3. Gara-Gara Angin
Bagian 3
Gara-Gara Angin
"Hihihi, keren 'kan gue?" tanya Laras sambil memilin-milin rambutnya yang dikepang satu. Ia tengah tersenyum-senyum menunjukkan hasil kepangan rambut yang dibuat olehnya sendiri.
Adara hanya tersenyum sekilas, lantas kembali disibukkan dengan ponsel pada genggamannya. Dari gawai kecil itu, ia menunggu dengan sangat, suara denting kecil. Berharap pacarnya itu membalas pesan yang sejak kemarin belum dijawab. Jangankan membalas, dibaca pun belum. Hal ini berbuntut panjang hingga membuat Adara bolos makan, bolos mandi bahkan hampir bolos sekolah tadi pagi jika Ibunya tidak mendobrak pintu kamarnya.
"Dar, lo masih nungguin balasan dari doi?" tanya Oli dengan alis terangkat. Pertanyaannya dijawab anggukan tak acuh dari Dara. Melihat hal itu, Oli hanya menghela napas pelan.
Mereka kini tengah bersantai di balkon rumah Adara—atau bisa dipanggil Dara—yang terkenal sejuk, apalagi ketika malam hari seperti ini. Balkon rumahnya selalu berhasil membawa ketenangan untuk siapa saja yang duduk atau sekadar berdiri di sana. Tanpa pengecualian bagi Laras dan Oli. Teman Adara sejak ia masih umur lima tahun.
"Dara ... gak usah terlalu mikirin dia, deh. Buat apa, sih? Kalau dia emang sayang sama kamu, dia pasti balik, kok." Kali ini giliran Laras yang bersuara, intonasinya iba pada keadaan Adara yang dinilai cukup kacau.
Selalu saja begini. Seperti gosokan setrika pada baju. Adara selalu keras kepala, apalagi menyangkut soal sesuatu yang menjadi miliknya atau pilihannya. Oli dan Laras jelas sudah menghafalnya di luar kepala. Mereka juga sudah mengingat dengan baik, jika seperti ini, tidak ada salah satu di antara mereka yang mampu mengubah suasana hatinya.
Untuk saat ini, sepertinya balkon kamar Adara sendiri tak mampu membuatnya sembuh dari masalah yang mengungkungnya. Sesungguhnya, masalah yang ia pikul tak terlalu penting. Berakar dari Aldo—pacarnya—yang tidak membalas pesannya sejak kemarin malam. Membuatnya bingung, sedih, curiga dan takut bersamaan.
Adara mengangguk. Lagi-lagi ia tak terlalu mengacuhkan. Matanya lurus mengarah ke jalanan sepi di depan rumahnya. Daun tumbuh-tumbuhan di taman rumahnya nampak berkilau ditimpa lampu taman, beberapa nampak melambai ditiup angin malam. Bersamaan dengan satu daun yang terbang, luruh jatuh ke rumput halus di bawahnya, Oli dan Laras berucap pelan, pamit. Adara hanya—lagi—menganggut sekilas, tak peduli.
•••
"Mam, aku gak sekolah dulu, ya?"
Ucapan penuh nada permohonan itu membuka pagi ini. Mata mamanya sontak melotot tak tertahankan sesaat setelah mendengar ucapan putrinya. "Kamu ini kenapa, sih? Gara-gara pacar kamu lagi? Si Al siapalah itu? Iya? Dia?!" respons mamanya sengit.
"Nggak gara-gara Aldo kok, Mam,"
Mata mamanya menyipit lalu tersenyum. Menyeringai. "Ya, udah, kalau kamu gak mau sekolah. Berarti nanti temenin Mama ke kondangan. Gak ada penolakan!" ucap mamanya bagai petir di siang bolong. Wajah putih mulus itu langsung syok.
Maka di sinilah, jam satu siang lewat dua puluh menit, dengan gaun selutut berwarna navy blue brokat berenda serta menampakkan pundak proporsionalnya. Adara bersiap mengantar mamanya. Beruntungnya, siang yang berangin serta tidak terlalu panas ini memberi keuntungan baginya ketika menyetir motor, dengan setelan yang cukup ribet sehingga tidak akan menyita emosi. Namun, mau bagaimanapun emosi tetap saja berhasil menguasainya. Sebab mamanya untuk yang entah ke berapa kalinya telat. Padahal ia sendiri yang menentukan jamnya di awal.
"Mama lama banget, sih," gerutunya bolak-balik menoleh ke dalam rumah karena sejak dua puluh menit lalu sudah siap di atas motor maticnya.
Namun tak berselang lama, mamanya muncul dari daun pintu dengan baju yang tak kalah apik dengan dirinya. Sudah siap berangkat ke tempat acara pernikahan teman lamanya.
"Ayo berangkat, Dara!" ajak mamanya dibalas dengan tatapan mata menyipit oleh anaknya yang sudah bosan menunggu.
Lokasi tempat dihelatnya pernikahan itu tergolong tak terlalu jauh. Jalanan ke sana memang ramai karena termasuk jalan yang besar juga jalanan utama untuk pergi kemana-mana. Itulah mengapa, Mamanya memilih berangkat agak siang sebab jalanan tak akan terlalu ramai.
Sesampainya di tempat pernikahan yang cenderung masih lumayan ramai itu, Adara dan mamanya masuk lebih dalam. Dan saat itulah, mama Adara tak sengaja bertemu mata dengan salah seorang teman lama, kemudian dirinya beringsut mendekat. Tangannya yang tak mengapit dompet menarik Adara untuk ikut serta.
