14. Paksa Damai










Bagian 14

Paksa Damai








Butuh beberapa waktu hingga Arkana menetapkan hatinya pada gadis itu. Ia jelas butuh pendapat Putra, namun, sebelum itu ia sudah yakin. Pendapat sahabat satu-satunya itu membuatnya semakin merasa pasti.

"Gue bilang apa kan, Man, lo tuh pasti jadinya sama Rana," ujar Putra di suatu pagi, kira-kira seminggu setelah peri Arkana dan Rana meresmikan hubungan mereka.

Arkana melempar tatapan, setelah sebelumnya berfokus pada gawai digenggamannya. Tatapannya pun dibalas ekspresi bertanya oleh teman jakanya itu, "Gue bener, 'kan?"

Arkana mengangguk. Mengundang ujaran lain dari bibir Putra. "Yah ... emang Rana cangtip sih, haha." Arkana engah, bila Putra mengajaknya bicara perihal seperti ini, maka ujung-ujungnya, ia pasti akan mengoceh soal perumpamaan-perumpamaan yang bisa lebih mudah dipahaminya.

Sedangkan kini, dirinya sedang tidak ingin mengatakan apa pun. Malas.

•••

Sebagaimana Arkana, Adara pun butuh waktu lama had akhirnya keputusannya membulat. Mungkin, untuk sebagian besar orang, ini merupakan hal sepele, namun baginya, urusan dengan perasaan tak ada remeh-temehnya. Ia sudah seperti itu sejak dahulu. Terdengar lebay tapi inilah kenyataannya.

Adara membuat keputusan ini tanpa bantuan siapa pun, itulah sebab kebanyakan dari keputusannya terkadang bukan membawa keefektifan, melainkan rasa sesal di hari kemudian. Lagi-lagi, hal itu didasari pada sikapnya yang sok. Sok dewasa, sok mengerti, bahkan hingga detik ia memutuskan ini, ia belum menyadari hal tersebut.

Tapi, ia rasa, untuk kali ini, keputusan yang dibuatnya bukanlah keputusan yang hanya dibenarkan oleh benaknya, namun memang diasikan oleh siapa pun yang kelak akan mengetahuinya. Ia yakin akan hal itu.

Maka dengan tekad berkobar-kobar, ia keluar dari kamar menggunakan setelah kasual khasnya, apalagi kalau bukan celana olahraga, oblong yang panjang lengannya nyaris menutupi kedua punggung tangannya. Ia berjalan cegak, niatnya sudah bulat, tak ada lagi yang perlu diragukan.

Baru saat kakinya melangkah melewati daun pintu, mamanya berujar, menghentikan langkahnya. "Mau kemana, Dar?" Adara menoleh ke belakang, dari tempatnya berdiri ia bisa melihat mamanya tengah fokus ke acara memasak di televisi. "Keluar Ma, sebentar aja, kok."

Tampak mamanya mengangguk, dan dengan netra yang masih berpusat pada layar datar di hadapannya, ia berucap lagi, "Mama nitip beliin martabak, ya. Enak kali kalo lihat sambil makan martabak keju sama stroberi," ujarnya sambil mengecap-ngecap, antara membayangkan rasa martabak dan melihat visualisasi makanan di televisi.

Mendengarkan titah dari mamanya, Adara hanya mengangguk-angguk lantas beranjak menyalakan motornya, memanasinya sekejap sembari kembali menimang-nimang keputusannya tadi.

"Kok jadi gak sreg, ya," monolognya saat sudah di atas motor, bersiap pergi. Ada sekitar sepuluh hingga lima belas menit ia berpikir superkeras.

Hingga mamanya menyadari hal tersebut, sebab sejak tadi ia tak mendengar derum suara motor. "Eh, Dar, kok belum berangkat, Mama udah nungguin dari tadi. Dipikir udah berangkat, eh, ternyata masih duduk sila di sini. Ngapain sih kamu, Nak?" ujar mamanya membuat Adara terperanjat.

Balasan Adara berupa gelengan, tentu hal tersebut bukanlah hal yang diinginkan oleh mamanya. "Yakin?"

"Iya, Mamaaa."

"Kalau iya, sana berangkat, cepetan!" seru mamanya. "Kalau mau ngelakuin apa-apa itu mbok, yang yakin gitu lho, Dar. Pacaran yakin, beli martabak aja ragu-ragu," celetuk mamanya seraya kembali masuk ke dalam rumah. Iklan acara di televisi agaknya sudah rampung.

Kendati sudah mendapat peringatan dari mamanya, Adara masih tetap diam di tempat. Namun kali ini, bukan keraguan yang mendekap pikirannya, namun ia justru menukas ucapan mamanya barusan.

Dan setelah puas mengulanginya, ia rasa mamanya benar, dirinya tidak boleh ragu. Jangan beri celah untuk rasa bimbang mendatanginya terus-menerus.

Maka dengan tekad membulat sekaligus mendapat titah untuk membeli martabak, ia berangkat. Tak membiarkan keraguan mendatanginya lagi. Ia harus menyelesaikannya. Mendamaikan perasaan yang sudah merecup di dalam hatinya.

•••

"Makasih, Mang," ucapnya, selepas menerima sebungkus martabak berukuran mini yang tersusun rapi di dalam kotak berbentuk persegi panjang. Adara mafhum betul mengapa mamanya mengagumi martabak ini, dari penampilan, rasa hingga bagaimana cara penjual melayani konsumennya. Semuanya A plus.

