuma buat duduk leha-leha, ketawa-ketiwi." Ucapannya sarat akan kecurigaan karena merasa diacuhkan oleh gadis berambut mengembang itu.

Adara melirik sekilas. "Tahu aja sih, Li," ucapnya sembari menoleh, menginterupsi kedua temannya yang sudah ia diamkan sejak lima menit lalu.

Lantas dengan serempak kedua temannya melempar tatapan yang seolah berucap mau ngomong apa sih, Ra? Membuat Adara sejenak tersenyum kecil lalu melanjutkan ucapannya tadi.

"Gue nyuruh kalian berdua kemari karena gue mau cerita soal apa yang gue alamin seminggu lalu." Adara berhenti sejenak, ia melepas pandangan pada kedua sahabat karibnya sejak SD yang tengah menunggu kelanjutan kalimatnya. Sedetik kemudian ia melanjutkan lantas diakhiri dengan dehaman Laras dan suara menguap Oli selintas seperti mengatakan just it?

"Terus ... lo ga coba cari tahu?" Suara Laras memecah hening membuat Adara terkesiap lantas menggeleng.

"Belum, Ras. Gue ada niat, sih, tapi gue gak tau mau mulai dari mana."

Mendengar jawaban itu terlontar, Oli akhirnya bersuara, "Lo mulai aja nanya ke anak sekelas. Siapa tahu, 'kan? Lagian nih, gue heran sama lo. Masalah gini aja rasanya ribet bener." Dari kata pertama Oli saja, ia sudah nampak gemas pada Adara. Jelas saja gadis itu gemas, Adara memang tak biasanya seperti ini. Adara yang dikenalnya bukan tipe yang suka berlarut-larut memikirkan masalah.

Laras juga mengiyakan. Setuju dengan ide brilian Oli.

•••

"Man, main bola di luar yuk!" Putra mengajak Arkana. Menunjuk ke arah pintu menggunakan matanya. Ia pun menghentikan gerakan jemarinya. Dirinya tengah menggambar sesuatu di halaman paling belakang buku tulisnya. Nampak serius sekali.

Sepuluh menit kemudian barulah ia menoleh. Menjawab. "Nggak, ah. Lo aja sana, Put!" Mendengar jawaban itu Putra hanya melempar tatapan dongkol. Akan tetapi, baiklah, ia akhirnya keluar kelas lalu berteriak pada teman-temannya di lapangan supaya tidak buru-buru memulai pertandingan. Kemudian kakinya berderap menuruni anak tangga.

Waktu berjalan supercepat, Putra tiba-tiba kembali dengan keadaan marah-marah ke meja Arkana. Membuat laki-laki yang kini sedang sibuk dengan ponsel-menggambarnya disudahi karena bosan-itu menekuk kening, menatap laki-laki berkeringat itu dengan heran sekaligus sedikit jijik. "Lo kenapa, Put?"

Putra menggaruk kasar rambutnya lantas menunjuk-nunjuk ke pintu. "Ada cewek yang ... arghhh," ujarannya berhenti karena amarahnya nampak sampai ke ubun-ubun. Entah apa yang sudah membuat laki-laki penuh kekonyolan ini naik darah. Bagi Arkana yang notabene sudah kenal Putra sejak sama-sama masih belum bisa bicara, ia mafhum sekali jika Putra memang orang yang sensitif. Namun, tidak ada yang bisa membuat Putra semarah ini jika itu bukan bersangkutan dengan keluarga atau temannya.

"Man, santailah. Tarik napas ... buang." Arkana menaik dan turunkan tangannya seritme dengan embusan napas yang keluar masuk paru-parunya.

Putra menirunya lantas mulai bercerita, "Jadi tadi pas gue main, nendang bolanya kencang banget, trus ke depan kelas yang ada di bawah sana. Nah, ada satu cewek tuh, namanya Dara, cuma gara-gara lihat bola nyasar masuk ke kelasnya, eh, dipotong tuh bola terus dibuang ke tempat sampah. Belagu banget sumpah!"

Arkana manggut-manggut. Sejatinya apa yang dikatakan temannya itu tidak terlalu terdengar jelas sebab ia mengucapkannya dengan berkumur, komat-kamit menahan amarah hingga beberapa anak lain-yang bermain bola bersama Putra-datang ke kelas menjelaskan alur cerita yang lebih objektif dan jelas.

"Oh gitu ...." Arkana sekali lagi mengangguk-angguk, kali ini cerita yang dibawakan lebih jelas dan akurat. Tidak seperti cerita subjektif yang terlontar dari mulut penuh emosi Putra yang sampai sekarang masih berkomat-kamit.

Anak-anak itu beranjak dari bangku setelah bel masuk kelas berbunyi. Menyisakan Arkana dengan otak yang sudah merencanakan banyak hal dan Putra dengan emosi yang masih meluap-luap.

•••

"Dara!"

Yang dipanggil hanya mengerjap-ngerjap, matanya beralih sebentar dari ponsel untuk kemudian kembali lagi ke sana. Tolehannya barusan mengartikan apa.

"Dar, ada yang nyariin lo, nih!" seruan temannya beberapa detik kemudian kembali membuatnya mengangkat kepala. Lantas dengan wajah sebal ia beranjak dari bangku, menghampiri temannya.

"Apa sih, Ras?" tanyanya dengan intonasi yang diseret, kesal dengan temannya yang mengganggu giat santai-santainya setelah bel pulang. Matanya tak lepas dari Laras yang masih rapi dengan rambut dikepang satu. Mereka berdua belum pulang, sebab Laras memintanya untuk menemani dirinya piket kelas hari ini. Dan karena tak ada alasan untuk menolak sekaligus ia bosan jika langsung pulang ke rumah, maka jadilah ia di kelas menjadi pertapa sembari mencari barang di toko online.

Laras tak bicara lagi. Gadis girly itu hanya menunjuk dengan dagu siapa orang yang lima menit lalu menyebut nama Adara. Mencari gadis itu.

Dan, seketika itu pula, Adara tercekat. Lidahnya seolah terpotong, tenggorokannya kering kerontang dan matanya tak dapat beralih. Sebab di depannya sudah berdiri laki-laki misterius.

Laki-laki misterius yang memberinya jas!

"M-makasih, ya, Ras." Masih dengan sorot mata yang tak bersulih Adara mengucapkannya. Laras balas membatin, tadi marah, sekarang diem. Gak jelas. Lantas kembali membersihkan kelas, meninggalkan Adara yang masih mematung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top