13. Harapan dan Kenyataan
Bagian 13
Harapan dan Kenyataan
Sesuai dengan apa yang sudah diprediksikan Putra, sejak kali pertama ia mengucap nama Rana kala itu. Arkana pasti akan terpikat. Sudah pasti. Hal itu terbukti dari bagaimana kini mereka sudah tak malu berinteraksi di lingkungan sekolah. Membuat dirinya sendiri iri.
"Ck. Kalau ngapel tuh lihat posisilah, Man!" ucapnya ditutup dengan dengusan kasar, lantas kembali melahap nasi pecel dengan uap yang masih mengepul.
Di sebelahnya, Arkana tergelak. "Gue harus ke mana, Put? Lagian lo lebay banget, Rana cuma makan sebentar, kok."
Cuma sebentar katanya, matanya aja sama-sama gak bisa lepas, gitu, batin Putra tak mengacuhkan pembelaan Arkana. Kantin semakin riuh. Semakin berlama-lama di dalamnya, semakin membuat aroma yang masuk ke hidung bercampur aduk. Tapi nyatanya, hal itu tidak terlalu mempengaruhi gerakan sendok Putra, ia tetap makan dengan santai sesekali membalas sapaan teman-temannya.
Ya, setidaknya kini ia bisa lebih santai ketimbang dua menit lalu. Sebab tadi di hadapannya sudah duduk dengan nyaman, Arkana dan Rana tengah mengobrol. Garisbawahi tengah mengobrol. Ia tidak diajak. Sama sekali.
"Eh, gue duluan, ya." Suara gadis yang menjadi objek bayangannya itu muncul. Ia mengangguk singkat setelah memutar badan. Namun lagi-lagi, ia tak digubris. Rana kembali mengobrol dengan Arkana. Melihat kenyataan itu, ia putuskan untuk segera menandas habis makanan di depannya. Benar-benar percuma memberi respons.
•••
Adara menelan ludahnya dalam-dalam.
Saking dalamnya hingga lidahnya tak mampu mengucap apapun.
"Sabar, ya, Dar," ucap Laras, namun ucapannya tidak berhasil menghentikan tatapan nanar Adara.
Oli diam saja, memang sejak tadi, ia sama sekali tidak berniat untuk mencampuri urusan sensitif ini. Ia diam saja. Takut-takut saat ia buka mulut, justru akan membuat keadaannya semakin runyam. Baginya, apa yang terjadi di depan mereka bukanlah apa-apa, biasa saja, setelah kenyataan menghadirkan fakta seperti ini, Adara pasti akan mencari laki-laki lain. Yang tak kalah baik dan pintar, pastinya.
Tapi, itu bukan urusannya. Ia menolak keras jika harus berurusan dengan perasaan. Terlalu sukar.
Tidak lama berselang, Adara berbalik. Tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya, ia asal meninggalkan Oli dan Laras yang saling menekuk dahi. Namun seperti tahu apa yang dipikirkan masing-masing, mereka sepakat tak mengejar. Adara perlu waktu untuk sendiri.
Dan, benar, Adara sungguh-sungguh tak menginginkan kedua sahabatnya itu berada di sampingnya. Ia butuh waktu sendiri. Kali ini benar-benar sendiri.
•••
"Dara?"
Gadis yang terpanggil itu akhirnya mengedipkan matanya, setelah entah berapa lama tidak dikedipkan. Ia menoleh ke belakang, figur mamanya hadir di sana, kedua tangannya membawa setumpuk baju dan celana yang ia kenali sebagai miliknya.
"Kamu ngapain? Tumben diam-diam aja, biasanya handphone gak lepas dari tangan," celetuk mamanya, kedua tangannya sibuk memindahkan tumpukan baju ke lemari Adara. Sedangkan, anak gadisnya hanya menggeleng, enggan bertutur.
Mamanya berdeham, "Pasti ada apa-apa nih, ya. Ayo cerita sama Mama, Dar!"