"Hai, Mei!" sapa mamanya riang lalu memeluk hangat perempuan berjilbab di depannya. Adara yang melihat fenomena lazim itu hanya tersenyum singkat lalu menatap lekat setelan baju ibu-ibu di depannya, stylish juga nih emak-emak gumamnya manggut-manggut sendiri.
Perempuan itu melepaskan pelukan. "Gimana kabarnya, Reni?" tanya perempuan itu masih dengan senyum yang merekah. Yang dipanggil Reni mengangguk. "Alhamdulillah."
Sejurus kemudian perempuan yang dipanggil Mei itu mengalihkan atensinya pada Adara yang tengah sibuk mengabsen makanan yang akan disantap olehnya. Perempuan itu mendekat lalu bertanya, "Ini anak kamu, Ren?" tanyanya menoleh pada Reni alias mama Adara.
Reni lagi-lagu mengangguk, "Iya. Perkenalkan, ini Adara. Anak perempuanku." Adara yang mendengar namanya disebut langsung mengembalikan perhatiannya pada kedua perempuan yang lama tak bersua itu. Ia memasang senyum paling lebar yang bisa dilukisnya hari itu. Senyum lebar itu bersambut dengan senyum yang tak kalah manis dari perempuan bernama Mei itu. Lantas tak lama, mereka bertiga—Adara, mamanya dan Mei—memutuskan untuk berpisah. Adara dan mamanya makan dan Mei pulang. Karena memang perempuan itu datang lebih awal ketimbang dirinya.
Tidak lama, setelah mengikuti proses acara pernikahan seperti bersalaman-makan-berfoto-pulang, Adara memutuskan hengkang lebih dulu, menyiapkan motor.
"Ma, aku siapin motor dulu, ya. Ntar kalo mau pulang biar gampang," ujar Adara sambil menitipkan clutch bag yang serona dengan bajunya. Mamanya mengangguk, menunggu di tempat yang teduh.
Adara berjalan di tengah ramainya orang-orang yang berlalu-lalang, ada yang masih hendak masuk, ada pula yang pulang sama seperti dirinya. Matahari sudah tidak tepat di atas kepala namun semakin siang angin yang berembus justru semakin kencang. Membuat rambut Adara meliuk-liuk ditiup olehnya.
Sesampainya di motor yang sudah dikenalinya betul, Adara terlonjak. Kaget. "Yah!" Ia terkesiap, gerakannya terhenti. "Duh, kunci motornya kan ada di dompet. Kok bisa lupa, sih?" Menyadari kenyataan itu, Adara sesegara mungkin berbalik, kalau bisa ia akan berlari karena jarak tempat parkir dan tempat Mamanya tadi menunggu lumayan jauh bila ditempuh hanya dengan berjalan.
Baru saja ia berbalik, lagi-lagi ada saja sesuatu yang mengganggu rencana yang sudah dirangkainya beberapa detik lalu.
"Eh ... aduh, Mas. Mau kemana, sih?" ujarnya tak sabaran. Air mukanya seolah mengatakan minggir atau gue lempar ke Amazon nih.
Orang yang berdiri menjulang depannya itu mengernyit. Dia masih nampak rapi dengan kemeja putih serta celana kain panjang, jas hitamnya tersampir begitu saja di bahunya. Nampak semi formal tapi menawan. Rambutnya juga basah. Menurut Adara, tingkat kebasahannya terlalu tinggi kalau hanya keringat, bisa jadi dia baru selesai salat. Ah, tapi, masa bodohlah. Mau semenawan apapun, serapi apapun, tetap saja laki-laki ini harus diterjang.
Angin kini lebih kuat meniupkan apapun yang ada di sekitarnya. "Maaf, Mbak, tapi harusnya Mbak gak ngehalangin jalan saya juga," ujar laki-laki itu dengan sopan tapi tetap terdengar menyebalkan di telinga Adara.
Lantas gadis itu membalas, "Eh, Mas kali yang halangin jalan saya. Kok dibalik, sih!" Laki-laki itu bergeming, speechless pada gadis di depannya. Kemudian tanpa menunggu angin yang semakin buas, ia memilih kembali berjalan, mengacuhkan Adara yang masih mencak-mencak.
Hari berubah mendung tanpa disadari. Angin pun kian kejam. Ia tega menghantam apapun yang menghalangi ruang geraknya. Tak terkecuali Adara yang sudah berjalan lagi, menghampiri mamanya.
"ADUH!"
Suara Adara yang terdengar dari kejauhan membuat laki-laki itu tersentak. Ia menoleh ke belakang. Dan, tepat di sanalah, tepat lurus di belakangnya ia menemukan Adara yang dengan sekuat tenaga menutup roknya yang tersingkap. Lantas tanpa aba-aba lagi, ia berlari ke arah perempuan itu. Bersiap memberikan jas yang sejak tadi tersampir di pundaknya.
"Cepat pakai ini!" titahnya sambil memberikan jasnya untuk dilingkarkan di pinggang Adara. Sebagai laki-laki yang normal, ia juga menahan diri untuk tak melihat apa yang ada di hadapannya.
Adara pun tanpa basa-basi menerima uluran jas hitam itu dan segera melingkarkannya. Wajahnya sempurna merah padam, ia tak kuat memandang laki-laki yang sepuluh menit lalu dicaci dan maki olehnya. Lidahnya pun kelu ketika hendak mengucap "terima kasih". Duh malu banget!
Fakta bahwa ia terlalu malu untuk mengucapkan "terima kasih" membuatnya lari menjauhi laki-laki itu. Mengabaikan ekspresinya yang keheranan dengan sepotong hati yang merasa lega.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top