2. Temu









Bagian 2

Temu







Senin.

Arkana sudah duduk di sofa ruang tamu, memakai sepatu khas untuk upacara yang biasa anak sekolah pakai tiap hari Senin. Juga sudah selesai melahap sepaket sarapan yang berisikan nasi goreng, kerupuk serta tak lupa bawang goreng dan sedikit cabai bubuk plus minum air mineral. Sekarang ia bersiap berangkat ke sekolah.

"Assalamualaikum!" serunya di ambang pintu setelah bersalaman dengan mama dan papanya. Segera dijawab salamnya oleh Mamanya dari dalam, juga dengan berseru. Selepas itu ia langsung berangkat, mengendarai motor, ikut menyesakkan keramaian di jalanan sekitar rumahnya.

•••

"Man!"

Teriakan keras menusuk telinga Arkana. Ia masih duduk di bangku, tangan kanannya memegang bolpoin berisi tinta hitam. Berkutat dengan catatan yang ditulisnya.

Ia belum menjawab. Mendiamkan panggilan yang sudah jelas dari Putra. Sebab memang ia sudah mengiyakan ajakannya kemarin.
Panggilan kedua, ia tak acuh.

Panggilan ketiga, ia masih bergeming.

Hingga panggilan keempat ia baru bereaksi dengan membereskan buku-buku di atas mejanya.

"Iya ... iya ... sabar dikitlah, Put," ujarnya santai lalu berjalan ke arah pintu kelas, di mana Putra sudah tak sabaran menunggu sejak lima belas menit yang lalu.

Putra terdiam lantas menatapnya kesal. "Eh, anjir, gue dari tadi nungguin lo di depan kelas. Lima belas menit, Man!" serunya dengan nada tinggi. Saat ini mereka tengah berjalan melewati kelas-kelas yang sudah lengang.

Sesungguhnya, ketika bel pulang sekolah berbunyi kencang lewat speaker yang dipasang di atas papan tulis itu, Putra beserta teman-temannya yang tidak kebagian jadwal piket, pulang tunggang langgang. Namun, karena sudah janji pada Arkana sekaligus ia membawa bola basket akhirnya ia putuskan untuk main basket dulu di halaman belakang sekolah.

Dan Arkana yang melihatnya hanya ber-ooh singkat, mengira jika mungkin Putra lupa pada ajakannya sendiri kemarin. Melihat kenyataan itu, ia akhirnya memutuskan menulis beberapa catatan yang ia belum selesaikan tadi, sebab catatannya tidak ditulis di papan melainkan dikirim via Whatsapp karena gurunya sedang tidak mengajar.

Arkana menoleh ke sampingnya. Netra beningnya menemukan wajah Putra tengah menggelembung. "Man, gak gitu juga, kali. Gue tadi mikirnya lo lupa. Ya, udah gue lanjutin nulis catatan dari Pak Rusli, daripada nulis di rumah mending nulis di sekolah." Ia tersenyum kecil, membenarkan posisi tas punggungnya lalu kembali menoleh ke depan, menemukan tangga untuk turun ke lantai bawah.

"Yah ... sorry, Ar. Lagian gue pakai lupa bilang segala ke lo, kalau masih main basket," balas Putra beberapa menit setelah diam. Mereka sudah sampai di lahan parkir yang terletak di depan sekolah. Sepi. Hanya ada beberapa motor yang terparkir di sana, pemiliknya mungkin masih ada urusan di sekolah.

Arkana hanya mengangguk kecil dan melambaikan tangannya santai. Ia segera memakai helm diikuti dengan Putra yang sudah naik di atas motor. Setelah semua dirasa lengkap, mereka akhirnya tancap gas. Putra di depan, Arkana mengekor di belakangnya. Mereka keluar dari lingkungan sekolah yang sekarang didominasi anak sedang ekstrakurikuler. Jalanan ramai lancar, mereka menyalip dan disalip kendaraan. Hingga sampai di tempat yang dituju.