Adara semula menolak. Tapi melihat mamanya yang nampak menyamankan posisi duduk di atas kasur, akhirnya mengalahkan egonya. Ia beranjak dari duduknya supaya bisa dekat dengan mamanya. Lantas ia luapkan apa yang ia rasakan hari ini dan mamanya mendengarkannya dengan cermat, sesekali tangan kanannya mengusap-usap rambut dan punggung Adara. Membuatnya merasa diperhatikan.
"Hm, lucu deh kamu, Dar," ujar mamanya memberi respons setelah Adara menyelesaikan ceritanya. Menerima respons seperti itu membuatnya merengut, mengundang gerakan afeksi dari mamanya. "Dar, kamu kan udah pernah pacaran, masa sama yang sekarang bikin kamu uring-uringan, sih?"
Adara bertafakur. Mamanya benar.
Tapi, baginya, Arkana bukanlah seperti yang sebelum-sebelumnya. Ia berbeda. Maka karena ia berbeda, tanggapan dari perasaannya pun berbeda.
"Dar, kalau emang Arkana sama cewek lain, ya, udah. Lepasin aja, nyari yang lain. Kamu itu cantik, turunannya Mama. Jangan takut gak punya pacar!" lanjut mamanya diakhiri dengan tertawa.
Adara bertafakur lagi. Apa semudah itu urusannya? Bahkan mamanya tertawa di saat dirinya tak bisa memikirkan hal lain selain masalah ini. Katakanlah ia berlebihan, tapi Adara sudah menaruh banyak harapan pada laki-laki sopan itu.
Harapan?
"Ma, menurut Mama, aku pantas gak sih buat Arkana?"
Pertanyaan yang keluar tiba-tiba itu membuat tawa mamanya berhenti. Ia menoleh ke samping, tepat ke wajah Adara yang bertanya-tanya.
Menilik dari wajahnya, ibu beranak satu itu seakan berpikir keras hendak menjawab apa. Sebab ia menginginkan jawaban yang benar sekaligus tidak menyakiti hati putrinya sedikit pun. "Dar, ini bukan soal pantas atau nggaknya kamu sama Arkana," ucap mamanya setelah beberapa menit menimbang-nimbang.
"Kamu itu pantas untuk siapa aja yang baik buat kamu. Jangan mikir kamu gak pantas buat dia," sambungnya. "Gini deh, kalau emang si Arkana itu digariskan buat kamu, ya, udah, pasti balik ke kamu. Nah, kalo nggak, ya, relain aja. Kayak gak ada cowok lain aja yang mau sama kamu. Inget Dar, kamu ini copy-annya Mama, gak usah khawatir soal cowok!" Ucapan mamanya seperti membawa sepotong puzzle yang sempat dihilangkannya ketika putus dengan Aldo.
Iya, mamanya benar. Kenapa rasanya sulit merelakan.
"Kamu itu persis kayak Mama, Dar. Makanya gak usah takut. Udahlah, kalo emang Arkana buat kamu, ya, pasti dibalikinnya ke kamu. Titik. Mama bukannya apa, tapi, masih ada banyak cowok di luar sana yang mau sama kamu. Jangan terpaku, ya. Lain kali, harapannya jangan ketinggian, yang pantas ngarep tinggi itu, ya, cowok ke kamu, bukan kamu ke cowok," ujar mamanya lagi, lebih menenangkan hati Adara yang kalut.
"Udah ah, gak usah lebay-lebay, gitu. Ingat omongan Mama, banyak cowok yang mau sama kamu. Gak usah khawatir, ya."
Mamanya benar. Rupanya ia belum paham betul akan ketikan Arkana saat itu. Ia masih berharap lebih. Justru parahnya, kini ia menaruh harap pada orang yang memberitahunya untuk tak terlalu banyak berekspektasi. Betapa bodoh dirinya. Membiarkan perasaannya itu tumbuh dan bermekaran tanpa kendali.
Ia mendecak pelan. Matanya menatap ke luar jendela, meniti dari mana perasaan yang muncul di hatinya. Lantas, perlahan-lahan merencanakan sesuatu untuk dilakukan selanjutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top