Sudah jam tujuh malam, terhitung dari sepuluh menit ia mengendarai motor hingga sampai di tempat penjual martabak, dan lima belas menitnya untuk menunggu martabaknya matang. Adara tidak jemu, tidak seperti dirinya yang biasa. Adara yang orisinal pasti akan menghindari yang namanya antrean. Sebisa mungkin ia memencilkan diri dari kegiatan tersebut.

Tapi kali ini, tidak. Lima belas menit mengantre malah menjadi bahannya bersyukur kepada Sang Kuasa, sebab waktu yang tak singkat itu ia bisa gunakan untuk meyakinkan dirinya lagi dan lagi. Sebab sebelumnya, ia memang belum pernah disangkutpautkan pada permasalahan bermodel seperti ini.

Adara menggeleng cepat, martabak di tangannya terguncang saat ia memutuskan berjalan cepat ke arah kendaraannya. Semakin cepat ia menyelesaikan urusan peliknya, maka semakin cepat pula martabak ini sampai ke tangan mamanya yang sedang harap-harap cemas di rumah.

•••

Adara sampai di depan rumah yang digadang-gadang merupakan rumah Arkana. Laras yang memberitahunya tentang keberadaan griya ini. Biasa saja, batinnya memberi penilaian. Meski begitu, di sanalah keberadaan manusia yang kelak ia beri pengakuan.

Sehingga, dengan langkah gentar ia berjalan memasuki pekarangan rumah bertingkat itu. Napasnya sedikit menderu tapi apa boleh buat, sekali masuk ia tak boleh keluar lagi.

•••

Arkana menajamkan telinganya ketika matanya masih awas pada tulisannya sendiri di atas buku. Kedua telinganya sayup mendengar ketukan di pintu. Ia menoleh ke arah jam dinding, sudah jam delapan lebih. Lazimnya, tak akan ada tamu yang bertandang ke rumahnya di jam-jam seperti ini. Sebab itulah kupingnya perlu ditajamkan.

Mama dan papanya sudah terlelap dahulu. Ia yang masih terjaga pun akhirnya mau tidak mau harus membukakan pintu untuk tamu tak biasa ini.

Dan betapa Arkana terkejut saat melihat siapa manusia tak biasa tersebut. Kini, di depannya telah berdiri Adara. Gerangan apa yang membawa kiprah Dara kemari malam-malam?

"Eh, hai, Ar!" sapanya, bukan malah membuat suasana mereka mencair malah semakin menegang. Namun, baiklah, Arkana menanggapinya dengan tersenyum lantas menyilakannya duduk di muka rumah. Ia akan kembali ke dalam untuk membuat hidangan.

Sekembalinya dari dalam, saat Arkana bahkan belum sempat menyamankan posisi duduknya di atas kursi kayu itu, Adara kembali membuatnya terkejut.

"Gue cuma mau bilang makasih."

Adara tersenyum hangat. Sehangat teh yang terhidang di meja kayu kecil berbentuk lingkaran di depan mereka. Kali ini sungguh tidak ada yang istimewa di antara keduanya. Hanya cara ketika mereka bertemu yang kini sedikit berbeda.

Angin sedikit menerbangkan beberapa helai rambut kedua manusia itu. Akan tetapi, angin sama sekali tidak berhasil menerbangkan kehangatan juga ketegangan yang menjadi atmosfer keduanya. Bahkan, serangga pun seolah menyaksikan mereka. Ikut andil sebagai penonton yang menyimak semuanya dengan sangat baik dan bila perlu akan bersuara untuk memberikan komentar mereka.

Arkana memaksakan ekspresinya dengan tersenyum, "Makasih buat apa, Dar?"

Mata manusia di depannya mengerjap-ngerjap. Tidak tahu hendak memberikan respons bagaimana lagi setelah merangkai kalimat terpanjang tadi. Serangga juga tidak berniat membantunya. Sekitarnya hening. Sepi.

"Makasih buat semuanya."

Arkana tak habis pikir, makasih untuk apa yang pantas diberikan untuknya?

Gadis di sampingnya nampak menarik napas panjang sebelum kembali bersuara, "Makasih buat kata-kata lo yang bikin gue sadar. Gue gak bakal banyak-banyak ekspektasi ke orang, selagi gue masih banyak kurangnya."

Arkana mengangguk-angguk kecil, kedua matanya tak bisa lepas dari memandang objek berupa gadis berbibir mungil itu.

Ada kesenangan baginya bisa membuat Adara berubah. Hal kecil memang, tetapi mampu membuatnya sedikit bangga pada dirinya sendiri.

"Gue juga gak bakal ekspektasi banyak-banyak sama cowok, termasuk lo. Gue masih banyak kurangnya. Dan, harusnya yang ngarep itu yang cowok 'kan? Bukan cewek," tambah gadis itu diakhiri dengan kekehan santai.

Tapi kali ini Arkana tak bisa santai, apa katanya barusan?

"Lo suka sama gue, Dar?" tanyanya syok.

Adara mengutuk dalam hati, apa ucapannya barusan kurang eksplisit. Maka dari karena malu, ia hanya mengangguk. Lantas sesaat kemudian kembali memberanikan diri.

"Tapi gak pa-pa kok. Gue udah gak suka. Santailah."

Arkana memaksakan senyumnya lagi. Ia mengangguk-angguk. Semoga saja seperti itu.

Sedangkan Adara yang melihatnya ikut tersenyum. Senyum penuh pemaksaan. Namun kini perasaannya jauh lebih damai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top