"Wih, udah ramai, nih!" Putra yang berbicara setelah melepas helm dan menaruhnya di atas motor. Bersamaan dengan itu, Arkana—yang berstatus diajak—mengimitasi gerakan tersebut lantas membuntutinya, meninggalkan halaman parkir.

Arkana diam saja, menatap datar semua orang hingga suara Putra lagi-lagi menusuk gendang telinganya, "Man, sini lo!" teriaknya, melambaikan tangan. Menyuruhnya mendekat. Sepertinya sejak tadi, ia hanya memandang speechless tempat yang dipijaknya ini.

Ia kini berada di kafe bernama Monster. Yang punya badannya gede kali, makanya dikasih nama monster, batin Arkana sembari menengok kanan dan kirinya, melihat sekeliling bangunan yang banyak dipengaruhi warna cokelat. Kafe ini terbuka, setidaknya begitulah menurutnya sebab sekarang lebih banyak manusia yang bercakap santai di luar daripada di dalam.

Netranya terus berputar, sesekali ia tetap melihat ke arah Putra yang sudah asyik mengobrol-terbahak-mengobrol lagi dengan teman semejanya.

"Eh, Man, kenalin ini Haris. Ris, kenalin ini Arkana. Manggilnya Ar, aja." Putra memperkenal Arkana dengan Haris. Entah siapa pemuda di depannya ini, Arkana hanya tersenyum kecil menjulurkan tangannya untuk berjabat.

Lantas dirinya duduk di sebelah Putra yang masih asyik mengobrol kadang-kadang menyikut sikunya, mengajaknya untuk bergabung dalam obrolan mereka. Maka jadilah ia ikut, meski hanya merespons singkat dan tertawa.

Matanya lagi-lagi berputar, mengitari teras kafe. Jarak antara halaman luas yang digunakan untuk lahan parkir dengan tangga kecil untuk masuk ke dalam kafe tidak terlalu jauh. Sekeliling kafe ini pun hanya dipisah oleh pagar kayu dan memang lebih tinggi 2-3 meter dari halaman luas tadi, sehingga meski kini duduk di pojok ruangan ia tetap bisa melihat motornya terparkir mulus, disiram sinar mentari yang beranjak turun di ufuk barat.

Ketika itulah. Ketika netra Arkana berputar untuk kesekian kalinya. Kala kedua matanya cokelat terangnya tak luput menyapu pandangan ke tangga-tangga kecil, tempat di mana orang bisa masuk ke tempatnya duduk. Maka, saat itulah matanya menemukan seorang gadis dengan tubuh ramping, rambutnya tertali ke belakang, hanya menyisakan sedikit anak rambutnya yang sedikit menjuntai tak tentu arah ditiup angin senja.

Dan, dari sekian banyak gadis yang pernah ditemuinya, gadis ini mampu menarik perhatiannya di kali pertamanya melihat. Entah mengapa. Bahkan ia sendiri tak tahu. Di sisi lain, baju yang gadis itu kenakan memang terbuka, ya, setidaknya itu menurut skala yang Arkana tentukan tiap kali bertemu perempuan. Namun, jelas bukan itu magnetnya. Ya, untuk sebagian besar laki-laki, tubuh ramping yang ditutupi dengan dress armless berwarna merah maroon itu memang menarik hati. Akan tetapi, jelas bukan itu yang membuatnya tertarik. Gampangan banget gue, kalau tertarik sama bajunya doang.

Perempuan yang menarik perhatiannya itu tersenyum manis ditimpa sinar jingga khas sore hari. Ia berjalan lurus ke meja tempat laki-laki yang melambaikan tangan padanya. Arkana menatap datar kejadian di depannya. Oh ketemu pacarnya, gumamnya dalam hati lalu beranjak, hendak mengikuti arah obrolan di mejanya yang entah sudah sampai mana.

Namun gagal. Ada sesuatu yang lebih menarik perhatiannya ketimbang obrolan tak menentu arah yang dibicarakan di meja. Gendang telinganya menangkap sesuatu yang lebih menarik daripada obrolan membosankan Putra dengan Haris.

"Susah nyari tempat ini, Ra?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top