12. Berdua









Bagian 12

Berdua












Sudah cukup lama waktunya bergulir, sejak rok Adara tertiup angin lantas diselamatkan oleh seorang laki-laki bernama Arkana. Sejak mamanya membandingkan-bandingkan dirinya yang biasa saja dengan Arkana yang rajin luar biasa. Semenjak pemuda itu membuka kesadarannya dan semenjak ia biarkan perasaan itu mekar seperti pekaja di hatinya. Semua itu sudah cukup lama, dan ia melewatinya.

Atau melewatkan bagian terpentingnya?

Adara tak tahu. Baginya perasaan di hatinya kini yang terpenting. Ia bahkan sudah lupa dengan konspirasi bodohnya. Ia tak peduli dibilang menjilat ludah sendiri.

"Dar!" seru seseorang di belakang Adara tapi gadis itu sama sekali tak terkejut. Buat apa? Toh ia tahu itu suara Laras. Ia hanya balas menoleh, engga mengeluarkan suara. "Eh, ayo ke kantin!"

Adara mendecak, "Nggak ih. 'Kan tadi gue udah bilang."

Nampak Laras mengembuskan napas berat. Pemudi itu berjalan mendekat ke mejanya, "Kenapa sih? Gak asik, ah," tanyanya memanyunkan bibirnya yang merona.

Adara menyambutnya dengan menjawab, "Gue lagi PMS, ih, males kemana-mana." Ah dasar Adara lebay, jawaban itu selalu menjadi dalih utamanya ketika malas ke kantin atau kemana pun. Sebab artinya perempuan itu butuh waktu sendiri, tidak bisa diganggu gugat.

Mendapat jawaban yang tak sesuai dengan angannya, Laras akhirnya memilih hengkang. Oli mungkin sudah selesai dengan siomaynya, dibantai habis. Semoga masih ada tempat duduk untuk dirinya serta semangkuk soto yang sudah dipesannya tadi, karena kantin pasti sudah mulai riuh sekarang.

Sesampainya di kantin, ia langsung disambut dengan suara kepedasan Oli yang memang sudah menandaskan siomay di depannya. Sedikit risih, tapi bagaimanapun Oli adalah sahabatnya, salah satu manusia di seantero sekolah yang mengenal dengan sangat baik siapa dirinya.

"Oliii! Kebiasaan, ih!" ujarnya tak tahan, akibat kegiatan makannya terganggu oleh suara Oli yang masih kepedasan. "Lo nyampur berapa sendok itu sambalnya?" tanyanya sembari mendorong segelas es tehnya kepada Oli.

Yang ditanya tak mampu menjawab, suara huh-hah masih menjadi suara latar obrolan. Tapi, tangan Oli gesit meraih secangkir besar es teh yang dinding botolnya masih banyak mengembun. Laras menggeleng-gelengkan kepalanya, biarin aja deh.

"By the way, si Dara gak mau ikut, ya?" Suara Oli menginterupsi, membuatnya mau tak mau mengangkat kepala dan memberi respons. "Iya."

Oli mengangkat bahu. "'Kan gue udah bilang ke lo, percuma lo jemput dia. Bela-belain balik dari kantin ke kelas, kalau dianya gak mau, ya nggak mau," ujarnya seperti orang tua yang memberi nasihat pada anaknya yang nakal. Siomaynya sudah habis, begitu pula dengan rasa pedas di mulutnya, semakin mendukung ocehan yang keluar dari pita suaranya.

Laras mengangguk, "Ya, siapa tahu, Dara berubah pikiran, 'kan." Oli tak menjawab, ada hal yang lebih menarik yang dari sikap kepala batu Laras rupanya.

Lantas, tak berselang lama, Oli bertanya seraya menunjuk sesuatu menggunakan sorot matanya. Laras mengernyit, belum genap sotonya ia habiskan. Ia menggeleng sebab ia tak melihat apa yang dilihat temannya itu. Kantin ramai hari ini, sepertinya para siswa dan siswi memang kompak makan di sini. Membuat jarak pandang menjadi sangat terbatas.

Oli nampak mendekatkan diri kemudian bibirnya berbisik di telinga kiri Laras, "Itu lho, Ras, Arkana bukan, sih?" Pertanyaannya mencipta picingan di kedua netra beralis tipis itu. Memang benar, berjarak sekitar tujuh meter di hadapan mereka, ada Arkana dan seorang perempuan tengah berdiri, mengobrol.

Laras semakin memicingkan matanya demi melihat seorang yang kata Oli adalah Arkana. Kemudian setelah matanya berhasil menangkapnya, ia langsung merubah posisi duduk supaya bisa berhadapan dengan Oli, raut terkejut menghiasi wajahnya yang lebih feminin dari kedua sahabatnya itu. Laras tahu siapa gadis yang tengah berbincang dengan Arkana. Gadis itu adalah gadis yang mengalahkannya di kontes tahunan sekolah. Kontes yang memperlombakan keteladan dan kepintaran siswanya di tiap-tiap kelas.

Suasana perasaannya memburuk, seketika.

"Apa sih Ras komuk lo? Santai kali, ah," ucap Oli, perempuan itu sudah berdiri, bersiap kembali ke kelas mereka.

Hal itu mengundang decakan lidah Laras, ia langsung menarik Oli kembali ke posisi duduknya. "Li, itu Arkana sama Rana, gak lihat lo? Nanti kalo Dara tahu, bisa berabe!" ujarnya gawat. Oli menggeleng-geleng, "Lebay lo! Gak bakalan si Dara gitu, yuk balik!" Sebaliknya, Oli justru mengajaknya kembali ke kelas cepat-cepat.

Laras sungguh tak bisa mengenyahkan rasa terkejutnya pada apa yang ia lihat barusan. Rasa itu direpresentasikannya lewat ekspresi, dan Oli sadar betul akan hal itu. Maka dengan kesadaran penuh, ia menghentikan langkah mereka berdua, lalu mengucapkan sesuatu. "Ras, lo gak usah panik. Yang punya apa-apa itu si Dara bukan lo," ujar Oli menenangkan, kedua tangannya menepuk-nepuk bahu Laras.

"Lo tahu gak sih, Dara itu suka sama Arkana. Lo gak kerasa, Li?"

Oli mengangguk-angguk, "Tahulah."

Mendengar jawaban itu, sontak Laras melepaskan kedua tangan Oli yang mengawai bahunya. "Nah, ya, udah kalau lo tahu."

Oli mengerutkan keningnya, parasnya berubah keheranan, "Ya, terus kalau gue tahu kenapa?"

Decakan lidah disuarakan Laras, sepertinya emosinya kini sudah memuncak, "Ya, kalau kita sama-sama tahu. Dara dikasih tahu dong, gimana sih!"

Melihat perempuan yang biasanya lemah lembut berubah mengganas, akhirnya melemahkan benteng keras kepala Oli. Sepertinya kali ini ia harus mengalah dan membiarkan Laras menceritakan apa yang mereka lihat pada Adara.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top